Rabu, 18 Desember 2013

Menikah Bukti Keagungan Allah

Menikah Bukti Keagungan Allah

Allah swt. berfirman,

وَمِنْ ءَايَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ 
يَتَفَكَّرُونَ (الروم21(


“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” Ar Rum:21

Ayat ini sebenarnya bagian dari cerita tanda-tanda keagungan Allah swt. dan kekuasaan-Nya. Bahwa semua yang ada di langit dan di bumi dan segala yang terjadi datang dari-Nya. Termasuk diciptakannya manusia berpasang-pasangan yang dengannya terjadi kelanjutan hidup, seperti yang disebutkan pada ayat di atas. Karenanya hakikat pernikahan dan rumah tangga bagi Allah swt. adalah ikatan yang sangat agung. Karena dengannya nampak keagungan-Nya.

Sebaliknya, ketika manusia hidup di alam perzinaan, yang nampak hanyalah kebinatangan. Bila kebinatangan yang menonjol dalam hidup manusia, kerusakan pasti akan meraja lela. Paling tidak yang pertama kali hancur adalah kemanusiaan. Manusia tidak lagi perduli dengan rumah tangga. Bila rumah tangga hancur, garis nasab akan hilang. Lama ke lamaan manusia tidak tahu lagi siapa sebenarnya yang ia gauli. Tidak mustahil suatu saat – bahkan ini sudah banyak terjadi – akan lahir seorang anak dari hubungan ayah dengan anaknya, atau hubungan ibu dengan anaknya, atau hubungan antara saudara seayah dan sebagainya.

Karena itu pada ayat di atas, Allah swt. menjadikan hakikat berpasang-pasangan sebagai bukti keagungan-Nya, supaya manusia tidak begitu mudah merendahkan dirinya dengan menganggap bahwa berhubungan dengan siapa saja boleh-boleh saja. Tidak, janganlah sekali-kali perbuatan ini dilakukan. Sebab dengan melakukan perzinaan seseorang tidak saja mengahancurkan kemanusiaannya sendiri melainkan lebih dari itu ia telah merendahkan Allah swt. dengan meremehkan tanda-tanda keagungan-Nya.

Jelasnya bahwa dari ayat di atas setidaknya ada tiga langkah yang bisa kita bahas secara mendalam dalam tulisan ini untuk mencapai kebahagiaan dalam rumah tangga:

(a) Bangun Jiwa Sakinah

(b) Hidupkan Semangat Mawaddah

(c) Pertahankan Spirit Rahmah.

Dan ketiga langkah ini adalah bekal utama setiap rumah tangga. Bila salah satunya hilang, rumah tangga akan rapuh dan mudah retak. Karena itu hendaklah ketiga langkah tersebut benar-benar dicapai secara maksimal, atau paling tidak mendekatinya.

Bangun Jiwa Sakinah

Allah berfirman: litaskunuu ilaihaa, artinya agar kau berteduh wahai para suami kepada istrimu. Kata litaskunuu diambil dari kata sakana yaskunu artinya berdiam atau berteduh. Dari kata sakana ini di ambil istilah sakinah yang kemudian diartikan tenang. Memang bisa saja kata sakana diartikan tenang, tetapi pengertian dalam ayat ini lebih dalam lagi dari sekedar tenang.

Syaikh Ibn Asyur dalam tafsirnya At Tahrir wat Tanwiir mengartikan kata litaskunuu dengan dengan tiga makna:

(1) lita’lafuu artinya agar kamu saling mengikat hati, seperti uangkapan ta’liiful quluub. Dalam surah Al Anfal: 63 Allah berfirman: wa allafa baina quluubihim (Dialah Allah yang telah mempersatukan hati di antara mereka). Dengan makna ini maka antara suami istri hendaknya benar-benar membangun ikatan hati yang kuat. Dan sekuat-kuat pengikat hati adalah iman. Maka semakin kuat iman seseorang, semakin kuat pula ikatan hatinya dalam rumah tangganya. Sebaliknya semakin lemah iman seseorang, bisa dipastikan bahwa rumah tangga tersebut akan rapuh dan mudah retak.

(2) Tamiiluu ilaihaa artinya kau condong kepadanya. Condong artinya pikiran, perasaan dan tanggung jawab tercurah kepadanya. Dengan makna ini maka suami istri bukan sekedar basa-basi untuk bersenang-senang sejenak. Melainkan benar-benar dibangun di atas tekad yang kuat untuk membangun masa depan rumah tangga yang bermanfaat. Karenanya harus ada kecondongan dari masing-masing suami istri. Tanpa kecondongan pasti akan terjadi keterpaksaan.

Karena itu orang tua jangan memaksakan kehendaknya jika memang ternyata dalam diri anaknya tidak ada kecondongan. Saya sering menemukan seorang anak muda mengeluh karena dipaksa orang tuanya untuk menikah dengan si fulanah. Sementara dalam diri anak muda tersebut tidak ada kecondongan sama sekali. Tapi orang tuanya mengancam dan bahkan menganggap ia bukan anaknya jika tidak mengikuti keinginannya.

Ini tentu sikap yang tidak pada tempatnya. Orang tua harus tahu bahwa sakinah dalam rumah tangga tidak akan di capai tanpa adanya kecondongan. Pun orang tua harus tahu bahwa yang akan hidup bersama istrinya adalah sang anak. Maka tidak benar menggunakan kartu merah orang tua, untuk memaksakan kecondongannya supaya anak mengikutinya.

Seringkali rumah tangga hancur karena orang tua tidak meperhatikan kecondongan sang anak. Karena itu untuk membangun sakinah harus ada dalam diri masing-masing suami istri kecondongan.

(3) Tathma’innuu biha artinya kau merasa tenang dengannya.

Dalam surah Ar Ra’d:28 Allah berfirman: alaa bidzikrillahi tathma’innul quluub (Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram). Dari sini nampak bahwa untuk mencapai ketenangan dalam rumah tangga hanya dengan banyak berdzikir kepada Allah.

Para ulama menyebutkan bahwa dzikir ada tiga dimensi: dzikurullisan (dzikir dengan lidah), dzikrul qalb (dzikir dengan hati) maksudnya hatinya selalu sadar dan ingat kepada Allah, dan dzikrul haal (dzikir dengan perbuatan), maksudnya seluruh perbuatannya selalu dalam ketaatan kepada Allah swt. Maka sungguh tidak mungkin mencapai sakinah rumah tangga yang penuh dengan kemaksiatan kepada Allah swt.

Termasuk kemaksiatan ketika masing-masing suami suka berbohong. Banyak rumah tangga yang retak karena ketidak jujuran masing-masing suami istri. Bila seorang suami suka berbohong pasti sang istri akan gelisah. Selanjutnya ketenangan akan hilang dalam rumah tangga. Sebaliknya bila istri suka berbohong, sang suami pasti tidak akan merasa tenang bersamanya. Bila suami tidak tenang, bisa jadi kelak rumah tangga akan terancam. Dari sini perceraian demi perceraian terjadi. Asal muasalnya karena kebiasaan tidak jujur dan dosa-dosa.

Hidupkan Semangat Mawaddah

Mawaddah artinya cinta. Imam Hasan Al Bashri mengartikan kata mawaddah sebagai metafor dari hubungan seks. Jelasnya bahwa mawaddah adalah perasaan cinta dan senang dengannya rumah tangga menjadi bergairah dan penuh semangat. Tanpa mawaddah rumah tangga akan kering. Mawaddah biasanya sangat personal. Ia tidak tergantung kepada kecantikan istri atau ketampanan suami. Boleh jadi di mata banyak orang wanita itu tidak cantik, tetapi sang suami sangat mencintainya. Pun boleh jadi wanita itu disepakati sebagai wanita cantik, tetapi sang suami ternyata sangat membencinya.

Sebagian ulama tafsir mengatakan bahwa cinta biasanya sering menggebu di masa muda atau di awal-awal pernikahan. Lama ke lamaan setelah masuk dalam rutinitas rumah tangga, getaran cinta menjadi melemah. Karenanya Allah swt. bekali rahmah sebagai pengimbangnya, supaya ketika sinyal cinta mulai redup, masih ada semangat rahmah yang akan menyelamatkan rumah tangga tersebut. Lain halnya dengan orang-orang yang membangun rumah tangga hanya dengan modal cinta, rumah tangga rentan mudah roboh dan tidak kokoh.

Ibarat mesin, mawaddah adalah dinamo penggerak yang mengairahkan. Dengan mawaddah rumah tangga menjadi dinamis dan produktif. Sebaliknya bila jiwa mawaddah hilang, rumah tangga akan menjadi monoton tanpa dinamika sama sekali. Dalam penelitian saya minimal ciri mawaddah ada tiga:

(a) Katsratut tahaady (selalu saling memberi hadiah), karena seperti kata Nabi saw. dengan saling memberi hadiah cinta akan selalu hangat.

(b) Katsratu dzikrihi (selalu saling mengingat kebaikannya). Sebab dengan mengingat kebaikannya seseorang akan selalu merasa berhutang budi. Hindari melihat keburukan dan kekurangannya, karena itu akan menumbuhkan kebencian dan perselisihan tiada henti.

(c) Katsratul ittishaali ma’ahu (selalu saling berkomunikasi) sebab dari kemunikasi akan hilang prasangka. Banyak hal yang sebenarnya dimaksudkan untuk kebaikan, tetapi karena lemahnya komunikasi seringkali kesalahpahaman terjadi.

Pertahankan Spirit Rahmah

Rahmah artinya kasih sayang, diambil dari kata rahima yarhamu. Dari kata ini pula diambil kata ar rahmaan salah satu nama Allah swt. Bahwa Allah Maha Penyayang. Para ahli tafsir mengatakan bahwa rahman-Nya Allah meliputi seluruh mahluk-Nya: manusia, binatang, dan mahluk-mahluk lainnya. Termasuk orang-orang yang tidak beriman, karenanya mereka masih bisa hidup dan bisa menikmati fasilitas kehidupan dari Allah, padahal mereka setiap hari tidak mentaati-Nya. Kata rahmah lebih bermakna kesungguhan untuk berbuat baik kepada orang lain, apa lagi kepada keluarga.

Memang setiap orang mempunyai kekurangan, dan tidak ada seorang pun yang mecapai kesempurnaan. Maka jika setiap manusia selalu mempersepsikan adanya pasangan yang sempurna, pasti pada akhirnya ia tidak akan pernah punya pasangan. Dalam pepatah Arab dikatakan: “Man talaba akhan bilaa ‘aibin laqiya bilaa akhin (orang yang mencari kawan tanpa cacat, pasti pada akhirnya ia tidak akan punya kawan).

Kata rahmah lebih mencerminkan sikap saling memahami kekuarangan masing-masing lalu berusaha untuk saling melengkapi. Sikap rahmah menekankan adanya sikap saling tolong menolong dalam bersinergi, sehingga kekurangan berubah menjadi kesempurnaan.

Sikap rahmah seringkali berperan ketika semangat cinta mulai menurun. Biasanya itu terjadi setelah usia suami istri sama-sama mencapai tahap tua. Cucu sudah mulai banyak. Badan banyak sakit-sakitan. Pada saat itu kebertahanan rumah tangga sangat ditopang oleh kekuatan rahmah (kasih sayang).

Karena itu mawaddah dan rahmah ibarat dua sayap bagi burung. Bila kedua sayap itu berfungsi dengan baik, maka rumah tangga akan berjalan penuh kebahagiaan. Ibarat burung terbang di angkasa, ia menikmati keindahan alam semesta dan penuh dengan kelapangan dada. Tanpa sedikit pun ada beban di hatinya. Terbang ke mana saja ia mau, tidak ada hambatan dan kesulitan.

Kesadaran Akhirat

Pada penutup ayat di atas Allah swt. berfirman: inna fiidzaalika laayatil liqawmiyyatafakkaruun maksudnya bahwa itu semua merupakan bukti bagi orang-orang yang berpikir. Yaitu orang-orang yang menggunakan akalnya untuk memahami ajaran Allah swt.

Dalam Al Qur’an banyak sekali penegasan bahwa kelak di hari Kiamat banyak manusia menyesal karena selama di dunia tidak menggunakan akalnya. Allah swt. berfirman,

“Dan mereka berkata: “Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala.” Al Mulk:10

Dari sini nampak bahwa yang membedakan antara manusia dan mahluk lainnya adalah karena manusia Allah bekali akal. Dan di antara ciri orang-orang berakal bahwa ia selalu menegakkan kedamaian dalam hidupnya terutama minimal dalam rumah tangganya. Maka ketika ia tidak bisa membangun kedamaian dalam rumah tangganya, bisa dipastikan ia akan gagal dalam lapangan kehidupan yang lain.

Bila seseorang gagal dalam rumah tangga otomatis ia menyesal. Menyesal karena telah menyia-nyiakan kesempatan untuk berbuat baik selama di dunia. Penyesalan itu terjadi kelak setelah ia tahu bahwa ternyata Allah tidak menyia-nyiakan sekecil apapun yang dilakukan manusia. Famayya’mal mitsqaal dzarratin khairay yarah wamay ya’mal mitsqaala dzarratin syarray yarah (Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula.” Qs. Az Zalzalah:7-8.

Kesadaran akhirat seperti inilah yang harus selalu dicamkan oleh setiap suami istri, karena hanya dengan kesadaran ini semua prilaku akan menjadi baik dan rumah tangga akan dijalankan dengan penuh tanggung jawab. Wallahu’ alam bishshwab.

KEBERKAHAN AKAD NIKAH

Di saat seseorang melaksanakan aqad pernikahan, maka ia akan mendapatkan banyak ucapan do’a dari para undangan dengan do’a keberkahan sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah SAW; “Semoga Allah memberkahimu, dan menetapkan keberkahan atasmu, dan mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan.” Do’a ini sarat dengan makna yang mendalam, bahwa pernikahan seharusnya akan mendatangkan banyak keberkahan bagi pelakunya. Namun kenyataannya, kita mendapati banyak fenomena yang menunjukkan tidak adanya keberkahan hidup berumah tangga setelah pernikahan, baik di kalangan masyarakat umum maupun di kalangan keluarga du’at (kader dakwah). Wujud ketidakberkahan dalam pernikahan itu bisa dilihat dari berbagai segi, baik yang bersifat materil ataupun non materil.
Munculnya berbagai konflik dalam keluarga tidak jarang berawal dari permasalahan ekonomi. Boleh jadi ekonomi keluarga yang selalu dirasakan kurang kemudian menyebabkan menurunnya semangat beramal/beribadah. Sebaliknya mungkin juga secara materi sesungguhnya sangat mencukupi, akan tetapi melimpahnya harta dan kemewahan tidak membawa kebahagiaan dalam pernikahannya.
Seringkali kita juga menemui kenyataan bahwa seseorang tidak pernah berkembang kapasitasnya walau pun sudah menikah. Padahal seharusnya orang yang sudah menikah kepribadiannya makin sempurna; dari sisi wawasan dan pemahaman makin luas dan mendalam, dari segi fisik makin sehat dan kuat, secara emosi makin matang dan dewasa, trampil dalam berusaha, bersungguh-sungguh dalam bekerja, dan teratur dalam aktifitas kehidupannya sehingga dirasakan manfaat keberadaannya bagi keluarga dan masyarakat di sekitarnya.
Realitas lain juga menunjukkan adanya ketidakharmonisan dalam kehidupan keluarga, sering muncul konflik suami isteri yang berujung dengan perceraian. Juga muncul anak-anak yang terlantar (broken home) tanpa arahan sehingga terperangkap dalam pergaulan bebas dan narkoba. Semua itu menunjukkan tidak adanya keberkahan dalam kehidupan berumah tangga.

Memperhatikan fenomena kegagalan dalam menempuh kehidupan rumah tangga sebagaimana tersebut di atas, sepatutnya kita melakukan introspeksi (muhasabah) terhadap diri kita, apakah kita masih konsisten (istiqomah) dalam memegang teguh rambu-rambu berikut agar tetap mendapatkan keberkahan dalam meniti hidup berumah tangga ?

1. Meluruskan niat/motivasi (Ishlahun Niyat)
Motivasi menikah bukanlah semata untuk memuaskan kebutuhan biologis/fisik. Menikah merupakan salah satu tanda kebesaran Allah SWT sebagaimana diungkap dalam Alqur’an (QS. Ar Rum:21), sehingga bernilai sakral dan signifikan. Menikah juga merupakan perintah-Nya (QS. An-Nur:32) yang berarti suatu aktifitas yang bernilai ibadah dan merupakan Sunnah Rasul dalam kehidupan sebagaimana ditegaskan dalam salah satu hadits : ”Barangsiapa yang dimudahkan baginya untuk menikah, lalu ia tidak menikah maka tidaklah ia termasuk golonganku” (HR.At-Thabrani dan Al-Baihaqi). Oleh karena nikah merupakan sunnah Rasul, maka selayaknya proses menuju pernikahan, tata cara (prosesi) pernikahan dan bahkan kehidupan pasca pernikahan harus mencontoh Rasul. Misalnya saat hendak menentukan pasangan hidup hendaknya lebih mengutamakan kriteria ad Dien (agama/akhlaq) sebelum hal-hal lainnya (kecantikan/ketampanan, keturunan, dan harta); dalam prosesi pernikahan (walimatul ‘urusy) hendaknya juga dihindari hal-hal yang berlebihan (mubadzir), tradisi yang menyimpang (khurafat) dan kondisi bercampur baur (ikhtilath). Kemudian dalam kehidupan berumah tangga pasca pernikahan hendaknya berupaya membiasakan diri dengan adab dan akhlaq seperti yang dicontohkan Rasulullah saw.
Menikah merupakan upaya menjaga kehormatan dan kesucian diri, artinya seorang yang telah menikah semestinya lebih terjaga dari perangkap zina dan mampu mengendalikan syahwatnya. Allah SWT akan memberikan pertolong-an kepada mereka yang mengambil langkah ini; “ Tiga golongan yang wajib Aku (Allah) menolongnya, salah satunya adalah orang yang menikah karena ingin menjaga kesucian dirinya.” (HR. Tarmidzi)
Menikah juga merupakan tangga kedua setelah pembentukan pribadi muslim (syahsiyah islamiyah) dalam tahapan amal dakwah, artinya menjadikan keluarga sebagai ladang beramal dalam rangka membentuk keluarga muslim teladan (usrah islami) yang diwarnai akhlak Islam dalam segala aktifitas dan interaksi seluruh anggota keluarga, sehingga mampu menjadi rahmatan lil ‘alamin bagi masyarakat sekitarnya. Dengan adanya keluarga-keluarga muslim pembawa rahmat diharapkan dapat terwujud komunitas dan lingkungan masyarakat yang sejahtera.

2. Sikap saling terbuka (Mushorohah)
Secara fisik suami isteri telah dihalalkan oleh Allah SWT untuk saling terbuka saat jima’ (bersenggama), padahal sebelum menikah hal itu adalah sesuatu yang diharamkan. Maka hakikatnya keterbukaan itu pun harus diwujudkan dalam interaksi kejiwaan (syu’ur), pemikiran (fikrah), dan sikap (mauqif) serta tingkah laku (suluk), sehingga masing-masing dapat secara utuh mengenal hakikat kepribadian suami/isteri-nya dan dapat memupuk sikap saling percaya (tsiqoh) di antara keduanya.
Hal itu dapat dicapai bila suami/isteri saling terbuka dalam segala hal menyangkut perasaan dan keinginan, ide dan pendapat, serta sifat dan kepribadian. Jangan sampai terjadi seorang suami/isteri memendam perasaan tidak enak kepada pasangannya karena prasangka buruk, atau karena kelemahan/kesalahan yang ada pada suami/isteri. Jika hal yang demikian terjadi hal yang demikian, hendaknya suami/isteri segera introspeksi (bermuhasabah) dan mengklarifikasi penyebab masalah atas dasar cinta dan kasih sayang, selanjutnya mencari solusi bersama untuk penyelesaiannya. Namun apabila perasaan tidak enak itu dibiarkan maka dapat menyebabkan interaksi suami/isteri menjadi tidak sehat dan potensial menjadi sumber konflik berkepanjangan.

3. Sikap toleran (Tasamuh)
Dua insan yang berbeda latar belakang sosial, budaya, pendidikan, dan pengalaman hidup bersatu dalam pernikahan, tentunya akan menimbulkan terjadinya perbedaan-perbedaan dalam cara berfikir, memandang suatu permasalahan, cara bersikap/bertindak, juga selera (makanan, pakaian, dsb). Potensi perbedaan tersebut apabila tidak disikapi dengan sikap toleran (tasamuh) dapat menjadi sumber konflik/perdebatan. Oleh karena itu masing-masing suami/isteri harus mengenali dan menyadari kelemahan dan kelebihan pasangannya, kemudian berusaha untuk memperbaiki kelemahan yang ada dan memupuk kelebihannya. Layaknya sebagai pakaian (seperti yang Allah sebutkan dalam QS. Albaqarah:187), maka suami/isteri harus mampu mem-percantik penampilan, artinya berusaha memupuk kebaikan yang ada (capacity building); dan menutup aurat artinya berupaya meminimalisir kelemahan/kekurangan yang ada.
Prinsip “hunna libasullakum wa antum libasullahun (QS. 2:187) antara suami dan isteri harus selalu dipegang, karena pada hakikatnya suami/isteri telah menjadi satu kesatuan yang tidak boleh dipandang secara terpisah. Kebaikan apapun yang ada pada suami merupakan kebaikan bagi isteri, begitu sebaliknya; dan kekurangan/ kelemahan apapun yang ada pada suami merupakan kekurangan/kelemahan bagi isteri, begitu sebaliknya; sehingga muncul rasa tanggung jawab bersama untuk memupuk kebaikan yang ada dan memperbaiki kelemahan yang ada.
Sikap toleran juga menuntut adanya sikap mema’afkan, yang meliputi 3 (tiga) tingkatan, yaitu: (1) Al ‘Afwu yaitu mema’afkan orang jika memang diminta, (2) As-Shofhu yaitu mema’afkan orang lain walaupun tidak diminta, dan (3) Al-Maghfirah yaitu memintakan ampun pada Allah untuk orang lain. Dalam kehidupan rumah tangga, seringkali sikap ini belum menjadi kebiasaan yang melekat, sehingga kesalahan-kesalahan kecil dari pasangan suami/isteri kadangkala menjadi awal konflik yang berlarut-larut. Tentu saja “mema’afkan” bukan berarti “membiarkan” kesalahan terus terjadi, tetapi mema’afkan berarti berusaha untuk memberikan perbaikan dan peningkatan.

4. Komunikasi (Musyawarah)
Tersumbatnya saluran komunikasi suami-isteri atau orang tua-anak dalam kehidupan rumah tangga akan menjadi awal kehidupan rumah tangga yang tidak harmonis. Komunikasi sangat penting, disamping akan meningkatkan jalinan cinta kasih juga menghindari terjadinya kesalahfahaman.
Kesibukan masing-masing jangan sampai membuat komunikasi suami-isteri atau orang tua-anak menjadi terputus. Banyak saat/kesempatan yang bisa dimanfaatkan, sehingga waktu pertemuan yang sedikit bisa memberikan kesan yang baik dan mendalam yaitu dengan cara memberikan perhatian (empati), kesediaan untuk mendengar, dan memberikan respon berupa jawaban atau alternatif solusi. Misalnya saat bersama setelah menunaikan shalat berjama’ah, saat bersama belajar, saat bersama makan malam, saat bersama liburan (rihlah), dan saat-saat lain dalam interaksi keseharian, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan memanfaatkan sarana telekomunikasi berupa surat, telephone, email, dsb.
Alqur’an dengan indah menggambarkan bagaimana proses komunikasi itu berlangsung dalam keluarga Ibrahim As sebagaimana dikisahkan dalam QS.As-Shaaffaat:102, yaitu : “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata; Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu, Ia menjawab; Hai Bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.
Ibrah yang dapat diambil dalam kisah tersebut adalah adanya komunikasi yang timbal balik antara orang tua-anak, Ibrahim mengutarakan dengan bahasa dialog yaitu meminta pendapat pada Ismail bukan menetapkan keputusan, adanya keyakinan kuat atas kekuasaan Allah, adanya sikap tunduk/patuh atas perintah Allah, dan adanya sikap pasrah dan tawakkal kepada Allah; sehingga perintah yang berat dan tidak logis tersebut dapat terlaksana dengan kehendak Allah yang menggantikan Ismail dengan seekor kibas yang sehat dan besar.

5. Sabar dan Syukur
Allah SWT mengingatkan kita dalam Alqur’an surat At Taghabun ayat 14: ”Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya diantara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka. Dan jika kamu mema’afkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Peringatan Allah tersebut nyata dalam kehidupan rumah tangga dimana sikap dan tindak tanduk suami/istri dan anak-anak kadangkala menunjukkan sikap seperti seorang musuh, misalnya dalam bentuk menghalangi-halangi langkah dakwah walaupun tidak secara langsung, tuntutan uang belanja yang nilainya di luar kemampuan, menuntut perhatian dan waktu yang lebih, prasangka buruk terhadap suami/isteri, tidak merasa puas dengan pelayanan/nafkah yang diberikan isteri/suami, anak-anak yang aktif dan senang membuat keributan, permintaan anak yang berlebihan, pendidikan dan pergaulan anak, dan sebagainya. Jika hal-hal tersebut tidak dihadapi dengan kesabaran dan keteguhan hati, bukan tidak mungkin akan membawa pada jurang kehancuran rumah tangga.
Dengan kesadaran awal bahwa isteri dan anak-anak dapat berpeluang menjadi musuh, maka sepatutnya kita berbekal diri dengan kesabaran. Merupakan bagian dari kesabaran adalah keridhaan kita menerima kelemahan/kekurangan pasangan suami/isteri yang memang diluar kesang-gupannya. Penerimaan terhadap suami/isteri harus penuh sebagai satu “paket”, dia dengan segala hal yang melekat pada dirinya, adalah dia yang harus kita terima secara utuh, begitupun penerimaan kita kepada anak-anak dengan segala potensi dan kecenderungannya. Ibaratnya kesabaran dalam kehidupan rumah tangga merupakan hal yang fundamental (asasi) untuk mencapai keberkahan, sebagaimana ungkapan bijak berikut:“Pernikahan adalah Fakultas Kesabaran dari Universitas Kehidupan”. Mereka yang lulus dari Fakultas Kesabaran akan meraih banyak keberkahan.
Syukur juga merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dalam kehidupan berumah tangga. Rasulullah mensinyalir bahwa banyak di antara penghuni neraka adalah kaum wanita, disebabkan mereka tidak bersyukur kepada suaminya.
Mensyukuri rezeki yang diberikan Allah lewat jerih payah suami seberapapun besarnya dan bersyukur atas keadaan suami tanpa perlu membanding-bandingkan dengan suami orang lain, adalah modal mahal dalam meraih keberkahan; begitupun syukur terhadap keberadaan anak-anak dengan segala potensi dan kecenderungannya, adalah modal masa depan yang harus dipersiapkan.
Dalam keluarga harus dihidupkan semangat “memberi” kebaikan, bukan semangat “menuntut” kebaikan, sehingga akan terjadi surplus kebaikan. Inilah wujud tambahnya kenikmatan dari Allah, sebagaimana firmannya: Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih (QS. Ibrahim:7).
Mensyukuri kehadiran keturunan sebagai karunia Allah, harus diwujudkan dalam bentuk mendidik mereka dengan pendidikan Rabbani sehingga menjadi keturunan yang menyejukkan hati. Keturunan yang mampu mengemban misi risalah dien ini untuk masa mendatang, maka jangan pernah bosan untuk selalu memanjatkan do’a:
Ya Rabb kami karuniakanlah kami isteri dan keturunan yang sedap dipandang mata, dan jadikanlah kami pemimpin orang yang bertaqwa.
Ya Rabb kami karuniakanlah kami anak-anak yang sholeh.
Ya Rabb kami karuniakanlah kami dari sisi Engkau keturunan yang baik.
Ya Rabb kami karuniakanlah kami dari sisi Engkau keturunan yang Engkau Ridha-i.
Ya Rabb kami jadikanlah kami dan keturunan kami orang yang mendirikan shalat.

Do’a diatas adalah ungkapan harapan para Nabi dan Rasul tentang sifat-sifat (muwashshofat) ketuturunan (dzurriyaat) yang diinginkan, sebagaimana diabadikan Allah dalam Alqur’an (QS. Al-Furqon:74; QS. Ash-Shaafaat:100 ; QS.Al-Imran:38; QS. Maryam: 5-6; dan QS. Ibrahim:40). Pada intinya keturun-an yang diharapkan adalah keturunan yang sedap dipandang mata (Qurrota a’yun), yaitu keturunan yang memiliki sifat penciptaan jasad yang sempurna (thoyyiba), ruhaniyah yang baik (sholih), diridhai Allah karena misi risalah dien yang diperjuangkannya (wali radhi), dan senantiasa dekat dan bersama Allah (muqiimash-sholat).
Demikianlah hendaknya harapan kita terhadap anak, agar mereka memiliki muwashofaat tersebut, disamping upaya (ikhtiar) kita memilihkan guru/sekolah yang baik, lingkungan yang sehat, makanan yang halal dan baik (thoyyib), fasilitas yang memadai, keteladanan dalam keseharian, dsb; hendaknya kita selalu memanjatkan do’a tersebut.

6. Sikap yang santun dan bijak (Mu’asyarah bil Ma’ruf)
Merawat cinta kasih dalam keluarga ibaratnya seperti merawat tanaman, maka pernikahan dan cinta kasih harus juga dirawat agar tumbuh subur dan indah, diantaranya dengan mu’asyarah bil ma’ruf. Rasulullah saw menyatakan bahwa : “Sebaik-baik orang diantara kamu adalah orang yang paling baik terhadap isterinya, dan aku (Rasulullah) adalah orang yang paling baik terhadap isteriku.” (HR.Thabrani & Tirmidzi)
Sikap yang santun dan bijak dari seluruh anggota keluarga dalam interaksi kehidupan berumah tangga akan menciptakan suasana yang nyaman dan indah. Suasana yang demikian sangat penting untuk perkembangan kejiwaan (maknawiyah) anak-anak dan pengkondisian suasana untuk betah tinggal di rumah.
Ungkapan yang menyatakan “Baiti Jannati” (Rumahku Syurgaku) bukan semata dapat diwujudkan dengan lengkapnya fasilitas dan luasnya rumah tinggal, akan tetapi lebih disebabkan oleh suasana interaktif antara suami-isteri dan orang tua-anak yang penuh santun dan bijaksana, sehingga tercipta kondisi yang penuh keakraban, kedamain, dan cinta kasih.
Sikap yang santun dan bijak merupakan cermin dari kondisi ruhiyah yang mapan. Ketika kondisi ruhiyah seseorang labil maka kecenderungannya ia akan bersikap emosional dan marah-marah, sebab syetan akan sangat mudah mempengaruhinya. Oleh karena itu Rasulullah saw mengingatkan secara berulang-ulang agar jangan marah (Laa tagdlob). Bila muncul amarah karena sebab-sebab pribadi, segeralah menahan diri dengan beristigfar dan mohon perlindungan Allah (ta’awudz billah), bila masih merasa marah hendaknya berwudlu dan mendirikan shalat. Namun bila muncul marah karena sebab orang lain, berusahalah tetap menahan diri dan berilah ma’af, karena Allah menyukai orang yang suka mema’afkan. Ingatlah, bila karena sesuatu hal kita telanjur marah kepada anak/isteri/suami, segeralah minta ma’af dan berbuat baiklah sehingga kesan (atsar) buruk dari marah bisa hilang. Sesungguhnya dampak dari kemarahan sangat tidak baik bagi jiwa, baik orang yang marah maupun bagi orang yang dimarahi.

7. Kuatnya hubungan dengan Allah (Quwwatu shilah billah)
Hubungan yang kuat dengan Allah dapat menghasilkan keteguhan hati (kemapanan ruhiyah), sebagaimana Allah tegaskan dalam QS. Ar-Ra’du:28. “Ketahuilah dengan mengingat Allah, hati akan menjadi tenang”. Keberhasilan dalam meniti kehidupan rumah tangga sangat dipengaruhi oleh keteguhan hati/ketenangan jiwa, yang bergantung hanya kepada Allah saja (ta’alluq billah). Tanpa adanya kedekatan hubungan dengan Allah, mustahil seseorang dapat mewujudkan tuntutan-tuntutan besar dalam kehidupan rumah tangga. Rasulullah saw sendiri selalu memanjatkan do’a agar mendapatkan keteguhan hati: “Yaa muqollibal quluub tsabbit qolbiy ‘alaa diinika wa’ala thoo’atika” (wahai yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku untuk tetap konsisten dalam dien-Mu dan dalam menta’ati-Mu).
Keteguhan hati dapat diwujudkan dengan pendekatan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah), sehingga ia merasakan kebersamaan Allah dalam segala aktifitasnya (ma’iyatullah) dan selalu merasa diawasi Allah dalam segenap tindakannya (muraqobatullah). Perasaan tersebut harus dilatih dan ditumbuhkan dalam lingkungan keluarga, melalui pembiasaan keluarga untuk melaksanakan ibadah nafilah secara bertahap dan dimutaba’ah bersama, seperti : tilawah, shalat tahajjud, shaum, infaq, do’a, ma’tsurat, dll. Pembiasaan dalam aktifitas tersebut dapat menjadi sarana menjalin keakraban dan persaudaraan (ukhuwah) seluruh anggota keluarga, dan yang penting dapat menjadi sarana mencapai taqwa dimana Allah swt menjamin orang-orang yang bertaqwa, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Ath-Thalaaq: 2-3.
“Barangsiapa bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan bagi-nya jalan keluar (solusi) dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupi (keperluan) nya.”

Wujud indahnya keberkahan keluarga
Keberkahan dari Allah akan muncul dalam bentuk kebahagiaan hidup berumah tangga, baik kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Kebahagiaan di dunia, boleh jadi tidak selalu identik dengan kehidupan yang mewah dengan rumah dan perabotan yang serba lux. Hati yang selalu tenang (muthma’innah), fikiran dan perasaan yang selalu nyaman adalah bentuk kebahagiaan yang tidak bisa digantikan dengan materi/kemewahan.

Kebahagiaan hati akan semakin lengkap jika memang bisa kita sempurnakan dengan 4 (empat) hal seperti dinyatakan oleh Rasulullah, yaitu : (1) Isteri yang sholihah, (2) Rumah yang luas, (3) Kendaraan yang nyaman, dan (4) Tetangga yang baik.
Kita bisa saja memanfaatkan fasilitas rumah yang luas dan kendaraan yang nyaman tanpa harus memiliki, misalnya di saat-saat rihlah, safar, silaturahmi, atau menempati rumah dan kendaraan dinas. Paling tidak keterbatasan ekonomi yang ada tidak sampai mengurangi kebahagiaan yang dirasakan, karena pemilik hakiki adalah Allah swt yang telah menyediakan syurga dengan segala kenikmatan yang tak terbatas bagi hamba-hamba-Nya yang bertaqwa, dan menjadikan segala apa yang ada di dunia ini sebagai cobaan.
Kebahagiaan yang lebih penting adalah kebahagiaan hidup di akhirat, dalam wujud dijauhkannya kita dari api neraka dan dimasukkannya kita dalam syurga. Itulah hakikat sukses hidup di dunia ini, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Imran : 185
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan kedalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.”

Selanjutnya alangkah indahnya ketika Allah kemudian memanggil dan memerintahkan kita bersama-sama isteri/suami dan anak-anak untuk masuk kedalam syurga; sebagaimana dikhabarkan Allah dengan firman-Nya:
“Masuklah kamu ke dalam syurga, kamu dan isteri-isteri kamu digembirakan”. (QS, Az-Zukhruf:70)
“Dan orang-orang yang beriman dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, kami hubungkan (pertemukan) anak cucu mereka dengan mereka (di syurga), dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya. (QS. Ath-Thuur:21).
Inilah keberkahan yang hakiki. []

RENCANA STATEGIS KELUARGA

Seperti apakah bentuk keluarga kita? Maklum, ada yang mengatakan rumahku surgaku. Tapi, tak sedikit mengatakan rumah gue kayak neraka. Atau, hambar saja. Tak ada rasa bahwa kita punya keluarga.
Apa pun bentuk keluarga kita itu adalah hasil dari perpaduan tiga faktor pembentuknya. Ketiga faktor itu adalah paradigma yang kita miliki tentang keluarga, kompetensi seluruh anggota keluarga kita dalam membangun keluarga, dan macam apa aktivitas yang ada dalam keluarga kita.

Kalau dalam paradigma kita bahwa keluarga bahagia adalah yang bergelimangan harta, maka motivasi kita dalam berkeluarga adalah mengkapitasisasi kekayaan. Maka, kita akan mencari istri atau suami anak tunggal dari calon mertua yang kaya. Pusat perhatian kita dalam berkeluarga adalah menambah kekayaan.

Bagi paradigma berkeluarga seorang muslim berasal dari motivasi bahwa berkeluarga adalah untuk beribadah kepada Allah, menjaga kesucian diri, dan merealisasikan amal bahwa berkeluarga adalah bagian dari sebuah gerakan menegakkan hukum-hukum Allah di muka bumi. Sehingga, pusat perhatiannya dalam berkeluarga adalah meningkatkan kualitas ruhiyah, fikriyah, nafsiyah (emosi kejiwaan), jasadiyah, dan sosialisasi setiap anggota keluarganya.

Karena itu, membangun keluarga sakinah mawadah wa rahmah (samara) adalah sasaran yang ingin dicapai seorang muslim dalam membentuk berkeluarga. Dalam keluarga yang samara itulah kita akan melahirkan pribadi islami untuk saat ini dan masa depan.
Jadi, sangat penting bagi seorang muslim membangun kompetensi untuk membangun keluarga. Apa itu kompetensi berkeluarga? Kompetensi berumah tangga adalah segala pengetahuan, keterampilan, dan sikap dasar yang harus dimiliki agar seseorang dapat berhasil membangun rumah tangga yang kokoh yang menjadi basis penegakkan nilai-nilai Islam di masyarakat. Maka tak heran jika Rasulullah saw. menyuruh kita untuk pandai-pandai memilih pasangan hidup. Jangan asal pilih.

Abi Hurairah r.a. berkata, bahwa Rasulullah saw. telah bersabda, “Seorang wanita dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Berbahagialah orang yang menikahi wanita karena agamanya, dan merugilah orang yang menikahi wanita hanya karena harta, kecantikan, dan keturunannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Abdillah bin Amrin r.a. berkata, bahwa Rasu­lullah saw. telah bersabda, “Janganlah kamu menikahi wanita hanya karena kecantikannya, sebab kecantikan itu pada saatnya akan hilang. Janganlah kamu menikahi wanita hanya karena hartanya, sebab harta boleh jadi membuatnya congkak. Tetapi nikahilah wanita karena agamanya. Sebab seorang wanita budak yang jelek lagi hitam kelam yang memiliki agama (kuat dalam beragama) adalah lebih baik daripada wanita merdeka yang cantik lagi kaya, tetapi tidak beragama.” (HR. Ibnu Majah).
Ibnu Abbas r.a. berkata, bahwa Nabi saw. telah bersabda, “Empat perkara, barangsiapa memilikinya berarti dia mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat: hati yang selalu bersyukur, lisan yang selalu berdzikir, badan yang sabar dikala mendapat musibah, dan istri yang dapat menjaga kehormatan diri serta dapat menjaga harta suami.” (HR. Thabrani dalam kitab Al-Kabir dan Al-Ausath, sedang sanad dalam salah satu dan dua riwayat adalah bagus).

Keshalihan diri kita dan pasangan hidup kita adalah modal dasar membentuk keluarga samara. Seperti apakah keluarga samara? Yaitu keluarga dengan karakteristik sebagai berikut:
- Keluarga yang dibangun oleh sebelum dan sesudah mnjd pasangan suami-istri yang shalih.
- Keluarga yang anggotanya punya kesadaran untuk menjaga prinsip dan norma Islam.
- Keluarga yang mendorong seluruh anggotanya untuk mengikuti fikrah islami.
- Keluarga yang anggota keluarganya terlibat dalam aktivitas ibadah dan dakwah, dalam bentuk dan skala apapun.
- Keluarga yang menjaga adab-adab Islam dalam semua sisi kehidupan rumah tangga.
- Keluarga yang anggotanya melaksanakan kewajiban dan hak masing-masing.
- Keluarga yang baik dalam melaksanakan tarbiyatul aulad (proses mendidik anak-anak).
- Keluarga yang baik dalam mentarbiyah khadimah (mendidik pembantu).

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. [QS. Ruum (30): 21]
Untuk apa Allah memberikan samara kepada pasangan suami-istri muslim? Sebagai modal untuk meraih kebahagiaan. Bukankah tujuan hidup kita sebagai seorang manusia adalah memperoleh kebahagian? Bagi seorang muslim, ada tiga level kebahagiaan yang ingin dicapai sesuai dengan QS. Al-Baqarah (2) ayat 201.

Dan di antara mereka ada orang yang berdoa, “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka”
- رَبَّنـــَا آتِــنَا فِي الدُّنْيــَا حَسَنَةً
- وَ فِي اْلآخَرَةِ حَسَنَةً
- وَ قِــنَا عَذَابَ الــنَّارِ

Itulah sebaik-baik doa seorang muslim. Kita bercita-cita meraih kebahagiaan di dunia. Ketika meninggalkan dunia, kita mendapat kebahagiaan di akhirat. Yang dimaksud denganal-hasanah (kebaikan) di akhirat adalah surga. Tapi, ada orang yang langsung masuk surga dan ada orang yang dibersihkan dulu dosa-dosanya di neraka baru kemudian masuk surga. Nah, obsesi tertinggi kita adalah wa qinaa adzaaban nar, masuk surga dengan tanpa tersentuh api neraka terlebih dahulu. Sebab, inilah kesuksesan yang sebenarnya bagi diri seorang mukmin.

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan. [QS. Ali Imran (3): 185]

Karena itu, doa rabbanaa atinaa fiiddunya hasanah… haruslah menjadi syiar yang selalu disenandungkan oleh setiap muslim sepanjang hidupnya di dunia. Ketika seorang muslim dan muslimah menikah, syiar ini bertransformasi menjadi: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim (66): 6)

Inilah tugas pokok seorang dalam keluarga: menjaga agar tidak satupun anggota keluarganya tersentuh api neraka. Untuk menunjukkan bahwa tugas ini sangat penting, Allah swt. memvisualisasikan bagaimana dahsyatnya neraka dan tidak nyamannya orang yang masuk ke dalamnya. Bahkan, orang yang masuk ke dalam neraka menjadi bahan bakar. Diperlakukan kasar dan keras. Padahal, kita tidak pernah ridha jika istri kita diganggu orang di jalan, kita marah jika anak kita dilukai orang, kita tidak mau anggota keluarga kita tidak nyaman akibat kepanasan atau kehujanan. Itulah bentuk rasa sayang kita kepada mereka. Seharusnya, bentuk kasih sayang itu juga menyangkut nasib mereka di akhirat kelak. Kita tidak ingin satu orang anggota keluarga kita tersentuh api neraka.
Tugas berat ini tentu tak mungkin ditanggung oleh seorang kepala keluarga sendiri tanpa ada keinginan yang sama dari setiap anggota keluarga. Artinya, akan lebih mudah jika seorang suami beristri seorang muslimah yang punya visi yang sama: sama-sama ingin masuk surga tanpa tersentuh api neraka. Inilah salah satu alasan bahwa kita tidak boleh asal dalam memilih pasangan hidup.
Karena itu, hubungan suami-istri, orang tua dan anak, adalah hubungan saling tolong menolong. Saling tolong menolong agar tidak tersentuh api neraka. “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”[QS. At-Taubah (9): 71]

Tolong menolong. Itulah kata kunci pasangan samara dalam mengelola keluarga. Suami-istri itu akan berbagi peran dan tanggung jawab dalam mengelola keluarga mereka. Sungguh indah gambaran pasangan suami-istri yang seperti ini. Suaminya penuh rasa tanggung jawab, istrinya mampu menjaga diri dan menempatkan diri. “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang shalihah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara mereka.” [QS. An-Nisa' (4): 34]

apabila Pasangan suami-istri yang seperti itu sadar betul bahwa keluarga harus dikelola seperti sebuah organisasi. Bukankah keluarga adalah unit terkecil dalam susunan organisasi masyarakat? Bukankah keluarga miniatur sebuah negara? Jadi, kenapa banyak keluarga berjalan tanpa pengorganisasian yang memadai?

Jika kita yakin bahwa keluarga adalah sebuah lembaga, maka sebagai lembaga harus terorganisasi. Ada pemimpin ada yang dipimpin. Ikatan antara pemimpin dan yang dipimpin adalah ikatan kerjasama. Kerjasama haruslah punya tujuan yang terukur. Dan tujuan yang ingin dicapai haruslah diketahui bagaimana cara mencapainya. Itu artinya, cara pencapaiannya harus direncanakan. Setiap rencana baru bisa sukses jika diiringin kemauan yang kuat (azzam).

Dan salah satu rahasia keberhasilan realisasi sebuah rencana adalah ketika rencana itu dibuat dengan prinsip syura. Semakin tinggi tingkat partisipasi, maka akan semakin tinggi potensi keberhasilan tujuan itu dicapai. Inilah salah satu rahasia keberhasilan Rasulullah saw. mengelola para sahabat. Karena Rasulullah saw. selain berlemah-lembut, juga mengajak peran aktif mereka dalam bermusyawarah membuat rencana-rencana strategis (lihat QS. Ali Imran (3): 159].

Artinya, keluarga juga akan sukses mencapai tujuan-tujuannya jika menerapkan prinsip syura dalam perencanaannya. Bahkan, untuk urusan menyapih (ibu berhenti memberi ASI) pun harus disyurakan. Ini perintah Allah swt. Silakan lihat QS. Al-Baqarah (2) ayat 233.
Jadi, jika ingin tidak ada satu orang keluarga pun tersentuh api neraka, kita harus merencanakannya. Tetapkan ini sebagai visi keluarga kita. Lalu, breakdown agar menjadi sebuah langkah yang aplikatif. Jika kita perinci, kira-kira akan menjadi seperti ini.
Visi keluarga kita:

Tidak ada satu pun anggota keluarga tersentuh api neraka وَ قِــنَا عَذَابَ الــنَّارِ
Misi keluarga kita:
  1. Mencapai derajat takwa yang sebenarnya التَّقْوَى حَقَّ تُـقَـاتِه)ِ)
  2. Memperoleh hidup mulia atau mati syahid عَيْشْ كَرِيْمًا أَوْ مُتْ شَهِيْد)ً)
Strategi untuk mencapai visi dan misi keluarga kita:
1. Setiap anggota keluarga mengikuti tarbiyah (pendidikan) dalam bentuk tilawah Al-Qur’an, ada proses tazkiyah (pembersihan diri), dan taklim.
2. Setiap anggota keluarga menjalankan ibadah sampai derajat ihsan.
3. Setiap anggota keluarga berdakwah dan berjihad fii sabilillah.
4. Ada anggota keluarga yang menjadi pemimpin masyarakat (istikhlafu fiil ardhi).

Arah kebijakan keluarga kita:
1. Semua anggota keluarga kita harus tertarbiyah.
2. Setiap anggota keluarga harus memiliki jadwal ibadah unggulan pribadi, baik secara ritual maupun sosial.
3. Secara jama’i (bersama-sama), keluarga harus punya jadwal ibadah unggulan, baik ritual maupun sosial.
4. Harus memiliki agenda dakwah di dalam keluarga.
5. Harus memiliki agenda dakwah di untuk masyarakat sekitar.
6. Menghadirkan suasana keluarga yang mendukung tercapainya visi dan misi keluarga.
7. Mendidik setiap anggota keluarga untuk mencapai kualitas keluarga sebagai pemimpin umat.
8. Menyediakan sarana dan prasarana pendukung tercapainya visi dan misi keluarga.
Setelah arah dan kebijakan ditetapkan, perincilah ke dalam program dan kegiatan yang aplikatif.

Mungkin tabel seperti di bawah ini bisa membantu dalam menyusun rencana agar tidak satu pun anggota keluarga kita tersentuh api neraka.

RENSTRA KELUARGA KITA
Dengan mengharap bimbingan dan rahmat Allah swt., kami bertekad melaksanakan rencana ini.

ARAH KEBIJAKAN
Nama Program
Indikatorkeberhasilan
Bentuk Kegiatan
Waktu Pelaksanaan
PJaw
Anggaran
Ket


Jadi, masuk surga memang harus direncanakan. Bukan sekadar diharapkan!

Minggu, 24 November 2013

MENDIDIK ANAK QUR'ANI

Dan (Ingatlah) ketika Luqman Berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar (QS. Lukman: 13). 
Dari ayat tersebut dapat kita ambil pokok pikiran sebagai berikut, pertama orang tua wajib memberi pendidikan kepada anak-anaknya. Kedua dalam mendidik prioritas pertama adalah penanaman akidah, pendidikan akidah diutamakan agar menjadi kerangka dasar dan landasan dalam membentuk pribadi anak yang soleh.

Dalam mendidik hendaknya menggunakan pendekatan yang bersifat kasih sayang, hal ini dapat kita cermati dari seruan Lukman kepada anak-anaknya, yaitu “Yaa Bunayyaa” (Wahai anak-anakku), seruan tersebut menyiratkan sebuah ungkapan yang penuh muatan kasih sayang, sentuhan kelembutan dalam mendidik anak-anaknya. Indah dan menyejukkan. Kata Bunayya, mengandung rasa manja, kelembutan dan kemesraan, tetapi tetap dalam koridor ketegasan dan kedisplinan, dan bukan berarti mendidik dengan keras.

Mendidik anak dengan keras hanya akan menyisakan dan membentuk anak berjiwa keras, kejam dan kasar, kekerasan hanya meninggalkan bekas yang mengores tajam kelembutan anak, kelembutan dalam diri anak akan hilang tergerus oleh pendidikan yang keras dan brutal. Kepribadian anak menjadi kental dengan kekerasan, hati, pikiran, gerak dan perkataannya jauh dari kebenaran dan kesejukan.

Kelembutan, kemesraan dalam mendidik anak merupakan konsep Al-Quran, apapun pendidikan diberikan kepada anak hendaknya dengan kelembutan dan kasih sayang. Begitu juga dalam prioritas mendidik diutamakan mendidik akidahnya terlebih dahulu, dengan penyampaian lembut dan penuh kasih sayang. Mudah-mudahan anak akan tersentuh dan merasa aman di dekat orang tuanya, kenapa dalam mendidik perlu diutamakan akidah terlebih dahulu? Kenapa tidak yang lain? Jawabnya adalah karena akidah merupakan pondasi dasar bagi manusia untuk mengarungi kehidupan ini. Akidah yang kuat akan membentengi anak dari pengaruh negatif kehidupan dunia. Sebaliknya kalau akidah lemah maka tidak ada lagi yang membentengi anak dari pengaruh negatif, apakah pengaruh dari dalam diri, keluarga, maupun masyarakat di sekitarnya.

Kenapa harus akidah? Karena dengan akidah anak selamat dunia dan akherat, akidah adalah modal dasar bagi anak menapaki kehidupan, dapat dibayangkan apa yang terjadi jika seorang anak tidak mempunyai akidah yang kuat, pasti anak-anak itu akan mudah terserang berbagai virus-virus kekejian, kemungkaran, kemunafikan, dan kemaksiatan kepada Allah, imunitas keimanan anak akan lemah, dan pada akhirnya anak terjebak dalam kelamnya dunia ini. Terbawa arus deras gelapnya kehidupan, tenggelam dalam kubangan kemaksiatan, kegersangan hidup dan kesengsaraan batin.
Akidah adalah asas untuk membangun Islam. kalau asasnya sudah bagus maka Islam akan tegak dalam diri anak, kenapa dewasa ini banyak anak-anak yang tidak tegak agamanya, tidak kuat akidahnya sehingga banyak terjadi penyelewengan, semua itu terjadi akibat pemahaman akidah yang dangkal, sehingga mudah goyah pendiriannya dan akhirnya roboh. Memang kalau kita perhatikan orang tua jaman sekarang tidak banyak yang menekankan pendidikan akidah kepada anak-anaknya. 
Orang tua tidak merasa sedih dan takut kalau anaknya terjebak kepada keimanan yang rapuh, orang tua tidak pernah mengeluh kalau anaknya tidak membaca Al-Quran, menghafal Al-Quran, tetapi orang tua akan marah kalau anaknya tidak pergi les matematika, les fisika, les komputer, orang tua tidak merasa takut kalau anaknya tidak pergi mengaji, bayaran iuran mengaji terlambat, orang tua khawatir kalau anaknya belum bayar iuran bulanan les matematika, fisika dan lain sebagainya. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa sikap orang tua terhadap pendidikan masih tebang pilih, kurang adil dalam mendidik anak-anaknya, para orang tua terkesan berat sebelah, padahal pendidikan seharusnya diterima anak secara utuh, baik pendidikan yang berupa keduniaan dan keakheratan, di antaranya adalah pendidikan akidah.

Untuk itu, langkah awal dalam mendidik anak adalah penanaman akidah, tidak yang lain. Kalau akidah anak sudah kuat maka apa saja bangunan keahlian yang akan di dirikan dalam diri anak akan kokoh, apakah menjadi tentara, polisi, dosen, pengusaha, ilmuwan dan lain sebagainya. Kalau akidah sudah kuat, kalaupun menjadi polisi ia akan menjadi polisi yang beriman, tentara beriman, hakim beriman, ilmuwan beriman, presiden yang beriman, yang pasti pondasi keimanan akan bersemayam dalam dirinya.

Dalam ayat di atas, juga tergambar bahwa mendidik anak bukan hanya tanggung jawab ibu tetapi juga menjadi tanggung jawab bapak. Selama ini kebiasaan dalam masyarakat kita dalam mendidik anak lebih berat kepada kaum ibu, dengan alasan ibulah yang sering bertemu dan bercengkerama dengan anak, sedangkan bapak lebih diidentikkan dan diposisikan sebagai kepala rumah tangga, lebih khusus diletakkan pada tanggung jawab dalam aspek ekonomi dan finansial sedangkan aspek edukasi terabaikan. Sehingga yang terjadi adalah peran bapak dalam mendidik anak terabaikan, akibat lebih jauh adalah anak menjadi kurang interaksinya dengan bapaknya, anak akan mendekat dan bertemu wajah dan berbicara dengan bapaknya kalau ada perlu, ketika akan meminta uang jajan. 

Padahal, dalam konsep Al-Quran peran bapak dalam mendidik anak sangat besar, hal ini dapat kita cermati dari peran Lukman dalam mendidik anak-anaknya. Peran Yaqub dan Ibrahim dalam mendidik anak-anaknya. Untuk itu sudah saatnya orang tua mulai berbagi dan berkerjasama dalam mendidik anak, perlu duduk bersama membicarakan langkah dan metode yang tepat untuk anak-anaknya.
Setelah akidah anak kuat, orang tua perlu menekankan pendidikan pada aspek ibadah seperti salat, berdakwah dengan memberi contoh terlebih dahulu, seperti mencegah diri dari yang mungkar dan selalu melakukan kebaikan. Setelah itu memberi nasehat kepada orang lain untuk meninggalkan kemungkaran dan mengerjakan kebaikan.
 Dan yang tidak kalah penting adalah sabar dalam menghadapi cobaan hidup. Sebab hidup itu ibarat di lautan, kadang-kadang ombak besar dan menggila dan menghempaskan kapal kita, lain waktu lautan menjadi sangat bersahabat sehingga kapal kita dapat berlayar dengan tenang tanpa gangguan. Demikian juga hidup, tidak selamanya bahagia, tidak selamanya sedih, kadang dalam kemiskinan, terkadang dalam keadaan kaya. Untuk itu sebagai orang tua yang bijak perlu mendidik anak-anaknya untuk bersabar menghadapi berbagai cobaan hidup. Allah berfirman,”Hai anakku, Dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan Bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).”(QS. Lukman: 17)

Ayat di atas, memberi pengajaran kepada para orang tua untuk selalu memantau salat anak, apakah salatnya sudah dilaksanakan dengan baik, lengkap syarat, rukunya, apakah salatnya sudah dilaksanakan liam kali seharisemalam, atau masih ada yang tinggal? Orang tua di tuntut untuk peduli terhadap ibadah salat anaknya. Sebab salat adalah tiang agama, kalau anak-anaknya telah mendirikan salat dengan baik dan benar rukun syaratnya, berarti anak-anak kita telah menegakkan agama, 
sebaliknya kalau anak-anak kita masih banyak meninggalkan salat, salatnya masih asal-asalan, maka anak-anak kita telah mulai meruntuhkan agama. Akibat dari tidak terkontrolnya salat anak oleh orang tua akan berujung kepada lahirnya sikap acuh terhadap kebaikan dan mendekat dan tertariknya untuk melakukan kemungkaran. Karena pada dasarnya mendirikan salat mencegah seseorang dari perbuatan keji dan mungkar.”Bacalah apa yang Telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan Dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(QS. Al-Ankabut:45).

Orang tua yang berperan mendidik dan mengontrol salat anak-anaknya, penekanan dalam mendidik anak setelah akidah adalah mendirikan salat, setelah salat didirikan, maka dilanjutkan dengan mengarahkan pada pendidikan dakwah, penyampaian kebenaran dan pencegahan kemungkaran. Menyebarkan kebaikan, dan memberantas kemungakaran, baik dengan cara memberi contoh, dengan lisan, maupun perbuatan. Menanamkan dalam diri anak untuk selalu sabar menghadapi berbagai cobaan kehidupan dengan sabar semua akan menjadi baik, dengan sabar pikiran menjadi cemerlang, dengan sabar akan banyak jalan penyelesaian, sebab hanya dengan sabar orang akan terselamatkan, dengan sabar manusia menjadi dekat dengan Tuhan, karena kesabaranlah Allah menjadi cinta.
Dan tidak kalah pentingnya adalah mendidik akhlak anak. Orang tua yang sadarkan pentingnya kepribadian anak-anaknya akan berusaha menjadi teladan yang terbaik bagi anak-anaknya. Baik dalam perkataan maupun perbuatan, dalam taraf perkembangan jiwa dan kepribadiannya, anak meniru apa yang dilihatdan dengar. Kalau orang tua kurang hati-hati dalam bertindak dan bertutur kata, hingga anak-anaknya mengetahui dan mendengar, maka anak secara reflek akan meniru apa yang dilakukan oleh orang tuanya. Maka benar kata Rasulullah Saw bahwa anak terlahir dalam keadaan fitrah orang tuanya yang akan membentuk anak-anaknya, apakah menjadi Nasrani, Yahudi maupun Majusi, menjadikan anak yang soleh, berakhlak mulia atau berakhlak buruk. Peran orang tua sangat besar terhadap pembentukan karakter kepribadian anak-anaknya. Di sisi lain, masyarakat sekitar dan pendidikan juga memberi andil yang besar dalam membentuk karakter dan akhlak anak, untuk itu para orang tua hendaknya lebih-hati-hati dan selektif dalam mencarikan lingkungan bermain dan pendidikan untuk buah hatinya.

Paparan di atas, dapat dipahami beberapa hal penting, pertama, mendidik menjadi tanggung jawab kedua orang tua. Kedua, pendidikan pertama yang harus diberikan kepada anak adalah penanaman akidah yang benar. Ketiga, setelah pendidikan akidah, langkah pendidikan berikutnya adalah mendidik anak agar mencintai dan mendirikan salat lima waktu dengan sadar tanpa ada paksaan. Keempat, mendidik anak untuk berjiwa pendakwah, yaitu suka memberi contoh dalam berbuat baik dan meninggalkan kemungakaran. Kelima, menekankan pendidikan kepada aspek akhlak yang mulia, seperti, sabar, qanaah, tawadhu, dermawan dan akhlak mahmudah lainnya.
Allahu A’lam Bishowab..