Kamis, 23 Mei 2013

KUNCI SURGA DALAM KELUARGA

Kunci Surga Itu Bernama Kesetiaan


Pada suatu hari, Fathimah Radhiyallahu ‘anha (RA) bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, siapakah perempuan yang akan masuk surga pertama kali. Rasulullah menjawab, ”Seorang wanita yang bernama Mutiah.”

Tentu saja Fathimah terkejut. Ternyata bukan dirinya, seperti yang dibayangkannya. Mengapa orang lain, padahal dia adalah putri Nabi?

Timbullah keinginan untuk mengetahui siapakah Mutiah itu. Apa gerangan yang diperbuatnya sampai mendapat kehormatan yang begitu tinggi?

Sesudah meminta izin kepada suaminya, Ali bin Abi Thalib RA, Fathimah berangkat mencari rumah Mutiah. Putranya yang masih kecil, Hasan, menangis ingin ikut. Maka digandengnya Hasan.

Tiba di depan rumah yang dituju, Fathimah mengetuk pintu, “Assalaamu’alaikum…!”

“Wa’alaikumsalaam. Siapa di luar?” terdengar jawaban dari dalam rumah. Suaranya cerah dan merdu.

“Saya Fathimah, putri Rasulullah.”

“Alhamdulillah, alangkah bahagia saya hari ini. Fathimah sudi berkunjung ke gubug saya,” terdengar kembali jawaban dari dalam, terdengar lebih gembira, dan makin mendekat ke pintu.

“Sendirian Fathimah?” tanya Mutiah.

“Aku ditemani Hasan.”

“Aduh, maaf ya,” suara itu seperti menyesal. “Saya belum mendapat izin untuk menemui tamu laki-laki.”

“Tapi Hasan masih kecil.”

“Meski kecil, Hasan laki-laki. Besok saja datang lagi, saya akan minta izin kepada suami saya.”

Sambil menggeleng-nggelengkan kepala, Fathimah akhirnya minta permisi.

Besoknya ia datang lagi. Kali ini Husain, adik Hasan, diajak juga. Bertiga dengan anak-anak yang masih kecil itu, Fathimah mendatangi rumah Mutiah.

Setelah memberi salam dan dijawab gembira, Mutiah bertanya dari dalam, “Jadi dengan Hasan? Suami saya sudah memberi izin.”

“Ya, dengan Hasan dan Husain.”

“Ha! Mengapa tidak bilang dari kemarin? Yang dapat izin cuma Hasan, Husain belum. Terpaksa saya tidak bisa menerima juga.”

Lagi-lagi Fathimah gagal bertemu.

Esok harinya barulah mereka disambut baik-baik oleh Mutiah. Keadaan rumah itu sangat sederhana. Tidak ada satu pun perabot mewah, namun semuanya teratur rapi.

Ada tempat tidur yang terbuat dari kayu kasar namun tampak bersih. Alasnya putih, agaknya baru dicuci. Bau di dalam sangat segar. Membuat orang betah tinggal berlama-lama.

Fathimah kagum melihat suasana yang sangat menyenangkan itu. Hasan dan Husain pun yang biasanya kurang begitu senang berada di rumah orang, kali ini tampak asyik bermain-main.

“Maaf, saya tidak bisa menemani Fathimah duduk, sebab saya sedang menyiapkan makan buat suami saya,“ kata Muthiah sambil sibuk di dapur.

Mendekati tengah hari, masakan itu sudah rampung. Mutiah menatanya di atas nampan. Juga, menaruh cambuk.

Fathimah bertanya, ”Suamimu kerja di mana?”

“Di ladang.”

“Penggembala?”

“Bukan. Bercocok tanam.”

“Tapi mengapa kau bawakan cambuk, untuk apa?”

“Oh, itu,” Mutiah tersenyum. “Cambuk itu saya sediakan untuk keperluan lain.”

Fathimah penasaran.

“Maksud saya begini. Kalau suami saya sedang makan, maka akan saya tanyakan apakah cocok atau tidak. Kalau dia bilang cocok, tak akan terjadi apa-apa. Tetapi kalau bilang tidak cocok, cambuk itu akan saya berikan kepadanya agar punggung saya dicambuk sebab tidak bisa menyenangkan hati suami.”

“Atas kehendak suamimukah kau bawa cambuk itu?”

“Oh, sama sekali tidak. Suami saya adalah orang yang lembut dan pengasih. Ini semua semata-mata kehendak saya agar jangan sampai saya menjadi istri yang durhaka kepada suami.”

Usai mendengar penjelasan ini, Fathimah minta permisi. Dalam hati ia berkata, pantas ia wanita penghuni surga untuk pertama kali. Baktinya kepada suami begitu besar dan tulus.

Subhanalah...


Wallahu 'Alambishowab

Selasa, 21 Mei 2013

TRADISI TAKZIAH

Tradisi yang berkembang dikalangan NU, jika ada orang yang meningal, maka akan diadakan acara tahlilan, do’a, dzikir fida dan lain sebagainya. Untuk mendo’akan orang yang meningal dan biasanya dibarengi dengan jamuan makanan sebagai sodaqoh untuk simayit.
Dalil yang digunakan hujjah dalam masalah ini yaitu sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Hawi li-Al-Fatawi li as-syuyuti, Juz II, hlm 183

قَالَ طَاوُسِ: اِنَّ اْلمَوْتَى يُفْتَنُوْنَ فِىْ قُبُوْرِهِمْ سَْعًا فَكَانُوْا يُسْتَحَبُّوْنَ أَنْ يُطْعِمُوْا عَنْهُمْ تِلْكَ اْلاَيَّامِ-اِلَى اَنْ قَالَ-عَنْ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرِ قَالَ: يُفْتَنُ رَجُلَانِ مُؤْمِنٍ وَمُنَافِقٍ فَأَمَّا اْلمُؤْمِنُ فَيُفْتَنُ سَبْعًا وَاَمَّا الْمُنَافِقُ يُفْتَنُ اَرْبَعِيْنَ صَبَاحًا.

Imam Thawus berkata : seorang yang mati akan beroleh ujian dari Alloh dalam kuburnya selama tujuh hari. Untuk itu, sebaiknya mereka (yang masih hidup) mengadakan sebuah jamuan makan (sedekah) untuknya selama hari-hari tersebut. Sampai kata-kata: dari sahabat Ubaid Ibn Umair, dia berkata: seorang mu’min dan seorang munafiq sama-sama akan mengalami ujian dalam kubur. Bagi seorang mu’min akan beroleh ujian selama 7 hari, sedang seorang munafik selama 40 hari diwaktu pagi.

Dalil diatas adalah sebuah atsar yang menurut Imam As-Syuyuty derajatnya sama dengan hadis marfu’ Mursal maka dapat dijadikan hujjah makna penjelasannya:

اِنَّ أَثَرَ طَاوُسَ حُكْمُهُ حُكْمُ اْلحَدِيْثِ الْمَرْفُوْعِ اْلمُرْسَلِ وَاِسْنَادُهُ اِلَى التَّابِعِى صَحِيْحٌ كَانَ حُجَّةً عِنْدَ اْلاَئِمَّةِ الثَّلَاثَةِ اَبِي حَنِيْفَةَ وَمَالِكٍ وَاَحْمَدَ مُطْلَقًا مِنْ غَيْرِ شَرْطٍ وَاَمَّا عِنْدَ الشَّافِعِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فَاِنَّهُ يَحْتَجُ بِاْلمُرْسَلِ اِذَا اعْتَضَدَ بِاَحَدِ أُمُوْرٍ مُقَرَّرَةٍ فِى مَحَلِهَا فِيْهَا مَجِيْئِ آخَرَ اَوْ صَحَابِيِّ يُوَافِقُهُ وَالْاِعْتِضَادِ هَهُنَا مَوْجُوْدٌ فَاِنَّهُ رُوِيَ مِثْلُهُ عَنْ مُجَاهْدِ وَعَْ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرِ وَهُمَا تَابِعِيَانِ اِنْ لَمْ يَكُنْ عُبَيْدٌ صَحَابِيًا.

Jka sudah jadi keputusan, atsar (amal sahabat Thawus) diatas hukumnya sama dengan hadist Marfu’ Mursal dan sanadnya sampai pada tabi’in itu shahih dan telah dijadikan hujjah yang mutlak(tanpa syarat) bagi tiga Imam (Maliki, Hanafi, Hambali). Untuk Imam as-Syafi’i ia mau berhujjah dengan hadis mursal jika dibantu atau dilengkapi dengan salah satu ketetapan yang terkait dengannya, seperti adanya hadis yang lain atau kesepakatan Shahabat. Dan, kelengkapan yang dikehendaki Imam as-Syafi’i itu ada, yaitu hadis serupa riwayat dari Mujahid dan dari ubaid bin Umair yang keduanya dari golongan tabi’in, meski mereka berdua bukan sahabat.

Lebih jauh, Imam al-Syuyuti menilai hal tersebut merupakan perbuatan sunah yang telah dilakukan secara turun temurun sejak masa sahabat.
Kesunnahan memberikan sedekah makanan selama tujuh hari merupakan perbuatan yang tetap berlaku hingga sekarang (zaman imam as-Syuyuti, abad x Hijriyah) di mekah dan Madinah. Yang jelas, kebiasaan itu tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat Nabi Muhammad SAW sampai sekarang ini, dan tradisi itu diambil dari Ulama Salaf sejak generasi pertama (masa Sahabat Nabi Muhammad SAW).”

Selanjutnya dalam Hujjah Ahlussunnh Wal jama’ah, juz 1 hlm. 37 dikatakan:

قَوْلُهُ-كَانُوْا يُسْتَحَبُّوْنَ-مِنْ بَابِ قَوْلِ التَّابِعِي كَانُوْا يَفْعَلُوْنَ-وَفِيْهِ قَوْلَانِ لِاَهْلِ الْحَدِيْثِ وَاْلاُصُوْلِ أَحَدُهُمَا اَنَّهُ اَيْضًا مِنْ بَابِ اْلمَرْفُوْعِ وَأَنَّ مَعْنَاهُ: كَانَ النَّاسُ يَفْعَلُوْنَ فِى عَهْدِ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَعْلَمُ بِهِ وَيُقِرُّ عَلَيْهِ.

(Kata-kata Imam thawus), pada bab tentang kata-kata Tabi’in, mereka melaksanakannya. Dalam hal ini ada dua pendapat: pendapat ahli Hadis dan Ahli Ushul yang salah satunya termasuk hadis Marfu’ maksudnya orang-orang dizaman Nabi melaksanakan hal itu, Nabi sendiri tahu dan menyetujuinya.

Dalam kitab Nihayah al-Zain, Juz I, halaman 281 juga disebutkan:

وَالتَّصَدُّقُ عَنِ اْلمَيِّتِ بِوَجْهٍ شَرْعِيٍّ مَطْلُوْبٌ وَلَا يُتَقَيَّدُ بِكَوْنِهِ فِيْ سَبْعَةِ اَيَّامٍ اَوْ اَكْثَرَ اَوْ اَقَلَّ وَتَقْيِيْدُهُ بِبَعْضِ اْلاَيَّامِ مِنَ اْلعَوَائِدِ فَقَطْ كَمَا اَفْتَى بِذَلِكَ السَّيِّدِ اَحْمَدء دَحْلَانِ وَقَدْ جَرَتْ عَادَةُ النَّاسِ بِالتَّصَدُّقِ عَنِ اْلمَيِّتِ فِي ثَالِثٍ مِنْ مَوْتِهِ وَفِي سَابِعٍ وَفِيْ تَمَامِ اْلعِشْرِيْنَ وَفِي اْلاَرْبَعِيْنَ وَفِي الِمأَةِ وَبِذَلِكَ يُفْعَلُ كُلَّ سَنَةٍ حَوْلًا فِي اْلمَوْتِ كَمَا اَفَادَهُ شَيْخَنَا يُوْسُفُ السُنْبُلَاوِيْنِيْ.

Di anjurkan oleh syara’ shodaqoh bagi mayit,dan shodaqoh itu tidak di tentukan pada hari ke tujuh sebelumnya maupun sesudahnya.sesungguhnya pelaksanaan shodaqoh pada hari-hari tertentu itu cuma sebagai kebiasaan (adat) saja,sebagaimana fatwa Sayid Akhmad Dahlan yang mengatakan ”Sungguh telah berlaku dimasyarakat adanya kebiasaan bersedekah untuk mayit pada hari ketiga dari kematian, hari ketujuh, dua puluh, dan ketika genap empat puluh hari serta seratus hari. Setelah itu dilakukan setiap tahun pada hari kematiannya. Sebagaimana disampaikan oleh Syaikh Yusuf Al-Sumbulawini.

Adapun istilah 7 “tujuh hari” dalam acara tahlil bagi orang yang sudah meninggal, hal ini sesuai dengan amal yang dicontohkan sahabat Nabi SAW. Imam Ahmad bin Hanbal RA berkata dalam kitab Al-Zuhd, sebagaimana yang dikutip oleh Imam Suyuthi dalam kitab Al-Hawi li Al-Fatawi:

حَدَّثَنَا هَاشِمُ بْنُ اْلقَاسِمِ قَالَ حَدَّثَنَا اْلأَشْجَعِيُّ عَنْ سُفْيَانَ قَالَ: قَالَ طَاوُسُ: إِنَّ اْلمَوْتَ يُفْتَنُوْنَ فِي قُبُوْرِهِمْ سَبْعًا فَكَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ أَنْ يُطْعِمُوْا عَنْهُمْ تِلْكَ اْلأَيَّامِ (الحاوي للفتاوي,ج:۲,ص:۱۷۸)

“Hasyim bin Al-Qasim meriwayatkan kepada kami, ia berkata, “Al-Asyja’i meriwayatkan kepada kami dari Sufyan, ia berkata, “Imam Thawus berkata, “Orang yang meninggal dunia diuji selama tujuh hari di dalam kubur mereka, maka kemudian para kalangan salaf mensunnahkan bersedekah makanan untuk orang yang meninggal dunia selama tujuh hari itu” (Al-Hawi li Al-Fatawi, juz II, hal 178)

Imam Al-Suyuthi berkata:

أَنَّ سُنَّةَ اْلإِطْعَامِ سَبْعَةَ أَيَّامٍ بَلَغَنِي أَنَّهَا مُسْتَمِرَّةٌ إِلَى اءلآنَ بِمَكَّةَ وَاْلمَدِيْنَةَ فَالظَّاهِرُ أَنَّهَا
لمَ ْتَتْرُكْ مِنْ عَهْدِ الصَّحَابَةِ إِلَى اْلآنَ وَأَنَّهُمْ أَخَذُوْهَا خَلَفًا عَنْ سَلَفٍ إِلَى الصَّدْرِ اْلأَوَّلِ (الحاوي للفتاوي,ج:۲,ص:۱۹۴)

“Kebiasaan memberikan sedekah makanan selama tujuh hari merupakan kebiasaan yang tetap berlaku hingga sekarang (zaman imam Suyuthi, sekitar abad IX Hijriah) di Makkah dan Madinah. Yang jelas, kebiasaan itu tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat Nabi SAW sampai sekarang ini, dan tradisi itu diambil dari ulama salaf sejak generasi pertama (masa sahabat SAW)” (Al-Hawi li Al-Fatawi, juz II, hal 194)

Dari beberapa dalil diatas dapat disimpulkan bahwa kebiasaan masyarakat NU tentang penentuan hari dalam peringatan kematian itu dapat dibenarkan secara syara’

AMALAN DOA WANITA HAMIL



1. Wiridan wanita hamil

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ [الفرقان : 74]

“Robbanaa hab lanaa min azwaajinaa wa dzurriyyatinaa qurrota a’yun”

Artinya : "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa”. (QS. 25:74)

** Dibaca setiap saat sebanyak mungkin
==========================​=====

2. Doa agar mudah melahirkan

ﺤﻨﺎ ﻭﻟﺪﺖ ﻤﺭﻴﻡ ﻭﻤﺭﻴﻡ ﻭﻟﺪﺖ ﻋﻴﺴﻰ ﺍﺨﺮﺝ ﺍﻴﻬﺎ ﺍﻟﻤﻮﻟﻮﺪ ﺒﻗﺪﺮﺓ ﺍﻟﻤﻠﻚ ﺍﻟﻤﻌﺒﻮﺪ

“ Hannaa Waladat Maryama Wa Maryama Waladat ‘Iisaa Ukhruj Ayyuhal Mauluudu Biqudrotil Malikil Ma’buudi “.

Artinya : “ Hana melahirkan Maryam, sedangkan Maryam telah melahirkan ‘Isa. Keluarlah (lahirlah) hai anak dengan sebab kekuasaan Raja (Allaah) yang disembah “.

** Dibaca saat proses persalinan diulang-ulang sebanyak-banyaknya oleh ibu yang akan melahirkan dan orang-orang yang hadir di saat persalinan tersebut.
==========================​======

3. Doa setelah melahirkan

أُعِيْذُهُ بِالوَاحِدِ الصَّمَدِ مِنْ شَرِّ كُلِّ ذِى حَسَدٍ

“U’iidzuhuu bil waahidis shomadi min syarri kulli dzii hasadin”

Artinya : "Aku berlindung akannya dengan pertolongan Tuhan yang Esa yang ditumpu segala kehendak kepadaNya daripada sekalian yang mempunyai dengki"

** Dibaca 3/7 X
==========================​====

4. Setelah bayi lahir diadzani ditelinga sebelah kanan dan dibacakan doa

إِنّى أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرّيَّتَهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ ( آل عمران 36

“Innii u’iidzuhaa bika wa dzurriyyatahaa minas syaithoonir rojiimi”

Artinya : "Sesungguhnya aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau daripada setan yang terkutuk." (QS. 3:36).

* Kemudian dibacakan kalimah Iqomah ditelinga sebelah kiri, diberi nama yang bagus, dicukur rambutnya, dicelaki dan disuapi makanan-makan yang manis seperti madu, kurma dll. Sambil dibacakan doa

اللهم بارك لنا ولهذا الولد في حياته وطول عمره بطاعتك يا ارحم الراحمين

“Allaahumma baarik lanaa wa lihaadzal waladi fii hayaatihii wa thowwil ‘umrohuu bi thoo’atika Yaa arhamar Roohimiin”

Artinya : “Ya Allah, berikanlah keberkahan pada kami dan anak ini, serta panjangkan umurnya dengan senantiasa (menjalani) taat kepada-Mu wahai Dzat Yang paling menyayangi diantara yang menyayangi”
==========================​========

5. Doa mencium anak kecil

اللهم حببه واحب من يحبه

“Allaahumma habbibhu wa ahibba man yuhibbuhuu”

Artinya : “Ya Allah cintailah dia dan cintai pula orang-orang yang mencintainya



Dinukil dari pustaka sunni salafi

HUKUM NGIDAM




Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatu
Perkenankanlah saya memberi pengantar lebih lanjut tentang ngidam yang dahulu pernah ditanyakan namun belum sempat terbahas.

Definisi Ngidam
Ngidam terbilang fenomena unik. Kita menyebutnya ngidam, sedangkan literatur Arab menyebutnya waham (waham = keinginan).

Dalam kamus ash-Shihah:

وحم...والوَحامُ والوِحامُ: شهوة الحُبلى، وليس الوِحامُ إلاّ في شهوة الحبل خاصَّةً.

"Waham, wahaam, wihaam, yakni keinginan seorang wanita hamil. Mengidam hanya terjadi pada wanita yang sedang mengandung." (as-Shihah, 2/270)

Dalam kamus Maqayis al-Lughat:
Waham - wawu, ha, mim- terlaku dengan dua kalimat waham dan wahaam (serta wihaam). Mengidam adalah keinginan wanita akan sesuatu ketika dia mengandung." (Maqayis al-Lughat,6/70)

Ngidam adalah fenomena yang jamak diketahui masyarakat, diakui keberadaannya di dunia medis, namun belum terdefinisikan, serta masih menjadi misteri yang tidak terpecahkan oleh para pakar medis. Prof. Dr. Ali Baziad, SpOG (K), Kepala Divisi Imunoendokrinologi, Departemen Obgin FKUI/RSCM Jakarta, berkomentar, ‘’Ngidam tidak diketahui secara pasti apa definisinya. Bahkan, di luar negeri istilah ngidam atau yang serupa dengan itu nyaris tidak ditemukan.’’ [mungkin maksudnya di kedokteran luar negeri, red]
Ketika saya coba konfirmasikan pada adik saya yang kebetulan menempuh pasca sarjana bidang psikologi, dia turut berujar bahwa dalam psikologi tidak dikenal pembahasan ngidam, yang agak dekat adalah 'baby blue' yakni efek psikologis pasca melahirkan.

Ngidam dalam bahasa Inggris diistilahkan dengan 'longing during pregnancy' atau 'craving during pregnancy' (longing/craving = keinginan). Elizabeth Somer, penulis buku 'Nutrition for a Healthy Pregnancy' menuturkan penyebab ngidam adalah perubahan ekstrim hormonal yang memicu perubahan drastis atas selera dan bau. Namun di catatan kakinya tertulis: that no one knows for sure.
Hukum Ngidam
Pembahasan tentang ngidam berkelindan dengan pembahasan kewajiban nafkah suami atas istri. Sebagaimana diketahui, suami wajib memberikan nafkah atas istri. Di antaranya dalam memenuhi kebutuhan makanan dan lauk-pauknya. Dari situ, para ulama menyatakan wajib diturutinya ngidam pada camilan wajib istri sehari-hari, serta bukan wajib pada ngidam yang 'biasa-biasa saja' (bukan camilan sehari-hari).

تَنْبِيهٌ : يَنْبَغِي أَنْ يَجِبَ مَا تَطْلُبُهُ الْمَرْأَةُ عِنْدَ مَا يُسَمَّى بِالْوَحَمِ مِنْ نَحْوِ مَا يُسَمَّى بِالْمُلُوحَةِ إذَا اُعْتِيدَ ذَلِكَ .
وَأَنَّهُ حَيْثُ وَجَبَتْ الْفَاكِهَةُ وَالْقَهْوَةُ وَنَحْوُ مَا يُطْلَبُ عِنْدَ الْوَحَمِ ، يَكُونُ عَلَى وَجْهِ التَّمْلِيكِ فَلَوْ فَوَّتَهُ اسْتَقَرَّ لَهَا وَلَهَا الْمُطَالَبَةُ بِهِ وَلَوْ اعْتَادَتْ نَحْوَ الْأَفْيُونِ بِحَيْثُ تَخْشَى بِتَرْكِهِ مَحْذُورًا مِنْ تَلَفِ نَفْسٍ وَنَحْوِهِ لَمْ يَلْزَمْ الزَّوْجَ لِأَنَّ هَذَا مِنْ بَابِ التَّدَاوِي ا هـ م ر سم .

"[Tanbih] Seharusnyalah dikenakan hukum wajib pada sesuatu yang diingini istri ketika dia mengalami sesuatu yang disebut ngidam, yakni dari semisal asinan ketika dia terbiasa dengan hal itu. Kemudian ketika pemenuhan buah-buahan, kopi, dan apa-apa yang diminta selama ngidam dinyatakan wajib, maka hal itu bersifat tamlik. Seandainya terlewat maka istri tetap berhak dan bisa menagihnya. Jika ternyata istri terbiasa dengan konsumsi opium, yang bila tidak dipenuhi akan berefek kerusakan fungsi tubuh atau semacamnya, maka tetap tidak wajib dituruti sebab hal itu masuk pada bahasan pengobatan [bukan bahasan nafkah, red]." (Hasyiyah Bujairimi 'ala Khatib, 11/382)


"[Kadang istri gemar dengan buah-buahan] Buah-buahan bukan jenis lauk-pauk. Dari sini bisa dipahami bahwa ukuran kewajiban tidak diqayyidi sebatas pada makanan dan lauk-pauk,melainkan pada setiap kebiasaan sehari-hari istri, sampai pada semisal kopi dan jamur-jamuran, juga pada kue dan ikan, sesuai agenda istri. Akan dibahas lebih lanjut - Qulyubi " (Hasyiyah Bujairimi 'ala Khatib, 11/382)

Mitos Ngidam Yang Tidak Dituruti
Telah diketahui bahwa hukum ngidam tafshil antara wajib dituruti dan tidak wajib. Namun mengacu realitanya ngidam lebih cenderung pada obyek di luar kebiasaan istri sehingga lebih sering termasuk perkara yang bukan wajib dituruti. Lantas bagaimana dikaitkan dengan kepercayaan bila ngidam tidak dituruti akan berimbas negatif kelak pada jabang bayi ?

Sepenelusuran saya mengenai masalah efek negatif ngidam tidak disinggung dalam literatur salaf sehingga bukan termasuk perkara mu'tabar. Statusnya adalah tradisi lokal sebagaimana kepercayaan anak ketiga di keluarga mempelai pria misalnya tidak boleh menikahi anak pertama di keluarga wanita. Hukumnya tidak haram selama tidak melanggar larangan syariat. Bila tidak haram serta bukan wajib lalu apakah kerangkanya sunah, mubah, atau makruh ?

Hemat saya hal itu dikembalikan pada hukum asal etika pergaulan suami-istri yang hukumnya sunah. Atau dalam bahasa populernya dihukumi sunah sesuai redaksi ayat "wa'asyiru hunna bil ma'ruf". Meski sebenarnya istilah mu'asyarah bil ma'ruf dalam konteks etika bergaul adalah identik dengan selain syafi'iyah.
Dari perspektif hanafiyah, dan hanabilah, mu'asyarah bil ma'ruf diartikan general pada setiap bentuk pergaulan suami atas istri dengan akhlak yang baik, dengan lembut, mendahulukan apa yang bisa didahulukan dari kepentingan istri, pemenuhan atas hak istri, dan semacamnya. Sementara dari perspektif syafi'iyah mu'asyarah bil ma'ruf dihukumi wajib karena dimaksudkan spesifik pada pemenuhan hak wajib dari istri oleh suami.

Dalam al-Mausu'ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah:

ذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ إِلَى أَنَّ الْعِشْرَةَ بِالْمَعْرُوفِ بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ مَنْدُوبَةٌ وَمُسْتَحَبَّةٌ ، قَال الْكَاسَانِيُّ : مِنْ أَحْكَامِ النِّكَاحِ الصَّحِيحِ الْمُعَاشَرَةُ بِالْمَعْرُوفِ ، وَأَنَّهُ مَنْدُوبٌ إِلَيْهِ وَمُسْتَحَبٌّ...وَكَذَلِكَ مِنْ جَانِبِهَا هِيَ مَنْدُوبَةٌ إِلَى الْمُعَاشَرَةِ الْجَمِيلَةِ مَعَ زَوْجِهَا.
وَقَال الْبُهُوتِيُّ : وَيُسَنُّ لِكُلٍّ مِنْهُمَا تَحْسِينُ الْخُلُقِ لِصَاحِبِهِ ، وَالرِّفْقُ بِهِ ، وَاحْتِمَال أَذَاهُ.

"Hanafiah dan hanabilah berpendapat bahwa pergaulan secara ma'ruf di antara suami-istri hukumnya mandubah dan mustahabah. Al-Kasani berkata: Di antara hukum nikah yang shahih adalah pergaulan yang ma'ruf, dan hal itu disunahkan serta dianjurkan...begitu juga dari sisi istri, disunahkan baginya bergaul secara terpuji pada suaminya." (al-Mausu'ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, 30/120)

Dalam Badai' ash-Shanai':

فَصْلٌ وَمِنْهَا الْمُعَاشَرَةُ بِالْمَعْرُوفِ وَأَنَّهُ مَنْدُوبٌ إلَيْهِ وَمُسْتَحَبٌّ قال اللَّهُ تَعَالَى { وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ } قِيلَ هِيَ الْمُعَاشَرَةُ بِالْفَضْلِ وَالْإِحْسَانِ قَوْلًا وَفِعْلًا وَخُلُقًا قال النبي صلى اللَّهُ عليه وسلم خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وأنا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي

"[Fashl] Di antara hukum seputar pernikahan adalah pergaulan yang ma'ruf. Hal itu disunahkan dan dianjurkan. Allah berfirman 'dan bergaullah dengan mereka secara patut'. Satu pendapat mengatakan yakni bergaul dengan keutamaan dan kebaikan, baik pada ucapan, perilaku, maupun etika. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda 'Yang paling baik darimu adalah yang paling bersikap baik terhadap istrinya, dan aku adalah yang paling bersikap baik terhadap istriku'." (Badai' ash-Shanai', 2/334)

Dalam Kasysyaful Qina':

"(Disunahkan) bagi suami maupun istri (untuk memperindah akhlak terhadap yang lain, bersikap lembut, dan mau menanggung hal menyakitkan darinya) sesuai firman Allah 'dan berbuatlahkebaikan terhadap keduanya', satu pendapat mengatakan yakni ayat itu dimaksudkan juga pada setiap suami istri.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Berwashiatlah kalian semua tentang kebaikan pada para wanita. Sesungguhnya mereka adalah asistenmu. Kau mengambilnya dengan dasar amanat dari Allah, kau menghalalkan farjinya dengan kalimat Allah. Diriwayatkan oleh Muslim.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok yang tidak bisa kau luruskan dengan cara apapun. Jika tetap kau lakukan maka dia akan pecah. Jika hendak bersenang-senang dengannya maka bersenang-senanglah, sementara bengkok itu akan tetap ada padanya. Hadits muttafaq 'alaih.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam juga bersabda: Yang paling baik darimu adalah yang paling bersikap baik terhadap istrinya. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah." (Kasysyaful Qina', 5/185)

Dalam Fathul Mu'in:

ويجب على الزوجين أن يتعاشرا بالمعروف بأن يمتنع كل عما يكره صاحبه ويؤدي إليه حقه مع الرضا وطلاقة الوجه من غير أن يحوجه إلى مؤنة وكلفة في ذلك

"Wajib bagi suami-istri untuk bergaul secara ma'ruf, yakni dengan menghindari perbuatan yang dibenci oleh lainnya, memenuhi yang menjadi haknya, yang dilakukan dengan ridha, wajah yang berseri, yang tidak disertai beban biaya tertentu ataupun kesukaran." (Fathul Mu'in, 3/173)

Wallahu a'lam.

HUKUM AIR SUSU (ASI) BAGI SUAMI


“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu
bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi
makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf.
Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita
kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena
anaknya, dan warispun  berkewajiban demikian. Apabila
keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan
kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak
ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan
oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu
memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah
kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha
Melihat apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Baqarah-233)

Dalam hadits yang diriwayatkan Imam Daruqutni dari Sahabat Ibn
Abbas Rasulullah SAW bersabda: Tidak ada hukum persusuan
kecuali dalam usia kurang dari dua tahun”
Air susu berasal dari  perempuan yang sudah
berumur 9 tahun Hijriyah. Keluarnya susu pada waktu
masih hidup. Susu yang diminum sampai ke
perut besar atau otak si anak. Masuknya air susu di waktu si
anak dalam keadaan hidup dan tidak kurang dari lima kali
susuan. Karenanya, bila seorang lelaki
dewasa yang minum susu istrinya hal ini tidak berpengaruh
terhadap hukum mahram, dalam arti istrinya tidak menjadi ibu
susuan. Namun bila suaminya adalah
seorang bayi yang kurang dari 2 tahun (mungkin ini belum
pernah terjadi, namun tetap sah secara syariat) dan memenuhi
syarat di atas maka dia menjadi anak susuan, istrinya menjadi ibu
rodho’ dan status pernikahannya batal.
Contoh : seorang anak bayi yang belum genap 2 tahun dinikahkan
dengan janda yang baru melahirkan. Kemudian istri menyusui suami kecilnya sampai
lima kali susuan maka status pernikahannya batal, status istri
berubah menjadi ibu rodlo’, mantan suaminya menjadi ayah
rodlo’, dan suami kecilnya menjadi anak rodlo’. 



>>Air susu menurut kalangan syafiiyah dihukumi SUCI bahkan syekh Abu hamid menyatakan terjadi ijma’ ulama dalam hal ini.

(الثالث) لبن الآدمى وهو طاهر علي المذهب وهو المنصوص وبه قطع الاصحاب الا صاحب الحاوى فانه حكى عن الانماطى من اصحابنا انه نجس وانما يحل شربه للطفل للضرورة ذكره في كتاب البيوع وحكاه الدارمي في أواخر كتاب السلم وحكاه هناك الشاشي والرويانى وهذا ليس بشئ بل هو خطأ ظاهر وانما حكي مثله للتحذير من الاغترار به وقد نقل الشيخ أبو حامد في تعليقه عقب كتاب السلم اجماع المسلمين علي طهارته قال الرويانى في آخر باب بيع الغرر إذا قلنا بالمذهب ان الآدمية لا تنجس بالموت فماتت وفى ثديها لبن فهو طاهر يجوز شربه وبيعه

alMajmuu’ II/569

___________________________________

>> Orang yang sudah dewasa (diatas usia 2 tahun) saat menyusu tidak menjadikankenasab dengan yang disusui.

أما إن كان كبيرا زائدا على الحولين ورضع فإن رضاعه لا يعتبر وذلك لقوله تعالى : { والوالدات يرضعن أولادهن حولين كاملين }

alFiqh ‘ala Madzaahi al-Arba’ah IV/126
___________________________

>> Saat menjalani cumbuan diperkenankan melakukan apa saja asal bukan anus

{ نساؤكم حرث لكم فأتوا حرثكم أنى شئتم } قال يقول يأتيها من حيث شاء مقبلة أو مدبرة إذا كان ذلك في الفرج
Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilahtanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. (QS. 2:223).

Artinya gaulilah ia sesukamu baik dari depan atau belakang asalkan semuanya mengarah pada kelaminnya.
alMuhaddzab II/62

الاستمتاع واجب على الرجل للمرأة إذا انتفى العذر، بما يحقق الإعفاف والصون عن الحرام، وتباح كل وجوه الاستمتاع إلا الإتيان في الدبر فهو حرام. ومكان الوطء باتفاق المذاهب: هو القبل، لا الدبر (1) ، لقوله تعالى: {نساؤكم حرث لكم، فأتوا حرثكم أنى شئتم} [البقرة:223/2] (2) أي على أية كيفية: قائمة، أو قاعدة، مقبلة، أو مدبرة، في أقبالهن (3) . قال ابن عباس: إنما قوله: {فأتوا حرثكم أنى شئتم} [البقرة:223/2]. قائمة، وقاعدة، ومقبلة، ومدبرة، في أقبالهن، لا تعدو ذلك إلى غيره. وله عبارة أخرى في الآية: إن شئت فمقبلة، وإن شئت فمدبرة، وإن شئت فباركة، وإنما يعني ذلك موضع الولد للحرث، يقول: ائت الحرث حيث شئت.

Menggauli hukumnya wajib bagi seorang suami pada istrinya bila tanpa adanya udzur untuk menjauhkan dan menjaga dari dari keharaman, dan diperbolehkan senggama dalam berbagai cara asalkan bukan pada lubang anusnya karena ini haram. Tempat yang digunakan ‘bercinta’ menurut kesepakan ulama adalah kelaminnya bukan duburnya, berdasarkan firman Allah ta’aalaa
Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilahtanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. (QS. 2:223). Artinya dengan berbagai macam cara dan gaya : Berdiri, duduk, dari depan, belakang asal dikelaminnya.

Berkata Ibn Abbas ra. “maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. (QS. 2:223). Artinya dengan berbagai macam cara dan gaya : Berdiri, duduk, dari depan, belakang asal dikelaminnya jangan melampaui batas pada yang selain kelamin.
Ibn Abbas juga punya pernyataan lain sehubungan ayat ini “Bila kamu ingin gaya dari depan silahkan, Bila kamu ingin gaya dari belakang silahkan, Bila kamu ingin gaya setengah menderumpun silahkan, aku mengartikannya khusus pada tempat lahirnya anak (kelamin), datangilah dengan gaya sesukamu”

alFiqh al-Islaam IV/191

MANAQIB AL BARZANJI

 Mengenal Pengarang Maulid Al-Barzanji
Sayyid Ja‘far bin Hasan bin ‘Abdul Karim bin Muhammad bin Rasul Al-Barzanji, pengarang Maulid Barzanji, adalah seorang ulama besar keturunan Nabi SAW dari keluarga Sadah Al-Barzanji yang termasyhur, berasal dari Barzanj di Irak. Beliau lahir di Madinah Al-Munawwarah pada tahun 1126 H (1714 M). Datuk-datuk Sayyid Ja‘far semuanya ulama terkemuka yang terkenal dengan ilmu dan amalnya, keutamaan dan keshalihannya.
Sayyid Muhammad bin ‘Alwi bin ‘Abbas Al-Maliki dalam Hawl al-Ihtifal bi Dzikra al-Mawlid an-Nabawi asy-Syarif pada halaman 99 menulis sebagai berikut:
“Al-Allamah Al-Muhaddits Al-Musnid As- Sayyid Ja`far bin Hasan bin `Abdul Karim Al-Barzanji adalah mufti Syafi`iyyah di Madinah Al-Munawwarah. Terdapat perselisihan tentang tahun wafatnya. Sebagian menyebutkan, beliau meninggal pada tahun 1177 H (1763 M). Imam Az-Zubaid dalam al-Mu`jam al-Mukhtash menulis, beliau wafat tahun 1184 H (1770 M). Imam Az-Zubaid pernah berjumpa beliau dan menghadiri majelis pengajiannya di Masjid Nabawi yang mulia. Beliau adalah pengarang kitab Maulid yang termasyhur dan terkenal dengan nama Mawlid al-Barzanji. Sebagian ulama menyatakan nama karangannya tersebut sebagai ‘Iqd al-Jawhar fi Mawlid an-Nabiyyil Azhar. 
Kitab Maulid karangan beliau ini termasuk salah satu kitab Maulid yang paling populer dan paling luas tersebar ke pelosok negeri Arab dan Islam, baik di Timur maupun Barat. Bahkan banyak kalangan Arab dan non-Arab yang menghafalnya dan mereka membacanya dalam acara-acara (pertemuan-pertemuan) keagamaan yang sesuai. Kandungannya merupakan khulashah (ringkasan) sirah nabawiyyah yang meliputi kisah kelahiran beliau, pengutusannya sebagai rasul, hijrah, akhlaq, peperangan, hingga wafatnya.”
Kitab Mawlid al-Barzanji ini telah disyarahkan oleh Al-Allamah Al-Faqih Asy-Syaikh Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Maliki Al-Asy‘ari Asy-Syadzili Al-Azhari yang terkenal dengan panggilan Ba‘ilisy dengan pensyarahan yang memadai, bagus, dan bermanfaat, yang dinamakan al-Qawl al-Munji ‘ala Mawlid al-Barzanji dan telah berulang kali dicetak di Mesir. Beliau seorang ulama besar keluaran Al-Azhar Asy-Syarif, bermadzhab Maliki, mengikuti paham Asy‘ari, dan menganut Thariqah Syadziliyyah. Beliau lahir pada tahun 1217 H (1802 M) dan wafat tahun 1299 H (1882 M).
Selain itu, ulama terkemuka kita yang juga terkenal sebagai penulis yang produktif, Syaikh Muhammad Nawawi Al-Bantani Al-Jawi, pun menulis syarahnya yang dinamakannya Madarijush Shu‘ud ila Iktisa-il Burud. Kemudian, Sayyid Ja‘far bin Isma‘il bin Zainal ‘Abidin bin Muhammad Al- Hadi bin Zain, suami anak satu-satunya Sayyid Ja‘far Al-Barzanji, juga menulis syarah kitab Mawlid al-Barzanji tersebut yang dinamakannya al-Kawkabul-Anwar ‘ala ‘Iqd al-Jawhar fi Mawlidin-Nabiyyil-Azhar. Sebagaimana mertuanya, Sayyid Ja‘far ini juga seorang ulama besar lulusan Al-Azhar Asy-Syarif dan juga seorang mufti Syafi‘iyyah. Karangankarangan beliau banyak, di antaranya Syawahid al-Ghufran ‘ala Jaliy al-Ahzan fi Fadha-il Ramadhan, Mashabihul Ghurar ‘ala Jaliyyil Qadr, dan Taj al-Ibtihaj ‘ala Dhau’ al-Wahhaj fi al-Isra’ wa al-Mi‘raj.
Beliau pun menulis manaqib yang menceritakan perjalanan hidup Sayyid Ja‘far Al-Barzanji dalam kitabnya ar-Raudh al-‘Athar fi Manaqib as-Sayyid Ja‘far.
Kembali kepada Sayyidi Ja‘far Al-Barzanji. Selain dipandang sebagai mufti, beliau juga menjadi khatib di Masjid Nabawi dan mengajar di dalam masjid yang mulia tersebut. Beliau terkenal bukan saja karena ilmu, akhlaq, dan taqwanya, tetapi juga karena karamah dan kemakbulan doanya. Penduduk Madinah sering meminta beliau berdoa untuk mendatangkan hujan pada musim-musim kemarau. Diceritakan, suatu ketika di musim kemarau, saat beliau sedang menyampaikan khutbah Juma’tnya, seseorang meminta beliau beristisqa’ memohon hujan. Maka dalam khutbahnya itu beliau pun berdoa memohon hujan. Doanya terkabul dan hujan terus turun dengan lebatnya hingga seminggu, persis sebagaimana yang pernah terjadi pada zaman Rasulullah SAW dahulu. Sayyidi Ja‘far Al-Barzanji wafat di Madinah dan dimakamkan di Jannatul Baqi‘. Sungguh besar jasa beliau. Karangannya membawa umat ingat kepada Nabi SAW, membawa umat mengasihi beliau, membawa umat merindukannya. 
Sayyid Ja’far Al-Barzanji adalah seorang ulama’ besar keturunan Nabi Muhammad saw dari keluarga Sa’adah Al Barzanji yang termasyur, berasal dari Barzanj di Irak. Datuk-datuk Sayyid Ja’far semuanya ulama terkemuka yang terkenal dengan ilmu dan amalnya, keutamaan dan keshalihannya. Beliau mempunyai sifat dan akhlak yang terpuji, jiwa yang bersih, sangat pemaaf dan pengampun, zuhud, amat berpegang dengan Al-Quran dan Sunnah, wara’, banyak berzikir, sentiasa bertafakkur, mendahului dalam membuat kebajikan bersedekah,dan pemurah. Nama nasabnya adalah Sayid Ja’far ibn Hasan ibn Abdul Karim ibn Muhammad ibn Sayid Rasul ibn Abdul Sayid ibn Abdul Rasul ibn Qalandar ibn Abdul Sayid ibn Isa ibn Husain ibn Bayazid ibn Abdul Karim ibn Isa ibn Ali ibn Yusuf ibn Mansur ibn Abdul Aziz ibn Abdullah ibn Ismail ibn Al-Imam Musa Al-Kazim ibn Al-Imam Ja’far As-Sodiq ibn Al-Imam Muhammad Al-Baqir ibn Al-Imam Zainal Abidin ibn Al-Imam Husain ibn Sayidina Ali r.a.
Semasa kecilnya beliau telah belajar Al-Quran dari Syaikh Ismail Al-Yamani, dan belajar tajwid serta membaiki bacaan dengan Syaikh Yusuf As-So’idi dan Syaikh Syamsuddin Al-Misri.Antara guru-guru beliau dalam ilmu agama dan syariat adalah : Sayid Abdul Karim Haidar Al-Barzanji, Syeikh Yusuf Al-Kurdi, Sayid Athiyatullah Al-Hindi. Sayid Ja’far Al-Barzanji telah menguasai banyak cabang ilmu, antaranya: Shoraf, Nahwu, Manthiq, Ma’ani, Bayan, Adab, Fiqh, Usulul Fiqh, Faraidh, Hisab, Usuluddin, Hadits, Usul Hadits, Tafsir, Hikmah, Handasah, A’rudh, Kalam, Lughah, Sirah, Qiraat, Suluk, Tasawuf, Kutub Ahkam, Rijal, Mustholah.
Syaikh Ja’far Al-Barzanji juga seorang Qodhi (hakim) dari madzhab Maliki yang bermukim di Madinah, merupakan salah seorang keturunan (buyut) dari cendekiawan besar Muhammad bin Abdul Rasul bin Abdul Sayyid Al-Alwi Al-Husain Al-Musawi Al-Saharzuri Al-Barzanji (1040-1103 H / 1630-1691 M), Mufti Agung dari madzhab Syafi’i di Madinah. Sang mufti (pemberi fatwa) berasal dari Shaharzur, kota kaum Kurdi di Irak, lalu mengembara ke berbagai negeri sebelum bermukim di Kota Sang Nabi. Di sana beliau telah belajar dari ulama’-ulama’ terkenal, diantaranya Syaikh Athaallah ibn Ahmad Al-Azhari, Syaikh Abdul Wahab At-Thanthowi Al-Ahmadi, Syaikh Ahmad Al-Asybuli. Beliau juga telah diijazahkan oleh sebahagian ulama’, antaranya : Syaikh Muhammad At-Thoyib Al-Fasi, Sayid Muhammad At-Thobari, Syaikh Muhammad ibn Hasan Al A’jimi, Sayid Musthofa Al-Bakri, Syaikh Abdullah As-Syubrawi Al-Misri.
Syaikh Ja’far Al-Barzanji, selain dipandang sebagai mufti, beliau juga menjadi khatib di Masjid Nabawi dan mengajar di dalam masjid yang mulia tersebut. Beliau terkenal bukan saja karena ilmu, akhlak dan taqwanya, tapi juga dengan kekeramatan dan kemakbulan doanya. Penduduk Madinah sering meminta beliau berdo’a untuk hujan pada musim-musim kemarau.
Setiap kali karangannya dibaca, shalawat dan salam dilatunkan buat junjungan kita Nabi Muhammad SAW, selain itu juga tidak lupa mendoakan Sayyid Ja‘far, yang telah berjasa menyebarkan keharuman pribadi dan sirah kehidupan makhluk termulia di alam raya. Semoga Allah meridhainya dan membuatnya ridha.

Wallahun 'Alam bishowab

Kamis, 16 Mei 2013

PERTOLONGAN AL-QUR'AN


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لِأَصْحَابِهِ، اقْرَءُوا الزَّهْرَاوَيْنِ الْبَقَرَةَ، وَسُورَةَ آلِ عِمْرَانَ، فَإِنَّهُمَا تَأْتِيَانِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَأَنَّهُمَا غَمَامَتَانِ، أَوْ كَأَنَّهُمَا غَيَايَتَانِ، أَوْ كَأَنَّهُمَا فِرْقَانِ مِنْ طَيْرٍ صَوَافَّ، تُحَاجَّانِ عَنْ أَصْحَابِهِمَا، اقْرَءُوا سُورَةَ الْبَقَرَةِ، فَإِنَّ أَخْذَهَا بَرَكَةٌ، وَتَرْكَهَا حَسْرَةٌ، وَلَا تَسْتَطِيعُهَا الْبَطَلَةُ. قَالَ مُعَاوِيَةُ: بَلَغَنِي أَنَّ الْبَطَلَةَ: السَّحَرَةُ

“Bacalah al-Qur’an kerana sesungguhnya di hari kiamat nanti ia akan menjadi syafa’at kepada orang-orang yang mengikutinya (menjadi ahlinya). Bacalah al-Zahrawain (dua cahaya yang bersinar), iaitu surah al-Baqarah dan Surat Ali ‘Imran. Kerana keduanya akan datang pada hari Kiamat seakan-akan dua awan besar atau seperti dua kelompok besar dari burung-burung yang akan menjadi hujjah (pembela) orang-orang yang sentiasa membacanya. Kamu bacalah surah al-Baqarah, kerana mengambilnya adalah barakah, meninggalkannya adalah kerugian, dan al-Bathalah (ahli kebathilan) tidaklah dapat menguasainya.” Kata Mu’awiyah: Al-Bathalah (Ahli kebathilan) adalah tukang sihir.” (Musnad Ahmad, no. 22213. Shahih Muslim, no. 804)
An-Nawwas B. Sa’man al-Kilaabi radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

يُؤْتَى بِالْقُرْآنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَهْلِهِ الَّذِينَ كَانُوا يَعْمَلُونَ بِهِ تَقْدُمُهُ سُورَةُ الْبَقَرَةِ، وَآلُ عِمْرَانَ، وَضَرَبَ لَهُمَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثَةَ أَمْثَالٍ مَا نَسِيتُهُنَّ بَعْدُ، قَالَ: «كَأَنَّهُمَا غَمَامَتَانِ، أَوْ ظُلَّتَانِ سَوْدَاوَانِ بَيْنَهُمَا شَرْقٌ، أَوْ كَأَنَّهُمَا حِزْقَانِ مِنْ طَيْرٍ صَوَافَّ، تُحَاجَّانِ عَنْ صَاحِبِهِمَا

“Akan didatangkan dengan al-Qur’an pada hari kiamat dan ahlinya yang mana dia beramal dengannya, terutamanya Surah al-Baqarah dan Ali ‘Imran.”
Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah membuat tiga permisalan dengan keduanya yang aku tidak akan lupa setelah itu:
“Kedua-dua Surah (Al-Baqarah dan Ali ‘Imran) seperti awan atau naungan (payung) yang berwarna hitam yang di antara keduanya ada cahaya, atau keduanya seperti sekelompok burung yang berbaris yang melindungi orang yang mengikuti (mengamalkan) kedua Surah tersebut.” (Shahih Muslim, no. 805)
Dalam riwayat at-Tirmidzi:

يَأْتِي القُرْآنُ وَأَهْلُهُ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ بِهِ فِي الدُّنْيَا تَقْدُمُهُ سُورَةُ البَقَرَةِ وَآلُ عِمْرَانَ

“Akan didatangkan dengan al-Qur’an pada hari kiamat dan ahlinya yang mana dia beramal dengannya di dunia terutamanya Surah al-Baqarah dan Ali ‘Imran.” (Sunan at-Tirmidzi, no. 2883)
Kemudian Imam at-Tirmidzi mengatakan:

وَمَعْنَى هَذَا الحَدِيثِ عِنْدَ أَهْلِ العِلْمِ أَنَّهُ يَجِيءُ ثَوَابُ قِرَاءَتِهِ، كَذَا فَسَّرَ بَعْضُ أَهْلِ العِلْمِ هَذَا الحَدِيثَ وَمَا يُشْبِهُ هَذَا مِنَ الأَحَادِيثِ أَنَّهُ يَجِيءُ ثَوَابُ قِرَاءَةِ القُرْآنِ. وَفِي حَدِيثِ النَّوَّاسِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا يَدُلُّ عَلَى مَا فَسَّرُوا إِذْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَأَهْلُهُ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ بِهِ فِي الدُّنْيَا فَفِي هَذَا دَلَالَةٌ أَنَّهُ يَجِيءُ ثَوَابُ العَمَلِ

“Dan makna hadis ini di sisi ahli ilmu, bahawasanya mereka berpendapat akan didatangkan pahala kepada pembacanya. Demikianlah tafsiran sebahagian ahli ilmu tentang hadis ini dan apa yang serupa dari hadis-hadis berikut bahawasanya akan didatangkan pahala bacaan al-Qur’an. Dan di dalam hadis an-Nawwas daripada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tersebut menunjukkan ke atas penafsiran apabila Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berkata:
“Dan ahlinya yang beramal dengannya di dunia.” Maka padanya ini adalah dalil bahawa akan didatangkan pahala amal.” (Sunan at-Tirmidzi, 5/160)
Hadis Dhai’f, Tidak Sahih!

Imam at-Tirmidzi meriwayatkan:

أَخْبَرَنَا حَفْصُ بْنُ سُلَيْمَانَ، عَنْ كَثِيرِ بْنِ زَاذَانَ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ ضَمْرَةَ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ

“Telah menghkhabarkan kepadaku Hafsh B. Sulaiman, daripada Katsir B. Zaazaan, daripada ‘Ashim B. Dhomrah, daripada ‘Ali B. Abi Thalib beliau berkata:
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ وَاسْتَظْهَرَهُ، فَأَحَلَّ حَلَالَهُ، وَحَرَّمَ حَرَامَهُ أَدْخَلَهُ اللَّهُ بِهِ الجَنَّةَ وَشَفَّعَهُ فِي عَشَرَةٍ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ كُلُّهُمْ قَدْ وَجَبَتْ لَهُ النَّارُ

“Sesiapa yang membaca al-Qur’an dan menghafaznya, menghalalkan apa yang dihalalkan oleh Allah, dan mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah, maka Allah memasukkan dengannya ke Syurga dan boleh memberi syafa’at (pertolongan) sepuluh orang dari ahli keluarganya yang telah dipastikan masuk Neraka.” (Sunan at-Tirmidzi, no. 2905)
Kata at-Tirmidzi rahimahullah (Wafat: 279H):

هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ هَذَا الوَجْهِ وَلَيْسَ لَهُ إِسْنَادٌ صَحِيحٌ، وَحَفْصُ بْنُ سُلَيْمَانَ أَبُو عُمَرَ بَزَّازٌ كُوفِيٌّ يُضَعَّفُ فِي الْحَدِيثِ

“Hadis ini ghariib (asing), tidak diketahui darinya melainkan dari wajah ini dan tidak memiliki isnad yang sahih. Dan Hafsh B. Sulaiman adalah Abu ‘Umar, saudagar dari Kuffah, dan beliau dilemahkan dalam hadis.” (Sunan at-Tirmidzi, 5/171)
Syaikh al-Albani mengatakan, “Dha’if jiddan.” Diriwayatkan oleh Ahmad, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan ad-Darimi.
Sebagai catatan dan peringatan: Maka telah kelirulah orang-orang yang mengabaikan al-Qur’an, tidak membacanya, dan tidak juga mengamalkannya, lalu dia beranggapan dengan menghantar anak-anak menghafaz dan mengamalkan al-Qur’an, kelak akan mampu menyelamatkannya di hari Kiamat.
Hakikatnya, yang paling utama untuk berusaha beramal dengan al-Qur’an itu adalah dirinya sendiri sebelum dia boleh menjadi contoh dan memerintahkan orang lain mengamalkannya. Bukan hanya sekadar memerintahkan sang anak menghafaz Surah itu dan ini, tetapi dia sendiri berlepas tangan dari al-Qur’an lalu kemudian boleh pula mengharap amal-amal (bacaan al-Qur’an) anaknya tersebut menjadi syafa’at untuknya. Sungguh ini benar-benar keliru.
Renungilah firman Allah Ta’ala berikut:

يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ (88) إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ (89) وَأُزْلِفَتِ الْجَنَّةُ لِلْمُتَّقِينَ

“(Iaitu) di hari yg di mana harta dan anak-anak tidak lagi bermanfaat, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang saliim (bersih suci). Dan didekatkan al-Jannah (Syurga) itu untuk orang-orang yang bertaqwa.” (Surah asy-Syu'araa, 26: 88-89)
Allah Ta’ala juga berfirman dalam ayat yang lain:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا

“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri-diri kalian dan ahli keluarga kalian dari Neraka.” (Surah at-Tahrim, 66: 6)
Dalam sebuah hadis, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

يُقَالُ لِصَاحِبِ الْقُرْآنِ: اقْرَأْ، وَارْقَ، وَرَتِّلْ كَمَا كُنْتَ تُرَتِّلُ فِي الدُّنْيَا، فَإِنَّ مَنْزِلَتَكَ عِنْدَ آخِرِ آيَةٍ تَقْرَؤُهَا

“Dikatakan kepada shohibul Qur’an (orang-orang yang membaca, mempelajari, dan mengamalkan al-Qur’an): “Bacalah, dan naiklah, dan tartilkanlah (bacalah dengan perlahan-lahan) sebagaimana engkau membacanya di dunia. Kerana sesungguhnya kedudukan engkau di sisi akhir ayat yang engkau baca.” (Musnad Ahmad, no. 6799. Sunan Abu Daud, no. 1464. Sunan at-Tirmidzi, no. 2914)
Kemudian dalam hadis yang lain, Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam:

خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ القُرْآنَ وَعَلَّمَهُ

“Sebaik-baik kamu adalah sesiapa yang mengamalkan al-Qur’an dan mengajarkannya.” (Shahih al-Bukhari, no. 5027).
Wallahu 'alam bishowab
 
www.ilmusunnah.com

Rabu, 15 Mei 2013

AMALAM MALAM JUM'AT

AMALAN  MALAM JUMAT - 

Kebiasaan memuliakan malam Jum’at salah satu ciri muslim dan muslimah, karena di dalam malam Jum’at itu keberkahan Allah SWT akan lebih tinggi dibandingkan malam-malam lain. Malam Jum’at dimana keesokan harinya diadakan sholat Jum’at adalah malam istimewa bagi seorang muslim maupun muslimah, orang mukmin maupun mukminat, jadi benar-benar malam yang istimewa, bukan sekedar malam biasa. Tapi masihkah kebiasaan warga muslim memuliakannya? Atau justru hanyut terbawa arus jaman, di mana orang tak peduli lagi dengan malam Jum’at yang mulia itu, karena bisa anda saksikan sendiri, betapa banyak kegiatan hura-hura, pesta pora atau berbagai acara yang hingar binger di lakukan di malam Jum’at.

Kalau yang menyelenggarakan non muslim, rasanya masih bisa dimaklumi, karena mereka tidak memuliakan dan tidak mensucikan malam Jum’at dan bulan ramdhan, tapi kalau penyelenggaranya orang muslim, yang seharusnya malam itu buat terawih, membaca Al Qur’an, sholat malam dan kegiatan ibadah lainnya, apa yang ada bisa katakana? Paling-paling hanya bisa mengelus dada dan banyak-banyak membaca istigfar.

Malam Jum’at
Begitu akan terasa nikmatnya
Setelah kau menyerah total kepadaNya
Dengan tahajud, witir, dzikir, membaca al Qur’an dan sebagainya

Jum’at putih
Aku namakan malam mulia ini
Karena di dalamnya kua bisa temukan kesucian malam Jum’at
Dengan banyak-banyak berdialog padaNya

Jum’at putih
Di dalamnya kau bisa menyerahkan semua titipanNya
PadaNya yang telah memberikan titipan padamu
Ya semua itu telah kau kembalikan padaNya
Pada malam Jum’at putih
Dan jiwamu tiba-tiba ringan seakan-akana tanpa beban
Totalitas penyerahan padaNya
Membuat jiwamu tenang, damai dan lega
Alhamdulillah

Jum’at putih
Jum’at suci
Jum’at kebahagiaan
Jum’at di atas Jum’at
Allahu Akbar

Mungkin ada yang bilang, “ah setiap hari kan sama saja, tak ada keistimewaan pada malam Jum’at, semua biasa saja”. Jelas yang bilang begini ini, tak memuliakan malam Jum’at, jadi baginya malam Jum’at mau pestapora, mau dansa dansi, mau apa saja boleh. Ngerikan! Kalau pernyataan itu keluar dari sahabat-sahabat yang muslim atau musliman, mari simak berikut ini :

Sahabat …. setiap napas yang diberikan-Nya adalah amanat-Nya yang nantinya dimintai pertanggungjawaban di akherat sana. Sahabat …. Setiap detik napas yang berhembus adalah bonus dari-Nya yang tidak semua orang mendapatkannya, tidak semua memilikinya, yang tidak semua orang menyadarinya, yang tidak semua menghargainya.

Sahabat ….barulah napas dihargai,barulah kesehatan diperhatikan, barulah kematian di ingat, barulah dosa-dosa terbayang, barulah sadar bahwa napas adalah karunianya yang begitu besar, tiap detik , tiap saat, tiap waktu bonus dari-Nya datang tanpa diminta.

Sahabat ….mari saling berbagi, mari saling mengingatkan, mari saling memberi nasehat, mari saling bertegur sapa, selama napas masih berhembus selama hidup masih diberikan, selama maut masih menunggu, selama kuburan masih jauh, selama hayat masih dikandung badan, selama kesehatan masih bersama, selama ingatan masih tajam,selama gerak masih lancer.

Sahabat ….

Apa yang kau cari? Akan kau tinggalkan
Apa yang kau dapat? Tak dibawa mati
Apa yang bersamamu? Akan berpisah
Apa yang kau simpan? Akan hilang
Apa yang dambakan? Tak abadi
Apa yang kau cintai? Bukan milikmu
Apa yang kau benci? Bukan kau yang menciptakan
Apa yang kau hina? Bukan kau yang menjadikan
Apa yang kau gosipkan? Pahalamu kan hilang
Apa yang kau benci? Tak di bawa mati

Sahabat ….
Setiap langkah kita sedang menuju ke kuburan
Usia kita bertambah maut makin dekat
Rumah terakhir kita kuburan
Tanah air kita yang hakiki panjangnya hanya satu kali dua meter saja.

Imam Al-Syafi'i rahimahullah dalam Al-Umm menyatakan bahwa membaca surat al-Kahfi bisa dilakukan pada malam Jum'at dan siangnya berdasarkan riwayat tentangnya. (Al-Umm, Imam al-Syafi'i: 1/237).

Dari Abu Sa'id al-Khudri radliyallahu 'anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

مَنْ َقَرَأَ سُوْرَةَ الْكَهْفِ لَيْلَةَ الْجُمْعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّوْرِ فِيْمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْبَيْتِ الْعَتِيْقِ

"Barangsiapa membaca surat al-Kahfi pada malam Jum’at, maka dipancarkan cahaya untuknya sejauh antara dirinya dia dan Baitul 'atiq." (Sunan Ad-Darimi, no. 3273. Juga diriwayatkan al-Nasai dan Al-Hakim Shahih al-Targhib wa al-Tarhib, no. 736).


wALLAHU 'aLAM BISHOWAB