Sebuah
persoalan yang sedang saya hadapi, dan sudah barang tentu juga dihadapi orang
lain, yaitu masalah berjabat tangan antara laki-laki dengan wanita, khususnya
terhadap kerabat yang bukan mahram saya, seperti anak paman atau anak bibi,
atau istri saudara ayah atau istri saudara ibu, atau saudara wanita istri saya,
atau wanita-wanita lainnya yang ada hubungan kekerabatan atau persemendaan
dengan saya. Lebih-lebih dalam momen-momen tertentu, seperti datang dari
bepergian, sembuh dari sakit, datang dari haji atau umrah, atau saat-saat
lainnya yang biasanya para kerabat, semenda, tetangga, dan teman-teman lantas
menemuinya dan bertahni’ah (mengucapkan selamat atasnya) dan berjabat tangan
antara yang satu dengan yang lain.
Pertanyaan
saya, apakah ada nash Al-Qur’an atau As-Sunnah yang mengharamkan berjabat
tangan antara laki-laki dengan wanita, sementara sudah saya sebutkan banyak
motivasi kemasyarakatan atau kekeluargaan yang melatarinya, di samping ada rasa
saling percaya. Aman dari fitnah, dan jauh dari rangsangan syahwat. Sedangkan
kalau kita tidak mau berjabat tangan, maka mereka memandang kita orang-orang
beragama ini kuno dan terlalu ketat, merendahkan wanita, selalu berprasangka
buruk kepadanya, dan sebagainya.
Apabila ada
dalil syar’inya, maka kami akan menghormatinya dengan tidak ragu-ragu lagi, dan
tidak ada yang kami lakukan kecuali mendengar dan mematuhi, sebagai konsekuensi
keimanan kami kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan jika hanya semata-mata hasil
ijtihad fuqaha-fuqaha kita terdahulu, maka adakalanya fuqaha-fuqaha kita
sekarang boleh berbeda pendapat dengannya, apabila mereka mempunyai ijtihad
yang benar, dengan didasarkan pada tuntutan peraturan yang senantiasa berubah
dan kondisi kehidupan yang selalu berkembang.
Karena itu,
saya menulis surat ini kepada Ustadz dengan harapan Ustadz berkenan membahasnya
sampai ke akar-akarnya berdasarkan Al-Qur’anul Karim dan Al-Hadits asy-Syarif.
Kalau ada dalil yang melarang sudah tentu kami akan berhenti; tetapi jika dalam
hal ini terdapat kelapangan, maka kami tidak mempersempit kelapangan-kelapangan
yang diberikan Allah kepada kami, lebih-lebih sangat diperlukan dan bisa
menimbulkan “bencana” kalau tidak dipenuhi.
Saya
berharap kesibukan-kesibukan Ustadz yang banyak itu tidak menghalangi Ustadz
untuk menjawab surat saya ini, sebab – sebagaimana saya katakan di muka –
persoalan ini bukan persoalan saya seorang, tetapi mungkin persoalan
berjuta-juta orang seperti saya.
Semoga Allah
melapangkan dada Ustadz untuk menjawab, dan memudahkan kesempatan bagi Ustadz
untuk menahkik masalah, dan mudah-mudahan Dia menjadikan Ustadz bermanfaat.
Jawaban
Tidak perlu
saya sembunyikan kepada saudara penanya bahwa masalah hukum berjabat tangan
antara laki-laki dengan perempuan – yang saudara tanyakan itu – merupakan
masalah yang amat penting, dan untuk menahkik hukumnya tidak bisa dilakukan
dengan seenaknya. Ia memerlukan kesungguhan dan pemikiran yang optimal dan
ilmiah sehingga si mufti harus bebas dari tekanan pikiran orang lain atau
pikiran yang telah diwarisi dari masa-masa lalu, apabila tidak didapati
acuannya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah sehingga argumentasi-argumentasinya
dapat didiskusikan untuk memperoleh pendapat yang lebih kuat dan lebih
mendekati kebenaran menurut pandangan seorang faqih, yang di dalam
pembahasannya hanya mencari ridha Allah, bukan memperturutkan hawa nafsu.
Sebelum
memasuki pembahasan dan diskusi ini, saya ingin mengeluarkan dua buah gambaran
dari lapangan perbedaan pendapat ini, yang saya percaya bahwa hukum kedua
gambaran itu tidak diperselisihkan oleh fuqaha-fuqaha terdahulu, menurut
pengetahuan saya. Kedua gambaran itu ialah:
Pertama,
diharamkan berjabat tangan dengan wanita apabila disertai dengan syahwat dan
taladzdzudz (berlezat-lezat) dari salah satu pihak, laki-laki atau wanita
(kalau keduanya dengan syahwat sudah barang tentu lebih terlarang lagi; penj.)
atau di belakang itu dikhawatirkan terjadinya fitnah, menurut dugaan yang kuat.
Ketetapan diambil berdasarkan pada hipotesis bahwa menutup jalan menuju
kerusakan itu adalah wajib, lebih-lebih jika telah tampak tanda-tandanya dan
tersedia sarananya.
Hal ini
diperkuat lagi oleh apa yang dikemukakan para ulama bahwa bersentuhan kulit
antara laki-laki dengannya – yang pada asalnya mubah itu – bisa berubah menjadi
haram apabila disertai dengan syahwat atau dikhawatirkan terjadinya fitnah,1
khususnya dengan anak perempuan si istri (anak tiri), atau saudara sepersusuan,
yang perasaan hatinya sudah barang tentu tidak sama dengan perasaan hati ibu
kandung, anak kandung, saudara wanita sendiri, bibi dari ayah atau ibu, dan
sebagainya.
Kedua,
kemurahan (diperbolehkan) berjabat tangan dengan wanita tua yang sudah tidak
punya gairah terhadap laki-laki, demikian pula dengan anak-anak kecil yang
belum mempunyai syahwat terhadap laki-laki, karena berjabat tangan dengan
mereka itu aman dari sebab-sebab fitnah. Begitu pula bila si laki-laki sudah
tua dan tidak punya gairah terhadap wanita.
Hal ini
didasarkan pada riwayat dari Abu Bakar RA bahwa beliau pernah berjabat tangan
dengan beberapa orang wanita tua, dan Abdullah bin Zubair mengambil pembantu
wanita tua untuk merawatnya, maka wanita itu mengusapnya dengan tangannya dan
membersihkan kepalanya dari kutu.2
Hal ini
sudah ditunjukkan Al-Qur’an dalam membicarakan perempuan-perempuan tua yang
sudah berhenti (dari haid dan mengandung), dan tiada gairah terhadap laki-laki,
dimana mereka diberi keringanan dalam beberapa masalah pakaian yang tidak
diberikan kepada yang lain:
“Dan
perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang
tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka
dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih
baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (an-Nur: 60)
Dikecualikan
pula laki-laki yang tidak memiliki gairah terhadap wanita dan anak-anak kecil
yang belum muncul hasrat seksualnya. Mereka dikecualikan dari sasaran larangan
terhadap wanita-wanita mukminah dalam hal menampakkan perhiasannya.
“… Dan
hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan
perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau putra-putra suami mereka, atau
saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka,
atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau
budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak
mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti
tentang aurat wanita …”(an-Nur: 31)
Selain dua
kelompok yang disebutkan itulah yang menjadi tema pembicaraan dan pembahasan
serta memerlukan pengkajian dan tahkik.
Golongan
yang mewajibkan wanita menutup seluruh tubuhnya hingga wajah dan telapak
tangannya, dan tidak menjadikan wajah dan tangan ini sebagai yang dikecualikan
oleh ayat:
“… Dan
janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa tampak daripadanya
…” (an-Nur: 31)
Bahkan
mereka menganggap bahwa perhiasan yang biasa tampak itu adalah pakaian luar
seperti baju panjang, mantel, dan sebagainya, atau yang tampak karena darurat
seperti tersingkap karena ditiup angin kencang dan sebagainya. Maka tidak
mengherankan lagi bahwa berjabat tangan antara laki-laki dengan wanita menurut
mereka adalah haram. Sebab, apabila kedua telapak tangan itu wajib ditutup maka
melihatnya adalah haram; dan apabila melihatnya saja haram, apa lagi
menyentuhnya. Sebab, menyentuh itu lebih berat daripada melihat, karena ia
lebih merangsang, sedangkan tidak ada jabat tangan tanpa bersentuhan kulit.
Tetapi sudah
dikenal bahwa mereka yang berpendapat demikian adalah golongan minoritas,
sedangkan mayoritas fuqaha dari kalangan sahabat, tabi’in, dan orang-orang
sesudah mereka berpendapat bahwa yang dikecualikan dalam ayat “kecuali yang
biasa tampak daripadanya” adalah wajah dan kedua (telapak) tangan.
Maka apakah
dalil mereka untuk mengharamkan berjabat tangan yang tidak disertai syahwat?
Sebenarnya
saya telah berusaha mencari dalil yang memuaskan yang secara tegas menetapkan
demikian, tetapi tidak saya temukan.
Dalil yang
terkuat dalam hal ini ialah menutup pintu fitnah (saddudz-dzari’ah), dan alasan
ini dapat diterima tanpa ragu-ragu lagi ketika syahwat tergerak, atau karena
takut fitnah bila telah tampak tanda-tandanya. Tetapi dalam kondisi aman – dan
ini sering terjadi – maka di manakah letak keharamannya?
Sebagian
ulama ada yang berdalil dengan sikap Nabi SAW yang tidak berjabat tangan dengan
perempuan ketika beliau membaiat mereka pada waktu penaklukan Mekah yang
terkenal itu, sebagaimana disebutkan dalam surat al-Mumtahanah.
Tetapi ada
satu muqarrar (ketetapan) bahwa apabila Nabi SAW meninggalkan suatu urusan,
maka hal itu tidak menunjukkan – secara pasti – akan keharamannya. Adakalanya
beliau meninggalkan sesuatu karena haram, adakalanya karena makruh, adakalanya
hal itu kurang utama, dan adakalanya hanya semata-mata karena beliau tidak
berhasrat kepadanya, seperti beliau tidak memakan daging biawak padahal daging
itu mubah.
Kalau
begitu, sikap Nabi SAW tidak berjabat tangan dengan wanita itu tidak dapat
dijadikan dalil untuk menetapkan keharamannya, oleh karena itu harus ada dalil
lain bagi orang yang berpendapat demikian.
Lebih dari
itu, bahwa masalah Nabi SAW tidak berjabat tangan dengan kaum wanita pada waktu
baiat itu belum disepakati, karena menurut riwayat Ummu Athiyah al-Anshariyah
RA bahwa Nabi SAW pernah berjabat tangan dengan wanita pada waktu baiat,
berbeda dengan riwayat dari Ummul Mukminin Aisyah RA dimana beliau mengingkari
hal itu dan bersumpah menyatakan tidak terjadinya jabat tangan itu.
Imam Bukhari
meriwayatkan dalam shahihnya dari Aisyah bahwa Rasulullah saw.SAW menguji
wanita-wanita mukminah yang berhijrah dengan ayat ini, yaitu firman Allah:
“Hai Nabi,
apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji
setia, bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu pun dengan Allah; tidak
akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan
berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dengan kaki mereka3 dan
tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia
mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-Mumtahanah: 12)
Aisyah
berkata, “Maka barangsiapa di antara wanita-wanita beriman itu yang menerima
syarat tersebut, Rasulullah SAW berkata kepadanya, “Aku telah membai’atmu –
dengan perkataan saja – dan demi Allah tangan beliau sama sekali tidak
menyentuh tangan wanita dalam baiat itu; beliau tidak membaiat mereka melainkan
dengan mengucapkan, ‘Aku telah membai’atmu tentang hal itu.'” 4
Dalam
mensyarah perkataan Aisyah “Tidak, demi Allah …,” al-Hafizh Ibnu Hajar berkata
dalam Fathul Bari sebagai berikut: Perkataan itu berupa sumpah untuk menguatkan
berita, dan dengan perkataannya itu seakan-akan Aisyah hendak menyangkal berita
yang diriwayatkan dari Ummu Athiyah. Menurut riwayat Ibnu Hibban, al-Bazzar,
ath-Thabari, dan Ibnu Mardawaih, dari (jalan) Ismail bin Abdurrahman dari
neneknya, Ummu Athiyah, mengenai kisah baiat, Ummu Athiyah berkata:
“Lalu
Rasulullah SAW mengulurkan tangannya dari luar rumah dan kami mengulurkan
tangan kami dari dalam rumah, kemudian beliau berucap, ‘Ya Allah,
saksikanlah.'”
Demikian
pula hadits sesudahnya – yakni sesudah hadits yang tersebut dalam al-Bukhari –
dimana Aisyah mengatakan:
“Seorang
wanita menahan tangannya”
Memberi
kesan seolah-olah mereka melakukan baiat dengan tangan mereka.
Al-Hafizh
(Ibnu Hajar) berkata: “Untuk yang pertama itu dapat diberi jawaban bahwa
mengulurkan tangan dari balik hijab mengisyaratkan telah terjadinya baiat
meskipun tidak sampai berjabat tangan… Adapun untuk yang kedua, yang dimaksud
dengan menggenggam tangan itu ialah menariknya sebelum bersentuhan… Atau baiat
itu terjadi dengan menggunakan lapis tangan.
Abu Daud
meriwayatkan dalam al-Marasil dari asy-Sya’bi bahwa Nabi SAW ketika membaiat
kaum wanita beliau membawa kain selimut bergaris dari Qatar lalu beliau
meletakkannya di atas tangan beliau, seraya berkata,
“Aku tidak
berjabat dengan wanita.”
Dalam
Maghazi Ibnu Ishaq disebutkan bahwa Nabi SAW memasukkan tangannya ke dalam
bejana dan wanita itu juga memasukkan tangannya bersama beliau.
Ibnu Hajar
berkata: “Dan boleh jadi berulang-ulang, yakni peristiwa baiat itu terjadi
lebih dari satu kali, di antaranya ialah baiat yang terjadi di mana beliau
tidak menyentuh tangan wanita sama sekali, baik dengan menggunakan lapis maupun
tidak, beliau membaiat hanya dengan perkataan saja, dan inilah yang
diriwayatkan oleh Aisyah. Dan pada kesempatan yang lain beliau tidak berjabat
tangan dengan wanita dengan menggunakan lapis, dan inilah yang diriwayatkan
oleh asy-Sya’bi.”
Di antaranya
lagi ialah dalam bentuk seperti yang disebutkan Ibnu Ishaq, yaitu memasukkan
tangan ke dalam bejana. Dan ada lagi dalam bentuk seperti yang ditunjukkan oleh
perkataan Ummu Athiyah, yaitu berjabat tangan secara langsung.
Di antara alasan
yang memperkuat kemungkinan berulang-ulangnya baiat itu ialah bahwa Aisyah
membicarakan baiat wanita-wanita mukminah yang berhijrah setelah terjadinya
peristiwa Perjanjian Hudaibiyah, sedangkan Ummu Athiyah – secara lahiriah –
membicarakan yang lebih umum daripada itu dan meliputi baiat wanita mukminah
secara umum, termasuk di dalamnya wanita-wanita Anshar seperti Ummu Athiyah si
perawi hadits. Karena itu, Imam Bukhari memasukkan hadits Aisyah di bawah bab
“Idzaa Jaa aka al-Mu’minaat Muhaajiraat,” sedangkan hadits Ummu Athiyah
dimasukkan dalam bab “Idzaa Jaa aka al- Mu’minaat Yubaayi’naka.”
Maksud
pengutipan semua ini ialah bahwa apa yang dijadikan acuan oleh kebanyakan orang
yang mengharamkan berjabat tangan antara laki-laki dengan perempuan – yaitu bahwa
Nabi SAW tidak berjabat tangan dengan wanita – belumlah disepakati. Tidak
seperti sangkaan orang-orang yang tidak merujuk kepada sumber-sumber aslinya.
Masalah ini bahkan masih diperselisihkan sebagaimana yang telah saya kemukakan.
Sebagian
ulama sekarang ada yang mengharamkan berjabat tangan dengan wanita dengan
mengambil dalil riwayat Thabrani dan Baihaqi dari Ma’qil bin Yasar dari Nabi
SAW, beliau bersabda:
“Sesungguhnya
ditusuknya kepala salah seorang di antara kamu dengan jarum besi itu lebih baik
daripada ia menyentuh wanita yang tidak halal baginya.”5
Ada beberapa
hal yang perlu diperhatikan berkenaan dengan pengambilan hadits di atas sebagai
dalil:
1. Bahwa
imam-imam ahli hadits tidak menyatakan secara jelas akan keshahihan hadits
tersebut, hanya orang-orang seperti al-Mundziri dan al-Haitsami yang
mengatakan, “Perawi-perawinya adalah perawi-perawi kepercayaan atau
perawi-perawi shahih.”
Perkataan
seperti ini saja tidak cukup untuk menetapkan keshahihan hadits tersebut,
karena masih ada kemungkinan terputus jalan periwayatannya (inqitha’) atau
terdapat ‘illat (cacat) yang samar. Karena itu, hadits ini tidak diriwayatkan
oleh seorang pun dari penyusun kitab-kitab yang masyhur, sebagaimana tidak ada
seorang pun fuqaha terdahulu yang menjadikannya sebagai dasar untuk
mengharamkan berjabat tangan antara laki-laki dengan perempuan dan sebagainya.
2. Fuqaha
Hanafiyah dan sebagian fuqaha Malikiyah mengatakan bahwa pengharaman itu tidak
dapat ditetapkan kecuali dengan dalil qath’i yang tidak ada kesamaran padanya,
seperti Al-Qur’anul Karim serta hadits-hadits mutawatir dan masyhur. Adapun
jika ketetapan atau keshahihannya sendiri masih ada kesamaran, maka hal itu
tidak lain hanyalah menunjukkan hukum makruh, seperti hadits-hadits ahad yang
shahih. Maka bagaimana lagi dengan hadits yang diragukan keshahihannya?
3. Andaikata
kita terima bahwa hadits itu shahih dan dapat digunakan untuk mengharamkan
suatu masalah, maka saya dapati petunjuknya tidak jelas. Kalimat “menyentuh
kulit wanita yang tidak halal baginya” itu tidak dimaksudkan semata-mata
bersentuhan kulit dengan kulit tanpa syahwat, sebagaimana yang biasa terjadi
dalam berjabat tangan. Bahkan kata-kata al-mass (massa – yamassu – mass:
menyentuh) cukup digunakan dalam nash-nash syar’iyah seperti Al-Qur’an dan
As-Sunnah dengan salah satu dari dua pengertian, yaitu:
a. Bahwa ia
merupakan kinayah (kiasan) dari hubungan biologis (jima’) sebagaimana
diriwayatkan Ibnu Abbas dalam menafsirkan firman Allah: “Laamastum an-Nisat”
(Kamu menyentuh wanita). Ibnu Abbas berkata, “Lafal al-lams, al-mulaamasah, dan
al-mass dalam Al-Qur’an dipakai sebagai kiasan untuk jima’ (hubungan seksual).
Secara umum, ayat-ayat Al-Qur’an yang menggunakan kata al-mass menunjukkan arti
seperti itu dengan jelas, seperti firman Allah yang diucapkan Maryam:
“Betapa
mungkin aku akan mempunyai anak padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang
laki-laki pun …” (Ali Imran: 47)
“Jika kamu
menceraikan istri-istrimu sebelum kamu menyentuh mereka…” (al-Baqarah: 237)
Dalam hadits
diceritakan bahwa Nabi SAW mendekati istri-istrinya tanpa menyentuhnya….
b. Bahwa
yang dimaksud ialah tindakan-tindakan di bawah kategori jima’, seperti mencium,
memeluk, merangkul, dan lain-lain yang merupakan pendahuluan bagi jima’
(hubungan seksual). Ini diriwayatkan oleh sebagian ulama salaf dalam
menafsirkan makna kata mulaamasah.
Al-Hakim
mengatakan dalam “Kitab ath-Thaharah” dalam al-Mustadrak ‘al a ash-Shahihaini
sebagai berikut:
Imam Bukhari
dan Muslim telah sepakat mengeluarkan hadits-hadits yang berserakan dalam dua
musnad yang shahih yang menunjukkan bahwa al-mass itu berarti sesuatu
(tindakan) di bawah jima':
(1) Di
antaranya hadits Abu Hurairah:
“Tangan,
zinanya ialah menyentuh…”
(2) Hadits
Ibnu Abbas:
“Barangkali
engkau menyentuhnya…?”
(3) Hadits
lbnu Mas’ud:
“Dan
dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang)…”6
Al-Hakim
berkata, “Dan masih ada beberapa hadits shahih pada mereka (Bukhari dan Muslim)
mengenai tafsir dan lainnya …” Kemudian al-Hakim menyebutkan di antaranya:
(4) Dari
Aisyah, ia berkata:
“Sedikit
sekali hari (berlalu) kecuali Rasulullah SAW mengelilingi kami semua – yakni
istri-istrinya – lalu beliau mencium dan menyentuh yang derajatnya di bawah
jima’. Maka apabila beliau tiba di rumah istri yang waktu giliran beliau di
situ, beliau menetap di situ.”
(5) Dari
Abdullah bin Mas’ud, ia berkata, “Au laamastum an-nisa” (atau kamu menyentuh
wanita) ialah tindakan di bawah jima’, dan untuk ini wajib wudhu.”
(6) Dan dari
Umar, ia berkata, “Sesungguhnya mencium itu termasuk al-lams, oleh sebab itu
berwudhulah karenanya.”7
Berdasarkan
nash-nash yang telah disebutkan itu, maka mazhab Maliki dan mazhab Ahmad
berpendapat bahwa menyentuh wanita yang membatalkan wudhu itu ialah yang
disertai dengan syahwat. Dan dengan pengertian seperti inilah mereka
menafsirkan firman Allah, “au laamastum an-nisa'” (atau kamu menyentuh wanita).
Karena itu,
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Fatawa-nya melemahkan pendapat orang yang
menafsirkan lafal “mulaamasah” atau “al-lams” dalam ayat tersebut dengan
semata-mata bersentuhan kulit walaupun tanpa syahwat.
Di antara
yang beliau katakan mengenai masalah ini seperti berikut:
Adapun
menggantungkan batalnya wudhu dengan menyentuh semata-mata (persentuhan kulit,
tanpa syahwat), maka hal ini bertentangan dengan ushul, bertentangan dengan
ijma’ sahabat, bertentangan dengan atsar, serta tidak ada nash dan qiyas bagi
yang berpendapat begitu.
Apabila
lafal al-lams (menyentuh) dalam firman Allah (atau jika kamu menyentuh wanita
…) itu dimaksudkan untuk menyentuh dengan tangan atau mencium dan sebagainya –
seperti yang dikatakan Ibnu Umar dan lainnya – maka sudah dimengerti bahwa
ketika hal itu disebutkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, yang dimaksud ialah
yang dilakukan dengan bersyahwat, seperti firman Allah dalam ayat i’tikaf: “…
Dan janganlah kamu me-mubasyarah mereka ketika kamu sedang i’tikaf dalam
masjid…” (al-Baqarah: 187)
Mubasyarah
(memeluk) bagi orang yang sedang i’tikaf dengan tidak bersyahwat itu tidak
diharamkan, berbeda dengan memeluk yang disertai syahwat.
Demikian
pula firman Allah: “Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu menyentuh
mereka …” (al-Baqarah: 237). Atau dalam ayat sebelumnya disebutkan: “Tidak ada
kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istrimu
sebelum kamu menyentuh mereka …” (al-Baqarah: 236).
Karena
seandainya si suami hanya menyentuhnya dengan sentuhan biasa tanpa syahwat,
maka tidak wajib iddah dan tidak wajib membayar mahar secara utuh serta tidak
menjadikan mahram karena persemendaan menurut kesepakatan ulama.
Barangsiapa
menganggap bahwa lafal au laamastum an-nisa’ mencakup sentuhan biasa meskipun
tidak dengan bersyahwat, maka ia telah menyimpang dari bahasa Al-Qur’an, bahkan
menyimpang dari bahasa manusia sebagaimana yang sudah dikenal. Sebab, jika
disebutkan lafal al-mass (menyentuh) yang diiringi dengan laki-laki dan
perempuan, maka tahulah dia bahwa yang dimaksud ialah menyentuh dengan
bersyahwat, sebagaimana bila disebutkan lafal al-wath’u (yang asal artinya
“menginjak”) yang diikuti dengan kata-kata laki-laki dan perempuan, maka
tahulah ia bahwa yang dimaksud ialah al-wath’u dengan kemaluan (yakni
bersetubuh), bukan menginjak dengan kaki.”8
Di tempat
lain lbnu Taimiyah menyebutkan bahwa para sahabat berbeda pendapat mengenai
maksud firman Allah au laamastum annisa’. Ibnu Abbas dan segolongan sahabat
berpendapat bahwa yang dimaksud ialah jima’. Dan mereka berkata, “Allah itu
Pemalu dan Maha Mulia. Ia membuat kinayah untuk sesuatu sesuai dengan yang Ia
kehendaki.”
Beliau
berkata, “Ini yang lebih tepat di antara kedua pendapat tersebut.”
Bangsa Arab
dan Mawali juga berbeda pendapat mengenai makna kata al-lams, apakah ia berarti
jima’ atau tindakan di bawah jima’. Bangsa Arab mengatakan, yang dimaksud
adalah jima’. Sedangkan Mawali (bekas-bekas budak yang telah dimerdekakan)
berkata: yang dimaksud ialah tindakan di bawah jima’ (pra-hubungan biologis).
Lalu mereka meminta keputusan kepada Ibnu Abbas, lantas Ibnu Abbas membenarkan
bangsa Arab dan menyalahkan Mawali.9
Maksud
dikutipnya semua ini ialah untuk kita ketahui bahwa kata-kata al-mass atau
al-lams ketika digunakan dalam konteks laki-laki dan perempuan tidaklah
dimaksudkan dengan semata-mata bersentuhan kulit biasa, tetapi yang dimaksud
ialah mungkin jima’ (hubungan seks) atau pendahuluannya seperti mencium, memeluk,
dan sebagainya yang merupakan sentuhan disertai syahwat dan kelezatan.
Kalau kita
perhatikan riwayat yang shahih dari Rasulullah SAW, niscaya kita jumpai sesuatu
yang menunjukkan bahwa semata-mata bersentuhan tangan antara laki-laki dengan
perempuan tanpa disertai syahwat dan tidak dikhawatirkan terjadinya fitnah
tidaklah terlarang, bahkan pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW, sedangkan pada
dasarnya perbuatan Nabi SAW itu adalah tasyri’ dan untuk diteladani:
“Sesungguhnya
telah ada pada diri Rasulullah SAW itu suri teladan yang baik bagimu…”
(al-Ahzab: 21)
Imam Bukhari
meriwayatkan dalam Shahih-nya pada “Kitab al-Adab” dari Anas bin Malik RA, ia
berkata:
“Sesungguhnya
seorang budak wanita di antara budak-budak penduduk Madinah memegang tangan
Rasulullah SAW, lalu membawanya pergi ke mana ia suka.”
Dalam
riwayat Imam Ahmad dari Anas juga, ia berkata:
“Sesungguhnya
seorang budak perempuan dari budak-budak penduduk Madinah datang, lalu ia
memegang tangan Rasulullah SAW, maka beliau tidak melepaskan tangan beliau dari
tangannya sehingga dia membawanya pergi ke mana ia suka.”
Ibnu Majah
juga meriwayatkan hal demikian.
Al-Hafizh
Ibnu Hajar mengatakan dalam Fathul Bari:
“Yang
dimaksud dengan memegang tangan di sini ialah kelazimannya, yaitu kasih sayang
dan ketundukan, dan ini meliputi bermacam-macam kesungguhan dalam tawadhu’,
karena disebutkannya perempuan bukan laki-laki, dan disebutkannya budak bukan
orang merdeka, digunakannya kata-kata umum dengan lafal al-imaa’ (budak-budak
perempuan), yakni budak perempuan yang mana pun, dan dengan perkataan haitsu
syaa’at (ke mana saja ia suka), yakni ke tempat mana saja. Dan ungkapan dengan
“mengambil/memegang tangannya” itu menunjukkan apa saja yang dilakukannya,
sehingga meskipun si budak perempuan itu ingin pergi ke luar kota Madinah dan
dia meminta kepada beliau untuk membantu memenuhi keperluannya itu niscaya
beliau akan membantunya.
Ini
merupakan dalil yang menunjukkan betapa tawadhu’nya Rasulullah SAW dan betapa
bersihnya beliau dari sikap sombong.”10
Apa yang dikemukakan
oleh Ibnu Hajar itu secara garis besar dapat diterima, tetapi beliau
memalingkan makna memegang tangan dari makna lahiriahnya kepada kelazimannya
yang berupa kasih sayang dan ketundukan, tidak dapat diterima, karena makna
lahir dan kelaziman itu adalah dua hal yang dimaksudkan secara bersama-sama,
dan pada asalnya perkataan itu harus diartikan menurut lahirnya, kecuali jika
ada dalil atau indikasi tertentu yang memalingkannya dari makna lahir.
Sedangkan dalam hal ini saya tidak menjumpai faktor yang mencegah atau melarang
dipakainya makna lahir itu, bahkan riwayat Imam Ahmad yang menyebutkan “maka
beliau tidak melepaskan tangan beliau dari tangannya sehingga ia membawa beliau
pergi ke mana saja ia suka” menunjukkan dengan jelas bahwa makna lahir itulah
yang dimaksud. Sungguh termasuk memberat-beratkan diri dan perbuatan
serampangan jika keluar dari makna lahir ini.
Lebih banyak
dan lebih mengena lagi apa yang diriwayatkan dalam Shahihain dan kitab-kitab
Sunan dari Anas “bahwa Nabi SAW tidur siang hari di rumah bibi Anas yang
bernama Ummu Haram binti Milhan istri Ubadah bin Shamit, dan beliau tidur di
sisi Ummu Haram dengan meletakkan kepala beliau di pangkuan Ummu Haram, dan
Ummu Haram membersihkan kepala beliau dari kutu …”
Ibnu Hajar
dalam menjelaskan hadits ini mengatakan, “Hadits ini memperbolehkan tamu tidur
siang di rumah orang lain (yakni tuan rumah) dengan memenuhi persyaratannya,
seperti dengan adanya izin dan aman dari fitnah, dan bolehnya wanita asing
(bukan istri) melayani tamu dengan menghidangkan makanan, menyediakan
keperluannya, dan sebagainya.
Hadits ini
juga memperbolehkan wanita melayani tamunya dengan membersihkan kutu kepalanya.
Tetapi hal ini menimbulkan kemusykilan bagi sejumlah orang. Maka Ibnu Abdil
Barr berkata, “Saya kira Ummu Haram itu dahulunya menyusui Rasulullah SAW
(waktu kecil), atau saudaranya yaitu Ummu Sulaim, sehingga masing-masing
berkedudukan “sebagai ibu susuan” atau bibi susuan bagi Rasulullah SAW. Karena
itu, beliau tidur di sisinya, dan dia lakukan terhadap Rasulullah apa yang
layak dilakukan oleh mahram.”
Selanjutnya
Ibnu Abdil Barr membawakan riwayat dengan sanadnya yang menunjukkan bahwa Ummu
Haram mempunyai hubungan mahram dengan Rasul dari jurusan bibi (saudara
ibunya), sebab ibu Abdul Muthalib, kakek Nabi, adalah dari Bani Najjar …
Yang lain
lagi berkata, “Nabi SAW itu maksum (terpelihara dari dosa dan kesalahan).
Beliau mampu mengendalikan hasratnya terhadap istrinya, maka betapa lagi
terhadap wanita lain mengenai hal-hal yang beliau disucikan daripadanya? Beliau
suci dari perbuatan-perbuatan buruk dan perkataan-perkataan kotor, dan ini
termasuk kekhususan beliau.”
Tetapi
pendapat ini disangkal oleh al-Qadhi ‘Iyadh dengan argumentasi bahwa kekhususan
itu tidak dapat ditetapkan dengan sesuatu yang bersifat kemungkinan. Tetapnya
kemaksuman beliau memang dapat diterima, tetapi pada dasarnya tidak ada
kekhususan dan boleh meneladani beliau dalam semua tindakan beliau, sehingga
ada dalil yang menunjukkan kekhususannya.
Al-Hafizh
ad-Dimyati mengemukakan sanggahan yang lebih keras lagi terhadap orang yang
mengatakan kemungkinan pertama, yaitu anggapan tentang adanya hubungan
kemahraman antara Nabi SAW dengan Ummu Haram. Beliau berkata:
“Mengigau
orang yang menganggap Ummu Haram sebagai salah seorang bibi Nabi SAW, baik bibi
susuan maupun bibi nasab. Sudah dimaklumi, orang-orang yang menyusukan beliau
tidak ada seorang pun di antara mereka yang berasal dari wanita Anshar selain
Ummu Abdil Muthalib, yaitu Salma binti Amr bin Zaid bin Lubaid bin Hirasy bin
Amir bin Ghanam bin Adi bin an-Najjar; dan Ummu Haram adalah binti Milhan bin
Khalid bin Zaid bin Haram bin Jundub bin Amir tersebut. Maka nasab Ummu Haram
tidak bertemu dengan nasab Salma kecuali pada Amir bin Ghanam, kakek mereka
yang sudah jauh ke atas. Dan hubungan bibi (yang jauh) ini tidak menetapkan
kemahraman, sebab ini adalah bibi majazi, seperti perkataan Nabi SAW terhadap
Sa’ad bin Abi Waqash, “Ini pamanku” karena Sa’ad dari Bani Zahrah, kerabat ibu
beliau Aminah, sedangkan Sa’ad bukan saudara Aminah, baik nasab maupun susuan.”
Selanjutnya
beliau (Dimyati) berkata, “Apabila sudah tetap yang demikian, maka terdapat
riwayat dalam ash-Shahih yang menceritakan bahwa Nabi SAW tidak pernah masuk ke
tempat wanita selain istri-istri beliau, kecuali kepada Ummu Sulaim. Lalu
beliau ditanya mengenai masalah itu, dan beliau menjawab, ‘Saya kasihan
kepadanya, saudaranya terbunuh dalam peperangan bersama saya.’ Yakni Haram bin
Milhan, yang terbunuh pada waktu peperangan Bi’r Ma’unah.”
Apabila
hadits ini mengkhususkan pengecualian untuk Ummu Sulaim, maka demikian pula
halnya dengan Ummu Haram tersebut. Karena keduanya adalah bersaudara dan hidup
di dalam satu rumah, sedangkan Haram bin Milhan adalah saudara mereka berdua.
Maka ‘illat (hukumnya) adalah sama di antara keduanya, sebagaimana dikemukakan
oleh Ibnu Hajar.
Dan
ditambahkan pula kepada ‘illat tersebut bahwa Ummu Sulaim adalah ibu Anas,
pelayan Nabi SAW, sedangkan telah berlaku kebiasaan pergaulan antara pelayan,
yang dilayani, serta keluarganya, serta ditiadakan kekhawatiran yang terjadi di
antara orang-orang luar.
Kemudian
ad-Dimyati berkata, “Tetapi hadits itu tidak menunjukkan terjadinya khalwat
antara Nabi SAW dengan Ummu Haram, kemungkinan pada waktu itu disertai oleh
anak, pembantu, suami, atau pendamping.”
Ibnu Hajar
berkata, “Ini merupakan kemungkinan yang kuat, tetapi masih belum dapat
menghilangkan kemusykilan dari asalnya, karena masih adanya mulamasah
(persentuhan) dalam membersihkan kutu kepala, demikian pula tidur di pangkuan.”
Al-Hafizh
berkata, “Sebaik-baik jawaban mengenai masalah ini ialah dengan menganggapnya
sebagai kekhususan, dan hal ini tidak dapat ditolak oleh keberadaannya yang
tidak ditetapkan kecuali dengan dalil, karena dalil mengenai hal ini sudah
jelas.”11
Tetapi saya
tidak tahu mana dalilnya ini, samar-samar ataukah jelas?
Setelah
memperhatikan riwayat-riwayat tersebut, maka yang mantap dalam hati saya adalah
bahwa semata-mata bersentuhan kulit tidaklah haram. Apabila didapati
sebab-sebab yang menjadikan percampuran (pergaulan) seperti yang terjadi antara
Nabi SAW dengan Ummu Haram dan Ummu Sulaim serta aman dari fitnah bagi kedua
belah pihak, maka tidak mengapalah berjabat tangan antara laki-laki dengan
perempuan ketika diperlukan, seperti ketika datang dari perjalanan jauh,
seorang kerabat laki-laki berkunjung kepada kerabat wanita yang bukan mahramnya
atau sebaliknya, seperti anak perempuan paman atau anak perempuan bibi baik
dari pihak ibu maupun dari pihak ayah, atau istri paman, dan sebagainya,
lebih-lebih jika pertemuan itu setelah lama tidak berjumpa.
Dalam
menutup pembahasan ini ada dua hal yang perlu saya tekankan:
Pertama,
bahwa berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan itu hanya diperbolehkan
apabila tidak disertai dengan syahwat serta aman dari fitnah. Apabila
dikhawatirkan terjadi fitnah terhadap salah satunya, atau disertai syahwat dan
taladzdzudz (berlezat-lezat) dari salah satunya (apa lagi keduanya; penj.) maka
keharaman berjabat tangan tidak diragukan lagi.
Bahkan
seandainya kedua syarat ini tidak terpenuhi – yaitu tiadanya syahwat dan aman
dari fitnah – meskipun jabatan tangan itu antara seseorang dengan mahramnya
seperti bibinya, saudara sesusuan, anak tirinya, ibu tirinya, mertuanya, atau
lainnya, maka berjabat tangan pada kondisi seperti itu adalah haram.
Bahkan
berjabat tangan dengan anak yang masih kecil pun haram hukumnya jika kedua
syarat itu tidak terpenuhi.
Kedua,
hendaklah berjabat tangan itu sebatas ada kebutuhan saja, seperti yang
disebutkan dalam pertanyaan di atas, yaitu dengan kerabat atau semenda (besan)
yang terjadi hubungan yang erat dan akrab di antara mereka; dan tidak baik hal
ini diperluas kepada orang lain, demi membendung pintu kerusakan, menjauhi
syubhat, mengambil sikap hati-hati, dan meneladani Nabi SAW – tidak ada riwayat
kuat yang menyebutkan bahwa beliau pernah berjabat tangan dengan wanita lain
(bukan kerabat atau tidak mempunyai hubungan yang erat).
Dan yang
lebih utama bagi seorang muslim atau muslimah – yang komitmen pada agamanya –
ialah tidak memulai berjabat tangan dengan lain jenis. Tetapi, apabila diajak
berjabat tangan barulah ia menjabat tangannya.
Saya
tetapkan keputusan ini untuk dilaksanakan oleh orang yang memerlukannya tanpa
merasa telah mengabaikan agamanya, dan bagi orang yang telah mengetahui tidak
usah mengingkarinya selama masih ada kemungkinan untuk berijtihad.
Wallahu
a’lam.
(hdn)
Maraji':
Yusuf Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer.
—
Catatan
kaki:
1 Lihat
al-Ikhtiar li Mukhtar fi Fiqhil Hanafyah, 4: 155.
2 Ibid., 4:
156-157
3 Perbuatan
yang mereka ada-adakan antara tangan dengan kaki mereka itu maksudnya ialah
mengadakan pengakuan-pengakuan palsu mengenai hubungan antara laki-laki dengan
wanita seperti tuduhan berzina, tuduhan bahwa anak si Fulan bukan anak
suaminya, dan sebagainya. (Al-Qur’an dan Terjemahannya, catatan kaki nomor
1473; penj.)
4 HR Bukhari
dalam shahihnya, dalam “Kitab Tafsir Surat al-Mumtahanah,” Bab “Idzaa Jaa’aka
al-Mu’minaatu Muhaajiraat.”
5
Al-Mundziri berkata dalam at-Targhib: “Perawi-perawi Thabrani adalah
orang-orang tepercaya, perawi-perawi yang shahih.”
6 Beliau
(al-Hakim) mengisyaratkan kepada riwayat asy-Syaikhani dan lainnya dan hadits
Ibnu Maswud, dan dalam sebagian riwayat-riwayatnya: Bahwa seorang laki-laki
datang kepada Nabi SAW Lalu dia mengatakan bahwa dia telah berbuat sesuatu
terhadap wanita, mungkin menciumnya, menyentuh dengan tangannya, atau perbuatan
lainnya, seakan-akan ia menanyakan kafaratnya. Lalu Allah menurunkan ayat (yang
artinya), “Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang)
dan pada bagian permulaan dari malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang
baik itu menghapuskan dosa perbuatan-perbuatan yang buruk…” (Hud: 114) (HR
Muslim dengan lafal ini dalam “Kitab at-Taubah,” nomor 40)
7 Lihat,
al-Mustadrak, 1: 135.
8 Majmu’
Fatawa, Ibnu Taimiyah, terbitan ar-Riyadh, jilid 21, hlm. 223-224.
9 Ibid.
10 Fathul
Bari, juz 13.
11 Fathul
Bari 13: 230-231. Dengan beberapa perubahan susunan redaksional
dikutip dari dakwatunah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar