Rabu, 22 Juni 2011

WALI DALAM THALAQ

Pelajaran kaidah wali dalam thalaq

Qur’an  surah al.baqoroh ayat 232
“Apabila kamu menthalaq istri-istrimu, lalku habis ‘iddahnya. Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan diantara mereka dengan cara ma’ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman diantara kamu kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci, Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”.

Makna:
menghalangi kawin lagi dengan bakal suaminya dengan kawin lagi dengan bekas suami atau dengan laki-laki yang lain.

Asbabun  nuzul:
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Ma’qil bin yasar mengawinkan saudarnya kepada laki-laki muslim. Beberapa lam kemudian, dicerainya dengan satu thalaq. Setelah habis ‘iddahnya, mereka berdua ingin kembali. Maka datanglah laiki-laki tadi dengan Umar bin Khattab untuk meminangnya. Ma’qil menjawab: “Hai orang celaka! Aku memuliakan kau, dan akau kawinkan kau dengan saudaraku, tapi kau ceraikan dia. Demi Allah, ia tidak akan kukembalikan kepadamu”. Maka turunlah ayat tersebut yang melarang wali menghalangi menghalangi hasrat perkawinan orang itu.

Ketika Ma’qil mendengar ayat itu, ia berkata: “Aku dengar dan kuta’ati Tuhanku”. Ia memanggil orang itu dan berkata: “Aku kawinkan kau kepadanya dan aku memulikan kau”.
 Hal ini diriwayatkan oleh al-bukhari, abu daud, tirmidzi dan lain-lainya yang bersumber dari Ma’qil bin yasar. Dan diriwayatkan pula oleh ibnu marduwaih dari beberapa sumber.

Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa turunya ayat ini berkenaan dengan Jabir al-Anshari yang mempunyai saudaramisan yang telah diceraikan oleh suaminya satu thalaq. Setelah habis ‘iddahnya, bekas suaminya dating kembali, akan tetapi Jabir tidak mau meluluskan pinangannya, padahal si wanita itu ingin kembali kepada bekas suaminya. Ayat ini turun dengan melarang wali menghalangi hasrat perkawinan kedua orang itu.

Hal ini diriwayatkan oelh al-bukhari, abu daud, dan tirmidzi yang bersumber dari as-suddi. Riwayat yang bersumber dari Ma’qil lebih shahih dan lebih kuat.

Wa'llahu 'Alam..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar