Aasslamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
alhamdulillah, semoga sehat wal afyah senantiasa tercurahkan dalam kehidupan kita ini, dan kecintaan kepada Nabi Muhammad akan menjadikan rindu kepada kebaikan selalu,Amin
alhamdulillah, semoga sehat wal afyah senantiasa tercurahkan dalam kehidupan kita ini, dan kecintaan kepada Nabi Muhammad akan menjadikan rindu kepada kebaikan selalu,Amin
Penjelasan sedikit lebih kurang tentang sunni dan syiah:
PENGERTIAN SUNNI-SYIAH
Sunni
adalah kependekan dari Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah atau Ahlus-Sunnah
wal Jama’ah atau kadang juga lebih sering disingkat Ahlul-Sunnah saja.
Istilah ini memiliki pengertian sebagai kumpulan dari orang-orang yang
menganut sunnah Nabi Muhammad Saw seperti yang sudah dilakukan oleh
kelompok para sahabat dimasa lalu. Dalam prosesnya, istilah tersebut
identik dengan manhaj atau madzhab para sahabat Rasul.
Syiah berarti pembela.
Dalam hal ini maksudnya adalah pembela keluarga atau Ahli Bait Nabi Muhammad.
Ini mengacu pada sekelompok orang yang menjadikan dirinya selaku pembela para keluarga Nabi Muhammad dari dinasti Fatimah dan Ali bin Abi Thalib atas kezaliman dinasti Muawiyah.
Dalam hal ini maksudnya adalah pembela keluarga atau Ahli Bait Nabi Muhammad.
Ini mengacu pada sekelompok orang yang menjadikan dirinya selaku pembela para keluarga Nabi Muhammad dari dinasti Fatimah dan Ali bin Abi Thalib atas kezaliman dinasti Muawiyah.
Pada proses perjalanan waktu,
kelompok ini membentuk madzhab atau komunitas tersendiri. Sama seperti
halnya kaum Sunni. Mereka justru membuat agama menjadi parsial, sesuai
dengan kelompok mereka masing-masing.
Tidak ada yang salah dengan
kedua istilah tersebut, Syiah dan Sunni merupakan istilah yang terbentuk
setelah ajaran Islam selesai diwahyukan, keduanya pada dasarnya
merupakan polarisasi pemahaman yang berawal dari pemilihan pemimpin umat
Islam pasca kematian Nabi yang akhirnya meluas sampai pada tingkat
penyelewengan dimasing-masing pemahaman oleh generasi-generasi
sesudahnya.
Sudah sampai saatnya masing-masing kita melakukan
koreksi diri terhadap apa yang selama ini terdoktrinisasi, bahwa
pelurusan sejarah serta pentaklidan buta sudah saatnya dilakukan.
Isyu perpecahan didalam Islam memang bukan hal yang baru dan rasanya ini sesuatu yang wajar karena setiap orang bisa memahami ajaran Islam dari sudut pandang keilmuan yang berbeda, apalagi Islam mencakup pengajaran semua bangsa dan daerah yang masing-masingnya memiliki corak budaya, tradisi serta situasi yang beraneka ragam sebagai salah satu sifat universalismenya.
Semua perbedaan tersebut seharusnya tidak
dijadikan sekat dalam mengembangkan rasa kebersaudaraan dan toleransi
beragama, sebagaimana sabda Nabi sendiri bahwa umat Islam itu bagaikan
satu tubuh, semuanya bersaudara yang diikat oleh tali Tauhid, pengakuan
ketiadaan Tuhan selain Allah, Tuhan yang satu, yang tidak beranak dan
tidak diperanakkan dalam berbagai bentuk, penafsiran serta sifat apapun.
Karenanya
kecenderungan untuk menghakimi pemahaman yang berbeda dari apa yang
kita pahami apalagi sampai melekatkan label kekafiran atasnya sangat
bertentangan dengan ajaran Islam yang disampaikan oleh Allah melalui
nabi-Nya.
“Barangsiapa bersaksi bahwa Tiada Tuhan selain Allah, menghadap kiblat kita,
mengerjakan Sholat kita dan memakan hasil sembelihan kita,
maka ia adalah seorang Muslim. Baginya berlaku hak dan kewajiban yang sama
sebagai Muslim lainnya.”
- Riwayat Bukhari -
mengerjakan Sholat kita dan memakan hasil sembelihan kita,
maka ia adalah seorang Muslim. Baginya berlaku hak dan kewajiban yang sama
sebagai Muslim lainnya.”
- Riwayat Bukhari -
Maraknya
ajaran-ajaran sesat yang terjadi diberbagai belahan dunia akhir-akhir
ini memang sewajarnya membuat umat Islam merasa prihatin, terlebih lagi
mereka yang menggunakan nama dan tata cara Islam sebagai topeng yang
menutupi kesesatannya. ; Akan tetapi kita juga harus mampu bersikap
objektif, berpikiran terbuka dan jernih menyikapinya, selama kita belum
mengetahui secara jelas seberapa jauh penyimpangan yang dianggap sudah
dilakukan oleh mereka maka selama itu pula hendaknya kita menahan diri
dari komentar maupun tanggapan yang justru menimbulkan keresahan
dimasyarakat.
Saya tidak terikat dengan organisasi keagamaan
manapun atau juga madzhab apapun yang ada, secara plural saya menganggap
semuanya mengajarkan kebaikan dan dari masing-masing kebaikan yang
diajarkan itu saya memetik nilai-nilai kebenaran yang sesuai dengan nash
kitab suci serta objektifitas berpikir.
Islam adalah satu,
semuanya bersumber dari ajaran yang satu, yaitu Yang Maha Kuasa yang
kemudian diturunkan kepada kita melalui salah seorang hamba terkasih-Nya
bernama Muhammad bin Abdullah ditanah Arab pada abad ke-6 masehi.
Jika Islam adalah satu, maka umatnya pun adalah satu dan ini konsekwensi logis darinya, karena itu Nabi bersabda :
“Dari
Miqdad bin ‘Amr ; ia pernah bertanya kepada Nabi : Bagaimana jika ia
berperang dengan kaum kafir, lalu berkelahi dengan seorang diantaranya
hingga tangannya terputus dan dalam satu kesempatan sang musuh berhasil
dijatuhkan lalu saat akan dibunuhnya dia berseru “Aslamtu lillah” – aku
Islam kepada Allah – namun masih dibunuhnya, apa jawab Nabi ?
-
Jangan kau bunuh dia, jika kau bunuh dia maka sesungguhnya dia sudah
berada dalam kedudukanmu sebelum engkau membunuhnya, yaitu seorang
Muslim, sedangkan kamu berada dalam posisinya sebelum dia mengucapkan
kalimat itu (yaitu kafir).; lalu dijawab oleh Miqdad bahwa pernyataan
orang itu hanya untuk menghindari pembunuhan saja, jawab Nabi lagi,
bahwa dirinya diutus Allah tidak untuk menghakimi hati seseorang.”
“Islam
adalah kesaksian bahwa Tiada Tuhan selain Allah dan pembenaran kepada
Rasulullah Saw, atas dasar itulah nyawa manusia dijamin keselamatannya.
Dan atas dasar itu juga berlangsung pernikahan dan pewarisan serta
terbina kesatuan kaum Muslimin.” – Riwayat Sama’ah
“Nabi bersabda :
bahwa Jibril datang kepada beliau dan mengabarkan tentang keutamaan
seseorang yang meninggal dunia dalam keadaan bertauhid secara murni maka
ia akan masuk syurga kendati ybs pernah berzina dan mencuri.” – Riwayat
Bukhari dari Abu Dzar
Kita semua tahu bagaimana vitalnya posisi dan peranan Ali bin Abu Thalib dikehidupan Nabi dan putrinya Fatimah.
Sejak
kecil, Nabi dibesarkan dalam lingkungan keluarga ayahnya dari suku Bani
Hasyim yang merupakan salah satu keluarga terpandang dikalangan
penduduk Mekkah saat itu. Ketika kakeknya Abdul Muthalib wafat, hak
pengasuhan atas diri Nabi pindah ketangan pamannya yang bernama Abu
Thalib, dari pamannya inilah Nabi belajar banyak hal mengenai
perdagangan dan kejujuran hingga beliau dikenal sebagai al-Amin (orang
yang terpercaya) sampai-sampai beliau dipercaya untuk membawa dan
menjualkan dagangan sejumlah saudagar hingga kenegri Syam dan bertemu
dengan Khadijjah yang kelak dinikahinya.
Dimasa awal turunnya
wahyu, selain istrinya, orang kedua yang mengimani kenabiannya adalah
Ali putra pamannya, Abu Thalib yang dengan beraninya mengumumkan
keislamannya secara terbuka kepada keluarganya.
Dalam bukunya yang
berjudul “Sejarah Hidup Muhammad”, hal 89, Muhammad Husain Haekal
menggambarkan pernyataan kesetiaan Ali terhadap Nabi sebagai berikut :
“Tuhan
menjadikanku tanpa aku perlu berunding dengan Abu Thalib, apa gunanya
aku harus berunding dengannya untuk menyembah Allah ?”; selanjutnya pada
halaman 92 juga dituliskan pernyataan Ali yang lain : “Rasulullah, aku
akan membantumu, aku adalah lawan siapa saja yang menentangmu”.
Meskipun
demikian, Abu Thalib sendiri menurut riwayat tetap pada keyakinan
lamanya sebagai penyembah berhala, bertolak belakang dengan sikap
putranya. Namun perbedaan keyakinan antara mereka tidak membuat Abu
Thalib melepaskan perlindungan dan kasih sayangnya pada diri Nabi, Ali
dan Khadijjah, beliaulah yang sering melakukan pembelaan manakala ada
pihak Quraisy yang bermaksud mencelakakannya dan ini terus dilakoninya
sampai ia wafat.
Ali bin Abu Thalib telah ikut bersama Nabi
semenjak usia anak-anak, jauh sebelum Nabi bertemu dengan para sahabat
lainnya, karena itu juga mungkin beliau digelari Karamallahuwajhah
(yaitu wajah yang disucikan Allah dari penyembahan berhala).
Allah sendiri melalui wahyu-Nya telah menekankan kepada Nabi agar terlebih dahulu menyerukan ajaran Islam kepada keluarga terdekatnya :
Allah sendiri melalui wahyu-Nya telah menekankan kepada Nabi agar terlebih dahulu menyerukan ajaran Islam kepada keluarga terdekatnya :
Dan
berilah peringatan kepada keluargamu yang terdekat, Limpahkanlah kasih
sayang terhadap orang-orang beriman yang mengikutimu; Jika mereka
mendurhakaimu maka katakanlah:”Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab
terhadap apa yang kamu kerjakan”. – Qs. Asy-Syu’araa 26:214-216
Seruannya
memang di-ikuti oleh keluarganya dimulai oleh Khadijjah istrinya, Ali
bin Abu Thalib sepupu sekaligus menantunya kelak, paman sesusuannya,
Hamzah bin Abdul Muthalib, Ja’far bin Abu Thalib dan pamannya Abbas bin
Abdul Muthalib.
Olehnya tidak menjadi suatu kesangsian lagi bila
Ali mengenal betul sifat dan watak yang ada pada diri Nabi sehingga
tidak ada alasan baginya untuk menolak perintah maupun membantah
keputusannya, terlebih dalam kapasitasnya selaku seorang Rasul Tuhan. ;
Jelas dalam hal ini sikap Ali bin Abu Thalib tidak bisa disejajarkan
dengan sikap beberapa sahabat yang kritis dan vokal terhadap beberapa
pendapat Nabi, bisa dimaklumi bahwa notabene mereka mengenal Nabi tidak
lebih lama dari Ali bin Abu Thalib selain juga ditentukan oleh faktor
watak dan kondisi lain yang melatar belakanginya.
Dimalam
hijrahnya ke Madinah, Nabi meminta Ali bin Abu Thalib menggantikan
posisi tidurnya dipembaringan dengan mengenakan mantel hijaunya dari
Hadzramut, menyongsong rencana pembunuhan yang sudah disusun oleh para
kafir Quraisy yang saat itu berada disekitar kediaman Nabi.
Tindakan
Nabi ini seolah mengisyaratkan bahwa beliau berkeinginan untuk
menjadikan sepupunya itu pengganti dirinya dikala hidup dan mati.
Saat
Nabi mempersatukan kaum Muhajirin dan Anshar dikota Madinah, Nabi
sendiri justru mengangkat Ali bin Abu Thalib sebagai saudaranya (padahal
keduanya sama-sama Muhajirin), berbeda misalnya dengan Abu Bakar yang
disaudarakan dengan Kharija bin Zaid, Umar bin Khatab dengan ‘Itban bin
Malik al-Khazraji, bahkan pamannya sendiri yaitu Hamzah bin Abdul
Muthalib dipersaudarakan dengan Zaid, mantan budaknya.
Persaudaraannya
ini sering di-ingatkan oleh Nabi dalam hadis-hadisnya bahwa
kedudukannya terhadap Ali laksana kedudukan Musa terhadap Harun
(bukankah dalam al-Qur’an surah al-A’raaf 7 : 142 disebutkan bahwa Harun
menjadi pengganti Musa tatkala beliau berangkat ke Sinai untuk mendapat
wahyu ? )
Dari Sa’ad bin Abu Waqqas : “Rasulullah Saw mengatakan
kepada Ali : Engkau dengan aku serupa dengan kedudukan Harun dengan
Musa, tetapi sesungguhnya tidak ada Nabi sesudah aku” – Hadis Riwayat
Muslim
Saat semua sahabat utamanya mengajukan lamaran untuk
menyunting Fatimah sebagai istri mereka, Nabi menolaknya dan menikahkan
putri tercintanya itu dengan Ali bin Abu Thalib.
Tatkala Hisyam bin
Mughirah meminta izin kepada Nabi agar memperbolehkan mengawinkan anak
perempuannya dengan Ali, Nabi juga menolaknya dan bersabda :
“Aku
tidak mengizinkan, sekali lagi aku tidak mengizinkan dan sekali lagi aku
tidak mengizinkannya kecuali bila Ali bin Abu Thalib mau menceraikan
puteriku dan kawin dengan anak-anak perempuan Hisyam, karena
sesungguhnya, puteriku darah dagingku, menyusahkanku apa yang
menyusahkannya dan menyakitkanku apa saja yang menyakitkannya” – Riwayat
Muslim
Ali juga merupakan satu-satunya orang yang diserahi panji
Islam dalam peperangan Khaibar oleh Nabi yang menurut beliau bahwa panji
itu hanya layak bagi laki-laki yang benar-benar mencintai Allah dan
Rasul-Nya lalu ditangannya Allah akan memberikan kemenangan.; Padahal
Umar bin Khatab sangat berambisi agar tugas itu diserahkan kepadanya.
(Riwayat Muslim dan Bukhari)
Saat akan terjadi Mubahalah antara
Nabi dengan para pendeta dari Najran, beliau memanggil Ali, Fatimah
serta kedua cucunya yaitu Hasan dan Husin untuk mendampinginya baru para
istri beliau (ini ditegaskan juga dalam surah 3 Ali Imron ayat 61 yang
mendahulukan penyebutan anak-anak Nabi dari istri-istrinya, ditambah
riwayat dari Imam Muslim bahwa saat itu Nabi menunjuk Ali, Fatimah,
Hasan dan Husin sebagai keluarganya).
Dalam haji terakhirnya
disuatu daerah bernama ghadir khum, beberapa riwayat
menyebutkan bahwa
Nabi sempat menyinggung tentang regenerasi kepemimpinan umat sepeninggal
beliau dan mengumumkan Ali sebagai penerusnya.; dan memperingatkan kaum
Muslimin agar memperhatikan keluarga beliau sepeninggalnya kelak,
ucapan ini sampai diulangnya sebanyak 3 kali, dan Zaid bin Arkam
menyatakan bahwa yang dimaksud oleh Nabi adalah keluarga Ali, ‘Aqil,
keluarga Ja’far dan keluarga ‘Abbas. – Riwayat Muslim
Menjelang
akhir hayatnya, Nabi menugaskan sebagian besar sahabat utamanya termasuk
Abu Bakar dan Umar kedalam satu ekspedisi ke daerah Ubna, suatu tempat
di Syiria dibawah komando Usamah bin Zaid bin Haritsah, sementara Ali
sendiri diminta untuk tetap menemani hari-hari terakhirnya dikota
Madinah serta memberinya wasiat agar mau mengurus jenasah dan
pemakamannya bila waktunya tiba.
Ini juga tersirat tentang
keinginan Nabi menjadikan dan memantapkan posisi Ali sebagai pengganti
beliau memimpin umat, dijauhkannya para sahabat senior lain dari kota
Madinah agar ketika mereka kembali tidak akan terjadi keributan seputar
suksesi kepemimpinan.
Hanya sayang rencana Nabi kandas karena
sebagian sahabat senior merasa enggan berada dalam komando Usamah bin
Zaid yang masih relatif remaja sampai Nabi marah dan mempertanyakan
kredebilitas dirinya dihadapan mereka mengenai penunjukan Usamah itu.
Pada
akhirnya kehendak Nabi harus mengalah dengan kehendak Tuhan yang sudah
mentakdirkan jalan lain, tidak ubah seperti keinginan Isa al-Masih agar
cawan penyaliban dihindarkan darinya namun Tuhan tetap menginginkan
semuanya terjadi sesuai mau-Nya.
Nabi wafat dipelukan Ali setelah
membisikkan kepada Fatimah agar tidak bersedih sepeninggalnya karena
dalam waktu tidak berapa lama setelah kematiannya, putrinya itupun akan
menyusulnya.
Ali juga yang memandikan jenasah Nabi bersama Ibnu
Abbas dan mengurus pemakamannya, saat yang sama sekelompok orang disaat
itu malah meributkan suksesi kepemimpinan dan akhirnya menobatkan Abu
Bakar selaku Khalifah penerus Nabi dalam memimpin umat serta melupakan
semua peran dan posisi Ali dihadapan Nabi.
Inilah awal dari isyu
perpecahan ditubuh Islam, sebagai bentuk protes terhadap perbuatan
mereka ini, Ali, Fatimah dan sejumlah sahabat lainnya menolak mengakui
kepemimpinan Abu Bakar, lebih-lebih lagi setelah sang Khalifah menolak
memberikan tanah Fadak yang diwariskan Nabi kepada Fatimah hasil
rampasan perang Khaibar.; Padahal semua orang tahu, bahwa menyakiti
Fatimah sama seperti menyakiti Nabi, namun mereka mengabaikannya hingga
akhirnya Fatimah wafat dalam keadaan tetap mendiamkan Abu Bakar dan
menolak berbaiat kepada pemerintahannya.
Ali bin Abu Thalib
memakamkan jenasah istrinya disuatu tempat pada malam harinya secara
diam-diam dan hanya dihadiri oleh para simpatisan dan pengikut mereka
karena tidak ingin dihadiri oleh pihak yang berseberangan dengannya.
Menyangkut
perseteruan antara Ahli Bait dalam hal ini adalah Fatimah dan Ali bin
Abi Thalib dengan Abu Bakar, maka untuk perbandingan yang jujur, saya
coba hadirkan nilai-nilai kebenaran sejarah tersebut dengan menggunakan
literatur yang dipercayai oleh kelompok sunni ( Ahli sunnah wal Jamaah
).Wallahu'alambishowab..
Hanya Allah semata tempat kita berlindung dari kesesatan dan saling menyalahkan satu sama lainaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar