PARA GURU

BERIKUT INI ADALAH LAMAN KHUSUS TULISAN PARA KETURUNAN NABI YANG MENGSYIARKAN AGAMA ISLAM DI SEANTERO DUNIA INI DAN KEMASYURAN WALIYALLAH NYA

JASAD PROF. DR. AS-SAYYID MUHAMMAD AL-MALIKI, TOKOH YANG MENURUT WAHABI PENGANJUR SYIRIK DAN BID’AH, TIDAK HANCUR TAPI TETAP MASIH UTUH.

Setahun pasca wafatnya Habib Muhammad bin 'Alwi Al-Maliki Al-Hasani Mekkah, orang-orang Wahabi yang berniat mau menghinakan Habib Muhammad, karena kebiasaan di Mekkah jika jenazah sudah hancur maka akan dipindah ke tempat lain agar areal lama dapat dimasukkan je

nazah yang baru.
Kemudian orang Wahabi melakukan penggalian makam beliau. Pada awalnya mereka berharap agar apa yang mereka temukan pasca 1 tahun adalah jenazah yang sudah hancur, tapi apa yang terjadi … ?
Ternyata tidak sesuai dengan perkiraan sebelumnya, jenazah Habib Muhammad bin ‘Alwi Al-Maliki yang menurut Wahabi adalah Tokoh Bid’ah masih dalam keadaan UTUH dan tidak hancur.

Dua tahun kemudian, mereka menggali kembali makam Habib Muhammad bin ‘Alwi Al-Maliki, dan apa apa yang terjadi … ?
Jenazah Tokoh Bid’ah yang menurut wahabi masih utuh, tidak hancur, bahkan RAMBUT dan KUKU beliau terlihat tumbuh panjang.

Lima tahun kemudian, dilakukan hal yang sama. Dan ternyata Jenazah Tokoh Bid’ah yang menurut wahabi juga tidak hancur, MASIH UTUH, bahkan TERCIUM AROMA HARUM YANG HARUMNYA MELEBIHI KAYU GAHRU.

Subhanallah …
Kejadian ini sudah mentaubatkan orang-orang Salafi Wahabi.

Beliau pulang ke rahmatullah pada 15 Ramadhan 1425 H. bersamaan 29 Oktober 2004, waktu Subuh, hari Jum’at.
Sumber : Al-Habib Segaf bin Hasan Baharun (Bangil)




_________________________________________________________________________________





HABIB UMAR BIN HUD AL ATTAS (Cipayung - Bogor)

Al Allamah Arifbillah Al Quthub Al Habib Umar bin Muhammad bin Hasan bin Hud Al Attas dilahirkan oleh seorang wanita shalihah bernama Syarifah Nur binti Hasan Al Attas di Huraidhah, Yaman Selatan pada tahun 1313 H (1892 M). Suatu saat Al Allamah Arifbillah Al Habib Ahmad bin Hasan Al Attas, seorang Waliyullah besar di kota Huraidhah menyampaikan bis
yarah perihal kehamilan Syarifah Nur. Berkata Habib Ahmad “Ia akan melahirkan seorang anak laki-laki yang panjang usianya, penuh dengan keberkahan serta akan banyak orang yang datang untuk bertawassul dan bertabarruk padanya, hendaklah ia diberi nama "Umar", sebagai pengganti kakaknya yang juga bernama Umar, yang telah wafat ketika berada di Indonesia bersama ayahnya.” Maka benarlah apa yang dikatakan Habib Ahmad, beliau diberi umur yang panjang, usia beliau mencapai 108 tahun dan seluruh usianya itu senantiasa berada dalam keberkahan.

Habib Muhammad, ayah Habib Umar telah lebih dulu tinggal di Indonesia, setelah sebelumnya selama 20 tahun beliau mengabdikan dirinya menjadi imam di Masjid Syaikh Abdul Qadir Al Jailani yang berada di kota Huraidhah. Habib Umar mempunyai beberapa orang saudara, diantaranya Habib Umar (kakaknya yang telah meninggal sebelum beliau lahir) dan Habib Salim yang mengasuh beliau ketika kecil. Habib Umar masih berusia 15 tahun ketika ibundanya wafat, setelah itu beliau hijrah dan tinggal di Indonesia.

Di Indonesia, beliau kemudian menimba ilmu kepada ulama-ulama Ahlubait disana, diantara guru-guru beliau adalah :
Habib Abdullah bin Muhsin Al Attas (Keramat Empang, Bogor)
Habib Muhsin bin Muhammad Al Attas (Al Hawi, Jakarta)
Habib Alwi Al Attas Azzabidi (Jakarta)
Habib Alwi bin Muhammad Al Haddad (Bogor)
Habib Muhammad bin Idrus Al Habsyi (Gubah Ampel, Surabaya)
Habib Muhammad bin Ahmad Al Muhdhar (Bondowoso)

Diantara ketekunan beliau dalam menimba ilmu, beliau senantiasa mendatangi majelis Habib Abdullah bin Muhsin Al Attas di Keramat Empang, Bogor dengan menggunakan sepeda, padahal beliau tinggal di Jakarta. Tahun 1965 M, beliau mendapat isyarah untuk menetap di kota suci Makkah Al Mukarramah. Maka berangkatlah Habib Umar bersama 11 orang saudaranya dengan menggunakan kapal laut.
Ketika di tengah laut, datang badai yang menyebabkan kapal itu akan oleng. Melihat hal demikian, maka beliau memerintahkan semua yang ada di kapal itu untuk membaca Ratib Al Attas, hingga dengan izin Allah meredalah badai itu.

Setelah beberapa tahun mukim di Makkah, beliau hijrah lagi ke Singapura, kemudian kembali lagi ke Indonesia dan tinggal di kawasan Pasar Minggu, Jakarta. Disana beliau membangun sebuah masjid dan madrasah yang diberi nama Assa’adah.
Nama Assa’adah yang berarti kebahagiaan adalah pemberian dari Habib Sholeh bin Muchsin Al Hamid (Tanggul, Jember). Kepengurusan masjid dan madrasah tersebut kemudian dipegang oleh putranya, Habib Salim bin Umar Al Attas. Setelah sekian lama tinggal disana, beliau pindah lagi ke kawasan Condet, Jakarta Timur hingga akhir hayatnya.

Setiap tahun Habib Umar senantiasa melaksanakan acara Maulid Akbar di Cipayung, Bogor. Peringatan Maulid ini dihadiri oleh ribuan orang, dari dalam dan luar negeri.
Untuk jamuannya, beliau menyembelih 1.600 kambing, dua unta dan memasak 25 ton beras.
Jika ditanya darimana uang sebanyak itu ... ?
Beliau hanya menjawab : "Dari Allah."
Setiap hari beliau memimpin shalat Shubuh di kediamannya, di Condet, pada hari biasa terdapat sekitar 300 orang, dan khusus pada hari Jum'at meningkat menjadi 1.000 orang.
Setiap Sabtu beliau mengajar Fiqih, dan setiap malam Jum'at mengadakan pembacaan Maulid Addiba'i di Cipayung, Bogor, dari sanalah beliau dikenal dengan nama Habib Umar Cipayung.

Setelah seumur hidupnya diabdikan di jalan Allah, akhirnya beliau berpulang kehadirat Tuhan Yang Agung pada Rabu malam Kamis, tanggal 11 Agustus 1999 M (1420 H) pada usia 108 tahun. Beliau dimakamkan di pemakaman Al Hawi, Cililitan, Jakarta.
Diantara anak-anak beliau adalah : Habib Husain, Habib Muhammad, Habib Salim dan Syarifah Raguan.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Al Quthub Al Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf

Al Allamah Arifbillah Al Quthub Al Habib Abdul Qadir bin Ahmad bin Abdurrahman bin Ali bin Umar bin Saggaf bin Muhammad bin Umar bin Thoha Assegaf dilahirkan di Seiwun, Yaman oleh seorang wanita mulia berdarah suci, Syarifah Alwiyah binti Ahmad bin Muhammad Al Jufri pada bulan Jumadil Akhir tahun 1331 H.

Nama Abdul Qadir ini adalah pemberian dari
Yang Mulia Al Allamah Arifbillah Al Imam Al Habib Ali bin Muhammad Al Habsyi (Shahib Simthuddurar).
Diantara keistimewaan beliau saat bayi adalah, setiap satu jam sekali beliau dibangunkan oleh ayahnya, dan dituntun membaca Syahadat, sehingga kalimat pertama yang keluar dari mulut beliau ketika beliau mulai berbicara, adalah kalimat Syahadat.

Habib Abdul Qadir masih berusia 25 tahun ketika ayahnya wafat. Ayahnya wafat pada hari Sabtu sore, tanggal 4 Muharram 1357 H setelah menunaikan shalat Ashar. Sedangkan ibundanya wafat pada tanggal 29Rajab 1378 H, bertepatan dengan wafatnya Al Allamah Arifbillah Al Musnid Al Habib Salim bin Hafidh BSA (kakek Habib Umar bin Hafidh BSA).

Pertama kali beliau belajar kepada ayahandanya, hingga pada usia dini beliau telah memahami dasar-dasar agama. Beliau kemudian melanjutkan belajarnya ke Ulmah Thoha, sebuah Rubath yang didirikan datuknya, Habib Thoha bin Umar Assegaf di Seiwun. Guru beliau ketika belajar di Rubath Ulmah Thoha adalah Syaikh Thoha bin Abdullah Bahmid. Setelah itu beliau belajar Al Quran dan Qira’ah Sab’ah kepada Syaikh Hasan bin Abdullah Baraja di Madrasah Nahdhatul Ilmiyyah, sehingga beliau mampu menguasai dan menghafal keduanya. Karena keistimewaan beliau dibanding murid-murid lain, dalam waktu singkat beliau telah diangkat oleh gurunya untuk menjadi staff pengajar di Madrasah Nahdhatul Ilmiyyah.

Keadaan negeri Yaman yang kala itu dikuasai oleh Komunis memaksa beliau dan beberapa ulama lainnya hijrah. Pertama kali beliau hijrah ke Aden pada tahun 1393 H. Disana beliau disambut dengan hangat dan diminta untuk membuka majelis ilmu disana.
Setelah dari Aden, beliau bertolak menuju Singapura, dan disana pun beliau disambut dengan suka cita serta membuka majelis-majelis ilmu.
Pada bulan Juli 1974 M (1393 H), beliau singgah di Jakarta dan mengunjungi beberapa ulama besar disana, diantaranya kepada Al Allamah Arifbillah Al Habib Ali bin Abdurrahman Al Habsyi (Habib Ali Kwitang). Dari Jakarta kemudian menuju Surabaya, disana pun beliau berziarah kepada ulama-ulama dan mendirikan majelis ilmu.

Pada tahun yang sama, beliau terbang menuju Arab Saudi. Disana beliau memperdalam ilmu agama kepada ulama-ulama disana, diantaranya kepada Mufti Maliki saat itu, manusia mulia guru yang sangat dicintainya, saking cintanya beliau kepada gurunya itu, sampai-sampai beliau menggubah sebuah Qashidah untuk menyanjungnya, guru mulia tersebut adalah Al Allamah Arifbillah Shahibul Fatawa Al Imam Assayyid Alwi bin Abdul Aziz Al Maliki Al Hasani, ayah dari Abuya Maliki.
Kemudian beliau menetap di kota Jeddah hingga akhir hayatnya.
Selain kepada ulama-ulama diatas, Habib Abdul Qadir juga belajar kepada ulama-ulama besar di zamannya, diantaranya kepada :
Habib Umar bin Hamid Assegaf
Habib Umar bin Abdul Qadir Assegaf
Habib Abdullah bin Idrus Alaydrus
Habib Abdullah bin Alwi Al Habsyi
Habib Husain bin Abdullah Al Habsyi
Habib Abdu Baari bin Syaikh Alaydrus
Habib Muhammad bin Hadi Assegaf
Habib Abdullah bin Umar Assegaf
Habib Hasan bin Ismail BSA
Habib Hamid bin Alwi Al Baar

Adapun diantara murid-murid beliau yang termasyhur adalah :
Sayyid Muhammad bin Alwi Al Maliki Al Hasani
Habib Zain bin Ibrahim Bin-Sumaith
Habib Salim bin Abdullah Asy Syahthiri (Sulthanul Ulama)
Habib Umar bin Hafidh BSA
Habib Abu Bakar Al Adani bin Ali Al Masyhur
Habib Abu Bakar bin Hasan Al Attas
Habib Ali Zainal Abidin Al Jufri

Demikian Habib Abdul Qadir menghabiskan seluruh hidupnya untuk menyebarkan benih ilmu dan akhlak datuknya, Rasulullah SAW ke seluruh penjuru dunia. Hingga pada saat Allah menghendaki yang dikehendaki-Nya, wajah dunia mendadak muram pada Shubuh hari Ahad, tanggal 19 Rabiul Akhir 1431 H (4 April 2010 M), ketika beliau yang agung wafat menghadap Allah dan Rasul-Nya. Beliau wafat dalam usianya 100 tahun. Jenazah beliau dimakamkan di Jannatul Ma'ala setelah shalat Isya.

_________________________________________________________________________________

Al Habib Muhammad bin Husein Alaydrus (Habib Neon)

Dia salah seorang ulama yang menjadi penerang umat di zamannya. Cahaya keilmuan dan ahlaqnya menjadi teladan bagi mereka yang mengikuti jejak ulama salaf

Suatu malam, beberapa tahun lalu, ketika ribuan jamaah tengah mengikuti taklim di sebuah masjid di Surabaya, tiba-tiba listrik padam. Tentu saja para jama'ah merasa risau.
Mereka satu persatu keluar, apalagi malam itu bulan tengah purnama.
Ketika itulah dari kejauhan tampak seseorang berjalan menuju masjid. Ia mengenakan gamis dan sorban putih, berselempang kain radhi warna hijau. Dia adalah Habib Muhammad bin Husein bin Zainal Abidin bin Ahmad Alaydrus yang ketika lahir ia diberi nama Muhammad Masyhur.
Begitu masuk ke dalam masjid, aneh bin ajaib, mendadak masjid terang benderang seolah ada lampu neon yang menyala. Padahal Habib Muhammad tidak membawa obor atau lampu. Para jamaah terheran-heran. Apa yang terjadi … ?
Setelah diperhatikan, ternyata cahaya terang benderang itu keluar dari tubuh sang habib.
Maka sejak itu sang habib mendapat julukan Habib Neon …
Subhanallah … !

Habib Muhammad lahir di Tarim, Hadramaut, pada 1888 M.
Karamahnya tidak begitu nampak di kalangan orang awam. Hanya para ulama atau wali yang arif sajalah yang dapat mengetahui karamah Habib Neon.
Sejak kecil beliau mendapat pendidikan agama dari ayahnya, Habib Husein bin Zainal Abidin Alaydrus. Menjelang dewasa beliau merantau ke Singapura selama beberapa bulan, kemudian hijrah ke ke Palembang, Sumatra Selatan, dan berguru kepada pamannya, Habib Musthafa Alaydrus, kemudian menikah dengan sepupunya, Syarifah Aisyah binti Musthafa Alaydrus.
Dari pernikahan itu beliau dikaruniai Allah tiga anak lelaki dan seorang anak perempuan.

Tak lama kemudian beliau hijrah bersama keluarganya ke Pekalongan, Jawa Tengah, mendampingi dakwah Habib Ahmad bin Tholib Al-Atthas.
Beberapa waktu kemudian beliau hijrah lagi, dan kali ini ke Surabaya. Ketika itu Surabaya terkenal sebagai tempat berkumpulnya para ulama dan awliya, seperti Habib Muhammad bin Ahmad al-Muhdhor, Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi, Habib Abu Bakar bin Umar bin Yahya.

Seperti halnya para wali yang lain, Habib Muhammad juga kuat dalam beribadah. Setiap waktu ia selalu gunakan untuk berdzikir dan bershalawat. Dan yang paling mengagumkan, ia tak pernah menolak untuk menghadiri undangan dari kaum fakir miskin. Segala hal yang ia bicarakan dan fikirkan selalu mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kebenaran agama, dan tak pernah berbicara mengenai masalah yang tak berguna.
Ia juga sangat memperhatikan persoalan yang dihadapi oleh orang lain.

Habib Muhammad al-Aydrus adalah tipe orang yang pendiam, sedikit makan dan tidur.
Setiap orang yang berziarah kepada beliau pasti merasa nyaman dan senang karena memandang wajah beliau yang ceria dengan pancaran nur (cahaya).
Setiap waktu beliau gunakan untuk selalu berdzikir dan bersholawat kepada datuk beliau Rasulullah SAW. Beliau juga gemar memenuhi undangan kaum fakir miskin.
Setiap pembicaraan yang keluar dari mulut beliau selalu bernilai kebenaran-kebenaran, sekalipun pahit akibatnya.
Tak seorangpun dari kaum muslimin yang beliau khianati, apalagi dianiaya.
Setiap hari jam 10 pagi hingga Dzuhur beliau selalu membuka rumah untuk menjamu para tamu yang datang dari segala penjuru kota, bahkan ada sebagian dari mancanegara.
Sedangkan waktu antara Maghrib sampai Isya' beliau pergunakan untuk menelaah kitab-kitab yang menceritakan perjalanan kaum salaf.
Setiap malam Jum'at beliau mengadakan pembacaan Burdah bersama para jama'ahnya.

Di antara mujahadah yang dilakukan beliau ialah berpuasa selama tujuh tahun. Hanya berbuka dan bersantap sahur dengan tujuh butir korma. Bahkan pernah selama setahun ia berpuasa, dan hanya berbuka serta sahur dengan gandum yang sangat sedikit.
Untuk jatah buka puasa dan sahur selama setahun itu, ia hanya menyediakan gandum sebanyak lima mud saja. Dan itulah pula yang dilakukan oleh Imam Gahazali. Satu mud ialah 675 gram.
"Aku gemar menelaah kitab-kitab tasawuf. Ketika itu aku juga menguji nafsuku dengan meniru ibadah kaum salaf yang diceritakan dalam kitab-kitab salaf tersebut", katanya.

Habib Neon wafat pada 30 Jumadil Awwal 1389 H / 22 Juni 1969 M dalam usia 71 tahun, dan jenazahnya dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Pegirikan, Surabaya, di samping makam paman dan mertuanya, Habib Mustafa Alaydrus, sesuai dengan wasiatnya.
Setelah ia wafat, aktivitas dakwahnya dilanjutkan oleh putranya yang ketiga, Habib Syaikh bin Muhammad Alaydrus dengan membuka Majelis Burdah di Ketapang Kecil, Surabaya. Haul Habib Neon diselenggarakan setiap hari Kamis pada akhir bulan Jumadil Awal
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Al Habib Muhammad bin Idrus Alhabsyi

Ayah bagi Fakir Miskin dan Anak Yatim
Dia peduli pada nasib fakir miskin dan anak yatim. Itu sebabnya ia dijuluki sebagai ayah anak yatim dan fakir miskin.
Sebagian kaum muslimin di Jawa Timur, khususnya di Surabaya, tentu mengenal Habib Muhammad bin Idrus Alhabsyi, yang mukim di Surabaya pada pertengahan abad ke-20.
Ia adalah seorang habib dan ulama besar, yang wafat di Surabaya pada malam Rabu, 12 Rabi’ul Akhir 1337 H /1917 M. Jenazahnya dimakamkan di Pemakaman Ampel Gubah, Kompleks Masjid Ampel, Surabaya.

Habib Muhammad bin Idrus Alhabsyi lebih dikenal sebagai ulama yang mencintai fakir miskin dan anak yatim. Itu sebabnya kaum muslimin menjulukinya sebagai "bapak kaum fakir miskin dan anak yatim."
Semasa hidupnya ia rajin berdakwah ke beberapa daerah. Dalam perjalanan dakwahnya, ia tak pernah menginap di hotel melainkan bermalam di rumah salah seorang habib.
Hampir setiap hari banyak tamu yang bertandang ke rumahnya, sebagian dari mereka datang dari luar kota. Ia selalu menyambut mereka dengan senang hati dan ramah. Jika tamunya tidak mampu, ia selalu mempersilakannya menginap di rumahnya, bahkan memberinya ongkos pulang disertai beberapa hadiah untuk keluarganya.
Ia juga memelihara sejumlah anak yatim yang ia perlakukan seperti halnya anak sendiri. Itu sebabnya mereka menganggap Habib Muhammad sebagai ayah kandung mereka sendiri. Tidak hanya memberi mereka tempat tidur, pakaian dan makanan, setelah dewasa pun mereka dinikahkan.

Habib Muhammad bin Idrus Alhabsyi lahir di kota Khala' Rasyid, Hadramaut, Yaman Selatan, pada 1265 H atau 1845 M.
Sejak kecil ia diasuh oleh pamannya, Habib Shaleh bin Muhammad Al-Habsyi.
Ayahandanya, Habib Idrus bin Muhammad Alhabsyi, berdakwah ke Indonesia dan wafat pada 1919 M di Jatiwangi, Majalengka. Sedangkan ibunya, Syaikhah Sulumah binti Salim bin Sa’ad bin Smeer.

Seperti para ulama yang lain, di masa mudanya Habib Muhammad juga rajin menuntut ilmu agama hingga sangat memahami dan menguasainya. Beberapa ilmu agama yang ia kuasai antara lain : tafsir, hadits, dan fiqih.
Menurut Habib Ali bin Muhammad Alhabsyi, seorang ulama terkemuka, "Sesungguhnya orang-orang Hadramaut pergi ke Indonesia untuk bekerja dan mencari harta, tetapi putra kami Muhammad bin Idrus Al-Habsyi bekerja untuk dakwah Islamiyyah dalam rangka mencapai ash-shidqiyyah al-kubra, maqam tertinggi di kalangan para waliyullah."

Ketika menunaikan ibadah haji ke Makkah dan berziarah ke makam Rasulullah SAW di Madinah, ia sekalian menuntut ilmu kepada beberapa ulama besar di Al-Haramain alias dua kota suci tersebut. Salah seorang di antara para ulama besar yang menjadi gurunya adalah Habib Husain bin Muhammad Al-Habsyi.

Banyak kalangan mengenal Habib Muhammad sebagai ulama yang berakhlak mulia, dan sangat dermawan. Ia begitu ramah dan penuh kasih sayang, sehingga siapa pun yang sempat duduk di sampingnya merasa dirinyalah yang paling dicintai.
Ia selalu tersenyum, tutur katanya lemah lembut. Itu semua tiada lain karena ia berusaha meneladani akhlaq mulia Rasulullah SAW.
Tak heran jika masyarakat di sekitar rumahnya, bahkan juga hampir di seluruh Surabaya, sangat mencintai, hormat dan segan kepadanya. Ia juga dikenal sebagai juru damai. Setiap kali timbul perbedaan pendapat, konflik, pertikaian di antara dua orang atau dua fihak, ia selalu tampil mencari jalan keluar dan mendamaikannya. Sesulit dan sebesar apa pun ia selalu dapat menyelesaikannya.

Sebagai dermawan, ia juga dikenal gemar membangun tampat ibadah.
Ia banyak membantu pembangunan beberapa masjid di Purwakarta (Jawa Tengah) dan Jombang (Jawa Timur).
Dialah pula yang pertama kali merintis penyelenggaraan haul para waliyullah dan shalihin. Untuk pertama kalinya, ia menggelar haul Habib Muhammad bin Thahir Al-Haddad di Tegal, Jawa Tengah. Ia juga merintis kebiasaan berziarah ke makam para awliya dan shalihin.

Habib Muhammad bin Idrus Alhabsyi adalah yang pertama menyelenggarakan pembacaan Maulid "Simtudduror" setiap akhir Kamis pada bulan Rabi'ul Awwal di Indonesia.
Setelah beliau wafat, maka diserahkan dan dilanjutkan oleh Habib Ali bin Abdurrahman Alhabsyi (Kwitang) hingga saat ini.

Menjelang wafatnya, ia menyampaikan wasiat :
"Aku wasiatkan kepada kalian agar selalu ingat kepada Allah SWT. Semoga Allah SWT menganugerahkan keberkahan kepada kalian dalam menegakkan agama terhadap istri, anak, dan para pembantu rumah tanggamu. Hati-hatilah, jangan menganggap remeh masalah ini, karena seseorang kadang-kadang mendapat musibah dan gangguan disebabkan oleh orang-orang di bawah tanggungannya, yaitu isteri, anak, dan pembantu. Sebab, dia adalah pemegang kendali rumah tangga"
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
 HABIB MUHAMMAD BIN AHMAD AL-MUHDHOR (Bondowoso)
Perawakannya tampan dan gagah, orang yang melihatnya pasti mengetahui kalau beliau memiliki kharisma yang sangat besar. Dari wajahnya terpancar cahaya yang begitu hebat.
Beliau adalah menantu dari seorang tokoh di masanya, yaitu Al-Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi (Surabaya). Hubungan antara keduanya begitu erat.

Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhor lahir di desa Quwaireh, Du’an Al-Ayman, Hadramaut, pada tahun 1280 H atau sekitar tahun 18633 M. Ayahnya, Al-Imam Al-Habib Ahmad bin Muhammad Al-Muhdhor, seorang ulama rujukan para ahli ilmu di zamannya. Beliau lahir di Ar-Rasyid Ad-Du’aniyah 1217 H dan wafat pada tahun 1304 H bertepatan dengan tahun 1886 M.

Lingkungan keluarga adalah lembaga pendidikan yang pertama dan utama. Itulah yang terjadi pada kalangan Alawiyin di Hadramaut masa itu hingga saat ini.
Sebagaimana lazimnya pendidikan para Alawiyin di Hadramaut, Habib Muhammad mendapat bimbingan agama langsung dari ayahnya. Beliau mengkhatamkan Al-Qur’an dan belajar berbagai kitab keilmuan pada ayahnya
Setelah belajar kepada ayah dan kakaknya, Habib Muhammad kemudian belajar mendapatkan ijazah dari para ulama dan auliya’ di saat itu. Salah satunya adalah Al-Imam Al-Habib Ahmad bin Hasan Al-Attas. Dan Al-Habib Ahmad bin Hasan Al-Attas inilah yang merupakan guru pembentuk karakter dan kepribadian Habib Muhammad Al-Muhdhor. Ketika itu, Habib Muhammad selalu mengikuti majelis Al-Imam Al-Habib Ahmad bin Hasan Al-Attas, dan beliau pula yang meyertai kemana pun sang guru ini pergi. Dalam kitab Tajul A’ras halaman 469 di ceritakan bahwa, Habib Muhammad Al-Muhdor mengisahkan salah satu peristiwa dalam kehidupannya ketika menuntut ilmu pada waktu itu.
"Saya membaca kitab Al-Muhadzab kepada Al-Imam Al-Walid Al-Habib Ahmad bin Hasan Al-Attas. Tetapi ketika itu tidak mudah bagi kami untuk menyelesaikan, beliau meminta saya untuk menemaninya dalam perjalanan pulang ke Huraidhah, desa di mana beliau tinggal. Maka saya pun menuruti perintah beliau. Dalam perjalanan itulah saya membaca kitab tersebut bersama beliau, sampai akhirnya saya dapat menyelesaikan pembacaan kitab itu pada hari keberangkatan kami dari Gaidun. Ketika itu kami berjalan mengendarai dua kuda berdampingan".

Selanjutnya, ketika ayah beliau wafat. Bersama Habib Hamid kakaknya, Habib Muhammad melakukan perjalanan dakwah ke berbagai negeri.
Mereka berdua melakukan perjalanan ke Singapura dan Indonesia.
Dimana pun tempat beliau singgah, mereka selalu di sambut oleh para penduduk negri dengan suka cita dan penuh penghormatan. Setelah itu, berdua mereka kembali ke kampung halaman di Hadramaut.

Selang beberapa waktu, Habib Hamid kakaknya, melakukan perjalanan ke tanah suci, untuk melaksanakan ibadah haji dan berziarah ke makam datuknya Rasulullah SAW di Madinah.
Sekembalinya kakak beliau dari tanah suci pada tahun 1308 H, Habib Muhammad melakukan perjalanan dakwah ke kota Heydrabad di India. Beliau datang untuk memenuhi undangan Sultan ‘Awad bin Umar AL-Qu’aythi.
Di India, beliau mendapat sambutan yang luar biasa dari masyarakatnya, ribuan manusia dari segala lapisan dan golongan berbondong-bondong datang untuk menemui beliau. Dari India, beliau melanjutkan perjalanan dakwahnya ke Indonesia, dan beliau memilih Bondowoso. Disanalah beliau menetap dan berdakwah.
Beberapa waktu kemudian, Habib Muhammad Al-Muhdhor beremu dengan Al-Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi (Surabaya). Dari pertemuan itulah yang mendorong beliau untuk berguru kepada Al-Imam Al-Habib Muhammad bin Idrus AL-Habsyi. Karena eratnya hubungan keduanya, akhirnya Habib Muhammad Al-Muhdhor menikah dengan putri Al-Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi.

Dalam berdakwah, beliau menggunakan cara yang santun dan bijak. Beliau berbicara kepada manusia sesuai dengan kemampuan mereka. “Kallimu an-naas ‘ala qadri uquulihim”.
Dalam beramar ma’ruf nahi munkar, beliau menggunakan cara yang santun dan halus. Hingga semua lapisan masyarakat dapat menerima dengan baik nasehat-nasehatnya. Semua kalangan, baik dari kalanganAlawiyin, orang-orang Pribumi, bahkan para pembesar Belanda pun, hormat dan segan kepada beliau.

Habib Muhammad sangat senang menerima tamu yang datang ke rumah beliau. Dengan wajah berseri-seri beliau menyambut para tamunya di depan pintu dan menghormatinya bagaikan raja yang datang. Beliau sendiri yang menyiapkan dan melayani kebutuhan para tamunya itu.
Beliau yang sangat peduli dengan keadaan kaum muslimin, terlebih-lebih pada para Sa’adah Alawiyin. Karena kepeduliannya yang begitu besar terhadap para Alawiyin, hingga beliau seakan-akan sebagai bapak dari para Alawiyin yang ada pada masa itu.
Selain ulama, beliau juga ahli di bidang sastra, banyak tulisan dan karya syair-syair beliau. Beliau merupakan sosok ulama yang sering melakukan kontak hubungan dengan para ulama di negeri lain guna memecahkan berbagai masalah tentang dakwah Islam.
Diantara para ulama itu adalah : Al-Habib Muhammad bin Ali Al-Hiyed, Al-Habib Abdurrahman bin Ubaidillah Assegaf, dan AL-Habib Muhammad bin Agil bin Yahya dari Hadramaut.

Majlisnya tak pernah sepi dari para Muhibin yang menghadirinya.
Kepedulian Habib Muhammad Al Muhdhor terhadap ilmu sangat besar, maka tak heran bila beliau mendapat tempat tersendiri di hati para ulama.
Beliau menghabiskan waktunya untuk menelaah kitab -kitab dan mengajarkan kepada umat. Perhatian beliau terhadap umatpun sangat besar.
Habib Muhammad membantu kesulitan umat, baik berupa materi mapun imateril. Begitupun terhadap tamu yang berkunjung ke rumahnya, beliau akan sambut tamu tersebut di depan pintu dengan senyumnya yang bersahaja, maka tak jarang para tamu yang berkunjung kerumahnya untuk datang kembali karena keramah tamahan yang dimilki Habib Muhammad Al muhdhor.

Setelah beberapa hari menjalani perawatan di Surabaya akibat sakit yang di deritanya, pada malam Selasa, 21 Syawal 1344 H, bertepatan dengan 4 Mei 1926 M, Habib Muhammad bin Ahmad Al Muhdhor wafat.
Beliau meninggalkan kita untuk selama-lamanya.
Dengan kewafatannya, para pecinta beliau seakan-akan menjadi yatim dan kehilangan sosok ayah.
Pada keesokan harinya, dengan diiringi seruan tahlil dan uraian mata, ribuan kaum muslimin mengantarkan jenazah beliau ke pemakaman.
Jasad beliau di makamkan dalam qubah di pemakaman Al-Habib Hasan Al_habsyi. Makam beliau bersanding dengan makam Al-Imam Al-Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi, yang merupakan mertua, guru, sekaligus sahabat beliau.
Beliau meninggalkan lima anak laki-laki yang menjadi khalifah penerus dakwahnya, mereka dalah : Al-Habib Abdullah bin Muhammad Al-Muhdhor, Al-Habib Alwi bin Muhammad Al-Muhdhor, Al-Habib Sholeh bin Muhammad Al-Muhdhor, Al-Habib Husein bin Muhammad Al-Muhdhor, dan Al-Habib Muhdhor bin Muhammad Al-Muhdhor, yang mereka kesemuanya menjadi ulama, beliau juga meninggalkan 3 anak perempuan..
_________________________________________________________________________________


Al-Habib Ahmad bin Alwie Al-Haddad (Habib Kuncung)
Tidak jauh dari Mall Kalibata Jakarta Selatan terdapat makam seorang wali Allah, Habib Ahmad bin Alwie bin Ahmad Al-Hadad yang dikenal dengan "Habib Kuncung".
Beliau adalah seorang ulama yang memilki prilaku ganjil (khoriqul a'dah), yaitu diluar kebiasaan manusia umumnya. Beliau adalah wali Allah yang sengaja ditutup kewaliannya agar orang biasa
tidak menyadari kelebihannya, karena di kawatirkan umat nabi Muhammad terlalu mencintainya. Dan agar tidak terlena dengan karomahnya tersebut, maka Allah SWT menutup karomahnya tersebut, dan hanya orang-orang tertentu yang dapat melihat semua karomah Beliau.
Habib Kuncung juga terkenal sebagai ahli Darkah, maksudnya disaat sesorang dalam kesulitan dan sangat memerlukan bantuan, beliau muncul dengan tiba-tiba .

Beliau lahir di Gurfha Hadramaut Tarim pada tanggal 26 Sya'ban 1254 H, bertepatan dengan tanggal 17 Nopember 1838 M.
Beliau berguru kepada ayahnya sendiri, yaitu Habib Alwie Al-Hadad, dan juga belajar kepada : Al-'Alamah Al-Habib Ali bin Husein Al-Hadad, Habib Abdurrahman bin Abdullah Al-Habsyi (Cikini), dan Habib Abdullah bin Muchsin Al-Athas (Empang-Bogor).
Sebagaimana kebiasaan ulama-ulama dari Hadramaut untuk melakukan perjalanan Ritual Dakwah ke berbagai negara termasuk ke Indonesia.
Al-Habib Ahmad bin Alwie Al-Hadad melakukan ritual dakwah ke Indonesia, dan pertama kali singgah di Kupang. Menurut cerita, beliau menetap beberapa tahun disana, kemudian menikah dengan wanita bernama Syarifah Raguan Al-Habsyi, dan di karunai anak bernama Habib Muhammad Bin Ahmad Al-Hadad.
Selanjutnya Al-Habib Ahmad bin Alwie Al-Hadad melanjutkan dakwahnya ke pulau Jawa dan menetap di Kali Bata Jakarta Selatan hingga wafatnya.

Gelar "Habib Kuncung" yang diberikan kepada Habib Ahmad bin Alwie Al-Hadad yang saya tahu karena kebiasaan beliau mengenakan kopiah yang menjulang keatas (muncung), dan perilaku beliau yang terlihat aneh dari kebiasaan orang pada umumnya terutama dalam hal berpakaian.
Habib Kuncung Wafat dalam usia 93 tahun tepatnya pada tanggal 29 Sya’ban 1345 H atau sekitar tahun 1926 M, dan beliau di Makamkan di Pemakaman Keluarga Al Hadad Kalibata Jakarta Selatan.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Al-Habib Sholeh bin Muchsin Al-Hamid
(Habib Sholeh Tanggul – Jember – Jawa Timur)


Habib yang satu ini do'anya sangat terkenal selalu terkabul dan orang yang sangat disegani dan dicintai. Dialah "Habib Sholeh bin Muchsin Al-Hamid", atau yang terkenal dengan panggilan Habib Sholeh Tanggul (Jember)

Doa dari habib yang satu ini memang penuh rasa keikhlasan dan tidak tercampur sedikitpun dengan urusan duniawiyah. Wajarlah, bila setiap doa yang ia panjatkan sangat cepat dikabulkan oleh Allah SWT. Dialah Habib Sholeh bin Muchsin Al-Hamid atau yang biasa dikenal dengan sebutan Habib Sholeh Tanggul.

Mengenai resep agar do'anya cepat terkabul, pernah suatu ketika ada orang bertanya :
"Ya, Habib Sholeh. Apa sih kelebihan ibadah Habib Sholeh yang tidak orang lain lakukan, sehingga doa Habib Sholeh cepat terkabul … ?"
Habib Sholeh menjawab :
"Mau tahu rahasianya …? Saya tidak pernah menaruh pispot di kepala saya."
Orang itu bertanya kembali :
"Apa maksudnya ya Habib … ?"
Jawab Habib Sholeh :
"Menaruh pispot di kepala mu dalam beribadah. Artinya, janganlah membanggakan dunia. Janganlah bersaranakan dunia dengan beribadah."
"Contohnya bagaimana ya Habib …?"
"Pispot walaupun terbuat dari emas murni yang terbaik di dunia dan bertahtakan intan berlian yang terbaik. Kalau dibuat topi, tetap akan membuat malu," kata Habib Sholeh.
"Maksudnya … ?"
"Kalau orang mau membanggakan dunia, bermodalkan dunianya. Semisal untuk membanggakan diri tujuannya untuk mencari dunia, lihat saja orang itu akan terjerembab oleh dunia. Karena amal orang itu dipamerkan", jawab Habib Sholeh.
Selain itu, kata Habib Sholeh jangan melakukan dosa syirik.

Habib Ali Bin Abdurrahman Al-Habsyi (Habib Ali Kwitang) juga pernah bertanya kepada Habib Sholeh : "Wahai Habib Sholeh, engkau adalah orang yang do’anya selalu terkabulkan dan engkau sangat dicintai oleh Tuhanmu dan segala permohonanmu selalu dikabulkan."
Maka, Habib Sholeh pun menjawab : "Bagaimana tidak, sedangkan aku belum pernah melakukan hal yang membuat Allah murka, tidak pernah melanggar aturan Allah."

Demikianlah Habib Sholeh Tanggul memberikan beberapa resep agar doa-doa yang dipanjatkan, cepat terkabul.

Habib Sholeh bin Muchsin Al-Hamid lahir di Korbah, Ba Karman (Wadi Amd) Hadramaut pada tahun 1313 H.
Ayahnya adalah Habib Muchsin bin Ahmad yang terkenal dengan sebutan Al-Bakry Al-Hamid, seorang yang saleh dan wali yang arif dan dicintai serta dihormati oleh masyarakatnya. Banyak orang yang datang kepadanya untuk bertawasul dan memohon do’a demi tercapainya segala hajat mereka.
Ibundanya seorang wanita shalihah bernama Aisyah dari keluarga Alabud Ba Umar dari Masyayikh Alamudi.

Habib Sholeh memulai mempelajari kitab suci Al-Quran dari seorang guru yang bernama Said Ba Mudhij, di Wadi Amd, yang juga dikenal sebagai orang saleh yang tiada henti-hentinya berzikir kepada Allah Swt. Sedangkan ilmu fikih dan tasawuf ia pelajari dari ayahnya sendiri, Habib Muchsin Al-Hamid.
Sewaktu kecil Habib Sholeh sebagaimana teman sebayanya, pernah menggembala kambing. Selain itu, ia ternyata mempunyai hobi menembak dengan senapan angin. Bahkan kemampuannya, bisa dikatakan luar biasa, karena ia dikenal sebagai penembak yang jitu.

Pada usia 26 tahun, tepatnya pada bulan keenam tahun 1921 M, dengan ditemani Assyaikh Al-Fadil Assoleh Salim bin Ahmad Al-Asykariy, Habib Sholeh meninggalkan Hadramaut menuju Indonesia.
Mereka berdua sempat singgah di Gujarat (India) beberapa waktu, kemudian baru ke Jakarta. Kemudian sepupu beliau, Habib Muchsin bin Abdullah Al-Hamid, seorang panutan masyarakat, mengajaknya singgah ke kediamannya di Lumajang.

Ia menetap di Lumajang untuk beberapa saat. Kemudian pindah ke Tanggul (Jember), dan akhirnya menetap di desa ini.
Pada suatu saat ia melakukan uzlah (mengasingkan diri dari manusia) selama lebih dari tujuh tahun. Selama itu pula ia tidak menemui seorang pun dan tidak seorang pun manusia menemuinya.

Dalam khalwatnya itu, ia banyak membaca Al-Quran dan kitab Dalailul Khoirat yang berisi selawat dan salam kepada Sayyidis Sadad SAW, "Aku bertemu dengan Rasulullah yang memancarkan sinar dari wajahnya yang mulia."

Hingga tibalah di akhir masa khalwat, datang Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf (Gresik) kepadanya, dan memberikan satu sorban hijau dengan mengatakan : "Ya Habib Sholeh, datang kepadaku Rasulullah SAW dan mengutusku untuk menyerahkan sorban hijau ini. Ini adalah pertanda kewalian qutb (kutub) atasku jatuh ke pundakmu," kata Habib Abu Bakar sambil menyematkan sorban hijau itu ke pundak Habib Sholeh.

Habib Sholeh saat itu merasa dirinya kecil dan belum pantas, maka ia bertanya : "Pantaskah saya menerima anugrah Allah SWT yang sedemikian besar ini ... ? Mampukah saya mengembannya ... ?"

Dalam khalwatnya, ia menangis terus dan tidak pernah keluar dari kamarnya dan minta petunjuk kepada Allah SWT. Saat itu rumahnya masih sangat sederhana terbuat dari bilik bambu. Padahal sudah banyak habaib, saudara, orang-orang kaya datang kepadanya untuk membongkar rumahnya, tapi beliau tidak pernah mau.
Alasannya, "Jangan dibetulkan! Jangan diapa-apakan! Biarkan saja, saya takut Rasulullah SAW tidak datang lagi ke tempat ini. Saya setiap hari berjamaah shalat lima waktu dengan Rasulullah SAW di rumah ini. Jangan dibongkar rumah ini," tampik Habib Sholeh setiap ditawari oleh orang lain.

Khalwatnya itu berlangsung selama kurang lebih tujuh tahun. Hingga suatu saat ia mendapat isyarat dari Rasulullah SAW agar menziarahinya di Madinah. Ketika ia mengutarakan maksud dan tujuannya akan berangkat ke Baitul Makkah dan Madinah.

Ketika ditanya oleh banyak orang, Habib Sholeh dengan tersenyum menjawab : "Sebelum rumah ini dibangun saya telah diberitahu oleh Rasulullah SAW dan biarkan rumah ini dibangun."
Sebuah pertanda, Habib Sholeh Al-Hamid telah dipandang mampu mengemban amanah dan dipercaya menyandang khilafah kenabian serta untuk menebarkan kemanfaatan kepada umat manusia.

Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf menyuruhnya datang ke kediamannya di Gresik. Sesampainya di rumah, ia menyuruh Habib Sholeh Hamid mandi di jabiyah (kolam mandi yang khusus miliknya). Setelah itu, sang guru memberinya mandat dan ijazah dengan memakaikan jubah imamah dan sorban kepadanya.

Dakwah Habib Sholeh kepada masyarakat sekitar diawalinya dengan membangun mushala di tempat kediamannya. Habib Sholeh Tanggul selalu mengisinya dengan kegiatan Shalat berjemaah dan hizib Al-Quran antara Magrib dan Isya' di musala ini.
Ia juga menggelar pengajian-pengajian yang membahas hal-hal mana yang dilarang oleh agama dan mana yang diwajibkan agama, kepada masyarakat sekitar.

Setiap selesai Shalat Asar, ia membacakan kitab An-Nasaihud Dinniyah, karangan "Al-Habib Abdullah bin Alwie Al-Hadad", yang diuraikannya ke dalam bahasa keseharian masyarakat sekitar, yakni bahasa Madura.

Beberapa tahun kemudian, ia mendapatkan hadiah sebidang tanah dari seorang muhibin, orang yang mencintai anak-cucu keturunan Nabi Muhammad, yakni H. Abdurrasyid.
Tanah ini lalu ia wakafkan. Di atas tanah inilah ia membangun masjid yang diberi nama Riyadus Sholihin. Di masjid ini kegiatan keagamaan semakin semarak. Kegiatan keagamaan, seperti Shalat berjemaah, hizib Al-Quran, serta pembacaan Ratib Al-Hadad, rutin dibaca di antara Magrib dan Isya'.

Dalam kesehariannya, ia selalu melapangkan dada orang-orang yang sedang dalam kesusahan. Bahkan orang-orang yang sedang dililit utang, ia bantu untuk menyelesaikannya. Jika ia melihat seorang gadis dan jejaka yang belum menikah, ia dengan segera mencarikan pasangan hidup dengan terlebih dahulu menawarkan seorang calon. Apabila ada kecocokan di antara keduanya, segeralah mereka dinikahkan. Bahkan, sering Habib Sholeh yang membantu biaya pernikahannya. Pernah pula, dalam waktu sehari ia mendamaikan dua atau tiga orang yang bermusuhan.

Wasiat atau ajarannya yang paling terkenal : "Hendaklah kamu menjaga Shalat lima waktu. Jangan pernah tinggalkan Shalat Subuh berjemaah. Muliakan dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua. Jadilah kamu sekalian sebagai rahmat bagi seluruh alam. Berbuat baik jangan pilih kasih, kepada siapa pun dan di mana pun."

Dalam kehidupan kemasyarakatan, ia juga terlibat sangat aktif. Antara lain, Habib Sholeh Tanggul juga tercatat sebagai pemberi spirit dengan meletakkan batu pertama pembangunan Rumah Sakit Islam Surabaya. Bahkan ia tercatat sebagai kepala penasihat rumah sakit. Ia juga tercatat sebagai ketua takmir Masjid Jami’ yang didirikan di kota Jember, yang pembangunannya juga dapat diselesaikan dalam waktu singkat berkat doa dan keikutsertaannya dalam peletakan batu pertama.

Derajat Kewaliannya
Kekaramahan dan derajat kewalian Habib Sholeh telah mencapai tingkatan Qutub. Yakni, sebagai pemimpin dan pemuka bagi para pembesar aulia di masanya.
Dalam konteks ini, berkata Habib Abdul Qadir bin Ahmad bin Abdrurrahman Assegaf : "Habib Sholeh adalah orang yang do’anya selalu terkabul dan orang yang sangat dicintai dan disegani".

Bahkan, salah seorang ahli waris keluarga Habib pernah mendengar salah seorang saleh yang dapat dipercaya bercerita kepadanya. Ia pernah bermimpi melihat Habib Sholeh sedang duduk di suatu tempat dan tangan kanan Habib Sholeh memegang tiang dari nur yang sinarnya berkilauan sampai ke langit, lalu terdengar ucapan : "Sesungguhnya Habib Sholeh adalah orang yang mujabud dakwah - doanya selalu diijabah."

Dikisahkan, suatu waktu ia sedang berjalan bersama Habib Ali bin Abdurahman bin Abdullah Al-Habsyi Kwitang Jakarta, dan ia juga berkunjung ke kediaman Habib Ali bin Husein Al-Attas di Bungur Jakarta.
Saat melintasi sebuah lapangan, ia melihat banyak sekali orang berkumpul untuk melakukan Shalat Istisqa, Shalat khusus untuk meminta hujan, karena pada saat itu Jakarta sedang dilanda kemarau panjang.
Habib Sholeh Tanggul pun berkata : "Serahkan saja kepadaku, biar aku yang akan memohon hujan kepada Allah."
Tak lama kemudian, setelah Habib Sholeh Tanggul menengadahkan tangan ke langit, seraya membaca doa meminta hujan, dan hujan pun turun.

Adapun, mengenai kedermawananya, tak seorang pun meragukanya. Bahkan ia selalu memberikan apa yang ada di tangannya mana kala ada seorang yang meminta, atau bahkan memberi salah satu dari kedua pakaiannya.
Berkata salah seorang ulama mengenainya : "Seandainya ia tak memiliki apa pun kecuali rohnya, ia pun akan menyerahkannya kepada yang memintanya."
Banyak yang meyakini, Habib Sholeh Tanggul adalah seorang wali yang dekat dengan Nabi Khidir. Karena itu pula ia terkenal dermawan, seolah apa pun yang ia miliki ingin ia berikan kepada setiap orang yang membutuhkan.

Menjelang wafatnya, tidak menunjukan tanda apa-apa. Hanya beliau sering mengatakan kepada keluarganya : "Saya sebentar lagi akan pergi jauh. Yang rukun semua yah, kalau saya pergi jauh jangan ada konflik," kata Habib Sholeh saat di bulan puasa.

Waliyullah yang doanya selalu terkabul itu wafat dengan tenang pada 7 Syawal 1396 H (1976) dengan meninggalkan 6 putra-putri yakni : Habib Abdullah (alm), Habib Muhammad (alm), Syarifah Nur (alm), Syarifah Fatimah, Habib Ali, dan Syarifah Khadijah. Jenazahnya kemudian dimakamkan di komplek pemakaman Selatan PJKA, Tanggul – Jember - Jawa Timur.
__________________________________________________________________________________

Al-Habib Sholeh bin Muchsin Al-Hamid
(Habib Sholeh Tanggul – Jember – Jawa Timur)


Habib yang satu ini do'anya sangat terkenal selalu terkabul dan orang yang sangat disegani dan dicintai. Dialah "Habib Sholeh bin Muchsin Al-Hamid", atau yang terkenal dengan panggilan Habib Sholeh Tanggul (Jember)

Doa dari habib yang satu ini memang penuh rasa keikhlasan dan tidak tercampur sedikitpun dengan urusan duniawiyah. Wajarlah, bila setiap doa yang ia panjatkan sangat cepat dikabulkan oleh Allah SWT. Dialah Habib Sholeh bin Muchsin Al-Hamid atau yang biasa dikenal dengan sebutan Habib Sholeh Tanggul.

Mengenai resep agar do'anya cepat terkabul, pernah suatu ketika ada orang bertanya :
"Ya, Habib Sholeh. Apa sih kelebihan ibadah Habib Sholeh yang tidak orang lain lakukan, sehingga doa Habib Sholeh cepat terkabul … ?"
Habib Sholeh menjawab :
"Mau tahu rahasianya …? Saya tidak pernah menaruh pispot di kepala saya."
Orang itu bertanya kembali :
"Apa maksudnya ya Habib … ?"
Jawab Habib Sholeh :
"Menaruh pispot di kepala mu dalam beribadah. Artinya, janganlah membanggakan dunia. Janganlah bersaranakan dunia dengan beribadah."
"Contohnya bagaimana ya Habib …?"
"Pispot walaupun terbuat dari emas murni yang terbaik di dunia dan bertahtakan intan berlian yang terbaik. Kalau dibuat topi, tetap akan membuat malu," kata Habib Sholeh.
"Maksudnya … ?"
"Kalau orang mau membanggakan dunia, bermodalkan dunianya. Semisal untuk membanggakan diri tujuannya untuk mencari dunia, lihat saja orang itu akan terjerembab oleh dunia. Karena amal orang itu dipamerkan", jawab Habib Sholeh.
Selain itu, kata Habib Sholeh jangan melakukan dosa syirik.

Habib Ali Bin Abdurrahman Al-Habsyi (Habib Ali Kwitang) juga pernah bertanya kepada Habib Sholeh : "Wahai Habib Sholeh, engkau adalah orang yang do’anya selalu terkabulkan dan engkau sangat dicintai oleh Tuhanmu dan segala permohonanmu selalu dikabulkan."
Maka, Habib Sholeh pun menjawab : "Bagaimana tidak, sedangkan aku belum pernah melakukan hal yang membuat Allah murka, tidak pernah melanggar aturan Allah."

Demikianlah Habib Sholeh Tanggul memberikan beberapa resep agar doa-doa yang dipanjatkan, cepat terkabul.

Habib Sholeh bin Muchsin Al-Hamid lahir di Korbah, Ba Karman (Wadi Amd) Hadramaut pada tahun 1313 H.
Ayahnya adalah Habib Muchsin bin Ahmad yang terkenal dengan sebutan Al-Bakry Al-Hamid, seorang yang saleh dan wali yang arif dan dicintai serta dihormati oleh masyarakatnya. Banyak orang yang datang kepadanya untuk bertawasul dan memohon do’a demi tercapainya segala hajat mereka.
Ibundanya seorang wanita shalihah bernama Aisyah dari keluarga Alabud Ba Umar dari Masyayikh Alamudi.

Habib Sholeh memulai mempelajari kitab suci Al-Quran dari seorang guru yang bernama Said Ba Mudhij, di Wadi Amd, yang juga dikenal sebagai orang saleh yang tiada henti-hentinya berzikir kepada Allah Swt. Sedangkan ilmu fikih dan tasawuf ia pelajari dari ayahnya sendiri, Habib Muchsin Al-Hamid.
Sewaktu kecil Habib Sholeh sebagaimana teman sebayanya, pernah menggembala kambing. Selain itu, ia ternyata mempunyai hobi menembak dengan senapan angin. Bahkan kemampuannya, bisa dikatakan luar biasa, karena ia dikenal sebagai penembak yang jitu.

Pada usia 26 tahun, tepatnya pada bulan keenam tahun 1921 M, dengan ditemani Assyaikh Al-Fadil Assoleh Salim bin Ahmad Al-Asykariy, Habib Sholeh meninggalkan Hadramaut menuju Indonesia.
Mereka berdua sempat singgah di Gujarat (India) beberapa waktu, kemudian baru ke Jakarta. Kemudian sepupu beliau, Habib Muchsin bin Abdullah Al-Hamid, seorang panutan masyarakat, mengajaknya singgah ke kediamannya di Lumajang.

Ia menetap di Lumajang untuk beberapa saat. Kemudian pindah ke Tanggul (Jember), dan akhirnya menetap di desa ini.
Pada suatu saat ia melakukan uzlah (mengasingkan diri dari manusia) selama lebih dari tujuh tahun. Selama itu pula ia tidak menemui seorang pun dan tidak seorang pun manusia menemuinya.

Dalam khalwatnya itu, ia banyak membaca Al-Quran dan kitab Dalailul Khoirat yang berisi selawat dan salam kepada Sayyidis Sadad SAW, "Aku bertemu dengan Rasulullah yang memancarkan sinar dari wajahnya yang mulia."

Hingga tibalah di akhir masa khalwat, datang Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf (Gresik) kepadanya, dan memberikan satu sorban hijau dengan mengatakan : "Ya Habib Sholeh, datang kepadaku Rasulullah SAW dan mengutusku untuk menyerahkan sorban hijau ini. Ini adalah pertanda kewalian qutb (kutub) atasku jatuh ke pundakmu," kata Habib Abu Bakar sambil menyematkan sorban hijau itu ke pundak Habib Sholeh.

Habib Sholeh saat itu merasa dirinya kecil dan belum pantas, maka ia bertanya : "Pantaskah saya menerima anugrah Allah SWT yang sedemikian besar ini ... ? Mampukah saya mengembannya ... ?"

Dalam khalwatnya, ia menangis terus dan tidak pernah keluar dari kamarnya dan minta petunjuk kepada Allah SWT. Saat itu rumahnya masih sangat sederhana terbuat dari bilik bambu. Padahal sudah banyak habaib, saudara, orang-orang kaya datang kepadanya untuk membongkar rumahnya, tapi beliau tidak pernah mau.
Alasannya, "Jangan dibetulkan! Jangan diapa-apakan! Biarkan saja, saya takut Rasulullah SAW tidak datang lagi ke tempat ini. Saya setiap hari berjamaah shalat lima waktu dengan Rasulullah SAW di rumah ini. Jangan dibongkar rumah ini," tampik Habib Sholeh setiap ditawari oleh orang lain.

Khalwatnya itu berlangsung selama kurang lebih tujuh tahun. Hingga suatu saat ia mendapat isyarat dari Rasulullah SAW agar menziarahinya di Madinah. Ketika ia mengutarakan maksud dan tujuannya akan berangkat ke Baitul Makkah dan Madinah.

Ketika ditanya oleh banyak orang, Habib Sholeh dengan tersenyum menjawab : "Sebelum rumah ini dibangun saya telah diberitahu oleh Rasulullah SAW dan biarkan rumah ini dibangun."
Sebuah pertanda, Habib Sholeh Al-Hamid telah dipandang mampu mengemban amanah dan dipercaya menyandang khilafah kenabian serta untuk menebarkan kemanfaatan kepada umat manusia.

Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf menyuruhnya datang ke kediamannya di Gresik. Sesampainya di rumah, ia menyuruh Habib Sholeh Hamid mandi di jabiyah (kolam mandi yang khusus miliknya). Setelah itu, sang guru memberinya mandat dan ijazah dengan memakaikan jubah imamah dan sorban kepadanya.

Dakwah Habib Sholeh kepada masyarakat sekitar diawalinya dengan membangun mushala di tempat kediamannya. Habib Sholeh Tanggul selalu mengisinya dengan kegiatan Shalat berjemaah dan hizib Al-Quran antara Magrib dan Isya' di musala ini.
Ia juga menggelar pengajian-pengajian yang membahas hal-hal mana yang dilarang oleh agama dan mana yang diwajibkan agama, kepada masyarakat sekitar.

Setiap selesai Shalat Asar, ia membacakan kitab An-Nasaihud Dinniyah, karangan "Al-Habib Abdullah bin Alwie Al-Hadad", yang diuraikannya ke dalam bahasa keseharian masyarakat sekitar, yakni bahasa Madura.

Beberapa tahun kemudian, ia mendapatkan hadiah sebidang tanah dari seorang muhibin, orang yang mencintai anak-cucu keturunan Nabi Muhammad, yakni H. Abdurrasyid.
Tanah ini lalu ia wakafkan. Di atas tanah inilah ia membangun masjid yang diberi nama Riyadus Sholihin. Di masjid ini kegiatan keagamaan semakin semarak. Kegiatan keagamaan, seperti Shalat berjemaah, hizib Al-Quran, serta pembacaan Ratib Al-Hadad, rutin dibaca di antara Magrib dan Isya'.

Dalam kesehariannya, ia selalu melapangkan dada orang-orang yang sedang dalam kesusahan. Bahkan orang-orang yang sedang dililit utang, ia bantu untuk menyelesaikannya. Jika ia melihat seorang gadis dan jejaka yang belum menikah, ia dengan segera mencarikan pasangan hidup dengan terlebih dahulu menawarkan seorang calon. Apabila ada kecocokan di antara keduanya, segeralah mereka dinikahkan. Bahkan, sering Habib Sholeh yang membantu biaya pernikahannya. Pernah pula, dalam waktu sehari ia mendamaikan dua atau tiga orang yang bermusuhan.

Wasiat atau ajarannya yang paling terkenal : "Hendaklah kamu menjaga Shalat lima waktu. Jangan pernah tinggalkan Shalat Subuh berjemaah. Muliakan dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua. Jadilah kamu sekalian sebagai rahmat bagi seluruh alam. Berbuat baik jangan pilih kasih, kepada siapa pun dan di mana pun."

Dalam kehidupan kemasyarakatan, ia juga terlibat sangat aktif. Antara lain, Habib Sholeh Tanggul juga tercatat sebagai pemberi spirit dengan meletakkan batu pertama pembangunan Rumah Sakit Islam Surabaya. Bahkan ia tercatat sebagai kepala penasihat rumah sakit. Ia juga tercatat sebagai ketua takmir Masjid Jami’ yang didirikan di kota Jember, yang pembangunannya juga dapat diselesaikan dalam waktu singkat berkat doa dan keikutsertaannya dalam peletakan batu pertama.

Derajat Kewaliannya
Kekaramahan dan derajat kewalian Habib Sholeh telah mencapai tingkatan Qutub. Yakni, sebagai pemimpin dan pemuka bagi para pembesar aulia di masanya.
Dalam konteks ini, berkata Habib Abdul Qadir bin Ahmad bin Abdrurrahman Assegaf : "Habib Sholeh adalah orang yang do’anya selalu terkabul dan orang yang sangat dicintai dan disegani".

Bahkan, salah seorang ahli waris keluarga Habib pernah mendengar salah seorang saleh yang dapat dipercaya bercerita kepadanya. Ia pernah bermimpi melihat Habib Sholeh sedang duduk di suatu tempat dan tangan kanan Habib Sholeh memegang tiang dari nur yang sinarnya berkilauan sampai ke langit, lalu terdengar ucapan : "Sesungguhnya Habib Sholeh adalah orang yang mujabud dakwah - doanya selalu diijabah."

Dikisahkan, suatu waktu ia sedang berjalan bersama Habib Ali bin Abdurahman bin Abdullah Al-Habsyi Kwitang Jakarta, dan ia juga berkunjung ke kediaman Habib Ali bin Husein Al-Attas di Bungur Jakarta.
Saat melintasi sebuah lapangan, ia melihat banyak sekali orang berkumpul untuk melakukan Shalat Istisqa, Shalat khusus untuk meminta hujan, karena pada saat itu Jakarta sedang dilanda kemarau panjang.
Habib Sholeh Tanggul pun berkata : "Serahkan saja kepadaku, biar aku yang akan memohon hujan kepada Allah."
Tak lama kemudian, setelah Habib Sholeh Tanggul menengadahkan tangan ke langit, seraya membaca doa meminta hujan, dan hujan pun turun.

Adapun, mengenai kedermawananya, tak seorang pun meragukanya. Bahkan ia selalu memberikan apa yang ada di tangannya mana kala ada seorang yang meminta, atau bahkan memberi salah satu dari kedua pakaiannya.
Berkata salah seorang ulama mengenainya : "Seandainya ia tak memiliki apa pun kecuali rohnya, ia pun akan menyerahkannya kepada yang memintanya."
Banyak yang meyakini, Habib Sholeh Tanggul adalah seorang wali yang dekat dengan Nabi Khidir. Karena itu pula ia terkenal dermawan, seolah apa pun yang ia miliki ingin ia berikan kepada setiap orang yang membutuhkan.

Menjelang wafatnya, tidak menunjukan tanda apa-apa. Hanya beliau sering mengatakan kepada keluarganya : "Saya sebentar lagi akan pergi jauh. Yang rukun semua yah, kalau saya pergi jauh jangan ada konflik," kata Habib Sholeh saat di bulan puasa.

Waliyullah yang doanya selalu terkabul itu wafat dengan tenang pada 7 Syawal 1396 H (1976) dengan meninggalkan 6 putra-putri yakni : Habib Abdullah (alm), Habib Muhammad (alm), Syarifah Nur (alm), Syarifah Fatimah, Habib Ali, dan Syarifah Khadijah. Jenazahnya kemudian dimakamkan di komplek pemakaman Selatan PJKA, Tanggul – Jember - Jawa Timur
__________________________________________________________________________________

Al-Habib Al-Qutub Abubakar bin Muhammad Assegaf (Gresik)

Al-Habib Al-Qutub Abubakar bin Muhammad Assaqqaf lahir di kota Besuki, Jawa Timur, pada tahun 1285 H. Semenjak kecil beliau sudah ditinggal oleh ayahnya yang wafat di kota Gresik.
Pada tahun 1293 H, Habib Abubakar berangkat ke Hadramaut karena memenuhi permintaan nenek beliau, Syaikhah Fatimah binti Abdullah 'Allan.
Beliau berangkat ke Hadr
amaut bersama dengan Al-Mukarram Muhammad Bazmul.
Sesampainya di Hadramaut, beliau disambut oleh paman, sekaligus juga gurunya, yaitu Abdullah bin Umar Assaqqaf, beserta keluarganya. Kemudian beliau tinggal di kediaman Al-Arif Billah Al-Habib Syeikh bin Umar bin Saggaf Assaqqaf.

Di kota Seiwun beliau belajar ilmu figih dan tasawuf kepada pamannya Al-Habib Abdullah bin Umar Assaqqaf. Hiduplah beliau dibawah bimbingan gurunya itu. Bahkan beliau dibiasakan oleh gurunya untuk bangun malam dan shalat tahajud meskipun usia beliau masih kecil. Selain berguru kepada pamannya, beliau juga mengambil ilmu dari para ulama besar yang ada disana. Diantara guru-guru beliau disana antara lain :
- Al-Habib Al-Qutub Ali bin Muhammad Alhabsyi
- Al-Habib Muhammad bin Ali Assaqqaf
- Al-Habib Idrus bin Umar Alhabsyi
- Al-Habib Ahmad bin Hasan Alatas
- Al-Habib Al-Imam Abdurrahman bin Muhammad
- Almasyhur (Mufti Hadramaut saat itu)
- Al-Habib Syeikh bin Idrus Alaydrus

Al-Habib Al-Qutub Ali bin Muhamad Alhabsyi sungguh telah melihat tanda-tanda kebesaran dalam diri Habib Abubakar dan akan menjadi seorang yang mempunyai kedudukan yang tinggi. Al-Habib Ali Alhabsyi berkata kepada seorang muridnya :
"Lihatlah mereka itu, 3 wali min auliyaillah, nama mereka sama, keadaan mereka sama, dan kedudukan mereka sama. Yang pertama, sudah berada di alam barzakh, yaitu Al-Habib Al-Qutub Abubakar bin Abdullah Alaydrus. Yang kedua, engkau sudah pernah melihatnya pada saat engkau masih kecil, yaitu Al-Habib Al-Qutub Abubakar bin Abdullah Alatas. Dan yang ketiga, engkau akan melihatnya di akhir umurmu."

Ketika usia murid tersebut sudah menginjak usia senja, ia bermimpi melihat Nabi SAW 5 kali dalam waktu 5 malam berturut-turut. Dalam mimpinya itu, Nabi SAW berkata kepadanya :
"(Terdapat kebenaran) bagi yang melihatku di setiap kali melihat. Kami telah hadapkan kepadamu cucu yang sholeh, yaitu Abubakar bin Muhammad Assaqqaf. Perhatikanlah ia."
Murid tersebut sebelumnya belum pernah melihat Habib Abubakar, kecuali di mimpinya itu. Setelah itu ingatlah ia dengan perkataan gurunya, Al-Habib Ali Alhabsyi : "Lihatlah mereka itu, 3 wali min auliyaillah ..."
Tidak lama setelah kejadian mimpinya itu, ia pun meninggal dunia, persis sebagaimana yang diisyaratkan oleh Al-Habib Ali bahwa ia akan melihat Habib Abubakar di akhir umurnya.

Setelah menuntut ilmu disana, pada tahun 1302 H beliau pun akhirnya kembali ke pulau Jawa bersama Habib Alwi bin Saggaf Assaqqaf, dan menuju kota Besuki. Disinilah beliau mulai mensyiarkan dakwah Islamiyyah di kalangan masyarakat. Kemudian pada tahun 1305 H, di saat usia beliau masih 20 tahun, beliau pindah menuju kota Gresik.

Di pulau Jawa, beliaupun masih aktif mengambil ilmu dan manfaat dari ulama-ulama yang ada di sana saat itu, diantaranya yaitu :
- Al-Habib Abdullah bin Muchsin Alatas (Bogor)
- Al-Habib Abdullah bin Ali Alhaddad (wafat di Jombang)
- Al-Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Alatas (Pekalongan)
- Al-Habib Al-Qutub Abubakar bin Umar Bin Yahya (Surabaya)
- Al-Habib Muhammad bin Idrus Alhabsyi (Surabaya)
- Al-Habib Muhammad bin Ahmad Almuhdhor (wafat di Surabaya)

Pada suatu hari di saat menunaikan shalat Jum'at, datanglah ilhaamat rabbaniyyah kepada diri beliau untuk ber-uzlah dan mengasingkan diri dari keramaian duniawi dan godaannya, menghadap kebesaran Ilahiah, ber-tawajjuh kepada Sang Pencipta Alam, dan menyebut keagungan nama-Nya di dalam keheningan. Hal tersebut beliau lakukan dengan penuh kesabaran dan ketabahan.

Waktu pun berjalan demi waktu, sehingga tak terasa sudah sampai 15 tahun lamanya. Beliau pun akhirnya mendapatkan ijin untuk keluar dari uzlahnya, melalui isyarat dari guru beliau, yaitu Al-Habib Muhammad bin Idrus Alhabsyi.
Berkata Al-Habib Muhammad bin Idrus Alhabsyi : "Kami memohon dan ber-tawajjuh kepada Allah selama 3 malam berturut-turut untuk mengeluarkan Abubakar bin Muhammad Assaqqaf dari uzlahnya."

Setelah keluar dari uzlahnya, beliau ditemani dengan Al-Habib Muhammad bin Idrus Alhabsyi berziarah kepada Al-Imam Al-Habib Alwi bin Muhammad Hasyim Assaqqaf. Setelah ziarah, beliau dengan gurunya itu langsung menuju ke kota Surabaya dan singgah di kediaman Al-Habib Abdullah bin Umar Assaqqaf. Masyarakat Surabaya pun berbondong-bondong menyambut kedatangan beliau di rumah tersebut.
Tak lama kemudian, Al-Habib Muhammad bin Idrus Alhabsyi berkata kepada khalayak yang ada disana seraya menunjuk kepada Habib Abubakar : "Beliau adalah suatu khazanah daripada khazanah keluarga Ba'alawi. Kami membukakannya untuk kemanfaatan manusia, baik yang khusus maupun yang umum."

Semenjak itu Habib Abubakar mulai membuka majlis taklim dan dzikir di kediamannya di kota Gresik. Masyarakat pun menyambut dakwah beliau dengan begitu antusias. Dakwah beliau tersebar luas. Dakwah yang penuh ilmu dan ikhlas, semata-mata mencari ridhallah. Dalam majlisnya, beliau setidaknya telah mengkhatamkan kitab Ihya' Ulumiddin sebanyak 40 kali. Dan merupakan kebiasaan beliau, setiap kali dikhatamkannya pembacaan kitab tersebut, beliau mengundang jamuan kepada masyarakat luas.

Beliau adalah seorang yang ghirahnya begitu tinggi dalam mengikuti jalan, atribut dan akhlak keluarga dan salafnya saadah Bani Alawi. Majlis beliau senantiasa penuh dengan mudzakarah dan irsyad menuju jalan para pendahulunya. Majlis beliau tak pernah kosong dari pembacaan kitab-kitab mereka. Inilah perhatian beliau untuk tetap menjaga thariqah salafnya dan berusaha berjalan diatas...qadaman ala qadamin bi jiddin auza'i.

Itulah yang beliau lakukan semasa hayatnya, mengajak manusia kepada kebesaran Ilahi. Waktu demi waktu berganti, sampai kepada suatu waktu dimana Allah memanggilnya.
Disaat terakhir dari akhir hayatnya, beliau melakukan puasa selama 15 hari, dan setelah itu beliau pun menghadap ke haribaan Ilahi. Beliau wafat pada tahun 1376 H pada usia 91 tahun. Jasad beliau disemayamkan di sebelah masjid Jami, Gresik.

Walaupun beliau sudah berpulang ke rahmatullah, kalam-kalam beliau masih terdengar dan membekas di hati para pendengarnya. Akhlak-akhlak beliau masih menggoreskan kesan mendalam di mata orang-orang yang melihatnya. Hal-ihwal beliau masih mengukir keindahan iman di kehidupan para pecintanya.
Radhiyallahu anhu wa ardhah ...

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Al-Habib Salim bin Ahmad bin Jindan

Habib Salim bin Ahmad bin Husain bin Sholeh bin Abdullah bin Umar bin Abdullah (bin Jindan) bin Syaikhan bin Syaikh Abu Bakar bin Salim adalah ulama dan wali besar ini dilahirkan di Surabaya pada 18 Rajab 1324 H. (7 September 1906).
Beliau mulai belajar di Madrasah "Al-Khairiyyah", Surabaya sebelum melanjutkan pelajarannya ke Makkah, Tarim dan Timur Tengah.
Beliau berguru dengan banyak ulama. Seorang ahli hadis yang menghafal 70.000 hadis (ada yang mengatakan ratusan ribu hadis). Beliau juga seorang ahli sejarah yang hebat, sehingga pernah beliau menulis surat kepada Ratu Belanda berisikan silsilah raja-raja Belanda dengan tepat. Hal ini amat mengagumkan Ratu Belanda, kemudian surat beliau diberi jawaban dan diberi pujian serta penghargaan, sebab tak disangka oleh Ratu Belanda, seorang ulama Indonesia yang mengetahui silsilahnya dengan tepat. Tetapi tanda penghargaan Ratu Belanda tersebut telah dibuang oleh Habib Salim karena beliau tidak memerlukan penghargaan.
Al-Habib Salim bin Ahmad bin Jindan

Habib Salim bin Ahmad bin Husain bin Sholeh bin Abdullah bin Umar bin Abdullah (bin Jindan) bin Syaikhan bin Syaikh Abu Bakar bin Salim adalah ulama dan wali besar ini dilahirkan di Surabaya pada 18 Rajab 1324 H. (7 September 1906).
Beliau mulai belajar di Madrasah "Al-Khairiyyah", Surabaya sebelum melanjutkan pelajarannya ke Makkah, Tarim dan Timur Tengah.
Bel


Dalam usaha dakwahnya, beliau telah mendirikan madrasah di Probolinggo serta mendirikan Majlis Ta'lim Fakhriyyah di Jakarta, juga merantau ke berbagai daerah Indonesia untuk tujuan dakwah dan ta’lim. Beliau mempunyai banyak murid antaranya : Kiyai Abdullah Syafi'i, Habib Abdullah bin Thoha as-Saqqaf, Kiyai Thohir Rohili, Habib Abdurrahman al-Attas, dan masih banyak lagi.

Habib Salim juga aktif dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia sehingga beliau dipenjarakan oleh Belanda. Di zaman penjajahan Jepang, beliau juga sering dipenjara kerana ucapan-ucapannya yang tegas, bahkan setelah kemerdekaan Indonesia, beliau juga sering keluar masuk penjara karena kritikannya yang tajam terhadap pemerintah, apalagi dalam hal bersangkutan agama yang sentiasa ditegakkannya dengan lantang.

Sifat dan kepribadian luhurnya serta ilmunya yang luas menyebabkan banyak yang berguru kepada beliau. Presiden Soekarno sendiri pernah berguru dengan beliau dan sering dipanggil ke istana oleh Bung Karno. Waktu Perjanjian Renvil ditandatangani, beliau turut naik ke atas kapal Belanda tersebut bersama pemimpin Indonesia lainnya. Beliau wafat di Jakarta pada 10 Rabi'ul Awwal dan dimakamkan dengan Masjid al-Hawi, Jakarta.

Karena Revolusi Syiah Iran yang menumbangkan kerajaan Syiah Pahlevi, maka ada orang kita yang terpengaruh dengan ajaran Syiah. Bahkan ada juga keturunan Saadah Ba ‘Alawi yang terpengaruh kerana termakan dakwah Syiah yang katanya mencintai Ahlil Bait.

Habib Salim bin Ahmad Bin Jindan telah menulis sebuah kitab membongkar kesesatan Syiah yang diberinya judul "Ar-Raa'atul Ghoomidhah fi Naqdhi Kalaamir Raafidhah". Berhubung dengan bid'ah ratapan pada hari 'Asyura. Habib Salim menulis, antaranya :

• Dan di antara seburuk-buruk adat mereka daripada bid'ah adalah faham Rawaafidh (Syiah) meratap dan menangis setiap tahun pada 10 Muharram, yaitu hari terbunuhnya Al-Husain. Maka ini adalah salah satu maksiat dari dosa-dosa besar yang mewajibkan azab bagi pelakunya, dan tidak sewajarnya bagi orang yang berakal untuk meratap seperti anjing melolong dan menggerak-gerakkan badannya.

• Rasulullah SAW telah mencegah daripada perbuatan demikian (yakni meratap), dan Rasulullah SAW telah melaknat orang yang meratap. Dan di antara perkara awal yang diminta oleh Rasulullah SAW daripada wanita-wanita muslim adalah supaya mereka meninggalkan perbuatan meratap terhadap si mati, di mana Rasulullah SAW bersabda : "Dan janganlah kalian merobek pakaian, mencabut-cabut rambut dan menyeru-nyeru dengan kecelakaan dan kehancuran".

• Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan satu hadits dari Sayyidina Ibnu Mas'ud r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda : "Bukanlah daripada kalangan kami orang yang memukul dada, mengoyak kain, dan menyeru dengan seruan jahiliyyah (yakni meratap seperti ratapan kaum jahiliyyah)".
Maka semua ini adalah perbuatan haram dan pelakunya keluar daripada umat Muhammad SAW sebagaimana dinyatakan dalam hadits tadi.

• Telah berkata Asy-Syarif an-Nashir li Ahlis Sunnah wal Jama'ah Abdurrahman bin Muhammad al-Masyhur al-Hadhrami dalam fatwanya : "Perbuatan menyeru "Ya Husain" sebagaimana dilakukan di daerah India dan Jawa yang dilakukan pada hari 'Asyura, sebelum atau selepasnya, adalah bid'ah madzmumah yang sangat-sangat haram dan pelaku-pelakunya dihukumkan fasik dan sesat yang menyerupai kaum Rawaafidh (Syiah) yang dilaknat oleh Allah".
Bahwasanya Junjungan Rasulullah s.a.w. bersabda : "Sesiapa yang menyerupai sesuatu kaum, maka dia daripada kalangan mereka, dan akan dihimpun bersama mereka pada hari kiamat."

Janganlah tertipu dengan dakwah Syiah. Pelajarilah betul-betul pegangan Ahlus Sunnah wal Jama'ah dan berpegang teguh dengannya. Katakan tidak kepada selain Ahlus Sunnah wal Jama'ah, katakan tidak kepada Wahhabi, katakan tidak kepada Syiah.

Ulama Jakarta ini menguasai beberapa ilmu agama. Banyak ulama dan habaib berguru kepadanya. Koleksi kitabnya berjumlah ratusan. Ia juga pejuang kemerdekaan.

Pada periode 1940-1960, di Jakarta ada tiga habaib yang seiring sejalan dalam berdakwah. Mereka itu : Habib Ali bin Abdurahman Alhabsyi (Kwitang), Habib Ali bin Husein Al-Attas (Bungur), dan Habib Salim bin Jindan (Otista).
Hampir semua habaib dan ulama di Jakarta berguru kepada mereka, terutama kepada Habib Salim bin Jindan, yang memiliki koleksi sekitar 15.000 kitab, termasuk kitab yang langka. Sementara Habib Salim sendiri menulis sekitar 100 kitab, antara lain tentang hadits dan tarikh, termasuk yang belum dicetak.

Beliau lahir di Surabaya pada 18 Rajab 1324 H. (7 September 1906) dan wafat di Jakarta pada 16 Rabiulawal 1389 H. (1 Juni 1969).
Nama lengkap beliau : Habib Salim bin Ahmad bin Husain bin Saleh bin Abdullah bin Umar bin Abdullah bin Jindan. Seperti lazimnya para ulama, sejak kecil ia juga mendapat pendidikan agama dari ayahandanya.

Menginjak usia remaja ia memperdalam agama kepada Habib Abdullah bin Muhsin Alatas (Habib Empang, Bogor), Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhar (Bondowoso), Habib Muhammad bin Idrus Alhabsyi (Surabaya), Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf (Gresik), K.H. Kholil bin Abdul Muthalib (Kiai Kholil Bangkalan), dan Habib Alwi bin Abdullah Syahab di Tarim, Hadramaut.

Selain itu ia juga berguru kepada Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfagih, seorang ahli hadits dan fuqaha, yang sat itu juga memimpin Madrasah Al-Khairiyah di Surabaya. Bukan hanya itu, ia juga rajin menghadiri beberapa majelis taklim yang digelar oleh para ulama besar.

Dari perjalanan taklimnya itu, akhirnya Habib Salim mampu menguasai berbagai ilmu agama, terutama hadits, tarikh dan nasab. Ia juga hafal sejumlah kitab hadits.
Berkat penguasaannya terhadap ilmu hadits ia mendapat gelar sebagai muhaddist, dan karena menguasai ilmu sanad maka ia digelari sebagai musnid.

Mengenai guru-gurunya itu, Habib Salim pernah berkata, "Aku telah berkumpul dan hadir di majelis mereka. Dan sesungguhnya majelis mereka menyerupai majelis para sahabat Rasulullah SAW dimana terdapat kekhusyukan, ketenangan dan kharisma mereka."

Adapun guru yang paling berkesan di hatinya ialah Habib Alwi bin Muhammad Alhaddad dan Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf. Tentang mereka, Habib Salim pernah berkata, "Cukuplah bagi kami mereka itu sebagai panutan dan suri tauladan."

Pada 1940 ia hijrah ke Jakarta. Di sini selain membuka majelis taklim, dan ia juga berdakwah ke berbagai daerah. Di masa perjuangan menjelang kemerdekaan, Habib Salim ikut serta membakar semangat para pejuang untuk berjihad melawan penjajah Belanda. Itu sebabnya ia pernah ditangkap, baik di masa penjajahan Jepang maupun ketika Belanda ingin kembali menjajah Indonesia seperti pada Aksi Polisionil I pada 1947 dan 1948.

Dalam tahanan penjajah, ia sering disiksa : dipukul, ditendang, disetrum. Namun, ia tetap tabah, pantang menyerah. Niatnya bukan hanya demi amar makruf nahi munkar, menentang kebatilan dan kemungkaran, tetapi juga demi kemerdekaan tanah airnya. Sebab, "hubbul wathan minal iman" (cinta tanah air adalah sebagian dari pada iman).

Kembali Berdakwah
Setelah Indonesia benar-benar aman, Habib Salim sama sekali tidak mempedulikan apakah perjuangannya demi kemerdekaan tanah air itu dihargai atau tidak. Ia ikhlas berjuang, kemudian kembali membuka majelis taklim yang diberi nama Qashar Al-Wafiddin. Ia juga kembali berdakwah dan mengajar, baik di Jakarta, di beberapa daerah maupun di luar negeri, seperti Singapura, Malaysia, Kamboja.

Ketika berdakwah di daerah-daerah itulah ia mengumpulkan data-data sejarah Islam. Dengan cermat dan tekun ia kumpulkan sejarah perkembangan Islam di Ternate, Maluku, Ambon, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Timor Timur, Pulau Roti, Sumatera, Pulau Jawa. Ia juga mendirikan sebuah perpustakaan bernama Al-Fakhriah.

Di masa itu Habib Salim juga dikenal sebagai ulama yang ahli dalam menjawab berbagai persoalan – yang kadang-kadang menjebak.
Misalnya, suatu hari, ketika ia ditanya oleh seorang pendeta : "Habib, yang lebih mulia itu yang masih hidup atau yang sudah mati ?"
Maka jawab Habib Salim : "Semua orang akan menjawab, yang hidup lebih mulia dari yang mati. Sebab yang mati sudah jadi bangkai."
Lalu kata pendeta itu : "Kalau begitu Isa bin Maryam lebih mulia dari Muhammad bin Abdullah. Sebab, Muhammad sudah meninggal, sementara Isa, menurut keyakinan Habib belum mati, masih hidup."
Jawab Habib Salim :"Kalau begitu berarti ibu saya lebih mulia dari Maryam. Sebab, Maryam sudah meninggal, sedang ibu saya masih hidup. Itu, dia ada di belakang".
Mendengar jawaban diplomatis itu, si pendeta terbungkam seribu bahasa, lalu pamit pulang. Ketika itu banyak kaum Nasrani yang akhirnya memeluk Islam setelah bertukar pikiran dengan Habib Salim.

Habib Salim memang ahli berdebat dan orator ulung. Pendiriannya pun teguh.
Sejak lama, jauh-jauh hari, ia sudah memperingatkan bahaya kerusakan moral akibat pornografi dan kemaksiatan.
“Para wanita mestinya jangan membuka aurat mereka, karena hal ini merupakan penyakit yang disebut tabarruj, atau memamerkan aurat, yang bisa menyebar ke seluruh rumah kaum muslimin”, kata Habib Salim kala itu.

Ulama besar ini wafat di Jakarta pada 16 Rabiulawal 1389 (1 Juni 1969). Ketika itu ratusan ribu kaum muslimin dari berbagai pelosok datang bertakziah ke rumahnya di Jalan Otto Iskandar Dinata, Jakarta Timur. Iring-iringan para pelayat begitu panjang sampai ke Condet. Jasadnya dimakamkan di kompleks Masjid Alhawi, Condet, Jakarta Timur.

Almarhum meninggalkan dua putera, Habib Shalahudin dan Habib Novel yang juga sudah menyusul ayahandanya. Namun, dakwah mereka tetap diteruskan oleh anak keturunan mereka.
Nama perpustakaan Habib Salim, yaitu Al-Fachriyyah, diresmikan sebagai nama pondok pesantren yang didirikan oleh Habib Novel bin Salim di Ciledug, Tangerang. Kini pesantren tersebut diasuh oleh Habib Jindan bin Novel bin Salim dan Habib Ahmad bin Novel bin Salim (dua putra almarhum Habib Novel).
"Sekarang ini sulit mendapatkan seorang ulama seperti jid (kakek) kami. Meski begitu, kami tetap mewarisi semangatnya dalam berdakwah di daerah-daerah yang sulit dijangkau", kata Habib Ahmad, cucu Habib Salim bin Jindan.

Ada sebuah nasihat almarhum Habib Salim bin Jindan yang sampai sekarang tetap diingat oleh keturunan dan para jemaahnya, ialah pentingnya menjaga akhlak keluarga.
"Kewajiban kaum muslimin, khususnya orangtua untuk menasihati keluarga mereka, menjaga dan mendidik mereka, menjauhkan mereka dari orang-orang yang bisa merusak akhlak. Sebab, orangtua adalah wasilah (perantara) dalam menuntun anak-anak. Nasihat seorang ayah dan ibu lebih berpengaruh pada anak-anak dibanding nasehat orang lain."
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Al-Habib Ali bin Husein Al-Attas (Bungur)

Al-Habib Ali bin Husein Al-Attas, beliau lebih dikenal dengan sebutan Habib Ali Bungur. Beliau merupakan rantai jaringan Ulama Betawi sampai sekarang ini. Beliau memiliki jasa yang sangat besar dalam menorehkan jejak langkah dakwah dikalangan masyarakat Betawi. Beliau menjadi rujukan umat di zamannya.
Al-Habib Salim bin Jindan mengatakan bahwa Al-Habib Al

i bin Husein Al-Attas dan Al-Habib Ali Alhabsyi Kwitang bagaikan kedua bola matanya, dikarenakan keluasan khazanah keilmuan kedua habib itu.

Silsilah beliau adalah : Al-Habib Ali bin Husein bin Muhammad bin Husein bin Ja'far bin Muhammad bin Ali bin Husein bin Al-Imam Al-Qutub Al-Habib Umar bin Abdurrahman Al-Attas bin Agil bin Salim bin Abdullah bin Abdurrahman Assegaf bin Mauladawilah bin Ali bin Alwi Al-Ghuyyur bin Muhammad Al-Faqih Al-Muqaddam bin Ali bin Muhammmad Sahib Mirbath bin Ali Khala' Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin 'Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad An-Naqib bin Ali Al-'Uraidhi bin Ja'far Ash-Shadiq bin Muhammad Baqir bin Ali Zaenal Abidin bin Husein bin Ali bin Ali Thalib suami Fatimah Az-Zahra binti Rasulullah SAW.

Beliau lahir di Huraidhah, Hadramaut, pada tanggal 1 Muharram 1309 H - 1889 M. Semenjak usia 6 tahun beliau belajar berbagai ilmu keislaman pada para ulama dan auliya yang hidup di Hadramaut saat itu, sebagaimana jejak langkah generasi pendahulunya. Setelah mendalami agama yang cukup di Hadramaut, pada tahun 1912 M beliau pergi ke tanah suci untuk menunaikan haji serrta berziarah ke makam datuknya Rasulullah SAW di Madinah. Disana beliau menetap di Makkah. Hari-hari beliau dipergunakan untuk menimba ilmu kepada para ulama yang berada di Hijaz.
Setelah 4 tahun di tanah suci, kemudian beliau ke Indonesia dan menetap di Jakarta.

Beliau berguru kepada para ulama yang berada di tanah air, diantaranya : Al-Habib Abdullah bin Muhsin Al-Attas (Empang-Bogor), Al-Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Attas (Pekalongan), Al-Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi (Surabaya), Al-Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhor (Bondowoso).

Beliau tinggal di daerah Cikini, sebuah kampung yang masyarakatnya hidup dibawah garis kemiskinan. Beliau tinggal bersama-sama rakyat jelata.
Setiap orang yang mengenal Habib Ali, pasti akan berkata : "Hidupnya sederhana, tawadhu', teguh memegang prinsip, menolak pengkultusan manusia, berani membela kebenaran, luas dalam pemikiran, mendalam di bidang ilmu pengetahuan, tidak membeda-bedakan yang kaya dan yang miskin, mendorong terbentuknya Negara Indonesia yang bersatu, utuh serta berdaulat, tidak segan-segan menegur para pejabat yang mendatanginya, selalu menyampaikan agar jurang antara pemimpin dan rakyat dihilangkan, dan rakyat mesti dicintai".
Hal inilah yang menyebabkan rakyat mencintai Al-Habib Ali bin Husein Al-Attas.
Beliau tidak pernah menadah tangannya kepada orang-orang kaya harta, sebab beliau memiliki kekayaan hati, beliau tidak mau menengadahkan tangannya dibawah, kecuali hanya memohon kepada Rabbul 'Alamin. Beliau memiliki ketawakalan yang tinggi kepada Allah azza wa jalla.
Beliau selalu mengobarkan semangat anti penjajah dengan membawakan ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadits Nabi SAW yang menganjurkan melawan penjajah.
"Penjajah adalah penindas, kafir dan wajib diperangi", begitulah yang sering beliau ucapkan.
Beliau tergolong pejuang yang anti komunis. Pada masa pemberontakan PKI, beliau selalu mengatakan bahwa :
"PKI dan komunis akan lenyap dari bumi Indonesia dan rakyat akan selalu melawan kekuatan atheis. Ini berkah perjuangan para ulama dan auliya yang jasadnya bertebaran di seluruh nusantara".

Semasa hidupnya beliau tidak pernah berhenti dan tak kenal lelah dalam berdakwah. Salah satu karya terbesar beliau adalah kitab Tajul A'ras fi Manaqib Al-Qutub Al-Habib Sholeh bin Abdullah Al-Attas, sebuah kitab sejarah para ulama Hadramaut yang pernah beliau jumpai, dari masa penjajahan Inggris di Hadramaut, sehingga sekilas perjalanan para ulama Hadramaut di Indonesia.
Buku itu juga berisi tentang beberapa kandungan ilmu tasawuf dan Thariqah Alawiyah. Semasa hidupnya beliau selalu berjuang membela umat, kesederhanaan serta istiqomahnya dalam mempraktekkan ajaran islam dalam kehidupan sehari-hari menjadi tauladan yang baik bagi umat.
Beliau selalu mengajarkan dan mempraktekkan bahwa islam mengajak umat dari kegelapan pada cahaya yang terang, membawa dari taraf kemiskinan kepada taraf keadilan dan kemakmuran.
Beliau wafat pada tanggal 16 Februari 1976, jam 06:10 pagi dalam usia 88 tahun, dan beliau dimakamkan di pemakaman Al-Hawi, Condet, Jakarta timur
_______________________________________________________________________________

Wafatnya Rasulullah SAW

Ketika ajal Rasulullah SAW semakin dekat, Beliau pun memanggil para sahabat ke rumah Siti Aisyah dan Beliau bersabda :
"Selamat datang, semoga Allah SWT mengasihi kalian, saya berwasiat kepada kalian agar senantiasa bertakwa kepada Allah SWT dan mentaati segala perintah-Nya.
Sesungguhnya hari perpisahan saya dengan kalian sudah dekat, itu berarti semakin dekat pula kembali

nya seorang hamba kepada Allah SWT dan menempatkannya di surga-Nya.
Jika sampai ajalku, hendaklah Ali yang memandikanku, Fadhl bin Abas hendaklah menuangkan air, dan Usamah bin Zaid hendaklah menolong keduanya.
Setelah itu kafanilah aku dengan pakaianku sendiri.
Jika kalian menghendaki, kafanilah aku dengan kain Yaman yang putih.
Jika engkau memandikan aku, hendaklah engkau letakkan aku di atas balai tempat tidurku di dalam rumahku ini.
Setelah itu kalian keluarlah sebentar meninggalkan aku.
Pertama yang akan menshalati aku ialah Allah SWT, kemudian diikuti oleh malaikat Israfil, Malaikat Mikail dan yang terakhir malaikat Izrail beserta dengan semua para pembantunya.
Setelah itu, barulah kalian masuk semua menshalatiku."

Setelah para sahabat mendengar ucapan yang sungguh menyayat hati itu, mereka pun menangis dengan suara yang keras dan berkata :
"Ya, Rasulullah SAW Anda adalah seorang Rasul yang diutus kepada kami dan untuk semua, selama ini Anda memberi kekuatan pada kami dan Anda pula pemimpin yang mengurus semua perkara kami.
Apabila Anda sudah tiada nanti, kepada siapakah kami bertanya setiap ada persoalan muncul … ?."

Kemudian Rasulullah SAW bersabda :
"Dengarlah para sahabatku, aku tinggalkan kepada kalian jalan yang benar dan jalan yang terang, dan telah aku tinggalkan dua penasehat.
Yang satu pandai bicara dan yang satu lagi diam saja.
Yang pandai bicara itu adalah Alqur'an, dan yang diam itu ialah maut.
Apabila ada persoalan yang sulit dan berbelit di antara kalian, hendaklah kalian kembali kepada Alqur’an dan Hadistku dan sekiranya hati engkau keras, lembutkan dia dengan mengambil pelajaran dari mati."

Setelah Rasulullah SAW berkata demikian, Beliau kemudian mulai merasakan sakit.
Dalam bulan Safar Rasulullah sakit selama 18 hari dan sering diziarahi para sahabat.

Saat Saat Terakhir Sakitnya Rasulullah SAW
Dalam sebuah kitab diterangkan, bahwa Rasulullah diutus pada Hari Senin dan wafat pada Hari Senin.
Pada Hari Senin penyakit Beliau bertambah berat.
Setelah Bilal selesai adzan subuh, Bilal pun pergi ke rumah Rasulullah SAW. Sampai di sana, Bilal memberi salam :
"Assalamu’alaika ya Rasulullah."
Lalu dijawab Sayyidatina Fathimah r.a. :
"Rasulullah SAW masih sibuk dengan urusan Beliau."
Setelah Bilal mendengar penjelasan dari Sayyidina Fathimah r.a., Bilal pun kembali ke masjid tanpa memahami kata-kata Fatimah itu.

Ketika waktu subuh hampir habis, Bilal pergi sekali lagi ke rumah SAW dan memberi salam seperti tadi. Kali ini salam Bilal telah didengar Rasulullah SAW.
Beliau berkata :
"Masuklah wahai Bilal, sesungguhnya penyakitku ini semakin berat, oleh karena itu, kau suruhlah Abu Bakar meng-imami salat subuh berjamaah dengan mereka yang hadir."

Setelah mendengar kata-kata Rasulullah, Bilal pun berjalan menuju masjid sambil meletakkan tangan di atas kepala, seraya berkata :
"Aduh musibah."

Setelah Bilal sampai di masjid, Bilal pun memberitahu Abu Bakar tentang apa yang telah Rasulullah SAW katakan kepadanya.
Abu Bakar tidak dapat menahan dirinya saat ia melihat mimbar kosong.
Kemudian dengan suara keras Abu Bakar menangis hingga ia jatuh pingsan.
Melihat peristiwa itu maka riuhlah di dalam masjid, sehingga Rasulullah SAW bertanya kepada Sayyidina Fathimah r.a. :
"Wahai Fatimah apa yang telah terjadi … ?"
Sayyidatina Fathimah r.a. pun berkata :
"Keriuhan kaum muslimin, sebab Anda tidak pergi ke masjid."

Kemudian Rasulullah SAW memanggil Ali dan Fadhl bin Abas, lalu beliau bersandar pada kedua bahu mereka dan terus pergi ke masjid.
Setelah sampai di masjid, Rasulullah pun salat subuh bersama dengan para jamaah.
Setelah selesai salat subuh, Beliau berkata :
"Wahai kaum muslimin, kalian senantiasa dalam pertolongan dan penjagaan Allah.
Oleh karena itu, hendaklah kalian bertakwa kepada Allah SWT dan mengerjakan segala perintah-Nya.
Sesungguhnya aku akan meninggalkan dunia ini dan kalian.
Hari ini adalah hari pertamaku di akhirat dan hari terakhirku di dunia."
Setelah berkata demikian, Rasulullah SAW pun pulang ke rumah.

Izrail a.s. Menjemput Rasulullah SAW
Kemudian Allah SWT mewahyukan kepada Malaikat Izrail :
"Wahai Izrail, pergilah engkau kepada kekasih-Ku dengan sebaik-baik wajah, dan jika engkau hendak mencabut rohnya, hendaklah engkau melakukan dengan cara yang paling lembut sekali.
Jika engkau pergi ke rumahnya, minta izinlah terlebih dahulu.
Kalau ia izinkan engkau masuk, maka masuklah engkau ke rumahnya, dan kalau ia tidak izinkan engkau masuk, hendaklah engkau kembali pada-Ku."
Setelah Malaikat Izrail mendapat perintah dari Allah SWT, Malaikat Izrail pun turun menyerupai orang Arab Baduwi.

Setelah Malaikat Izrail sampai di hadapan rumah Rasulullah, ia pun memberi salam :
"Assalamu'alaikum yaa ahla bait nubuwwati wa ma danir risaalatia adkhulu … ?"
(mudah-mudahan keselamatan tetap untuk kalian, wahai penghuni rumah Nabi dan sumber risalah, bolehkah saya masuk … ?)
Sayyidatina Fathimah r.a. mendengar ada orang memberi salam, ia pun berkata :
"Wahai hamba Allah, Rasulullah SAW sedang sibuk, sebab sakitnya yang semakin berat."
Kemudian Malaikat Izrail berkata lagi seperti semula, dan kali ini seruan malaikat itu telah didengar oleh Rasulullah SAW, kemudian beliau bertanya kepada Fathimah :
"Wahai Fathimah, siapakah di depan pintu itu."
Sayyidatina Fathimah r.a. menjawab :
"Ya Rasulullah, ada seorang Arab Baduwi memanggilmu, aku telah katakan padanya bahwa Anda sedang sibuk sebab sakit, sebaliknya dia memandang saya dengan tajam sehingga badan saya terasa menggigil."
Kemudian Rasulullah SAW berkata :
"Wahai Fathimah, tahukah engkau siapakah orang itu … ?"
Jawab Sayyidatina Fathimah r.a. : "Tidak ayah …"
Rasulullah SAW menjawab :
"Dia adalah Malaikat Izrail, malaikat yang akan memutuskan segala macam nafsu syahwat, yang memisahkan perkumpulan-perkumpulan, dan yang memusnahkan semua rumah serta meramaikan kubur."
Sayyidatina Fathimah r.a. tidak dapat menahan air matanya lagi setelah mengetahui, bahwa saat perpisahan dengan ayahandanya semakin dekat, ia pun menangis sejadi-jadinya.
Ketika Rasulullah mendengar tangisan Fatimah, Beliau pun berkata :
"Janganlah engkau menangis wahai Fathimah, engkaulah orang pertama dalam keluargaku yang akan bertemu denganku."

Rasulullah SAW mempersilahkan Malaikat Izrail masuk.
Kemudian Rasulullah SAW pun menjemput (mengundang dan memperslahkan) Malaikat Izrail masuk.
Malaikat Izrail pun masuk dengan mengucap :
"Assalamu'alaikum ya Rasulullah."
Lalu Rasulullah SAW menjawab :
"Waalaikassaalam, wahai Izrail, engkau datang menziarahi aku atau untuk mencabut rohku … ?"
Berkata malaikat Izrail :
"Kedatangan saya adalah untuk menziarahimu dan untuk mencabut rohmu, itupun kalau engkau izinkan. Kalau tidak engkau izinkan, aku akan kembali."
Berkata Rasulullah SAW :
"Wahai Izrail, dimanakah engkau tinggalkan Jibril … ?"
Berkata Izrail :
"Saya tinggalkan Jibril di langit dunia, semua para malaikat sedang memuliakan dia."
Tidak berapa lama, Jibril pun turun dan duduk dekat (di samping) kepala Rasulullah SAW.

JIBRIL MENDAMPINGI RASULULLAH DALAM MENEMPUH SAKARATUL MAUT
Ketika Rasulullah SAW melihat kedatangan Jibril, Beliau pun berkata :
"Wahai Jibril, tahukah engkau bahwa ajalku sudah dekat."
Berkata Jibril : "Ya aku tahu."
Rasulullah bertanya lagi :
"Wahai Jibril, beritahu kepadaku kemuliaan yang menggembirakanku di sisi Allah SWT."
Berkata Jibril :
"Sesungguhnya semua pintu langit telah dibuka, para malaikat berbaris rapi menanti rohmu di langit.
Semua pintu surga telah dibuka, dan semua para bidadari sudah berhias menanti kehadiran rohmu."
Berkata Rasulullah SAW :
"Alhamdulillah ... Sekarang engkau katakan tentang umatku di hari kiamat nanti."
Berkata Jibril :
"Allah SWT telah berfirman : "Sesungguhnya aku telah melarang semua para Nabi masuk ke dalam surga sebelum engkau masuk terlebih dahulu, dan aku juga melarang semua umat memasuki surga sebelum umatmu memasuki terlebih dahulu."
Berkata Rasulullah SAW:
"Sekarang aku telah lega dan telah hilang rasa susahku ... Wahai Izrail, dekatlah engkau padaku …"

Setelah itu Malaikat Izrail pun mengawali tugasnya.
Ketika rohnya sampai pada ubun-ubun (pusat), Rasulullah SAW pun berkata :
"Wahai Jibril, alangkah dahsyatnya kematian itu …"
Jibril nampak mengalihkan pandangan dari Rasulullah SAW, ketika mendengar kata-kata Beliau.
Melihat sikap Jibril itu Rasulullah SAW pun berkata :
"Wahai Jibril, apakah engkau tidak suka melihat wajahku … ?"
Jibril berkata :
"Wahai kekasih Allah, siapakah orang yang sanggup melihat wajahmu di kala engkau dalam sakaratul maut … ?"

ALLAHU AKBAR .......
Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Raji'uun …

PESAN DIAKHIR HAYAT RASULULLAH SAW
Anas bin Malik r.a. bercerita, ketika roh Rasulullah SAW sampai di dada, Beliau bersabda :
"Aku wasiatkan kepada engkau agar kalian menjaga shalat dan apa-apa yang telah diperintahkan kepadamu."
Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a. berkata :
"Sesungguhnya Rasulullah ketika menjelang saat terakhir, telah menggerakkan kedua bibir Beliau sebanyak dua kali, dan saya meletakkan telinga saya dekat dengan Rasulullah SAW, seraya Beliau berkata : "Umatku, umatku."

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.
Dan jika mereka memperoleh kebaikan (kemenangan dalam peperangan atau rezki), mereka mengatakan : "Ini adalah dari sisi Allah."
Dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan:
"Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)."
Katakanlah: "Semuanya (datang) dari sisi Allah."
Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan (Pelajaran dan nasehat-nasehat yang diberikan) sedikitpun … ?"
(Q.S An-Nisa' : 78)

Dalam sepotong hadist Rasulullah SAW mengingatkan kita :
"Memadailah bagi kalian, kematian itu menjadi pelajaran …"
(kafa bil mauti mau'idzah … !!!)
Wallahu a'lamu bish-shawaab …
__________________________________________________________________________________

Tidak ada komentar:

Posting Komentar