Allah
menciptakan seluruh makhluk hidup berpasang-pasangan, bahkan menciptakan alam
semesta ini pun berpasang-pasangan. Sebagaimana firman-Nya: “Maha Suci
Allah yang telah menciptakan pasang-pasangan semuanya, baik dari apa yang
ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka
ketahui.” (QS Yasin: 36)
“Dan segala
sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran
Allah.” (QS
Adz-Dzaariyat: 49)
Berdasarkan
sunnah kauniyah (ketetapan Allah) yang umum ini, manusia diciptakan
berpasang-pasangan, terdiri dari jenis laki-laki dan perempuan, sehingga
kehidupan manusia dapat berlangsung dan berkembang. Begitu pula dijadikan daya
tarik antara satu jenis dengan jenis lain, sebagai fitrah Allah untuk manusia.
Setelah
menciptakan Adam, Allah menciptakan (dari dan untuk Adam) seorang istri supaya
ia merasa tenang hidup dengannya, begitu pula si istri merasa tenang hidup
bersamanya. Sebab secara hukum fitrah, tidak mungkin ia (Adam) dapat merasa
bahagia jika hanya seorang diri, walaupun dalam surga ia dapat makan
minum secara leluasa.
Seperti
telah saya singgung di muka bahwa taklif ilahi (tugas dari Allah) yang pertama
adalah ditujukan kepada kedua orang ini sekaligus secara bersama-sama, yakni
Adam dan istrinya: “… Hai Adam, diamilah oleh kamu dan istrimu surga
ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang
kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk
orang-orang yang zalim.” (QS Al-Baqarah: 35)
Karena itu,
tidaklah dapat dibayangkan seorang laki-laki akan hidup sendirian, jauh dari
perempuan, tidak melihat perempuan dan perempuan tidak melihatnya, kecuali jika
sudah keluar dari keseimbangan fitrah dan menjauhi kehidupan—sebagaimana cara
hidup kependetaan yang dibikin-bikin kaum Nasrani.
Tidak dapat
dibayangkan bagaimana wanita akan hidup sendirian dengan menjauhi laki-laki.
Bukankah kehidupan itu dapat tegak dengan adanya tolong-menolong dan
bantu-membantu antara kedua jenis manusia ini dalam urusan-urusan dunia dan
akhirat?
“Dan
orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah)
menjadi penolong bagi sebagian yang lain…” (QS At-Taubah: 71)
Hakikat lain
yang wajib diingat di sini—berkenaan dengan kebutuhan timbal balik antara
laki-laki dengan perempuan—bahwa Allah SWT telah menanamkan dalam fitrah
masing-masing dari kedua jenis manusia ini rasa ketertarikan terhadap lawan
jenisnya dan kecenderungan syahwati yang instinktif. Dengan adanya fitrah
ketertarikan ini, terjadilah pertemuan (perkawinan) dan reproduksi, sehingga
terpeliharalah kelangsungan hidup manusia dan planet bumi ini.
Dalam kaitan
ini, baiklah kita bahas antara hukum memandang laki-laki terhadap
perempuan. Kami menguatkan pendapat jumhur ulama yang menafsirkan
firman Allah: “…Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali
yang (biasa) tampak daripadanya…” (QS An-Nur: 31 )
Menurut
jumhur ulama, perhiasan yang biasa tampak itu ialah “wajah dan telapak tangan.”
Dengan demikian, wanita boleh menampakkan wajahnya dan kedua telapak
tangannya, bahkan (menurut pendapat Abu Hanifah dan Al-Muzni) kedua kakinya.
Apabila
wanita boleh menampakkan bagian tubuhnya ini (muka dan tangan/kakinya), maka
bolehkah laki-laki melihat kepadanya ataukah tidak?
Pandangan
pertama (secara tiba-tiba) adalah tidak dapat dihindari sehingga dapat dihukumi
sebagai darurat. Adapun pandangan berikutnya (kedua) diperselisihkan hukumnya
oleh para ulama.
Yang
dilarang dengan tidak ada keraguan lagi ialah melihat dengan menikmati
(taladzdzudz) dan bersyahwat, karena ini merupakan pintu bahaya dan penyulut
api. Oleh sebab itu, ada ungkapan, “memandang merupakan pengantar perzinaan”.
Dan bagus
sekali apa yang dikatakan oleh Syauki ihwal memandang yang dilarang ini,
“Memandang (berpandangan) lalu tersenyum, lantas mengucapkan salam, lalu
bercakap-cakap, kemudian berjanji, akhirnya bertemu.”
Adapun
melihat perhiasan (bagian tubuh) yang tidak biasa tampak, seperti rambut,
leher, punggung, betis, lengan (bahu), dan sebagainya, tidak diperbolehkan bagi
selain mahram, menurut ijma. Ada dua kaidah yang menjadi acuan masalah ini
beserta masalah-masalah yang berhubungan dengannya.
Pertama,
bahwa sesuatu yang dilarang itu diperbolehkan ketika darurat atau ketika dalam
kondisi membutuhkan, seperti kebutuhan berobat, melahirkan, dan
sebagainya. Demikian pula pembuktian tindak pidana, dan lain-lainnya yang
diperlukan dan menjadi keharusan, baik untuk perseorangan maupun masyarakat.
Kedua, bahwa
apa yang diperbolehkan itu menjadi terlarang apabila dikhawatirkan terjadinya
fitnah, baik kekhawatiran itu terhadap laki-laki maupun perempuan. Dan hal ini
apabila terdapat petunjuk petunjuk yang jelas, tidak sekadar perasaan dan
khayalan sebagian orang-orang yang takut dan ragu-ragu terhadap setiap
orang dan setiap persoalan.
Oleh karena
itu, Nabi SAW pernah memalingkan muka anak pamannya yang bernama Fadhl bin
Abbas, agar tidak melihat wanita Khats’amiyah pada waktu haji, ketika beliau
melihat Fadhl berlama-lama memandang wanita itu. Dalam suatu riwayat disebutkan
bahwa Fadhl bertanya kepada Rasulullah SAW, “Mengapa engkau palingkan
muka anak pamanmu?”
Beliau
menjawab, “Aku melihat seorang pemuda dan seorang pemudi, maka aku tidak
merasa aman akan gangguan setan terhadap mereka.”
Kekhawatiran
akan terjadinya fitnah itu kembali kepada hati nurani si Muslim, yang wajib
mendengar dan menerima fatwa, baik dari hati nuraninya sendiri maupun orang
lain. Artinya, fitnah itu tidak dikhawatirkan terjadi jika hati dalam kondisi
sehat, tidak dikotori syahwat, tidak dirusak syubhat (kesamaran), dan tidak
menjadi sarang pikiran-pikiran yang menyimpang.
Jadi,
memandang itu hukumnya boleh dengan syarat jika tidak dibarengi dengan
upaya “menikmati” dan bersyahwat. Jika dengan menikmati dan bersyahwat, maka
hukumnya haram. Karena itu, Allah menyuruh kaum mukminah menundukkan sebagian
pandangannya sebagaimana Dia menyuruh laki-laki menundukkan sebagian
pandangannya.
Allah SWT
berfirman: “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah mereka
menahan pendangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah
lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka
perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan memelihara kemaluannya.” (QS An-Nur: 30-31)
Di antara
hal yang telah disepakati ialah bahwa melihat kepada aurat itu hukumnya haram,
baik dengan syahwat maupun tidak, kecuali jika hal itu terjadi secara
tiba-tiba, tanpa sengaja.
Sebagaimana
diriwayatkan dalam hadits sahih dari Jarir bin Abdullah, ia berkata, “Saya
bertanya kepada Nabi SAW tentang memandang (aurat orang lain) secara tiba-tiba
(tidak disengaja). Lalu beliau bersabda, ‘Palingkanlah pandanganmu.” (HR
Muslim)
Lantas,
apakah aurat laki-laki itu? Bagian mana saja yang disebut aurat laki-laki?
Kemaluan adalah aurat mughalladzah (besar/berat) yang telah disepakati akan
keharaman membukanya di hadapan orang lain dan haram pula melihatnya, kecuali
dalam kondisi darurat seperti berobat dan sebagainya. Bahkan kalau aurat ini
ditutup dengan pakaian tetapi tipis atau menampakkan bentuknya, maka ia juga
terlarang menurut syara’.
Mayoritas
fuqaha berpendapat bahwa paha laki-laki termasuk aurat, dan aurat laki-laki
ialah antara pusar dengan lutut. Mereka mengemukakan beberapa dalil dengan
hadits-hadits yang tidak lepas dari cacat. Sebagian mereka menghasankannya dan
sebagian lagi mengesahkannya karena banyak jalannya, walaupun masing-masing
hadits itu tidak dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan suatu hukum syara’.
Sebagian
fuqaha lagi berpendapat bahwa paha laki-laki itu bukan aurat, dengan
berdalilkan hadits Anas bahwa Rasulullah SAW pernah membuka pahanya dalam
beberapa kesempatan. Pendapat ini didukung oleh Muhammad Ibnu Hazm.
Menurut
mazhab Maliki sebagaimana termaktub dalam kitab-kitab mereka bahwa aurat
mughalladzah laki-laki ialah qubul (kemaluan) dan dubur saja, dan aurat ini
bila dibuka dengan sengaja membatalkan shalat.
Dalam hal
ini terdapat rukhshah (keringanan) bagi para olahragawan dan sebagainya yang
biasa mengenakan celana pendek, termasuk bagi penontonnya, begitu juga bagi
para pandu (pramuka) dan pecinta alam. Meskipun demikian, kaum Muslimin
berkewajiban menunjukkan kepada peraturan internasional tentang ciri khas
kostum umat Islam dan apa yang dituntut oleh nilai-nilai agama semampu mungkin.
Perlu
diingat bahwa aurat laki-laki itu haram dilihat, baik oleh perempuan maupun
sesama laki-laki. Ini merupakan masalah yang sangat jelas. Adapun terhadap
bagian tubuh yang tidak termasuk aurat laki-laki, seperti wajah, rambut,
lengan, bahu, betis, dan sebagainya, menurut pendapat yang sahih boleh dilihat,
selama tidak disertai syahwat atau dikhawatirkan terjadinya fitnah. Ini
merupakan pendapat jumhur fuqaha umat, dan ini diperlihatkan oleh praktek kaum
muslim sejak zaman Nabi dan generasi sesudahnya, juga diperkuat oleh beberapa
hadits sharih (jelas) dan tidak bisa dicela.
Adapun
masalah wanita melihat laki-laki, maka dalam hal ini terdapat dua riwayat.
Pertama, ia boleh melihat laki-laki asal tidak pada auratnya. Kedua, ia tidak
boleh melihat laki-laki melainkan hanya bagian tubuh yang laki-laki boleh
melihatnya. Pendapat ini yang dipilih oleh Abu Bakar dan merupakan salah satu
pendapat di antara dua pendapat Imam Syafi’i.
Hal ini
didasarkan pada riwayat Az-Zuhri dari Ummu Salamah, yang berkata, “Aku
pernah duduk di sebelah Nabi SAW, tiba-tiba Ibnu Ummi Maktum meminta izin
masuk. Kemudian Nabi saw bersabda, ‘Berhijablah kamu daripadanya. ‘Aku berkata,
wahai Rasulullah, dia itu tuna netra.’ Beliau menjawab dengan nada bertanya,
‘Apakah kamu berdua (Ummu Salamah dan Maimunah) juga buta dan tidak
melihatnya?” (HR Abu Daud dan lain-lain)
Larangan
bagi wanita untuk melihat aurat laki-laki didasarkan pada hipotesis bahwa Allah
menyuruh wanita menundukkan pandangannya sebagaimana Dia menyuruh laki-laki
berbuat begitu. Juga didasarkan pada hipotesis bahwa wanita itu adalah salah
satu dari dua jenis anak Adam (manusia), sehingga mereka haram melihat (aurat)
lawan jenisnya. Haramnya bagi wanita ini dikiaskan pada laki-laki (yang
diharamkan melihat kepada lawan jenisnya).
Alasan utama
diharamkannya melihat itu karena dikhawatirkan terjadinya fitnah. Bahkan
kekhawatiran ini pada wanita lebih besar lagi, sebab wanita itu lebih besar
syahwatnya dan lebih sedikit (pertimbangan) akalnya.
Nabi SAW
bersabda kepada Fatimah binti Qais, “Beriddahlah engkau di rumah Ibnu Ummi
Maktum, karena dia seorang tuna netra, engkau dapat melepas pakaianmu sedangkan
dia tidak melihatmu.” (Muttafaq alaih)
Aisyah
berkata, “Adalah Rasulullah SAW melindungiku dengan selendangnya ketika aku
melihat orang-orang Habsyi sedang bernain-main (olahraga) dalam masjid.”
(Muttafaq alaih)
Dalam
riwayat lain disebutkan, pada waktu Rasulullah SAW selesai berkhutbah shalat
Id, beliau menuju kepada kaum wanita dengan disertai Bilal untuk memberi
peringatan kepada mereka, lalu beliau menyuruh mereka bersedekah.
Seandainya
wanita dilarang melihat laki-laki, niscaya laki-laki juga diwajibkan berhijab
sebagaimana wanita diwajibkan berhijab, supaya mereka tidak dapat melihat
laki-laki.
Jadi,
memandang itu hukumnya boleh dengan syarat jika tidak dibarengi dengan upaya
“menikmati” dan bersyahwat. Jika dengan menikmati dan bersyahwat, maka hukumnya
haram. Oleh sebab itu, Allah menyuruh kaum mukminah menundukkan sebagian
pandangannya sebagaimana Dia menyuruh laki-laki menundukkan sebagian
pandangannya.
Firman
Allah: “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah mereka
menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah
lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka
perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan memelihara kemaluannya.” (QS An-Nur: 30-31)
Memang benar
bahwa wanita dapat membangkitkan syahwat laki-laki lebih banyak daripada
laki-laki membangkitkan syahwat wanita, dan memang benar bahwa wanita lebih
banyak menarik laki-laki, serta wanitalah yang biasanya dicari laki-laki. Namun
semua ini tidak menutup kemungkinan bahwa di antara laki-laki ada yang menarik
pandangan dan hati wanita karena kegagahan, ketampanan, keperkasaan, dan
kelelakiannya, atau karena faktor-faktor lain yang menarik pandangan dan hati
perempuan.
Al-Qur’an
telah menceritakan kepada kita kisah istri pembesar Mesir dengan pemuda pembantunya,
Yusuf, yang telah membuatnya dimabuk cinta. Lihatlah, bagaimana wanita itu
mengejar-ngejar Yusuf, dan bukan sebaliknya, serta bagaimana dia menggoda Yusuf
untuk menundukkannya seraya berkata, “Marilah ke sini.” Yusuf berkata,
“Aku berlindung kepada Allah.” (QS An-Nur: 23)
Apabila
seorang wanita melihat laki-laki lantas timbul hasrat kewanitaannya, hendaklah
ia menundukkan pandangannya. Janganlah ia terus memandangnya, demi
menjauhi timbulnya fitnah, dan bahaya itu akan bertambah besar lagi bila si
laki-laki juga memandangnya dengan rasa cinta dan syahwat.
Akhirnya,
untuk mendapat keselamatan, lebih baik kita menjauhi tempat-tempat dan hal-hal
yang mendatangkan keburukan dan bahaya. Kita memohon kepada Allah
keselamatan dalam urusan agama dan dunia. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar