Selasa, 31 Juli 2012

HIJAB PUASA



Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59). Jilbab bukanlah penutup wajah, namun jilbab adalah kain yang dipakai oleh wanita setelah memakai khimar. Sedangkan khimar adalah penutup kepala.

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (QS. An Nuur [24] : 31). Berdasarkan tafsiran Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Atho’ bin Abi Robbah, dan Mahkul Ad Dimasqiy bahwa yang boleh ditampakkan adalah wajah dan kedua telapak tangan. (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, Amru Abdul Mun’im, hal. 14).

Orang yang tidak menutupi auratnya artinya tidak mengenakan jilbab diancam dalam hadits berikut ini. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا
“Ada dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat: [1] Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan [2] para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim no. 2128). Di antara makna wanita yang berpakaian tetapi telanjang dalam hadits ini adalah: (1) Wanita yang menyingkap sebagian anggota tubuhnya, sengaja menampakkan keindahan tubuhnya. Inilah yang dimaksud wanita yang berpakaian tetapi telanjang; (2) Wanita yang memakai pakaian tipis sehingga nampak bagian dalam tubuhnya. Wanita tersebut berpakaian, namun sebenarnya telanjang (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 17: 190-191).

Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa wajibnya wanita mengenakan jilbab dan ancaman bagi yang membuka-buka auratnya. Aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan. Bahkan dapat disimpulkan bahwa berpakaian tetapi telanjang alias tidak mengenakan jilbab termasuk dosa besar. Karena dalam hadits mendapat ancaman yang berat yaitu tidak akan mencium bau surga. Na’udzu billahi min dzalik.

Puasa Harus Meninggalkan Maksiat

Setelah kita tahu bahwa tidak mengenakan jilbab adalah suatu dosa atau suatu maksiat, bahkan mendapat ancaman yang berat, maka keadaan tidak berjilbab tidak disangsikan lagi akan membahayakan keadaan orang yang berpuasa. Kita tahu bersama bahwa maksiat akan mengurangi pahala orang yang berpuasa, walaupun status puasanya sah. Yang bisa jadi didapat adalah rasa lapar dan haus saja, pahala tidak diperoleh atau berkurang karena maksiat. Bahkan Allah sendiri tidak peduli akan lapar dan haus yang ia tahan. Kita dapat melihat dari dalil-dalil berikut:

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.” (HR. Bukhari no. 1903).

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الأَكْلِ وَالشَّرَبِ ، إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ ، فَإِنْ سَابَّكَ أَحَدٌ أَوْ جَهُلَ عَلَيْكَ فَلْتَقُلْ : إِنِّي صَائِمٌ ، إِنِّي صَائِمٌ
“Puasa bukanlah hanya menahan makan dan minum saja. Akan tetapi, puasa adalah dengan menahan diri dari perkataan sia-sia dan kata-kata kotor. Apabila ada seseorang yang mencelamu atau berbuat usil padamu, katakanlah padanya, “Aku sedang puasa, aku sedang puasa”. (HR. Ibnu Khuzaimah 3: 242. Al A’zhomi mengatakan bahwa sanad hadits tersebut shahih)

Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Seandainya engkau berpuasa maka hendaknya pendengaran, penglihatan dan lisanmu turut berpuasa, yaitu menahan diri dari dusta dan segala perbuatan haram serta janganlah engkau menyakiti tetanggamu. Bersikap tenang dan berwibawalah di hari puasamu. Janganlah kamu jadikan hari puasamu dan hari tidak berpuasamu sama saja.” (Latho’if Al Ma’arif, 277).

Mala ‘Ali Al Qori rahimahullah berkata, “Ketika berpuasa begitu keras larangan untuk bermaksiat. Orang yang berpuasa namun melakukan maksiat sama halnya dengan orang yang berhaji lalu bermaksiat, yaitu pahala pokoknya tidak batal, hanya kesempurnaan pahala yang tidak ia peroleh. Orang yang berpuasa namun bermaksiat akan mendapatkan ganjaran puasa sekaligus dosa karena maksiat yang ia lakukan.” (Mirqotul Mafatih Syarh Misykatul Mashobih, 6: 308).

Al Baydhowi rahimahullah mengatakan, “Ibadah puasa bukanlah hanya menahan diri dari lapar dan dahaga saja. Bahkan seseorang yang menjalankan puasa hendaklah mengekang berbagai syahwat dan mengajak jiwa pada kebaikan. Jika tidak demikian, sungguh Allah tidak akan melihat amalannya, dalam artian tidak akan menerimanya.” (Fathul Bari, 4: 117).

Penjelasan di atas menunjukkan sia-sianya puasa orang yang bermaksiat, termasuk dalam hal ini adalah wanita yang tidak berjilbab ketika puasa. Oleh karenanya, bulan puasa semestinya bisa dijadikan moment untuk memperbaiki diri. Bulan Ramadhan ini seharusnya dimanfaatkan untuk menjadikan diri menjadi lebih baik. Pelan-pelan di bulan ini bisa dilatih untuk berjilbab. Ingatlah sebagaimana kata ulama salaf, “Tanda diterimanya suatu amalan adalah kebaikan membuahkan kebaikan.”

Belum Mau Berjilbab

Beralasan belum siap berjilbab karena yang penting hatinya dulu diperbaiki?
Kami jawab, “Hati juga mesti baik. Lahiriyah pun demikian. Karena iman itu mencakup amalan hati, perkataan dan perbuatan. Hanya pemahaman keliru dari aliran Murji’ah yang menganggap iman itu cukup dengan amalan hati ditambah perkataan lisan tanpa mesti ditambah amalan lahiriyah. Iman butuh realisasi dalam tindakan dan amalan”

Beralasan belum siap berjilbab karena mengenakannya begitu gerah dan panas?
Kami jawab, “Lebih mending mana, panas di dunia karena melakukan ketaatan ataukah panas di neraka karena durhaka?” Coba direnungkan!

Beralasan belum siap berjilbab karena banyak orang yang berjilbab malah suka menggunjing?
Kami jawab, “Ingat tidak bisa kita pukul rata bahwa setiap orang yang berjilbab seperti itu. Itu paling hanya segelintir orang yang demikian, namun tidak semua. Sehingga tidak bisa kita sebut setiap wanita yang berjilbab suka menggunjing.”

Beralasan lagi karena saat ini belum siap berjilbab?
Kami jawab, “Jika tidak sekarang, lalu kapan lagi? Apa tahun depan? Apa dua tahun lagi? Apa nanit jika sudah pipi keriput dan rambut ubanan? Inilah was-was dari setan supaya kita menunda amalan baik. Jika tidak sekarang ini, mengapa mesti menunda berhijab besok dan besok lagi? Dan kita tidak tahu besok kita masih di dunia ini ataukah sudah di alam barzakh, bahkan kita tidak tahu keadaan kita sejam atau semenit mendatang. So … jangan menunda-nunda beramal baik. Jangan menunda-nunda untuk berjilbab.”

Perkataan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berikut seharusnya menjadi renungan,

إِذَا أَمْسَيْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ ، وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الْمَسَاءَ ، وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ ، وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ
“Jika engkau berada di waktu sore, maka janganlah menunggu pagi. Jika engkau berada di waktu pagi, janganlah menunggu waktu sore. Manfaatkanlah masa sehatmu sebelum datang sakitmu dan manfaatkanlah hidupmu sebelum datang matimu.” (HR. Bukhari no. 6416). Hadits ini menunjukkan dorongan untuk menjadikan kematian seperti berada di hadapan kita sehingga bayangan tersebut menjadikan kita bersiap-siap dengan amalan sholeh. Juga sikap ini menjadikan kita sedikit dalam berpanjang angan-angan. Demikian kata Ibnu Baththol ketika menjelaskan hadits di atas.

Semoga di bulan penuh bar 'aokah ini, kita diberi taufik oleh Allah untuk semakin taat pada-Nya. 
Wallahu 'Alam bishowab waliyyut taufiq.

Senin, 23 Juli 2012

KONSEPSI HILAL

REDEFINISI HILAL SEBAGAI KONSEPSI TITIK TEMU PERBEDAAN


Hisab (perhitungan secara astronomis) atau Rukyat (observasi), dalam perspektif ilmu pengetahuan, sebenarnya adalah dua sisi dari sekeping mata uang. Artinya hubungan antara hisab dan rukyat sejatinya adalah timbal balik sehingga tidak perlu ditempatkan berlawanan, apalagi dibandingkan mana yang paling unggul. 
Manusia melakukan rukyat selama 3.000 tahun terakhir (sejak era Babilonia Baru) guna mendapat data empirik untuk membangun teori hisab, dan sebaliknya teori hisab yang ada menghasilkan prediksi elemen Bulan sehingga rukyat bisa dilaksanakan dengan presisi lebih baik.
Ingat saja metode ilmiah : sebuah hipotesis (yang dihasilkan oleh hisab) akan terbukti jika didukung oleh hasil pengamatan (rukyat) dan sebaliknya hasil pengamatan pun harus memenuhi syarat yang dikehendaki oleh hipotesisnya, agar hasilnya bisa dinyatakan valid dan reliabel.
Apa yang menjadikan perbedaan antara Hisab dan Rukyat pada saat ini, atau lugasnya, yang membuat Muhammadiyah (di kutub hisab) dan NU (di kutub rukyat) berbeda sejatinya terletak pada TIADANYA DEFINISI TUNGGAL tentang hilal, baik di Indonesia maupun dunia.

APA ITU HILAL?

Secara bahasa artinya Bulan sabit (crescent). Namun Bulan dalam fase sabit memiliki beragam bentuk, ada yang tebal (gemuk) dan ada pula yang tipis.
Yang manakah yang disebut hilal? Jika pertanyaan ini anda ajukan (misalnya) kepada anggota Lajnah Falakiyah PBNU atau anggota Majelis Tarjih PP Muhammadiyah, Insya Allah tidak akan mendapatkan jawaban yang jelas. Jangankan lagi kepada Ketua PBNU atau PP Muhammadiyah atau bahkan kepada Presiden/Wakil Presiden, yang secara teknis “tidak memahami” seluk beluk ini.
Mendefinisikan hilal sebenarnya bertumpu pada dua pilar, yakni kedudukan Bulan dan sensitivitas alat optik yang digunakan (termasuk mata telanjang).
Pilar pertama, yakni kedudukan Bulan (yang diderivasikan dalam elemen seperti tinggi, azimuth, elongasi, fase, magnitude visual) sebenarnya bukan masalah besar lagi, terutama sejak dekade 1960-an. Dengan memanfaatkan cermin retroreflektor yang ditempatkan astronot Apollo di sisi dekat Bulan (yakni sisi yang menghadap ke Bumi), Lunar Laser Ranging (LLR) yang berbasis sinar laser dan teleskop reflektor 3,5 mm telah mampu mengukur jarak Bumi-Bulan dengan ketelitian luar biasa tinggi, hingga tingkat kesalahan maksimumnya hanya 2 mm saja. Konsekuensinya, algoritma modern mengenai gerak Bulan yang diderivasikan dari eksperimen LLR ini pun mempunyai ketelitian sangat tinggi, seperti misalnya algoritma Chapront ELP 2000/82 yang tingkat kesalahan maksimumnya ‘hanya’ 10 detik busur alias 3 miliderajat saja. Sebagai pembanding, diameter cakram Bulan bila dilihat dari Bumi adalah 500 miliderajat. Jika hanya memperhitungkan pilar ini saja, wujudul hilal sudah mencukupi, karena “kriteria” ini mewajibkan Bulan harus di atas horizon (ufuk mar’i) ketika Matahari terbenam.
Sementara pilar kedua, yakni sensitivitas alat optik, relatif “terlantar” alias tidak banyak diteliti, padahal tak kalah pentingnya. Sebab manusia hidup di Bumi, dilindungi atmosfer yang tebal dan memiliki sifat optik tersendiri, sementara alat optik yang digunakan manusia (baik mata telanjang maupun teleskop/binokuler) punya keterbatasan. Baru belakangan saja (tepatnya sejak masa F Bruin, 1977) masalah sensitivitas alat optik mulai dikaji secara mendalam, meski akarnya telah diteliti hingga jauh ke masa silam, mulai al-Biruni hingga Andre Danjon (yang melahirkan konsep Danjon Limit). Dan pilar ini pula yang mendatangkan ketidakpastian terbesar dalam histori observasi hilal, dimana tingkat kesalahannya bisa mencapai 20 % (rata-rata).
Idealnya, para pengamat harus membawa instrumen fotometri untuk membandingkan kecemerlangan cahaya Bulan (L) terhadap kecemerlangan cahaya langit di latar belakangnya (Lb). Jika L < Lb, otomatis hilaal takkan bisa dilihat dengan cara apapun. Sedangkan jika L > Lb, hilal hanya bisa terlihat jika nilai (L/Lb) – 1 lebih besar dibanding Blackwell contrast threshold. Yang menarik disini, menggunakan teleskop/binokuler dengan perbesaran yang tepat membuat nilai L dan Lb yang kita lihat lewat alat optik berkurang, namun besaran (L/Lb) – 1 adalah tetap, sementara Blackwell contrast threshold-nya pun berkurang sehingga memungkinkan hilal terlihat, meski ketika menggunakan mata telanjang hilal tak nampak.
Jika dilihat dari pilar ini, wujudul hilal jelas kurang tepat karena sepenuhnya mengabaikan pengaruh atmosfer Bumi dan sensitivitas alat optik. Namun instrumen fotometri bukan barang murah. Maka sejak lama para astronom sudah mencoba mendekati keadaan ideal tersebut dengan mengkaitkan L terhadap elemen Bulan, sementara Lb dikaitkan dengan posisi Matahari, kemudian hasilnya dikombinasikan sehingga diperoleh parameter visibilitas Bulan sebagai fungsi dari selisih tinggi (aD) dan elongasi (aL). Inilah yang dikerjakan sejak masa Bruin (1977) dan kini yang termutakhir adalah buah karya Odeh (2004). Hasilnya memang rada ruwet, seperti dari Odeh misalnya, yang merumuskan persamaan berikut :
V = aD – (-0,1018*W*W*W + 0,7319*W*W – 6,3226*W + 7,1651)
dimana
W = R(1 – cos(aL))
Dengan aD dan aL dalam satuan derajat, R = jari-jari apparent Bulan (dalam satuan menit busur) dan V = parameter Odeh. Agar hilal terlihat, jika pengamatan hanya mengandalkan mata telanjang, V harus berharga lebih dari 2. Sedangkan jika pengamatan menggunakan teleskop/binokuler, V harus lebih besar dari -0,96.
Inilah pendekatan ilmiah untuk definisi “hilal”, meski juga belum sempurna benar, karena didasarkan sepenuhnya pada kondisi cuaca yang cerah, belum memperhitungkan langit yang “sedikit berawan.”
Definisi hilal semacam ini sering pula disebut “hilal ilmiah.” Secara umum disini bisa dikatakan bahwa hilal bisa terlihat (dengan teleskop/binokuler) jika dan hanya Bulan memiliki elongasi > 7 derajat kala terbenamnya Matahari dan aD > 10 derajat (jika selisih azimuth Bulan-Matahari/DAz mendekati nol) atau aD > 4 derajat (jika DAz > 5 derajat).
Sering muncul gugatan, ilmu astronomi/falak merupakan ilmu-nya orang Islam yang sudah dikuasai sejak lama, maka mengapa persoalan rukyat ini masih menjadi masalah? Dari catatan yang ditinggalkan para ahli falak Muslim sejak masa Daulah Bani Abbasiyah dan sesudahnya, diketahui bahwa al-Khawarizmi merumuskan elongasi Bulan harus > 9,5 derajat agar hilal bisa terlihat. Sementara Ibn Maimun sedikit berbeda, yakni elongasi > 9 derajat. Al-Battani, Abdurrahman as-Sufi, ibn Yunus dan al-Kashani menggarisbawahi nilai elongasi > 10 derajat. Dan Tsabit ibn Qurra’ sedikit lebih longgar yakni elongasi > 11 derajat.
Maka nampak jelas bahwa hasil karya ahli falak Muslim tempo dulu pun tidak menyelisihi kesimpulan yang diperoleh dimasa sekarang. Meski secara ilmiah sudah terdefinisikan bahkan sejak berabad-abad silam, persoalannya definisi “hilal ilmiah” belum tersosialisasikan sepenuhnya ke segenap lapisan umat, apalagi memang ada kesan “rumit” dengan sederetan persamaan matematis tersebut. Inilah tugas kita untuk menyosialisasikannya, sebagai pihak yang alhamdulillah diberi sedikit pengetahuan tentang itu.
Untuk Indonesia, memang ada “hilal kesepakatan”, yakni disepakati (oleh sebagian besar komponen Umat Islam) yang disebut hilal adalah Bulan dengan aD > 3 derajat, aL > 4,2 derajat dan telah berumur 8 jam pasca konjungsi. Muhammadiyah mengkritik definisi “hilal kesepakatan” ini sejak awal karena terlalu sederhana dan tidak ilmiah. Namun sedari awal “hilal kesepakatan” ini memang ditujukan untuk menyatukan umat terlebih dahulu dan sekaligus berperan sebagai definisi transisi menuju pengertian “hilal ilmiah” yang sesungguhnya. Harapannya, dengan semakin majunya zaman, semakin terdidiknya umat, diharapkan hilal kesepakatan ini perlahan bisa bergeser ke arah yang lebih baik. Jika yang diutak-atik perkara ilmiah apa tidak, wujudul hilal yang dipakai Muhammadiyah pun juga tidak ilmiah dan ‘hanyalah’ hipotesis tanpa bukti. Sebab hingga kini tak satupun ada bukti yang menyebutkan jika Bulan terbenam semenit lebih lambat dibanding Matahari maka hilal sudah bisa dilihat.
Dari hasil observasi ICOP, diketahui bahwa selisih minimum antara waktu terbenamnya Bulan terhadap waktu terbenamnya Matahari agar hilal bisa terlihat adalah 20 menit (dengan teleskop) dan 29 menit (dengan mata telanjang), itupun hanya terjadi di titik observasi yang lokasinya cukup tinggi.
Jika definisi hilal sudah disepakati, maka kepastian bisa didapatkan dan andaikata tidak dilaksanakan rukyat pun (seperti dalam kasus penentuan waktu shalat) tidaklah mengapa. Waktu shalat bisa ditentukan dengan pasti karena definisi tiap waktu shalat cukup jelas. Idealnya, kelak dalam menentukan 1 Ramadhan, 1 Syawwal dan 1 Dzulhijjah pun demikian. Meski rukyat tetap saja masih bisa dilakukan untuk konfirmasi.
Apakah situasi (perbedaan) ini, di Indonesia khususnya, akan seperti ini terus? Di lingkungan Muhammadiyah, wujudul hilal sudah digunakan sejak 1969 alias bertahan hampir 40 tahun. Sementara riset tentang hilal sudah jauh berkembang pesat selama 40 tahun terakhir, terutama yang dipelopori oleh F. Bruin dkk (1977) yang memperkenalkan algoritma modern hingga masa Yallop, Odeh dan Sultan sekarang ini. Dan jika anda cermati, PP Muhammadiyah sejak tahun 2007 mulai membuat pelatihan hisab dan rukyat, berbeda dari biasanya yang hanya pelatihan hisab saja. Lembaga pendidikan tinggi Muhammadiyah juga sudah mulai getol meneliti langit..
Sementara di lingkungan NU, belakangan muncul ide untuk menyertifikasi para perukyat. Pelatihan disini juga sudah kian gencar dilakukan. Ini tentu saja ditujukan agar para perukyat makin terlatih (karena mayoritas dari mereka ternyata belum pernah sama sekali menyaksikan hilal) dan menghindari “salah lihat” yang bisa berakibat serius, seperti misalnya menganggap Venus sebagai hilal. Dalam definisi hilal, NU berpegangan pada Danjon Limit (yakni elongasi > 6,4 derajat), namun dalam operasionalnya tetap menerima “hilal kesepakatan” yang ditawarkan Depag.

Dua Hilal: Bagaimana jika keduanya sama-sama ilmiah?

1433 tahun yang lalu, Rasul SAW bersama para sahabatnya melakukan hijrah dari Makkah menuju ke Yatsrib (Madinah) dalam rangka untuk menyelamatkan akidah dari tekanan mayoritas penduduk Makkah. Peristiwa tersebut kemudian dijadikan awal bagi penanggalan umat Islam yang dikenal dengan penanggalan Hijriah.

Penanggalan hijriah merupakan penanggalan yang didasarkan pada gerakan bulan. Oleh karena itu awal dari suatu bulan di dalam penanggalan hijriah ditandai dengan munculnya bulan sabit baru (hilal). Penentuan awal bulan dalam penanggalan hijriah pengaruhnya begitu krusial bagi umat islam. Hal ini dikarenakan penanggalan hijriah sangat erat kaitannya dengan ritual-ritual keagamaan dalam agama islam.

Dua Definisi Hilal

Hilal atau bulan sabit baru ternyata terdapat dua definisi yang berbeda, dan kedua definisi tersebut telah beredar luas di masyarakat. Definisi pertama adalah hilal merupakan posisi bulan sesaat setelah bulan berputar penuh mengelilingi bumi. Definisi inilah yang dianut para pengikut organisasi massa (ormas) islam Muhammadiyah. Pihak Muhammadiyah mengumumkan tanggal 1 Syawal 1432 H bertepatan dengan tanggal 30 Agustus 2011. Alasan yang mereka kemukakan adalah, bulan telah mencapai titik konjungsinya pada 10.05 WIB pada hari senin 29 Agustus 2011. Definisi kedua tentang hilal adalah ketika cahaya matahari yang terpantul oleh permukaan bulan dapat terlihat dari permukaan bumi. Jadi bisa dikatakan bahwa hilal memiliki definisi:
1. Bulan telah mengelilingi bumi dengan sempurna.
2.Bulan telah mengalami satu fase penuh dalam satu bulan.

Pengertian 'bulan telah mengelilingi bumi dengan sempurna' memiliki makna yang berbeda dengan 'bulan telah mengalami satu fase penuh dalam satu bulan'. Ketika kita mengatakan bulan telah mengelilingi bumi satu putaran penuh berarti jika bulan pada awalnya berada pada koordinat A di garis bujur bumi, maka bulan mengelilingi bumi satu putaran penuh adalah ketika bulan kembali pada koordinat A. Sebagai contoh adalah jika suatu ketika bulan berada pada garis bujur bumi yang segaris dengan tugu monas, maka bulan telah mengelilingi bumi secara sempurna apabila bulan telah kembali pada garis bujur bumi yang sebujur dengan tugu monas. Sedangkan jika kita mengatakan bulan telah mengalami satu fase sempurna berarti jika bulan telah menampakkan bentuk fasenya secara penuh dari bulan sabit baru kembali lagi ke bulan sabit baru. Perbedaan keduanya adalah untuk bulan mengelilingi bumi secara sempurna hanya bergantung pada posisi bulan dengan suatu derajat koordinat bujur pada permukaan bumi. Sedangkan untuk bulan mengalami satu fase penuh bergantung pada letak posisi bulan, bumi, dan matahari yang mempengaruhi bentuk penampakan bulan di bumi (kita tahu bahwa cahaya bulan merupakan hasil pantulan dari sinar matahari), sedangkan fase bulan dipengaruhi oleh posisi bulan terhadap bumi dan matahari, yang dalam artian pada saat tertentu sinar matahari akan terhalang oleh bumi, sehingga bagian gelap bulan merupakan bayangan bumi.

Manakah di antara kedua pengertian hilal tersebut yang lebih ilmiah?

Pada tanggal 29 Agustus 2011, dari situs portal berita JPNN diberitakan bahwa hari raya Idul Fitri hampi 1 Syawal 1432 H pasti akan berbeda. Hal ini dikarenakan posisi bulan baru berada pada sudut kurang dari 2 derajat. Sedangkan pada posisi tersebut bisa dipastikan bahwa pantulan cahaya matahari oleh permukaan bulan tidak akan dapat disaksikan dari permukaan bumi, bahkan dengan alat tercanggih yang ada pada saat ini. Tapi meski bulan tidak menampakkan pantulannya, ia telah mengitari penuh permukaan bumi. Jadi secara perhitungan (hisab) telah diketahui bahwa pada tanggal 30 Agustus hilal, dengan definisi pertama, akan muncul dengan posisi kurang dari 2 derajat, sehingga ia mustahil akan tampak dari permukaan bumi. Sedangkan cara yang sama, perhitungan (hisab), hilal dengan definisi kedua akan muncul pada tanggal 31 Agustus karena pada saat itu posisinya berada lebih dari 2 derajat. Jadi apa yang menjadi polemik bukanlah pada metode mana yang lebih modern dalam penentuan bulan sabit baru, melainkan pada perbedaan definisi hilal.

Ada satu hal lain yang juga perlu dipahami dalam penanggalan Hijriah, yaitu awal hari dari suatu penanggalannya berbeda dengan kalender Masehi. Jika kalender masehi penanggalan baru selalu dimulai dari garis bujur 180 derajat (UTC±12) yang berada pada tengah laut pasifik, tapi tidak demikian dengan kalender Hijriah. Awal suatu hari dalam kalender baru bisa terjadi di mana saja. Sebagai contoh kota Jakarta Indonesia akan selalu mengalami tanggal 1 Januari enam jam lebih awal dibandingkan dengan kota Paris di Prancis. Sedangkan dalam penanggalan Hijriah, suatu daerah yang mengalami awal dari suatu penanggalan tidak bersifat tetap sebagaimana kalender Masehi yang selalu tetap dengan mengikuti pembagian waktu UTC. Dengan demikian, dalam penanggalan Hijriah, bisa jadi kota Prancis akan mengalami awal suatu penanggalan jika di kota tersebut telah tampak pertama kali bulan sabit baru atau di tempat manapun di belahan bumi yang lain yang muncul pertama kali penampakan bulan sabit baru. Oleh karena itu dalam penentuan awal suatu hari baru dalam suatu bulan dalam kalender Hijriah untuk beberapa kalangan masih mengandalkan pada (metode rukyat) metode pengamatan langsung pada kemunculan bulan sabit baru.
Namun ada berita gembira bahwa upaya menuju penyelesaian perbedaan telah ditegaskan pada fatwa MUI tentang penetapan awal Ramadan, Syawal, dan Dzulhijah yang dikeluarkan pada 16 Desember 2003 lalu. Isinya mewajibkan umat Islam Indonesia menaati ketetapan pemerintah tentang penetapan awal-awal bulan tersebut dan merekomendasikan upaya mencari kriteria titik temu yang dapat dijadikan pedoman bersama. Suasana kondusif ini sangat baik kita gunakan untuk mengkaji sumber perbedaan dan mencari titik temunya.
Perbedaan pendapat tentang hisab rukyat dan mathla' serta implikasinya telah menyita banyak energi umat Islam. Persoalan ijtihadiyah ini sangat berpotensi merusakkan ukhuwah islamiyah. Padahal kita akui bersama, tidak ada kebenaran mutlak atas pendapat ijtihadiyah. Sifatnya kadang sangat temporal dan situasional. Namun seringkali kita terpaku pada pendapat ulama yang zaman dan situasinya jauh berbeda dengan saat ini. Keterpakuan pada pendapat lama dan kesempitan wawasan akan perkembangan baru terbukti telah meng’kotak’kan umat Islam pada mazhab yang representasinya berasosiasi dengan ormas Islam. Di Indonesia, sekian puluh tahun pandangan hisab-rukyat didominasi oleh perbedaan dua ormas besar: Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, dengan beberapa varian pada ormas Islam lainnya.
Masalah ini kadang luput dari perhatian dalam mencari solusi umat secara integral, bukan parsial dalam komunitas ormas tertentu saja. Kita semua diajak untuk mengubah paradigma kita dari "perdebatan dalil hukum tentang metode yang paling sahih dan paling baik" menjadi "pencarian kriteria bersama untuk metode yang berbeda". Upaya maksimal yang kita lakukan dengan paradigma lama adalah "kita saling menghargai", kita tingkatkan dalam paradigma baru dengan "kita saling mengisi". Kita reorientasikan upaya ijtihadiyah kita dari "mencari kebenaran relatif ijtihadiyah" menjadi "ijtihadiyah menuju titik temu bersama". Sudahlah cukup energi umat dicurahkan untuk mengkaji sepenggal dalil yang kadang hanya berujung pada kompilasi pendapat lama.
Beberapa pendapat yang berkembang di Indonesia dalam masalah hisab rukyat akan diulas, termasuk kritik terhadapnya. Ada potensi untuk menuju titik temu antara pendapat-pendapat yang berkembang tersebut. Konsepsi titik temu astronomis diusulkan untuk jadi pemikiran bersama.

Substansi masalah

Dalil Alquran dan hadis tentang hisab rukyat sebenarnya tidak banyak. Tanpa menyebut satu persatu dalil Alquran dan hadis yang biasa dikemukakan oleh para ahli fiqih, secara umum dalil-dalil tersebut menyatakan hal berikut :
Hilal digunakan untuk menentukan waktu (kalender) dan ibadah (Q.S. 2: 189).
Penentuan waktu bisa dilakukan karena bulan mempunyai fase-fase dari sabit sampai kembali menjadi sabit yang tipis seperti pelepah kering dengan periode yang tertentu (Q.S. 36: 39). Dengan keteraturan peredarannya, matahari dan bulan dapat digunakan untuk perhitungan waktu dan penentuan bilangan tahun (Q.S. 10: 5, 55: 5).
Kemudian, tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang, karena masing-masing beredar pada garis edarnya (Q.S. 36: 40). Hukum Allah tentang peredaran matahari dan bulan di langit yang menentukan satu tahun itu 12 bulan, karenanya mengubah atau mengulurnya karena suatu alasan (misalnya strategi perang atau penyesuaian dengan musim) tidak dibenarkan (Q.S. 9: 36-37). Berpuasalahlah kamu semua bila melihatnya (hilal) dan berbukalah bila melihatnya, bila terhalang awan maka sempurnakan bilangan bulan (Sya’ban) 30 hari. (HR Bukhari Muslim).
Dari sekian dalil Alquran dan Hadis, pokok masalah yang utama adalah tidak adanya petunjuk operasional yang jelas, rinci, dan bersifat kuantitatif seperti halnya masalah waris. Tentu ini ada hikmahnya, umat Islam dengan demikian ditantang untuk melakukan riset ilmiah untuk memperjelas, merinci, dan menguantitaskan pedoman umum dalam nash Alquran dan Hadis. Sesuai dengan sifat riset ilmiah, tidak ada yang bersifat benar mutlak untuk selamanya dan di segala tempat. Semuanya bersifat dinamis.
Hal-hal pokok yang perlu diperjelas, diperinci, dan dikuantitaskan adalah sebagai berikut :
1. Apakah hilal itu? Definisi hilal bisa beragam, tetapi bila itu bagian dari riset ilmiah, semua definisi itu semestinya saling melengkapi. Bukan dipilih definisi parsial. Hilal harus didefinisikan mulai dari metode sederhana rukyat tanpa alat bantu sampai dengan alat canggih hasil teknologi terbaru. Hilal juga harus terdefinisi dalam kriteria hisab yang menjelaskan hasil observasi. Definisi lengkapnya misalnya, dirumuskan, hilal adalah bulan sabit pertama yang teramati di ufuk barat sesaat setelah matahari terbenam, tampak sebagai goresan garis cahaya yang tipis, dan bila menggunakan teleskop dengan pemroses citra bisa tampak sebagai garis cahaya tipis di tepi bulatan bulan yang mengarah ke matahari.
Dari data rukyatul hilal jangka panjang, keberadaan hilal dibatasi oleh kriteria hisab tinggi minimal sekian derajat bila jaraknya dari matahari sekian derajat dan beda waktu terbenam bulan-matahari sekian menit serta fraksi iluminasi sekian persen.
Fenomena rukyat dan hisab seperti itu harus saling mengisi, sehingga dapat saling menggantikan dalam kondisi tertentu, baik kondisi alamiah maupun kondisi pemikiran (misalnya pemilihan hisab saja atau rukyat saja seperti terjadi sekarang).
2. Sejauh mana keberlakuan rukyatul hilal atau mathla'? Kita semua mengetahui bahwa bumi itu bulat, bukan seperti selembar kertas. Dapat dipastikan ada daerah yang bisa melihat hilal lebih awal dari daerah lainnya. Tidak ada batasan fisik kuantitatif yang dapat dibuat dalam menentukan mathla' tanpa mempertimbangkan kondisi sebaran penduduk dan geopolitik pada suatu masa. Gagasan untuk membuat rukyat yang bersifat global akan berbenturan dengan sekian kesulitan, termasuk memaksa orang untuk berjaga menunggu kesaksian hilal yang belum pasti atau memaksa orang meng-qadha puasa bila terlewat. Sementara membuat batasan radius sekian derajat juga tidak ada alasan ilmiah yang sahih. Gagasan ahli fiqih dalam menentukan mathla' bersifat wilayatul hukmi (berdasarkan wilayah hukum) dipandang sangat beralasan karena berangkat dari konsep ulil amri sebagai pemersatu umat. Kalaulah kelak ada ulil amri yang ditaati oleh semua umat Islam sedunia, konsep wilayatul hukmi yang global bisa terwujud.
Ada masalah musykil yang mengemuka dan berimplikasi munculnya perbedaan pendapat yang berkepanjangan. Untuk mendapat jawaban atas masalah pokok tersebut di atas, umat Islam terus-menerus selama ratusan tahun mengkajinya dari penafsiran makna tersirat dari nash Alquran dan pendapat ulama terdahulu yang mungkin didasarkan pada perkembangan pemikiran pada zamannya.
Ada juga kecenderungan simplifikasi masalah sehingga solusinya bersifat parsial. Misalnya, sekian lama kita berdebat soal makna "rukyat" sehingga kemudian muncul ungkapan "rukyat bil qalbi", "rukyat bil ilmi", dan "rukyat bil 'ain". Sekian lama kita terpaku pada pendapat wujudul hilal atau tidak sahnya rukyat pakai alat yang bersifat memantulkan cahaya. Pemisahan rukyat dan hisab, penggunaan hisab wujudul hilal, atau kriteria tunggal tinggi bulan minimal 2 derajat adalah representasi bentuk simplifikasi permasalahan yang kemudian dianggap sebagai hasil pemikiran yang final oleh sebagian masyarakat.
Jadi, substansi masalah pokok hanyalah redefinisi "hilal" yang integral antara hisab dan rukyat dengan riset ilmiah yang terbuka. Riset tidak berarti harus memulai dari nol dengan merukyat sendiri, karena hal itu justru bukan metodologi riset yang efisien untuk masalah hisab rukyat yang memerlukan data jangka panjang dan cakupan wilayah yang sangat luas. Perlu keberanian mengoreksi pendapat sendiri dan sikap terbuka menerima pendapat lain yang mungkin sama sekali baru.
Hisab rukyat di Indonesia kini mencermati perkembangan praktik penentuan awal Ramadan, Idul Fitri, dan Idul Adha di Indonesia, kita bisa merujuk akar masalahnya pada kriteria yang digunakan oleh dua ormas besar, NU (Nahdlatul Ulama) dan Muhammadiyah. Ormas lain, seperti Persis (Persatuan Islam), walau sedikit berbeda kriterianya secara garis besar berada pada salah satu kriteria NU atau Muhammadiyah. Untuk mencari titik temu, perlu kita pahami kesamaan dan perbedaannya serta kemungkinannya untuk dipersatukan.
Keputusan Musyawarah Tarjih Muhammadiyah 1932 menegaskan bahwa datangnya awal bulan bukan hanya dengan rukyat, tetapi juga dengan hisab. Hisab bisa berdiri sendiri sebagai sumber pengetahuan datangnya Ramadan dan bulan-bulan qamariyah lainnya. Ini berbeda dengan NU yang menyatakan hisab hanya sebagai pembantu rukyat.
Muhammadiyah mendefinisikan hisab sebagai perhitungan astronomis tentang posisi hilal. Namun, hisab tidak mungkin membuat keputusan tanpa adanya kriteria yang disebut hilal. Tidak ada satu pun dalil dalam Hadis atau Alquran yang menyebutkan secara tegas apa itu hilal yang bisa diterjemahkan secara kuantitatif dalam kriteria hisab.
Pendekatan yang dilakukan Muhammadiyah adalah dengan pendekatan astronomis bahwa hilal adalah penampakan bulan yang paling kecil yang menghadap bumi beberapa saat setelah ijtimak. Inilah yang kemudian menjadi kriteria hisabnya bahwa awal bulan baru ditandai dengan berujudnya hilal. Tandanya adalah bila matahari terbenam lebih dahulu daripada bulan.
Dalam perkembangan pemikiran ijtihadiyah, penggunaan kriteria wujudul hilal patut dihargai, itu merupakan syarat untuk munculnya hilal, tetapi syarat itu belum cukup. Hilal telah terwujud bisa juga terjadi sebelum ijtimak. Hal itu terjadi di Indonesia pada Dzulhijah 1423 lalu. Di Kalimantan bagian selatan, Sulawesi bagian selatan, Nusa Tenggara, dan Papua bagian selatan bulan telah berujud pada saat magrib 1 Februari, tetapi belum terjadi ijtimak. Kasus yang ekstrem terjadi pada bulan Syaban 1423 (Oktober 2002). Saat itu di sebagian besar Indonesia bulan telah berujud, tetapi belum terjadi ijtima’.
Dalam beberapa kasus (misalnya, saat penentuan Idul Adha 1423), masalah ini teratasi dengan konsep mathla' wilayatul hukmi. Tetapi bila kasus ekstrem seperti Syaban 1423 dengan garis ijtima' saat magrib bergeser ke arah barat, ke luar Indonesia, konsep wilayatul hukmi tidak dapat mengatasi wujudul hilal sebelum terjadi ijtima'. Kriteria wujudul hilal kemudian perlu ditambahkan dengan kriteria ijtima’ sebelum magrib (ijtima’ qablal ghurub).
Dalam perkembangan saat ini berbagai argumentasi dikemukakan untuk mendukung kriteria wujudul hilal, termasuk dari penafsiran Q.S. 36: 39-40. Bahkan ada juga yang mencari pendekatan dari awal bulan secara astronomis yang diharapkan kesimpulannya akan sama dengan awal bulan dengan kriteria wujudul hilal. Pendekatan murni astronomis bisa menyesatkan bila digunakan untuk pembenaran penetapan awal bulan yang harus mempertimbangkan syariat. Bulan baru astronomi atau ijtima’ tidak ada dasar hukumnya untuk diambil sebagai batas awal bulan qamariyah. Sementara itu, posisi bulan di atas ufuk dalam definisi sesungguhnya wujudul hilal tidak punya arti secara astronomis, karena tidak mungkin teramati. Wujudul hilal hanya ada dalam teori. Apalagi kalau wujudul hilal tidak mempertimbangkan ijtima' qablal ghurub, "hilal" teoritik pun mungkin tidak ada karena belum terjadi ijtima’.
Sementara itu konsep mathla' wilayatul hukmi kontradiksi kalau diterapkan pada hisab murni, tanpa mengadopsi kriteria rukyat. Konsepsi mathla' berangkat dari ketidakpastian rukyat. Di satu daerah hilal tampak, sedangkan di daerah lain tidak tampak. Pada zaman Ibnu Abbas, mathla' dapat diterapkan tanpa masalah karena komunikasi antardaerah masih sangat buruk. Tetapi dengan makin baiknya komunikasi, kesaksian rukyatul hilal di suatu daerah segera tersebar. Dalam hal ini konsep mathla' diperlukan untuk memberikan kepastian keberlakuan rukyatul hilal itu. Dengan hisab murni, mathla' tidak diperlukan lagi. Garis tanggal dapat digunakan sebagai pembatas daerah yang mana yang masuk tanggal lebih dahulu dari daerah lainnya. Tentu dengan konsekuensi kemungkinan satu wilayah hukum terpecah dua.
Muhammadiyah telah berijtihad mengambil hisab secara mandiri tanpa bergantung rukyat secara fisik (bil fi'li) karena rukyat telah direpresentasikan dalam bentuk kriteria wujudul hilal. Dalam perkembangannya, kriteria wujudul hilal saja tidak cukup, perlu kriteria ijtima’ qablal ghurub. Kini Muhammadiyah perlu juga terbuka untuk mengkaji ulang ijtihadnya, dengan memasukkan faktor transparansi atmosfer dan kepekaan mata manusia yang lazim dalam telaah astronomis tentang visibilitas hilal (imkanur rukyat). Sehingga definisi hilal bukan lagi hilal teoretis yang tidak punya landasan qath'i dari syariat dan tidak punya dukungan astronomis, melainkan hilal yang benar-benar terbukti dapat dirukyat.
NAHDLATUL Ulama (NU) sebagai ormas Islam berhaluan ahlussunnah wal jamaah berketetapan mencontoh Rasulullah dan para sahabatnya dan mengikut ijtihad para ulama mazhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali). Dalam hal penentuan awal bulan, NU menetapkan harus dengan rukyatul hilal bil fi'li, dengan melihat hilal secara langsung. Bila berawan atau menurut hisab hilal masih di bawah ufuk, mereka tetap merukyat untuk kemudian mengambil keputusan dengan menggenapkan (istikmal) bulan berjalan menjadi 30 hari. Demikianlah ketentuan syariat yang diyakininya. Hisab hanya sebagai alat bantu, bukan sebagai penentu masuknya awal bulan qamariyah.
Kesaksian dapat diyakini karena saksi perlu disumpah. Seringkali sumpah dianggap lebih kuat dari argumentasi ilmiah berupa hasil hisab. Dalam beberapa kasus, bulan yang masih di bawah ufuk menurut perhitungan astronomi dilaporkan terlihat dan diambil sebagai dasar penetapan awal bulan, misalnya pada penetapan Idul Fitri 1413/1993. Namun sejak 1994, PBNU telah membuat pedoman bahwa kesaksian hilal bisa ditolak bila semua ahli hisab sepakat menyatakan hilal tidak mungkin dirukyat. Secara lebih tegas dinyatakan, kesaksian rukyatul hilal dapat ditolak bila tidak didukung ilmu pengetahuan atau hisab yang akurat.
Prinsip penolakan itu telah dilakukan dalam sidang itsbat penentuan Idul Fitri 1418/1998 yang menolak kesaksian di Cakung dan Bawean. Saat itu hilal masih di bawah kriteria imkanur rukyat 2 derajat. Namun prinsip itu belum secara konsisten dilaksanakan, karena PWNU Jawa Timur justru menerima kesaksian tersebut. Termasuk komentar negatif dari beberapa tokoh NU atas pernyataan Lajnah Falakiyah PBNU yang mengisyaratkan Idul Fitri jatuh pada 6 Desember 2002 sebelum ada rukyatul hilal, hanya mendasarkan pada kriteria yang sebenarnya telah menjadi pedoman PBNU. Tampaknya kriteria imkanur rukyat 2 derajat belum diterima di seluruh jajaran NU atau belum dimasyarakatkan. Padahal kriteria itu didasari oleh hasil rukyat sebelumnya tentang batas minimal ketinggian hilal yang teramati secara meyakinkan.
Hal ini bisa dirujuk dari pengamatan hilal awal Ramadan 1394/16 September 1974 yang dilaporkan oleh 10 saksi dari 3 lokasi yang berbeda. Tidak ada indikasi gangguan planet Venus. Perhitungan astronomis menyatakan, tinggi hilal sekitar 2 derajat dengan beda azimut 6 derajat dan umur bulan sejak ijtimak 8 jam. Jarak sudut Bulan-Matahari 6,8 derajat, dekat dengan limit Danjon yang menyatakan jarak minimal 7 derajat untuk mata manusia rata-rata.
Kriteria tinggi 2 derajat dan umur bulan 8 jam ini yang kemudian diadopsi sebagai kriteria imkanur rukyat MABIMS (negara-negara Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) pada 1996.
NU telah berijtihad menerima batasan imkanur rukyat 2 derajat, walaupun sosialisasi ke semua jajaran belum berjalan baik. Lagi-lagi, sebagai bagian proses ijtihad, penetapan imkanur rukyat 2 derajat patut dihargai. Ini lebih baik daripada tanpa kriteria seperti kasus Idulfitri 1413/1993 yang menerima kesaksian rukyatul hilal padahal bulan sudah di bawah ufuk menurut hisab astronomi yang akurat. Namun pedoman "didukung ilmu pengetahuan atau hisab yang akurat" masih membuka peluang yang lebih luas. Kriteria imkanur rukyat 2 derajat yang telah diterima, masih harus dikaji lagi secara ilmiah. NU juga harus terbuka mengkaji ulang ijtihadnya agar sesuai dengan ilmu pengetahuan atau hisab yang akurat sesuai pedoman yang ditetapkan. Sehingga definisi hilalnya bukan semata-mata hilal "syariat" yang diyakini benarnya dari sumpah pengamatnya, melainkan hilal sesungguhnya yang dapat dibuktikan secara ilmiah.

Konsepsi titik temu

Tanpa banyak diketahui oleh masyarakat umum, upaya-upaya menuju titik temu itu sudah mulai dilakukan oleh masing-masing ormas tersebut. NU yang dikenal kuat mempertahankan rukyatul hilal, telah banyak berubah dengan memperkenankan penggunaan alat untuk rukyat dan mengadopsi kriteria hisab imkanur rukyat (kemungkinan rukyat) untuk menolak kesaksian rukyat yang terlalu rendah. Muhammadiyah yang dikenal kuat juga mempertahankan hisab wujudul hilal, mulai mengkaji melalui workshop yang mengundang berbagai praktisi hisab rukyat, termasuk dari NU dan Persis. Momentum yang baik ini dapat digunakan untuk melakukan redefinisi tentang hilal. Sayang, Munas Tarjih Muhammadiyah awal Oktober 2003 lalu belum menghasilkan perubahan yang signifikan, walau ada titik terang untuk terus mengkaji.
Kriteria MABIMS pada awal 1990-an yang sebenarnya berpotensi mempertemukan kalangan hisab dan rukyat dalam mendefinisikan "hilal" sebenarnya telah diterima oleh hampir semua ormas Islam, kecuali Muhammadiyah. Kriteria itu telah digunakan oleh kalender nasional dan beberapa Ormas Islam.
Muhammadiyah, menurut salah seorang tokoh ahli hisabnya, keberatan karena anggapan kriteria itu tidak ada dukungan ilmiahnya. Memang benar, kriteria tersebut berdasarkan analisis sederhana, belum memperhitungkan beda azimut Bulan-Matahari seperti yang dilakukan pada kriteria astronomis. Kalau mau jujur, kriteria wujudul hilal yang saat ini digunakan Muhammadiyah juga tidak ada dukungan ilmiahnya.
Kehendak untuk mendasarkan kriteria "hilal" pada dukungan ilmu pengetahuan merupakan jalan menuju titik temu. Baik Muhammadiyah maupun NU memerlukan kriteria yang ada dukungan ilmu pengetahuannya. Kriteria wujudul hilal yang dipegang Muhammadiyah (dan Persis pasca-4 November 2002) dan kriteria imkanur rukyat 2 derajat yang dipegang NU (dan Persis pra-4 November 2002) sama-sama harus dikaji ulang. Kita berharap Muhammadiyah, NU, dan Persis serta ormas-ormas Islam lainnya terbuka untuk mencari titik temu. Para astronom bersedia menjadi mediator dan Depag telah menyatakan akan menjadi fasilitator untuk diskusi antarormas dan pakar astronomi.
Metode masing-masing ormas boleh berbeda. Namun, bila kriterianya sama dalam mendefinisikan hilal, insya Allah keputusannya bisa sama. Saudara-saudara kita yang menggunakan hisab hanya akan memutuskan masuknya tanggal bila ketinggian bulan dan syarat-syarat lainnya telah terpenuhi untuk terjadinya rukyatul hilal. Demikian juga saudara-saudara kita yang menggunakan rukyat hanya akan menerima kesaksian rukyatul hilal yang meyakinkan secara ilmiah, termasuk memenuhi syarat tinggi dan ketentuan lainnya.
Secara astronomis pengertian rukyatul hilal bil fi'ili, bil ain, bil 'ilmi, atau bi qalbi, sama saja, yaitu merujuk pada kriteria imkanur rukyat atau visibilitas hilal. Kriteria bersama antara hisab dan rukyat tersebut dapat ditentukan dari analisis semua data rukyatul hilal dan dikaji dengan data hisab. Dari analisis itu dapat diketahui syarat-syarat rukyatul hilal, berupa kriteria hisab-rukyat. Kriteria itu dapat dijadikan sebagai pedoman bagi para perukyat bil fi'li/bil 'ain (secara fisik dengan mata) untuk menolak kesaksian yang mungkin terkecoh oleh objek terang bukan hilal.
Kriteria itu juga dapat dijadikan sebagai pedoman bagi para ahli hisab yang melakukan rukyat bil ilmi/bi qalbi (dengan ilmu atau dengan hati) untuk menentukan masuknya awal bulan.
Secara astronomis, kriteria visibilitas hilal untuk hisab-rukyat telah banyak tersedia yang didasarkan pada data rukyatul hilal internasional.
Namun, data rukyatul hilal Indonesia perlu juga dikaji secara astronomis dalam membuat "Kriteria Hisab Rukyat Indonesia". Sebagai titik awal, kajian oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) dapat dijadikan sebagai embrio kriteria tersebut. Para ahli hisab-rukyat dari semua Ormas Islam bersama para pakar astronomi dari Observatorium Bosscha/Departemen Astronomi ITB, Planetarium/Observatorium Jakarta, LAPAN, Bakosurtanal, dan lainnya secara bertahap dapat mengkaji ulang kriteria tersebut dengan bertambahnya data rukyatul hilal di Indonesia.
Berdasarkan kajian astronomis yang dilakukan LAPAN (Djamaluddin, 2000, "Visibilitas Hilal di Indonesia", Warta LAPAN, Vol. 2, No. 4, Oktober 2000, Hlm. 137-136) terhadap data rukyatul hilal di Indonesia (1962-1997) yang didokumentasikan oleh Departemen Agama RI diperoleh dua kriteria "hilal" yang rumusannya disederhanakan sesuai dengan praktik hisab-rukyat di Indonesia. Awal bulan ditandai dengan terpenuhi kedua-duanya, bila hanya salah satu maka dianggap belum masuk tanggal. Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia adalah sebagai berikut :
1. Umur hilal minimum 8 jam.
2. Tinggi bulan minimum tergantung beda azimut Bulan-Matahari. Bila bulan berada lebih dari 6 derajat tinggi minimumnya 2,3 derajat. Tetapi bila tepat berada di atas matahari, tinggi minimumnya 8,3 derajat.
Diharapkan, sebagai titik awal, Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia menjadi kriteria baru menggantikan kriteria MABIMS yang telah ada. Pada tingkat Ormas Islam, kriteria ini diharapkan akan menggantikan kriteria yang berlaku saat ini, setelah dimasyarakatkan untuk difahami bersama. Untuk tingkat regional, kriteria ini dapat diusulkan sebagai kriteria MABIMS yang baru.
Bila ada data rukyatul hilal yang lebih rendah dari kriteria yang dilaporkan oleh tiga atau lebih lokasi pengamatan yang berbeda dan tidak ada objek terang (planet atau lainnya) sehingga meyakinkan sebagai hilal, maka rukyatul hilal tersebut dapat diterima dan digunakan sebagai data baru untuk penyempurnaan kriteria.
Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia yang mendefinisikan "hilal" semestinya merupakan kriteria dinamis yang masih perlu disempurnakan berdasar data-data baru rukyat di Indonesia. Namun, untuk memberikan kepastian, kriteria ini diharapkan bisa berlaku dan bersifat mengikat untuk masa tertentu yang disepakati (misalnya setiap 5 tahun). Dalam hal masih terjadi perbedaan karena masalah penafsiran fiqih dalam beberapa kasus (misalnya, kasus penerapan istikmal pada saat mendung padahal posisi hilal telah memenuhi kriteria dan kasus penentuan Idul Adha yang berbeda hari dengan Arab Saudi) atau ditemukannya rukyatul hilal yang lebih rendah dari kriteria, prinsip ukhuwah islamiyah hendaknya dikedepankan dalam mengatasi masalah ijtihadiyah ini.

Kesimpulan

Energi umat Islam yang telah tersita untuk memperdebatkan masalah hisab rukyat selama ratusan tahun kita cukupkan sampai sekian saja. Masih banyak masalah yang lebih mendesak untuk diselesaikan dalam era globalisasi saat ini, termasuk masalah korupsi, liberalisme, sekularisme, zionisme dan wahabi yang kini mulai dijadikan musuh bersama. Kita fokuskan pemikiran kita dalam masalah hisab rukyat untuk mencari titik temu. Dengan semua perkembangan ini, usaha merumuskan definisi tunggal tentang hilal (di Indonesia) tidaklah laksana punguk merindukan Jupiter(bulan udah pernah masalahnya hehehe).

RENUNGAN QUR'AN

renungan hari ini adalah tentang…
“…berapa banyak waktu yang telah kita luangkan untuk…
membaca serta mempelajari Ayat-Ayat Al Qur’an…
dibandingkan waktu yang kita luangkan untuk kesibukan sehari-hari…?”

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman…
“Qaaf. Demi Al Qur'an yang sangat mulia.”
[QS. 50 – Qaaf : 1]

“Demi Al Qur'an yang penuh hikmah,”
[QS. 36 – Yaasin : 2]

“Inilah ayat-ayat Al Qur'an yang mengandung hikmah,”
[QS. 31 – Lukman : 2]

“Kami tidak menurunkan Al Qur'an ini kepadamu agar kamu menjadi susah;”
[QS. 20 – Thaahaa : 2]

“Kitab (Al Qur'an ini) diturunkan oleh Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
[QS. 39 – Az Zumar : 1]

“Diturunkan Kitab ini (Al Qur'an) dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui,”
[QS. 40 – Al Mukmin : 2]

“Demi Kitab (Al Qur'an) yang menjelaskan,”
[QS. 44 – Ad Dukhaan : 2]

“(Al Qur'an) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.”
[QS. 3 – Ali Imran : 138]

“Dan Al Qur'an itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka ikutilah dia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat,”
[QS. 6 – Al An’aam : 155]

“Apabila kamu membaca Al Qur'an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.”
[QS. 16 – An Nahl : 98]

“Dan apabila dibacakan Al Qur'an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.”
[QS. 7 – Al A’raaf : 204]

“Sesungguhnya Kami mudahkan Al Qur'an itu dengan bahasamu supaya mereka mendapat pelajaran.”
[QS. 44 – Ad Dukhaan : 58]

“Al Qur'an ini adalah pedoman bagi manusia, petunjuk dan rahmat bagi kaum yang meyakini.”
[QS. 45 – Al Jaatsiyah : 20]

“Dan sesungguhnya Al Qur'an itu benar-benar suatu pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.”
[QS. 69 – Al Haqqah : 48]

“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al Qur'an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran…?”
[QS. 54 – Qamar : 17, 22, 32, 40]

“Sesungguhnya telah Kami buatkan bagi manusia dalam Al Qur'an ini setiap macam perumpamaan supaya mereka dapat pelajaran.”
[QS. 39 – Az Zumar : 27]

“Sebenarnya, Al Qur'an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang dzalim.”
[QS. 29 – Al ‘Ankabuut : 49]

“(Al Qur'an) ini adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia, dan supaya mereka diberi peringatan dengannya, dan supaya mereka mengetahui bahwasanya Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan agar orang-orang yang berakal mengambil pelajaran. “
[QS. 14 – Ibrahim : 52]

“Allah menganugrahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur'an dan As Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barang siapa yang dianugrahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).”
[QS. 2 – Al Baqarah : 269]

“Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan sebuah Kitab (Al Qur'an) kepada mereka yang Kami telah menjelaskannya atas dasar pengetahuan Kami; menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.”
[QS. 7 – Al A’raaf : 52]

“Dan Al Qur'an ini adalah suatu kitab (peringatan) yang mempunyai berkah yang telah Kami turunkan. Maka mengapakah kamu mengingkarinya?”
[QS. 21 – Al Anbiyaa’ : 50]

“Dan demikianlah Kami terangkan ayat-ayat Al Qur'an, (supaya jelas jalan orang-orang yang shaleh) dan supaya jelas (pula) jalan orang-orang yang berdosa.”
[QS. 6 – Al An’aam : 55]

“Barang siapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (Al Qur'an), Kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan) maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya.”
[QS. 43 – Az Zukhruf : 36]

“Maka serahkanlah (ya Muhammad) kepada-Ku (urusan) orang-orang yang mendustakan perkataan ini (Al Qur'an). Nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui,”
[QS. 68 – Al Qalam : 44]

“Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka ketahui.”
[QS. 7 – Al A’raaf : 182]

“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami-pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.”
[QS. 6 – Al An’aam : 44]

Sahabat Fillah…
pernahkah kita (terutama diri saya pribadi) merenungi tentang kesibukan kita…?
ternyata tanpa kita sadari bahwa…
kesibukan qt selama ini telah memakan waktu hampir setengah dari usia kita…?

tak jarang bahkan mungkin saja setiap hari…
kita harus berangkat bekerja sejak jam enam pagi…
dan baru sore hari bahkan kebanyakan tengah malam baru tiba dirumah…
itupun dengan kondisi fisik dan pikiran kita yang sudah sangat lelah atau capai…

dan akibat dari kondisi fisik dan fikiran yang kelelahan…
tanpa sadar seringkali membuat kwantitas dan kwalitas kita…
untuk bertaqarrub kepada Allah ikut menurun / merosot dengan sangat drastis…

di antara tanda-tandanya…
banyak yang tidak hadir di masjid untuk melaksanakan shalat fardhu berjama’ah…
dan kebanyakan melaksanakan shalat fardhu di kantor atau di rumah…

Sahabat Fillah…
seringkali dalam mengistirahatkan fisik dan pikiran yang telah lelah…
di isi dengan tidur… menonton TV atau Film… atau pergi ketempat hiburan lainnya…

dan untuk kesegaran ‘Ruhani’ dan dalam ‘pembinaan iman’…
seringkali kita hanya mengandalkan nasehat dalam khutbah Jum'at…
atau pengajian rutin seminggu sekali di tempat kerja…
atau di masjid / di mushola terdekat…
itupun dengan catatan kalau tiba dirumah bisa sore hari dan tidak lelah…

dan tidaklah mengherankan apabila banyak di antaranya yang kesulitan untuk…
membaca mushaf Al-Qur'an beberapa ayat saja…
apalagi membaca beberapa halaman per hari…

Sahabat Fillah…
bagaimana menyiasati problem spiritual seperti ini…?

sebenarnya problem ini mudah diselesaikan…
jika kita memiliki keinginan kuat untuk memperbaiki diri…
dalam meningkatkan kwalitas serta kwantitas iman…
yaitu dengan kemauan untuk merubah pola pikir dan pola hidup kita…

salah satu caranya ialah…
membiasakan diri untuk bertahan di masjid sejenak, setelah shalat wajib…
untuk membaca mushaf Al-Qur'an beberapa ayat saja… atau minimal 1 (satu) halaman…

pada awalnya, hal itu akan terasa berat dan sulit…
karena pikiran kita masih terganggu oleh kesibukan-kesibukan pekerjaan…

seiring dengan perjalanan waktu…
Insya Allah kebiasaan tersebut akan terasa ringan…
dan Insya Allah kita pun akhirnya akan mempunyai rasa…
ada yang kurang bila setelah Sholat tanpa / belum membaca mushaf Al Qur’an…

Sahabat Fillah…
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam memotivasi umatnya termasuk kita semua…
untuk banyak membaca mushaf Al-Qur'an di masjid…

Dari Uqbah bin Amir RA berkata…
"Saat kami sedang duduk-duduk di Shuffah (beranda masjid)…
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam keluar menemui kami…
Beliau Shallallahu alaihi wasallam bertanya…
‘Siapakah di antara kalian yang senang…
apabila ia setiap pagi berangkat ke daerah Buthan atau ke Aqiq…
lalu ia kembali darinya dengan menuntun dua ekor unta besar yang berpunuk tinggi…
tanpa ia melalukan dosa atau memutuskan kekerabatan…?’

Kami menjawab… ‘Wahai Rasulullah… kami semua senang akan hal itu…"

Beliau Shallallahu alaihi wasallam bersabda…
‘Jika begitu… kenapa salah seorang di antara kalian tidak berangkat ke masjid…
lalu ia mempelajari atau membaca dua ayat di masjid…
niscaya dua ayat itu lebih baik dari dua ekor unta…
tiga ayat lebih baik dari tiga ekor unta…
empat ayat lebih baik dari empat ekor unta… dan seterusnya…?’…”
[HR. Muslim no. 803, Abu Daud no. 1456, Ahmad no. 17408…
Ibnu Abi Syaibah no. 30074 dan Ath-Thabarani dalam Al-Mu'jam Al-Kabir no. 799]

Sahabat Fillah…
dengan firman Allah Subhanahu wa ta’ala tersebut diatas…
serta dengan motivasi dari Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam…
“- tidakkah hati kita tergerak untuk membiasakan diri membaca Al-Qur'an…?
‘- tidakkah hati kita tergerak untuk meluangkan waktu guna membaca Al Qur’an…?
(baik di rumah bersama keluarga… atau terutama sekali di masjid setiap harinya…)

Mudah-mudahan bermanfaat…
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh…


Catatan…
Buthan adalah nama sebuah tempat di dekat kota Madinah…
‘Aqiq adalah nama sebuah lembah dekat kota Madinah…
Menurut riwayat, kedua tempat itu merupakan pasar hewan masyarakat Arab di kota Madinah dan sekitarnya…

OTAK & RAMADHAN


Bismillahir-Rahmaanir-Rahim ... Selama sebulan puasa selama Ramadhan, umat Islam jalani runititas sahur, menahan diri dari makan, minum & seks, serta amalan ibadah. Penelitian menunjukkan bahwa pengaturan dan pembatasan asupan kalori meningkatkan kinerja otak. Subhanallah, puasa Ramadhan terbukti bermanfaat untuk membentuk struktur otak baru dan merelaksasi sistem saraf.

Otak merekam kegiatan yang dilakukan secara simultan. Begitu juga dengan aktivitas puasa. Selama satu bulan, tubuh diajak menjalani rutinitas sahur, menahan diri dari makan, minum, dan seks, kemudian berbuka di petang hari serta menjalankan ibadah Ramadan lainnya.

Berpuasa menjadi bagian dari perintah agama. Sementara itu agama dan spiritualitas merupakan bentuk perilaku manusia yang dikontrol otak. Ketua Centre for Neuroscience, Health, and Spirituality (C-NET) Doktor Taufiq Pasiak mengatakan bahwa puasa menjadi latihan mental yang berkaitan dengan sifat otak, yakni neuroplastisitas. “Sel-sel otak dapat mengalami regenerasi dan membentuk hubungan struktural yang baru, salah satunya karena latihan mental yang terus-menerus,” kata Taufik.

Bahasa awamnya, kata dia, apabila seseorang melakukan perbuatan baik secara terus-menerus, struktur otaknya akan berubah. Waktu yang dibutuhkan untuk mengubah sel saraf itu minimal 21 hari. Menurut Taufik, puasa adalah latihan mental yang menggunakan perantara latihan menahan kebutuhan fisik (makan, minum, seks).

Selain membentuk struktur otak baru, Taufik menjelaskan bahwa puasa merelaksasi sistem saraf, terutama otak. Tetapi ada perbedaan mendasar antara relaksasi sistem pencernaan dan sistem saraf. Selama puasa, sistem pencernaan benar-benar beristirahat selama sekitar 14 jam, sementara di dalam otak orang yang berpuasa justru terjadi pengelolaan informasi yang banyak.

Contohnya, kata dia, otak dapat mengingat dengan baik di saat tenang dan rileks. Ketika tidur, biasanya orang bermimpi. Kenapa? Karena di waktu ini otak hanya menerima dan mengelola informasi yang berasal dari dalam dirinya.

Di dalam Al-Quran, menurut Taufik, ada istilah an-nafsul-muthmainah (jiwa yang tenang) karena memang dalam suasana tenang orang dapat berpikir dengan baik dan memiliki kepekaan hati yang tajam. “Ketenangan membuat kita tidak reaktif menghadapi permasalahan,” katanya.

Luqman Al-Hakim pernah menasihati anaknya, “Wahai anakku, apabila perut dipenuhi makanan, maka gelaplah pikiran, bisulah lidah dari menuturkan hikmah (kebijaksanaan), dan malaslah segala anggota badan untuk beribadah.”

Otak terdiri atas triliunan sel yang terhubung satu dengan lainnya. Di dalamnya bisa disimpan 1 miliar bit memori atau ingatan. Ini sama dengan informasi dari 500 set ensiklopedia lengkap.

Di dalam otak, ada sel yang disebut sebagai neuroglial cells. Fungsinya sebagai pembersih otak. Saat berpuasa, sel-sel neuron yang mati atau sakit akan ‘dimakan’ oleh sel-sel neuroglial ini. Fisikawan Albert Einstein dikenal sebagai orang yang suka berpuasa. Ketika mendonasikan tubuhnya, para ilmuwan menemukan sel-sel neuroglial di dalam otak Einstein 73 persen lebih banyak ketimbang orang kebanyakan.

Sebuah penelitian yang dilakukan John Rately, seorang psikiater dari Universitas Harvard, Amerika Serikat, menunjukkan bahwa pengaturan dan pembatasan asupan kalori meningkatkan kinerja otak. Dengan alat functional Magnetic Resonance Imaging (fMRI), Rately memantau kondisi otak mereka yang berpuasa dan yang tidak. Hasilnya, orang yang shaum memiliki aktivitas motor korteks yang meningkat secara konsisten dan signifikan.

Taufik mengatakan bahwa puasa adalah salah satu bentuk tazkiyatun nafs (menumbuhkan nafsu) dan tarbiyatun iradah (mendidik kehendak). Karena itu, sejak niat puasa, perilaku selama berpuasa dan ritual-ritualnya berada dalam konteks memperbaiki nafsu, menumbuhkan, kemudian mengelola kemauan-kemauan manusia. [taz/tin]

PENGALAMAN PENGANTIN

1. Pertengkaran hebat pertama kali
Anda mungkin pernah bertengkar sebelumnya, namun Anda mungkin akan menyadari bahwa pertengkaran ini berbeda dari biasanya. Lebih intens. Belajarlah dari kesalahan tersebut, jika Anda ingin pernikahan Anda langgeng, maka belajarlah untuk bertengkar lebih produktif lain kali.

Hindari kata-kata berbahaya seperti “Kamu selalu...” dan “Kamu tidak pernah...” dan mengungkit masalah lama hanya untuk membuat pasangan Anda terlihat lemah. Beri waktu sebentar untuk jaga jarak satu sama lain, tenangkan diri Anda, dan katakan pada pasangan Anda bahwa Anda mencintainya, benci bertengkar dan Anda menyesal telah menyakitinya.

2. Berkumpul pertama kali dengan teman-teman setelah menikah

Anda harus memaklumi bahwa mungkin saja teman Anda belum biasa dengan status baru Anda. Beberapa dari teman-teman Anda mungkin terpacu untuk segera menikah juga atau yang lain merasa cemburu akan “kehidupan sempurna” Anda. Sahabat terbaik Anda hanya ingin tahu Anda tidak benar-benar berubah dan kebahagiaan Anda bukanlah ancaman untuk mereka.

Jadi ketika Anda berpesta bersama dengan teman-teman wanita Anda, tunjukkan bahwa Anda masih menyenangkan. Jangan terus-terusan berbicara tentang seberapa harmonis pernikahan Anda atau sok-sokan menasihati teman lajang Anda bahwa dia pasti akan segera menyusul Anda untuk menjadi pengantin.

3. Belanja besar pertama

Sebelum Anda dan pasangan membeli hal yang besar, Anda berdua harus yakin 100 persen akan keadaan finansial Anda. Anda mungkin akan menggebu-gebu dalam mewujudkan pembelian tersebut, sementara suami Anda mungkin sedikit lama dan banyak pertimbangan. Temukan jalan tengah dan Anda akan mendapatkan pelajaran penting dalam soal anggaran dan bekerja sama untuk mewujudkan tujuan bersama.

Meskipun ini terdengar tidak menyenangkan, tugas seperti mengecat kamar, memilih perabot rumah tangga dan menerapkan etika dalam memakai peralatan rumah tangga dapat menjadi sangat menyenangkan. Karena dengan itu, Anda membangun sebuah rumah bersama.

4. Masalah pertama dengan keluarga si dia

Jika Anda terlalu mempertahankan diri ketika mereka menyerang Anda, pasangan Anda mungkin akan marah dengan menuduh Anda terlalu sensitif, tidak menghargai mereka dan sebagainya. Menghindari acara pesta dan makan malam keluarga juga tidak akan berhasil, karena itulah yang diinginkan oleh orang-orang yang kejam, untuk memecah belah.

Setelah konflik tersebut beres, jelaskan padanya bahwa Anda ingin memiliki hubungan yang dekat dengan keluarganya karena mereka berharga untuk pasangan Anda dan Anda membutuhkan dukungan darinya untuk mewujudkan hal tersebut.

Anggaplah Anda memberikan hadiah untuk pasangan Anda dengan bersikap tulus dan hangat ketika Anda sedang bersama dengan keluarganya.

5. Pertama kali ditanyakan “Kapan punya anak?”
Anggaplah bahwa pertanyaan tersebut merupakan doa untuk kebahagiaan Anda dan sebuah pujian bahwa orang yang menanyakan tersebut menganggap Anda sudah pantas untuk menjadi orangtua.

Jangan membuatnya jadi masalah dengan bereaksi berlebihan pada topik itu, tanggapi semua tekanan dan penilaian tersebut dengan mencerminkan perasaan Anda tentang ide untuk memiliki anak.

Kesalahan yang sering terjadi pada pengantin baru adalah mereka terlalu berpikiran jauh menanggapi pertanyaan seperti itu. Katakan saja “Kami belum sampai ke tahap itu sekarang, namun kamu akan segera tahu setelah kami memiliki anak!” Kemudian beralihlah ke topik pembicaraan yang lainnya.

6. Pertama kali menjadi tuan rumah pesta

Bersenang-senanglah! Jangan menghancurkannya dengan membuat diri Anda merasa terlalu terbebani, menangis karena Anda tidak dapat menemukan bahan makanan yang dibutuhkan di supermarket atau bangun pagi hari hanya untuk mempersiapkan serbet. Bersiap-siaplah bahwa beberapa hal akan berjalan tidak sesuai rencana dan Anda harus menerimanya.

Gelarlah pesta pertama Anda dalam skala yang kecil, dengan hanya mengundang sekitar 6-8 tamu. Tamu yang sedikit membuat Anda lebih santai, dapat ikut bersenang-senang di pesta tersebut dan sekaligus menjadi tuan rumah pesta yang baik.

7. Wanita penggoda di pesta pertama kali yang Anda hadapi

Pertama kali seorang wanita menggoda pasangan Anda, tersenyumlah pada pasangan Anda dan katakan “Aku tidak bisa menyalahkan wanita itu karena kamu pria terseksi di ruangan ini.” Dengan begitu Anda meningkatkan egonya dan wanita tersebut juga secara tidak langsung menolong Anda. Suami Anda akan menyukainya karena Anda yakin pada kesetiaannya pada Anda.

Jangan bersikap berlebihan, kecuali si dia memberikan nomor teleponnya untuk wanita tersebut.

8. Membuat tradisi berdua pertama kali
Hormati tradisi yang sudah ada yang diteruskan dari keluarga Anda dan pasangan (terutama Hari Raya) dan ciptakan sebuah tradisi baru buatan Anda berdua. Pilih dua atau tiga tradisi yang menurut Anda berdua menarik, untuk tetap dilakukan.

Tradisi ciptaan Anda tidak perlu besar, seperti memperbarui janji pernikahan setiap enam bulan. Tradisi tersebut dapat dimulai dengan yang kecil seperti memilih ornamen Hari Raya yang mencerminkan petualangan atau tujuan terbesar Anda tahun ini.

9. Liburan Hari Raya terpisah pertama kali
Mungkin orangtua atau kakek-nenek pasangan sedang sakit, atau adik Anda baru saja melahirkan. Kepentingan keluarga tersebut tidak perlu menjadi masalah untuk menentukan “siapa” yang harus didahulukan.

Maklumi saja bahwa seseorang mungkin tidak akan begitu senang dengan perubahan tradisi keluarga, jadi bersiaplah untuk menghadapi orang yang ketus dari pihak keluarga pasangan. Jangan biarkan hal tersebut membayangi kepentingan perayaan hari raya pertama Anda sebagai pasangan.

10. Pertama kali Anda merasa takut pada pernikahan

Dalam sebuah pernikahan yang harmonis, Anda akan merasa enteng mengatakan “Aku tidak tahu bagaimana aku jadinya jika aku kehilangan kami.” Pastikan Anda menghormati satu sama lain, bersenang-senang bersama dan terus berupaya untuk memperkuat pernikahan Anda.

Jika rasa panik tidak juga menghilang, dan Anda menguji kadar cinta pasangan Anda dengan memicu pertengkaran, berkonsultasilah dengan penasihat pernikahan ternama dan bereputasi bagus yang dapat membantu Anda untuk menemukan apa yang sedang terjadi pada hubungan Anda.

SIAP MENIKAH

Semua orang pengen nikah dan menjadikannya pernikahan sekali seumur hidup...
ga perlu tergesa2, semua membutuhkan pemikiran dan persiapan yang matang (baik moril dan materil)... jika memang belum siap menikah sebaiknya jangan dulu memutuskan utk menikah, cuma karena rasa malu tiap kali ditanya "kapan nikah ?", iri liat temen2 sebaya sudah menikah, etc...

Ketika semua teman Anda mulai menikah, selain merasa turut berbahagia untuk pasangan tersebut, akan mudah bagi Anda untuk merasa iri. Jika pasangan Anda belum juga melamar, godaan tersebut akan menyebabkan timbulnya masalah.

Tetapi meletakkan masalah ke tangan Anda sendiri adalah hal berbahaya. Tidak ada gunanya menikah jika pasangan Anda tidak siap atau hubungan yang Anda bina itu tidak baik. Untuk membantu menghindari masalah perkawinan, berikut adalah 10 tanda Anda terlalu terburu-buru memutuskan menikah.

Anda membanding-bandingkan diri dengan pasangan lain
Ketika pasangan lain yang belum terlalu lama menjalin hubungan memutuskan untuk menikah, hal ini dapat membuat Anda merasa untuk perlu cepat-cepat menikah juga. Perbandingan semacam itu tidak berarti Anda harus terburu-buru menikah. Ingat, menikah bukanlah perlombaan. Ujian sebenarnya dari sebuah hubungan adalah bukan seberapa cepat orang menikah tapi berapa lama mereka dapat mengarungi bahtera rumah tangga setelah itu.

Menghindari berbicara tentang masa depan
Jika pasangan Anda mengelak tentang masalah pernikahan, terus menekannya tidak akan membantu menyelesaikan masalah. Ia mungkin akan enggan melakukannya sama sekali jika Anda menekannya. Mengubah subjek pembicaraan, membelokkan pertanyaan dan kurangnya antusiasme adalah tanda-tanda seseorang yang didorong terlalu jauh dan terlalu cepat untuk menikah.

Pernikahan tidak praktis
Tidak hanya pernikahan yang membutuhkan biaya, cincin pertunangan juga. Tidak ada gunanya memberikan cincin pertunangan jika Anda dan pasangan Anda mengalami masalah keuangan. Menekan mereka untuk berlutut melamar Anda hanya akan menghasilkan stres dan ketegangan. Tunggu sampai Anda benar-benar siap untuk menikah sebelum berbicara tentang lonceng pernikahan.

Anda lebih ingin upacara pernikahan daripada hubungan pernikahan itu sendiri
Menikah, tidak diragukan lagi memang menyenangkan: Anda terlihat menakjubkan, Anda menjadi pusat perhatian, Anda akan mendapatkan pujian dan hadiah. Tapi ingatlah pernikahan adalah untuk seumur hidup Anda, bukan hanya sehari. Jika Anda lebih menyukai upacara pernikahan daripada hubungan itu sendiri, maka Anda jelas tidak siap untuk menikah.

Anda terlalu tergila-gila merencanakan pernikahan
Apakah Anda merasa sulit untuk tidak memikirkan pernikahan Anda, meskipun tidak pernah ditanyai tentang masalah pernikahan? Jika pikiran Anda terus melayang merencanakan tentang berat tubuh ideal yang harus Anda capai saat menikah nanti maka Anda perlu mengambil napas dalam-dalam dan mencari hobi yang baru.

Anda menyalurkan keinginan orang lain
Menekan kekasih Anda untuk segera menikahi Anda saja sudah cukup buruk, namun membujuk mereka berjalan menyusuri altar hanya demi menyenangkan orang lain itu jauh lebih buruk. Ingat ini bukan masalah soal ibu, nenek, sahabat atau tetangga sebelah Anda yang menganggap sudah saatnya Anda untuk menikah. Perasaan Anda dan pasangan Anda yang lebih penting.

Anda belum pernah mendiskusikan pertanyaan besar tentang pernikahan
Jika Anda membangun kehidupan dengan seseorang, Anda hanya dapat berhasil melakukannya jika Anda memiliki tujuan yang sama. Jika Anda menikah namun baru mengetahui bahwa pasangan Anda tidak setuju pada suatu pemikiran Anda yang mendasar bisa menjadi bencana dalam kehidupan pernikahan. Jika Anda belum membahas isu-isu besar seperti anak-anak dan di mana Anda akan tinggal, maka jelas terlalu dini untuk memutuskan menikah.

Pernikahan bukanlah prioritas
Jika pasangan Anda belum siap menikah, itu tidak selalu berarti kegagalan total. Mungkin ada alasan yang baik untuk menunggu, mungkin mengejar karier terlebih dahulu adalah ide yang lebih baik. Jika keadaannya seperti itu, bersiaplah membicarakan hal itu, menciptakan dasar yang kokoh untuk kehidupan pernikahan bukanlah ide yang buruk dan mungkin akan menggambarkan seberapa serius pasangan Anda ingin menjalin pernikahan dengan Anda.

Anda memaksakan masalah
Fakta Anda mencoba untuk menjadi penanggungjawab penuh pernikahan adalah sama sekali bukan pertanda baik. Hubungan yang terbaik dan paling sukses adalah hubungan yang memerlukan sedikit usaha. Ini mungkin klise tapi benar adanya. Tekanan apapun pada pasangan Anda mungkin terlalu berat. Jika itu memang sudah takdirnya terjadi, maka itu akan terjadi.

Anda tidak harus menikah

Hubungan modern menawarkan kebebasan yang jauh lebih banyak daripada di masa lalu, ketika pernikahan adalah suatu keharusan untuk hidup bersama. Sekarang ini mungkin ada tuntutan lain daripada hal tersebut untuk menjalin hubungan jangka panjang. Tanyakan pada diri Anda apakah Anda benar-benar harus menikah. Apakah pernikahan akan memperkuat hubungan Anda atau itu hanya akan menyebabkan stres dan beban? Jika jawabannya adalah yang terakhir, mungkin Anda harus mempertimbangkan untuk tidak menikah, setidaknya untuk saat ini.
Shered by http://id.she.yahoo.com

Rabu, 18 Juli 2012

WUJUD SHOLAT

Bismillahir-Rahmaanir-Rahim ... 

Ali bin Abi Talib r.a. berkata, “Sewaktu Rasullullah SAW duduk bersama para sahabat Muhajirin dan Ansar, maka dengan tiba-tiba datanglah satu rombongan orang-orang Yahudi lalu berkata, ‘Ya Muhammad, kami hendak bertanya kepada kamu kalimat-kalimat yang telah diberikan oleh Allah kepada Nabi Musa A.S. yang tidak diberikan kecuali kepada para Nabi utusan Allah atau malaikat muqarrab.’

Lalu Rasullullah SAW bersabda, ‘Silahkan bertanya.’

Berkata orang Yahudi, ‘Coba terangkan kepada kami tentang 5 waktu yang diwajibkan oleh Allah ke atas umatmu.’

Sabda Rasullullah saw, ‘Shalat Zuhur jika tergelincir matahari, maka bertasbihlah segala sesuatu kepada Tuhannya. Shalat Asar itu ialah saat ketika Nabi Adam a.s. memakan buah khuldi. Shalat Maghrib itu adalah saat Allah menerima taubat Nabi Adam a.s. Maka setiap mukmin yang bershalat Maghrib dengan ikhlas dan kemudian dia berdoa meminta sesuatu pada Allah maka pasti Allah akan mengkabulkan permintaannya. Shalat Isya itu ialah shalat yang dikerjakan oleh para Rasul sebelumku. Shalat Subuh adalah sebelum terbit matahari. Ini kerana apabila matahari terbit, terbitnya di antara dua tanduk syaitan dan di situ sujudnya setiap orang kafir.’

Setelah orang Yahudi mendengar penjelasan dari Rasullullah saw, lalu mereka berkata, ‘Memang benar apa yang kamu katakan itu Muhammad. Katakanlah kepada kami apakah pahala yang akan diperoleh oleh orang yang shalat.’

Rasullullah SAW bersabda, ‘Jagalah waktu-waktu shalat terutama shalat yang pertengahan. Shalat Zuhur, pada saat itu nyalanya neraka Jahanam. Orang-orang mukmin yang mengerjakan shalat pada ketika itu akan diharamkan ke atasnya uap api neraka Jahanam pada hari Kiamat.’

Sabda Rasullullah saw lagi, ‘Manakala shalat Asar, adalah saat di mana Nabi Adam a.s. memakan buah khuldi. Orang-orang mukmin yang mengerjakan shalat Asar akan diampunkan dosanya seperti bayi yang baru lahir.’

Selepas itu Rasullullah saw membaca ayat yang bermaksud, ‘Jagalah waktu-waktu shalat terutama sekali shalat yang pertengahan. Shalat Maghrib itu adalah saat di mana taubat Nabi Adam a.s. diterima. Seorang mukmin yang ikhlas mengerjakan shalat Maghrib kemudian meminta sesuatu daripada Allah, maka Allah akan perkenankan.’

Sabda Rasullullah saw, ‘Shalat Isya’ (atamah). Katakan kubur itu adalah sangat gelap dan begitu juga pada hari Kiamat, maka seorang mukmin yang berjalan dalam malam yang gelap untuk pergi menunaikan shalat Isyak berjamaah, Allah S.W.T haramkan dirinya daripada terkena nyala api neraka dan diberikan kepadanya cahaya untuk menyeberangi Titian Sirath.’

Sabda Rasullullah saw seterusnya, ‘Shalat Subuh pula, seseorang mukmin yang mengerjakan shalat Subuh selama 40 hari secara berjamaah, diberikan kepadanya oleh Allah S.W.T dua kebebasan yaitu:

1. Dibebaskan daripada api neraka.
2. Dibebaskan dari nifaq.

Setelah orang Yahudi mendengar penjelasan daripada Rasullullah saw, maka mereka berkata, ‘Memang benarlah apa yang kamu katakan itu wahai Muhammad (saw). Kini katakan pula kepada kami semua, kenapakah Allah S.W.T mewajibkan puasa 30 hari ke atas umatmu?’

Sabda Rasullullah saw, ‘Ketika Nabi Adam memakan buah pohon khuldi yang dilarang, lalu makanan itu tersangkut dalam perut Nabi Adam a.s. selama 30 hari. Kemudian Allah S.W.T mewajibkan ke atas keturunan Adam a.s. berlapar selama 30 hari.

Sementara diizin makan di waktu malam itu adalah sebagai kurnia Allah S.W.T kepada makhluk-Nya.’

Kata orang Yahudi lagi, ‘Wahai Muhammad, memang benarlah apa yang kamu katakan itu. Kini terangkan kepada kami mengenai ganjaran pahala yang diperolehi daripada berpuasa itu.’

Sabda Rasullullah saw, ‘Seorang hamba yang berpuasa dalam bulan Ramadhan dengan ikhlas kepada Allah S.W.T, dia akan diberikan oleh Allah S.W.T 7 perkara:

1. Akan dicairkan daging haram yang tumbuh dari badannya (daging yang tumbuh daripada makanan yang haram).
2. Rahmat Allah sentiasa dekat dengannya.
3. Diberi oleh Allah sebaik-baik amal.
4. Dijauhkan daripada merasa lapar dan dahaga.
5. Diringankan baginya siksa kubur (siksa yang amat mengerikan).
6. Diberikan cahaya oleh Allah S.W.T pada hari Kiamat untuk menyeberang Titian Sirath.
7. Allah S.W.T akan memberinya kemudian di syurga.’

Kata orang Yahudi, ‘Benar apa yang kamu katakan itu Muhammad. Katakan kepada kami kelebihanmu di antara semua para nabi.’

Sabda Rasullullah saw, ‘Seorang nabi menggunakan doa mustajabnya untuk membinasakan umatnya, tetapi saya tetap menyimpankan doa saya (untuk saya gunakan memberi syafaat kepada umat saya di hari kiamat).’

Kata orang Yahudi, ‘Benar apa yang kamu katakan itu Muhammad. Kini kami mengakui dengan ucapan Asyhadu Alla illaha illallah, wa annaka Rasulullah (kami percaya bahawa tiada Tuhan melainkan Allah dan engkau utusan Allah).’

Sedikit peringatan untuk kita semua: “Dan sesungguhnya akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berilah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (Surah Al-Baqarah: ayat 155)

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.” (Surah Al-Baqarah: ayat 286)

Wallahu A'lam bishawab ..

Jumat, 13 Juli 2012

KEUTAMAAN BERDOA


KEUTAMAAN DARI PADA BERDO'A

1.menentramkan jiwa, dan menenangkan hati.
Firman Allah dalam surat ar ra'ad;28
ketahuilah bahwa dengan mengingat Allah hati menjadi tenang

2.sebagai pembuka pintu rahmat
rasul bersabda; doa adalah anak kunci dari pada pintu rahma.
riwayat imam ad dailani.

3.doa amat disukai allah, barang siapa senantiasa berdoa, maka allah mengasihi

4.sebagai pelindung dari godaan sysiton, dan dapat memperkuat keimanan

5.doa merupakan penghubung ibu,bapak, dan anak.
sabda rasul; 3 doa yang cepat dikabulkan oleh allah dan tidak ada hijab padanya
— doa orang yang teraniaya
— doa orang musafir
— doa orang tua terhadap anak (riwayat imam abu daud dan inam turmudzi)

6.doa merupakan obat dari penyakit hati seperti yang telah tertuang dalam surat yunus;57
 
ALLAHUMMA LAA SAHLA ILLAA MAA JA'ALTAHU SAHLAAN WA ANTA YAJ'ALUL HUZNA IDZA SYI'TA SAHLAAN
"ya allah tidak ada kemudahan kecuali sesuatu yang Engkau mudahkan, Engkau menjadikan kedudukan itu mudah sekiranya Engkae kehendaki

wabillahi taufik wal hidayah

WANITA CERAI

wanita yang meminya cerai tanpa sebab yang syar'i, maka haram baginya mencium wanginya sorga (HR Abu Daud & Ath-Thirmidzi)

perempuan yang menimggal dunia dalam keadaan suaminya ridho padanya, maka dia akan masuk sorga (HR Ath-thirmidzi)

telah datang zaenab yang bergelar khatibatin nisa lalu berkata "aku telah diutus oleh kaum wanita kepada engkau, jihad yang diwajibkan Allah atas kaum lelaki adalah jika mereka luka paraj mereka akan mendapat pahala dan jika gugur mereka ada disisi Tuhannya. manakala kami kaum wanita sering membantu mereka maka apakah sama balasan bagi kami atas semua itu? Rosul bersabda; sampaikanlah kepada siapa saja yang engkau temui daripada kaum wanita bahwasanya TAAT KEPADA SUAMI SERTA MENGAKUI HAKNYA SUAMI ADALAH MENYAMSI PAHALA ORANG YANG BERJIHAD DIJALAN ALLAH, TAPI SANGAT SEDIKIT DARIPADA GOLONGAN KAMU YANG DAPAT MELAKUKANNYA (HR Al Bazzar dan Ath-Thabbrani)

nabi pernah bersabda; apabila seorang wanita ridho atas kehamilannya dari suami yang sah, sesungguhnya dia mendapat pahala seperti ibadah puasa dan ibadah yang lain dijalan Allah, dan rasa berat, letih, dan lesu yang dirasakan tidaklah dapat dibayangkan oleh penghuni langit dan bumi, betapa kesengannya oleh Allah di akirat nanti. apabila anaknya lahir, maka daei setiap teguk air susu yang dihisap oleh anak, si ibu mendapat kebajikan pahala, apabila ibu berjaga malam karena menjaga anak, maka baginya ganjaran pahala seperti memerdrekakan 70 hamba sahaya. (HR ibn hibban)

sabda rasul; sesungguhnya hak suami terhadap istri sangatlah besar, sehinngga apabila mengalir darah atau nanah, lalu dijilat istrinya, masih belum terbayar hak suaminya itu. dan jika sekiranya manusi DIBOLEHKAN SUJUD KEPADA MANUSIA, NISCAYA AKU PERINTAHKAN ISTRI UNTUK SUJUD KEPADA SUAMINYA (HR Al Hakim)

itulah beberapa hadits yang menjelaskan tentang urusan dalam berumsAh tannga, semoga bermanfaat bagi para pembaca. dan masih banyak hadits yang lain yang belum disampekan dalam kutipan ini.
WALLAHU'ALAM BISHOWAB


KAROMAH TAWADHU

Kalau kau tak sanggup menjadi cemara yang kokoh di puncak bukit ...jadilah saja belukar yang teguh di tepi jurang...Belukar itu senantiasa istiqomah dalam perjuangannya untuk hidup.ia belajar dari kesehariannya untuk mendewasakan batangnya,batangnya yang menyanggahnya untuk tidak masuk ke dalam jurang...

Ternyata untuk menjadi belukar saja itu tidak mudah..!!!Belukar harus ikhlas agar ia tak iri pada cemara...Belukar harus tawadhu agar ia tak sombong pada rumput...Belukar tetap belukar sampai ia bisa berjumpa dengan Penciptanya...

Kalau kau tak sanggup jadi belukar...jadilah saja rumput,tetapi rumput yang senantiasa memperkuat pinggiran jalan...Kalau engkau tak sanggup menjadi langit...jadilah saja bumi,tetapi bumi yang setia dan ikhlas untuk dipijaki oleh setiap manusia.Tidak semua insan sanggup berbuat seperti pengemis yang tawadhu',...izzah'nya tinggi walau orang lain merendahkannya...karena ia mempunyai HATI sehingga dekat dengan sang Robbi...

Rasulullah Sallallahu 'alaihi Wasallam bersabda,"Sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku agar kalian rendah hati hingga
tidak ada seorangpun yang berbuat jahat atas yang lain dan tidak berbangga satu orang atas yang lain." (HR Abu Daud).

Allah Azza Wa Jalla memberikan jaminan kepada orang-orang yang rendah hati untuk mengangkat derajatnya,meneguhkan posisinya,meningkatkan kedudukannya.Ini semua tak lebih karena dalam rendah hati itu ada kasih yang bergelora pada orang lain,ada cinta yang membahana pada mereka sehingga dia beranggapan bahwa tidaklah pantas dirinya menganggap orang lain lebih tidak berharga,lebih rendah dan tak bermakna.

Dalam sebuah hadis Rasulullah Sallallahu'alaihi Wasallam bersabda,"Tidaklah ada dalam tawadhu itu kecuali akan mengangkat derajat seorang hamba.Maka,rendah hatilah niscaya Allah akan mengangkat derajat kalian."(HR Ad-Dailami).

"Barang siapa rendah hati karena Allah,Allah akan angkat(kedudukannya)."(HR Ahmad dan Ibnu Majah).

Dan ALLAH Azza Wa Jalla .Berfirman :Dan,Allah tentu akan memperlakukan orang yang berlaku sebaliknya,yang sombong akan Allah rendahkan derajatnya sebagaimana yang menimpa iblis yang durhaka pada Tuhannya."Dan (ingatlah),tatkala Kami berfirman kepada para malaikat,'Sujudlah kamu semua kepada Adam',lalu mereka sujud kecuali iblis.dia berkata,'Apakah aku akan sujud kepada orang yang Engkau ciptakan dari tanah'?"(QS Al-Isra 17: 61).

Rendah hati adalah mahkota orang-orang Sholeh..hiasan diri kaum
mukmin sejati.Rendah hati adalah obat yang menyembuhkan kesombongan dan mematikan keangkuhan, mengerdilkan ketakaburan.Tak banyak orang yang mampu berlaku rendah hati karena ia memang sifat mulia yang hanya bisa dimiliki oleh orang-orang mulia, ia sikap terhormat yang hanya pantas disandang pada pundak orang-orang terhormat pula...
wALLAHU 'aLAM BISHOWAB..

Rabu, 11 Juli 2012

BIAYA NIKAH

Tarif Biaya Nikah sesuai PP no. 47 Tahun 2004

Biaya Pencatatan Nikah-Rujuk di Kantor Urusan Agama sesuai PP. No. 47 Tahun 2004 tentang Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Agama adalah sebesar Rp. 30.000,- (tiga puluh ribu rupiah).

Bagi warga negara yang tidak mampu dapat dibebaskan dari kewajiban pembayaran tarif pencatatan nikah dan rujuk.

LAMPIRAN
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR: 47 TAHUN 2004
TANGGAL: 18 OKTOBER 2004

       

II.  PENERIMAAN DARI KANTOR URUSAN

     AGAMA KECAMATAN

     Biaya Pencatatan Nikah          Per peristiwa      30.000,00

     dan Rujuk

Selasa, 10 Juli 2012

CARA MELAMAR ISLAMI

Beberapa cara melamar menurut ajaran Islam. 

Di dalam sunnah terdapat beberapa cara mengkhitbah akhwat/ wanita, di antaranya :

1. Lamaran melalui fihak keluarga wanita, ”Dari Urwah bahwa nabi saw melamar Aisyah kepada Abu Bakar, lalu Abu Bakar berkata, ”ssungguhnya aku adalah saudaramu.” Nabi menjawab, ”Engkau adalah saudaraku dalam agama Allah dan kitabNya dan dia halal bagiku.” (HR Bukhori)

2. Meminang dengan berbicara langsung kepada si wanita. Dalam kitab-kitab fiqh hal ini diistilahkan dengan: ”meminang wanita dewasa langsung kepada yang bersangkutan sendiri.’ Contoh peristiwa ini adalah saat Anas bin Malik menceritakan proses khitbah ibunya, ”Abu Thalhah melamar Ummu Sulaim, lalu Ummu Sulaim berkata, ”Demi Allah, orang yang sepertimu ini tidak patut ditolak, wahai Abu Thalhah. Tetapi engkau orangkafir sedang aku wanita muslimah, dan aku tidak halal kawin denganmu.Jika engkau mau masuk Islam, maka yang demikian itu sudah cukup sebagai maskawinku, dan aku tidak meminta yang lain lagi kepadamu...” (HR Nasai)

3. Orang tua si wanita atau kerabatnya menawarkan kepada orang-orang yang mereka ridhai Akhlak dan agamanya. Contoh peristiwa ini adalah saat Umar bin Khattob menawarkan Hafshah, putrinya yang menjadi janda karena suaminya Khunais bin Khudzafah as Sahmi wafat di Madinah. Ia menawarkannya kepada Utsman bin Affan, lalu karena Utsman menolah, ia tawarkan ke Abu Bakar. Mereka berdua menolak karena telah melihat isyarat bahwa Rasulullah menginginkannya.

4. Pihak laki- laki melamar wanita melalui pemuka masyarakat, guru ngaji atau tokoh. Rasulullah SAW pernah menjadi perantara di mana beliau mengutus seorang shahabat datang kepada keluarga wanita untuk melamar putrinya, dan lamaran ini atas saran beliau SAW.

5. Wanita menawarkan dirinya kepada laki-laki yang shalih, Anas berkata, ”Seorang wanita datang kepada Rasulullah saw menawarkan dirinya secara langsung seraya berkata, ”Wahai Rasulullah, apakah engkau berhasrat kepadaku?”

Carad diatas berdasarkan dalil yang pernah terjadi dizaman Nabi SAW, terusik bagaimana mengakutualisasikannya hingga berbeda pandanganya..
waAllahhu 'Alam bishowab