Kamis, 11 September 2014

POSISI PP 48 TAHUN 2014


PERGAULAN SUAMI ISTRI

Syariat mewajibkan kepada suami untuk memenuhi kebutuhan istrinya yang berupa  kebutuhan material seperti nafkah, pakaian, tempat tinggal, pengobatan dan sebagainya, sesuai dengan kondisi masing-masing, atau seperti yang dikatakan oleh  Al-Qur’an “bil ma’ruf” (menurut cara yang ma’ruf/patut).

Namun syariat tidak pernah melupakan akan kebutuhan-kebutuhan spiritual yang  manusia tidaklah bernama manusia kecuali dengan adanya kebutuhan-kebutuhan tersebut, sebagaimana kata seorang pujangga kuno: “Maka karena jiwamu itulah engkau sebagai manusia, bukan cuma dengan badanmu.”

Bahkan Al-Qur’an menyebut perkawinan ini sebagai salah satu ayat di antara ayat-ayat Allah di alam semesta dan salah satu nikmat yang diberikan-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Firman-Nya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan  merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS Ar Rum: 21)

Ayat ini menjadikan sasaran atau tujuan hidup bersuami istri ialah ketenteraman hati, cinta, dan kasih sayang antara keduanya, yang semua ini merupakan aspek kejiwaan,  bukan material. Tidak ada artinya kehidupan bersuami istri yang sunyi dari aspek-aspek maknawi ini, sehingga badan berdekatan tetapi ruh berjauhan.

Dalam hal ini banyak suami yang keliru—padahal diri mereka sebenarnya baik—ketika mereka mengira bahwa kewajiban mereka terhadap istri mereka ialah memberi nafkah, pakaian, dan tempat tinggal, tidak ada yang lain lagi. Dia melupakan bahwa wanita (istri) itu bukan hanya membutuhkan makan, minum, pakaian, dan lain-lain kebutuhan material, tetapi juga membutuhkan perkataan yang baik, wajah yang ceria, senyum yang manis, sentuhan yang lembut, ciuman yang mesra, pergaulan yang penuh kasih sayang, dan belaian yang lembut yang menyenangkan hati dan menghilangkan kegundahan.
Imam Ghazali mengemukakan sejumlah hak suami istri dan adab pergaulan di antara mereka yang kehidupan berkeluarga tidak akan dapat harmonis tanpa semua itu. Di antara adab-adab yang dituntunkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah itu ialah berakhlaq yang baik terhadapnya dan sabar dalam menghadapi godaannya.

Allah berfirman: “… Dan gaulilah mereka (istri-istrimu) dengan cara yang ma’ruf (patut)…” (QS An Nisa': 19)

“… Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (QS An Nisa': 21)

“… Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib kerabat, anak-anak yatim,  orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahayamu…” (QS An Nisa': 36)

Ada yang menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan “teman sejawat” dalam ayat di atas ialah istri. Imam Ghazali berkata, “Ketahuilah bahwa berakhlaq baik kepada mereka (istri) bukan cuma tidak menyakiti mereka, tetapi juga sabar menerima keluhan mereka, dan penyantun ketika mereka sedang emosi serta marah, sebagaimana diteladankan Rasulullah SAW. Istri-istri beliau itu sering meminta beliau untuk mengulang-ulangi perkataan, bahkan pernah ada pula salah seorang dari mereka menghindari beliau sehari semalam.

Beliau pernah berkata kepada Aisyah, “Sungguh, aku tahu kalau engkau marah dan kalau engkau rela.”

Aisyah bertanya, “Bagaimana engkau tahu?”

Beliau menjawab, “Kalau engkau rela, engkau berkata, ‘Tidak, demi Tuhan Muhammad,’ dan bila engkau  marah, engkau berkata, ‘Tidak, demi Tuhan Ibrahim.’

Aisyah  menjawab, “Betul, (kalau aku marah) aku hanya menghindari menyebut namamu.”
Dari adab yang dikemukakan Imam Ghazali itu dapat ditambahkan bahwa di samping bersabar menerima atau menghadapi kesulitan istri, juga bercumbu, bergurau, dan bermain-main dengan mereka, karena yang demikian itu dapat menyenangkan hati wanita. Rasulullah SAW biasa bergurau dengan istri-istri beliau dan menyesuaikan diri dengan pikiran mereka dalam bertindak dan berakhlaq, sehingga diriwayatkan bahwa beliau pernah melakukan perlombaan lari cepat dengan Aisyah.

Umar bin Al-Khathab—yang dikenal berwatak keras itu—pernah berkata, “Seyogianya sikap suami terhadap istrinya seperti anak kecil, tetapi apabila mencari apa yang ada di sisinya (keadaan yang sebenarnya) maka dia adalah seorang laki-laki.”

Dalam menafsirkan hadits: “Sesungguhnya Allah membenci alja’zhari al-jawwazh,”  dikatakan bahwa yang dimaksud ialah orang yang bersikap keras terhadap istri (keluarganya) dan sombong pada dirinya. Dan ini merupakan salah satu makna firman Allah: ‘utul. Ada yang mengatakan bahwa lafal ‘utul berarti orang yang kasar mulutnya dan keras hatinya terhadap keluarganya.

Keteladanan tertinggi bagi semua itu ialah Rasulullah SAW. Meski bagaimanapun besarnya perhatian dan banyaknya kesibukan beliau dalam mengembangkan dakwah dan menegakkan agama, memelihara jamaah, menegakkan tiang daulah dari dalam dan memeliharanya dari serangan musuh yang senantiasa mengintainya dari luar, beliau tetap sangat memperhatikan para istrinya. Beliau adalah manusia yang senantiasa sibuk berhubungan dengan Tuhannya seperti berpuasa, shalat, membaca Al-Qur’an, dan berdzikir, sehingga kedua kaki beliau bengkak karena lamanya berdiri  ketika melakukan shalat lail, dan menangis sehingga air matanya membasahi jenggotnya.

Namun sesibuk apa pun beliau tidak pernah melupakan hak-hak istri-istri beliau yang harus beliau penuhi. Jadi aspek-aspek Rabbani tidaklah melupakan beliau terhadap aspek insani dalam melayani mereka dengan memberikan makanan ruhani dan perasaan mereka yang tidak dapat terpenuhi dengan makanan yang mengenyangkan perut dan pakaian penutup tubuh.

Dalam menjelaskan sikap Rasulullah dan petunjuk beliau dalam mempergauli istri, Imam Ibnu Qayyim berkata, “Sikap Rasulullah SAW terhadap istri-istrinya ialah bergaul dan berakhlaq baik kepada mereka. Beliau pernah menyuruh gadis-gadis Anshar menemani Aisyah bermain. Apabila istrinya (Aisyah) menginginkan sesuatu yang tidak terlarang menurut agama, beliau menurutinya. Bila Aisyah minum dari  suatu bejana, maka beliau ambil bejana itu dan beliau minum daripadanya pula dan beliau letakkan mulut beliau di tempat mulut Aisyah tadi (bergantian minum pada satu bejana/tempat), dan  beliau juga biasa makan kikil bergantian dengan Aisyah.”

Beliau biasa bersandar di pangkuan Aisyah, beliau membaca Al-Qur’an sedang kepala  beliau berada di pangkuannya. Bahkan pernah ketika Aisyah sedang haidh, beliau  menyuruhnya memakai sarung, lalu beliau memeluknya. Bahkan pernah juga  menciumnya, padahal beliau sedang berpuasa.

Di antara kelemah-lembutan dan akhlaq baik beliau lagi ialah beliau memperkenankan istrinya untuk bermain dan mempertunjukkan kepadanya permainan orang-orang Habsyi ketika mereka sedang bermain di masjid, dia (Aisyah) menyandarkan kepalanya ke pundak beliau untuk melihat permainan orang-orang  Habsyi itu. Beliau juga pernah berlomba lari dengan Aisyah dua kali, dan keluar dari rumah bersama-sama.

Sabda Nabi SAW, “Sebaik-baik kamu ialah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah orang yang paling baik terhadap keluargaku.”

Apabila selesai melaksanakan shalat Ashar, Nabi senantiasa mengelilingi (mengunjungi) istri-istrinya dan beliau tanyakan keadaan mereka, dan bila malam tiba beliau pergi ke rumah istri beliau yang pada waktu itu mendapat giliran. Aisyah berkata, “Rasulullah SAW tidak melebihkan sebagian kami terhadap sebagian yang  lain dalam pembagian giliran. Dan setiap hari beliau mengunjungi kami semuanya, yaitu mendekati tiap-tiap istri beliau tanpa menyentuhnya, hingga sampai kepada istri  yang menjadi  giliran beliau, lalu beliau bermalam di situ.”

Kalau kita renungkan apa yang telah kita kutip di sini mengenai petunjuk Nabi SAW tentang pergaulan beliau dengan istri-istri beliau, kita dapati bahwa beliau sangat memperhatikan mereka, menanyakan keadaan mereka, dan mendekati mereka. Tetapi  beliau mengkhususkan Aisyah dengan perhatian lebih. Namun ini bukan berarti beliau   bersikap pilih kasih, tetapi karena untuk menjaga kejiwaan Aisyah yang beliau nikahi ketika masih perawan dan karena usianya yang masih muda.

Beliau menikahi Aisyah ketika masih gadis kecil yang belum mengenal seorang laki-laki pun selain beliau. Kebutuhan wanita muda seperti ini terhadap laki-laki lebih besar dibandingkan dengan wanita janda yang lebih tua dan telah berpengalaman. Yang kami maksudkan dengan kebutuhan di sini bukan sekadar nafkah, pakaian, dan hubungan biologis saja. Bahkan kebutuhan psikologis dan spiritualnya lebih penting  dan lebih dalam daripada semua itu. Karena itu, tidaklah mengherankan jika kita lihat  Nabi SAW selalu ingat aspek tersebut  dan senantiasa memberikan haknya serta tidak  pernah melupakannya meskipun tugas yang diembannya besar, seperti mengatur  strategi dakwah, membangun umat, dan menegakkan daulah Islamiyah.
“Sungguh pada diri Rasulullah itu terdapat teladan yang bagus bagi kamu.” 

Maha Benar Allah dengan segala firman-Nya.
Sumber: Fatwa-Fatwa Kontemporer, DR. Yusuf Qaradhawi

HUBUNGAN SUAMI ISTRI

Agama Islam dengan nyata tidak mengabaikan segi-segi kehidupan manusia dan kehidupan berkeluarga, yang telah diterangkan tentang perintah dan larangannya. Semua telah tercantum dalam ajaran-ajaran Islam, misalnya mengenai akhlak, tabiat, suluk, dan sebagainya. Tidak ada satu hal pun yang diabaikan (dilalaikan).
Islam telah menetapkan pengakuan bagi fitrah manusia dan dorongannya akan seksual, serta ditentangnya tindakan ekstrim yang condong menganggap hal itu kotor. Oleh karena itu, Islam melarang bagi orang yang hendak menghilangkan dan memfungsikannya dengan cara menentang orang yang berkehendak untuk selamanya menjadi bujang dan meninggalkan sunnah Nabi SAW, yaitu menikah.

Sebenarnya, masalah hubungan antara suami-istri itu pengaruhnya amat besar bagi kehidupan mereka. Maka hendaknya mereka memerhatikan atau menghindari hal-hal yang dapat menyebabkan kerusakan dan kelangsungan hubungan suami-istri. Kesalahan yang bertumpuk dapat mengakibatkan kehancuran bagi kehidupan keluarganya.

Nabi SAW telah menyatakan sebagai berikut: “Aku lebih mengenal Allah daripada kamu dan aku lebih khusyuk, kepada Allah daripada kamu. Tetapi aku bangun malam, tidur, berpuasa, tidak berpuasa dan menikahi wanita. Maka barangsiapa yang tidak senang (mengakui) sunnahku, maka dia bukan termasuk golonganku.”

Islam telah menerangkan terhadap kedua pasangan setelah pernikahan, mengenai hubungannya dan masalah-masalah seksual. Bahkan mengerjakannya dianggap suatu ibadat.

Sebagaimana dikatakan Nabi SAW, “Di kemaluan kamu ada sedekah (pahala).” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah ketika kami bersetubuh dengan istri akan mendapat pahala?” Rasulullah SAW menjawab, “Ya. Andaikata bersetubuh pada tempat yang dilarang (diharamkan) itu berdosa. Begitu juga dilakukan pada tempat yang halal, pasti mendapat pahala. Kamu hanya menghitung hal-hal yang buruk saja, akan tetapi tidak menghitung hal-hal yang baik.”

Berdasarkan tabiat dan fitrah, biasanya pihak laki-laki yang lebih agresif, tidak memiliki kesabaran dan kurang dapat menahan diri. Sebaliknya wanita itu bersikap pemalu dan dapat menahan diri.
Karenanya diharuskan  bagi  wanita  menerima  dan  menaati panggilan suami. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits, “Jika si istri dipanggil oleh suaminya karena perlu, maka supaya segera datang, walaupun dia sedang masak.” (HR Tirmidzi)

Nabi SAW menganjurkan supaya si istri jangan sampai menolak kehendak suaminya tanpa alasan, yang dapat menimbulkan kemarahan atau menyebabkannya menyimpang ke jalan yang tidak baik, atau membuatnya gelisah dan tegang.

Nabi SAW bersabda, “Jika suami mengajak tidur si istri lalu dia menolak, kemudian suaminya marah kepadanya, maka malaikat akan melaknat dia sampai pagi.” (Muttafaq Alaih).

Keadaan yang demikian itu jika dilakukan tanpa uzur dan alasan yang masuk akal, misalnya sakit, letih, berhalangan, atau hal-hal yang layak. Bagi suami, supaya menjaga hal itu, menerima alasan tersebut, dan sadar bahwa Allah SWT adalah Tuhan bagi hamba-hamba-Nya Yang Maha Pemberi Rezeki dan Hidayat, dengan menerima uzur hambaNya. Dan hendaknya hamba-Nya juga menerima uzur tersebut.

Selanjutnya, Islam telah melarang bagi seorang istri yang berpuasa sunnah tanpa seizin suaminya, karena baginya lebih diutamakan untuk memelihara haknya daripada mendapat pahala puasa. Nabi SAW bersabda, “Dilarang bagi si istri (puasa sunnah) sedangkan suaminya ada, kecuali dengan izinnya.” (Muttafaq Alaih)
Disamping dipeliharanya hak kaum laki-laki (suami) dalam Islam, tidak lupa hak wanita (istri) juga harus dipelihara dalam segala hal. Nabi SAW menyatakan kepada laki-laki (suami) yang terus-menerus puasa dan bangun malam. Beliau bersabda, “Sesungguhnya bagi jasadmu ada hak dan bagi keluargamu (istrimu) ada hak.”

Abu Hamid Al-Ghazali, ahli fiqih dan tasawuf, dalam kitab Ihya’ mengenai adab bersetubuh, berkata, “Disunnahkan memulainya dengan membaca basmalah dan berdoa, sebagaimana diajarkan Nabi SAW, “Ya Allah, jauhkanlah aku dari setan dan jauhkanlah setan dari apa yang Engkau berikan kepadaku.”
Al-Ghazali berkata, “Dalam  suasana ini (akan bersetubuh) hendaknya didahului dengan kata-kata manis, bermesra-mesraan dan sebagainya. Dan menutup diri mereka dengan selimut, jangan telanjang menyerupai binatang. Sang suami harus memelihara suasana dan menyesuaikan diri, sehingga kedua pasangan sama-sama dapat menikmati dan merasa puas.”

Menurut Ibnul Qayyim, tujuan utama dari jimak (bersetubuh) itu adalah: 1) Dipeliharanya nasab (keturunan), sehingga mencapai jumlah yang ditetapkan menurut takdir Allah. 2) Mengeluarkan air yang dapat mengganggu kesehatan badan jika ditahan terus. 3) Mencapai maksud dan merasakan kenikmatan, sebagaimana  kelak di surga.
Ditambah lagi mengenai manfaatnya, yaitu menundukkan pandangan, menahan nafsu, menguatkan jiwa dan agar tidak berbuat serong bagi kedua pasangan.

Nabi SAW bersabda, “Wahai para pemuda, barangsiapa yang mampu melaksanakan pernikahan, maka hendaknya menikah. Sesungguhnya hal itu menundukkan penglihatan dan memelihara kemaluan.”
Kemudian Ibnul Qayyim berkata,  “Sebaiknya sebelum bersetubuh hendaknya diajak bersenda-gurau dan menciumnya, sebagaimana Rasulullah SAW melakukannya.”

Ini semua menunjukkan bahwa para ulama dalam usaha mencari jalan baik tidak bersifat konservatif. Bahkan tidak kalah kemajuannya daripada penemuan-penemuan atau pendapat masa kini.
Yang dapat disimpulkan di sini adalah bahwa sesungguhnya Islam telah mengenal hubungan seksual di antara kedua pasangan, suami-istri, yang telah diterangkan dalam Alquranul Karim pada surah Al-Baqarah, yang ada hubungannya dengan peraturan keluarga.

Firman Allah SWT: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa, bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasannya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu, Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah kamu, hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedangkan kamu beriktikaf dalam masjid. Itulah larangan  Allah, maka janganlah kamu mendekatinya…” (QS Al-Baqarah: 187).

Tidak ada kata yang lebih indah, serta lebih benar, mengenai hubungan antara suami-istri, kecuali yang telah disebutkan, yaitu: “Mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.” (QS Al-Baqarah: 187)

Pada ayat lain juga diterangkan, yaitu: “Mereka bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah: Haid itu adalah suatu kotoran. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri. Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu dengan cara bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan takwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira bagi orang-orang yang beriman.” (QS Al-Baqarah: 222-223)

Maka, semua hadis yang menafsirkan bahwa dijauhinya yang disebut pada ayat di atas, hanya masalah persetubuhan saja. Selain itu, apa saja yang dapat dilakukan, tidak dilarang.
Pada ayat di atas disebutkan: “Maka, datangilah tanah tempat bercocok tanammu dengan cara bagaimanapun kamu kehendaki.” (QS Al-Baqarah: 223)

Tidak  ada suatu perhatian yang melebihi daripada disebutnya masalah dan undang-undang atau peraturannya dalam Alquranul Karim secara langsung, sebagaimana diterangkan di atas. 

Wallahu 'alam bishowab

Jumat, 09 Mei 2014

MAAF DALAM ISLAM

me-minta Maaf dan memaafkan 

Semua orang pasti pernah berbuat kesalahan. Tapi terkadang kita tidak begitu mudah mengakuinya. Permintaan maaf bukan hanya sekedar pengakuan atas perbuatan salah kita, tapi juga pengakuan bahwa kita memahami telah berbuat sesuatu secara tidak sengaja yang menyebabkan suami kita kesal atau marah. Ketika tiba pada saatnya kita harus meminta maaf, mungkin anda bisa mencoba beberapa cara sederhana dibawah ini,

1. Minta maaflah karena Suami, bukan karena anda.

Seberapa sering anda memulai meminta maaf dengan diikuti penyesalan? kalau anda masih memberikan alasan kenapa anda melakukan kesalahan tersebut dan atau masih memfokuskan diri pada yang anda alami, maka hal itu tidak menunjukkan bahwa anda peduli pada perasaan su, namun lebih menggambarkan bahwa anda hanya khawatir dengan apa yang anda rasakan.

2. Dengarkan penyebab kemarahan suami marah, dan mengakulah.

Sudah sewajarnya jika semua manusia terkadang sulit mendengarkan hal negatif tentang diri sendiri. Namun, cobalah untuk belajar mendengarkan sudut pandang masalah menurut yang suami ketahui, agar kita mengerti. Jika anda sudah mengetahui penyebab kemarahan suami, pastikan anda memahami dan mengakuinya

3. Menebus kesalahan.

Jika anda sudah terlanjur menyakiti perasaan suami, maka pastikan anda menebus kesalahan itu. Berusahalah mewujudkan permintaan maaf dengan tindakan yang real. Anda bisa mencoba melakukan sesuatu yang diluar kebiasaan anda sehari hari, tentunya agar suami merasa lebih baik, contohnya memberikan sebuah hadiah atau memasakkan makanan kesukaannya

4. Instrospeksi diri.

Ada baiknya anda melakukan introspeksi diri, apalagi jika kesalahan tersebut adalah bukan pertama kalinya anda lakukan. tanyakan pada diri sendiri mengapa anda sampai bisa mengulanginya lagi. Buatlah komunikasi yang hangat dengan suami dan cobalah untuk mencari solusi terbaik bagi masalah tersebut.

Semoga bermanfaat bunda

Wallahu 'Alam bishowab

NASIHAT BIJAK UNTUK KEHIDUPAN

"Pengajian Kitab Al-Hikam"

Dinukil dalam Kitab Al-Hikam karangan Ibnu Athoillah Assamarqandi

bahwa ada beberpa nasihat yang patut dijadikan pedoman dalam menapaki roda kehidupan didunia ini antara lain adalah: 

# Tidak ada 1 nafas pun yang lepas dari ketentuan Allah, di setiap nafas kita hanya ada 2 pilihan, buat thoat atau buat maksiat.

# Apabila setiap bernafas itu diniati ibadah maka nafas tersebut menjadi amal ibadah, jika tidak diniati ibadah (Lillah) maka nafas tersebut menjadi linafsi binafsi. Di saat bernafas tersebut ada 2 pilihan:Kita sedang melakukan ibadah atau sedang melakukan maksiat.

# Ada 2 nikmat, nikmat kauni nikmat diberi rizky dsb, nikmat maknawi adalah nikmat ingat pada Allah SWT dsb, musibahpun begitu ada musibah kauni yaitu musibah kecelakaan dsbnya dan musibah maknawi yaitu lupa dan jauh dari Allah SWT.

# Semua keadaan/kejadian dapat djadikan jalan menuju Allah, seperti maksiat pun dapat dijadikan tobat/ meminta ampunan / menyesali dosa-dosanya sehingga bisa berjalan untuk menuju Allah SWT.

# Jangan menunda2 membersihkan hati, mencari kondisi yang baik untuk mujahadah, karena itu akan menjauhkan kita dari Allah

# Sebaiknya kita jangan nggresulo terhadap apa yang telah Allah tetapkan/takdirkan terhadap kita. Jika ada masalah senantiasa TAWAKUR (membangkitkan rasa cinta KEPADA ALLAH dengan mengingati CIPTAAN Allah dan mengagumi ciptaan Allah, segala fikiran dan emosi yang datang selepas itu haruslah ditenggelamkan dalam cinta kepada Allah, memulangkan dirinya kembali kepada-Nya, dari dunia pelbagai bentuk ke dalam “dunia lautan nan esa” yang tak terbatas).

Rasulullah saw. pernah bersabda, “Tafakkuruu fii khalqiLlahi wa laa tafakkaruu fiiLlahi, berpikirlah kamu tentang ciptaan Allah, dan janganlah kamu berpikir tentang Dzat Allah.” Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dari Ibnu Abbas

Ada atsar yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban berbunyi, “Berpikir sesaat lebih utama daripada ibadah setahun.”

# Jangan bangga jika diberi kemampuan selalu ingat pada Allah, merasalah itu semua hidayah/pertolongan Allah...

Walllahu 'Alam bishowab...

Selasa, 04 Maret 2014

HAKEKAT SUMPAH JABATAN

Pengangkatan seorang pegawai untuk memangku jabatan, terutama jabatan penting dengan ruang lingkup luas menyangkut kepentingan orang banyak adalah merupakan sebuah kepercayaan besar yang diberikan oleh negara. Karena itu penunjukan atas jabatan tersebut harus dilakukan dengan cara tepat dan seksama. Tentunya pemilihan terhadap seseorang untuk menduduki suatu jabatan didasarkan atas pertimbangan kompetensi dan kelayakannya. Dan yang lebih penting lagi adalah jabatan itu mampu dijalankan dengan penuh amanah dan tanggung jawab. Ini juga bermakna bahwa jabatan adalah bentuk pengabdian kepada negara yang dilakukan dengan penuh kejujuran dan keikhlasan. Sebab cukup banyak orang yang cakap, layak, dan mampu menempati suatu jabatan penting, tetapi tidak banyak orang yang mampu menjalankannya dengan amanah, jujur, dan ikhlas.

Konsep agama sendiri menegaskan bahwa jabatan bukan sekedar kontrak sosial (janji) antara sang pejabat dengan masyarakat, tetapi merupakan ikatan perjanjian antara dia dengan Tuhan. Boleh jadi seorang pemimpin atau pejabat secara normatif dan formal administratif merasa “sudah menjalankan tugas dan banyak berbuat jasa”, akan tetapi barangkali ada sebagian tindakannya yang mengandung kecurangan, kelicikan, siasat, tipu muslihat, dan penuh rekayasa yang ditutup-tutupi tanpa sepengetahuan orang lain. Namun harus diingat segala perbuatannya pasti tidak akan pernah luput dari pengetahuan Tuhan. Di sinilah letak pentingnya amanah dalam memegang jabatan. Prinsip tersebut secara tegas dinyatakan dalam Q. S. Yasin (36): 65, yang berbunyi: “Pada hari ini Kami tutup mulut mereka, lalu tangan mereka akan berkata kepada Kami dan kaki mereka akan memberi kesaksian terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan”.

Berkaitan dengan itu, pegawai negeri yang akan memangku suatu jabatan, pada saat pengangkatannya wajib mengangkat Sumpah Jabatan di hadapan atasan yang berwenang dengan disaksikan orang ramai menurut agama atau kepercayaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Sumpah Jabatan tersebut berbunyi sebagai berikut:

“Demi Allah ! Saya bersumpah, Bahwa saya, untuk diangkat dalam jabatan ini, baik langsung maupun tidak langsung, dengan rupa atau dalih apapun juga, tidak memberi atau menyanggupi akan memberi sesuatu kepada siapapun juga; 
Bahwa saya akan setia dan taat kepada Negara Republik Indonesia; 
Bahwa saya akan memegang rahasia sesuatu yang menurut sifatnya atau menurut perintah harus saya rahasiakan; 
Bahwa saya tidak akan menerima hadiah atau suatu pemberian berupa apa saja dan dari siapapun juga, yang saya tahu atau patut dapat mengira, bahwa ia mempunyai hal yang bersangkutan atau mungkin bersangkutan dengan jabatan atau pekerjaan saya; 
Bahwa saya dalam menjalankan jabatan atau pekerjaan saya, senantiasa akan lebih mementingkan kepentingan Negara daripada kepentingan saya sendiri atau golongan; 
Bahwa saya senantiasa akan menjunjung tinggi kehormatan Negara, Pemerintah, dan Pegawai Negeri; 
Bahwa saya akan bekerja dengan jujur, tertib, cermat dan bersemangat untuk kepentingan Negara”.

Inti Sumpah Jabatan adalah ikrar kesetiaan, komitmen, kesiapan dan kesanggupan atas nama Tuhan bahwa jabatan yang dipangkunya akan dilaksanakan secara sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab. Dengan adanya Sumpah Jabatan itu sesungguhnya seorang pejabat telah diikat oleh apa yang diucapkannya. Bukan saja karena sumpah tersebut didengar dan disaksikan oleh khalayak ramai, akan tetapi yang lebih dituntut adalah komitmen yang bersangkutan untuk melaksanakan isi sumpah dan segala konsekwensi yang mengiringinya. Sumpah Jabatan itu benar-benar mengikat hati nurani pejabat, sehingga tidak ada keberanian sedikitpun ataupun hanya sekedar niat untuk melanggarnya, walau tidak ada seorang manusia pun yang mengetahui.

Lafaz sumpah yang diawali/diakhiri dengan mengucapkan nama Tuhan menyiratkan makna bahwa segala sesuatu yang dilakukan pejabat selama memegang jabatannya adalah “demi karena Tuhan” dan Dia senantiasa mengawasi semua perbuatan. Dan tidak ada satupun tindakan, berkaitan dengan jabatan langsung maupun tidak langsung kecuali dilakukan demi kepentingan pemerintah dan negara, bukan untuk kepentingan pribadi dan golongan. Sumpah juga berarti suatu tekad seseorang di depan Tuhannya bahwa ia akan bekerja dan berkarya sesuai isi sumpah yang diucapkannya dan tidak akan pernah menyimpang.

Sumpah Jabatan merupakan alat kontrol diri yang menempel terus selama jabatan yang diterima sebagai amanah itu masih dipegang. Bagi yang mengucapkan memiliki keyakinan bahwa apa yang sedang dipikirkan, direncanakan, diputuskan, dan diamalkan selalu dikontrol oleh Tuhan walau tanpa seorangpun yang tahu, melihat, atau mendengarkannya. 


Makna Sumpah Jabatan Dalam Islam

Ada tiga aspek yang terkandung dalam Sumpah Jabatan menurut pandangan Islam, yaitu: al-amanah (kepercayaan), ‘adalatul ‘am (keadilan publik) dan ath-tha’ah(ketaatan). (Al-Asyhar, 2008).

Pertamaal-amanah (kepercayaan). Yaitu sumpah setia atas nama Tuhan akan selalu berbuat jujur, dapat dipercaya dalam menjalankan kepemimpinan yang merupakan nilai sangat mendasar dalam jiwa seseorang. Ia tidak hanya berlaku bagi seorang pemimpin saja, namun berlaku untuk semua orang yang percaya akan hari pembalasan. Komitmen para pemimpin untuk selalu memegang teguh amanah disinggung dalam Q. S. An-Nisa’ (4): 58, “Sungguh Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya”. Sedangkan penegasan terhadap larangan mengkhianati amanah dijelaskan dalam Q. S. Al-Anfal (8): 27, “Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul dan (juga) janganlah kamu mnegkhianati amanat yang dipercayakan kepadamu, sedangkan kamu mengetahui”.

Namun demikian, standar amanah dalam kepemimpinan tidak hanya berhenti pada aspek moral saja. Lebih dari itu, amanah moral harus pula dikawal dengan amanah profesional yang tidak kalah pentingnya untuk menjalankan tugas-tugas pemerintahan atau organisasi. Yang dimaksud dengan amanah profesional adalah mampu memenej secara baik roda kepemimpinan berdasarkan standar kepemimpinan profesional. Tidak adanya, atau kurangnya amanah profesional seorang pemimpin akan mengalami kepincangan antara keberhasilan moral dengan keberhasilan fisik dalam kepemimpinan.

Kedua‘adalatul ‘am (keadilan publik). Jabatan yang diberikan kepada seorang pemimpin secara serta merta mempunyai keterkaitan ruh (semangat) keterwakilan Tuhan di dunia. Sebagai khalifah Tuhan yang bertugas menata dan mengatur bumi, seorang pemimpin harus mempunyai jiwa keadilan publik sebagaimana sifat Tuhan Yang Maha Adil, yaitu keadilan semesta untuk semua kalangan baik makhluk hidup maupun makhluk mati yang tidak mengenal suku, ras, agama, latar belakang sosial, kelompok dan lain-lain. Sebaliknya, pengingkaran terhadap keadilan publik berarti pula telah mengesampingkan nilai-nilai ketuhanan. Hal ini jelas bertentangan dengan firman Allah yang menganjurkan kita untuk selalu berbuat adil dan kebenaran. Banyak ayat al-Quran yang menyinggung masalah tersebut, diantaranya Q. S. Al-Maidah (5): 8, “Wahai orang-orang yang beriman jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, menjadi saksi dengan adil”.

Ketigaath-tha’ah (ketaatan). Ketaatan atau kepatuhan harus dilakukan secara timbal balik antara pemimpin dengan masyarakat, bawahan atau staf yang dipimpinnya. Sumpah Jabatan merupakan nota kesepakatan antara rakyat dengan pemimpin untuk selalu saling bekerja sama, menghormati eksistensi masing-masing dan tidak saling meniadakan. Ketaatan yang harus dilakukan meliputi kepada sistem politik, sistem hukum, sistem sosial, sistem budaya yang ada dalam sebuah negara, daerah atau organisasi (unit) pemerintahan.

Setiap muslim seharusnya menyadari bahwa setiap manusia akan diminta pertanggungjawabannya terhadap apa yang telah dilakukannya terlebih bagi seorang pejabat yang telah dipercayakan untuk memimpin dalam suatu instansi/lembaga/organisasi bagi para anggotanya dan masyarakat pada umummya. Jika semua pejabat muslim benar-benar mengakui Al-Quran sebagai petunjuk dalam memegang amanat yang diberikan maka semua kejadian yang memalukan diri, keluarga dan membuat sakit hati masyarakat tidak akan terjadi.

Menghayati Sumpah Jabatan

Setiap kali dilakukan pengambilan Sumpah Jabatan para pejabat baru, pastilah mereka mengucapkan sumpah. Namun pada saat bersamaan tidak kurang pula banyaknya para pejabat berulang kali melanggar butir-butir penerapan sumpah jabatan dalam melaksanakan tugasnya. Seolah telah mentradisi, sumpah jabatan itu hanya kepentingan seremoni, lalu sesudah itu ditinggalkan, tidak ada pengaruh apa-apa lagi. Kondisi seperti inilah, sering meninggalkan rentetan pertanyaan panjang yang sampai kini belum didapatkan jawaban memuaskan apa yang menjadi penyebabnya.

Sebagian orang beranggapan si pejabat tidak mendalam keyakinannya bahwa ada Tuhan yang selalu mengamati setiap gerak-gerik manusia tanpa pengecualian. Ada juga yang mengkritik karena sumpah jabatan yang sakral seperti itu tidak diucapkan langsung dari hati nurani sang pejabat, tetapi didikte dengan menirukan ucapan pejabat yang menyumpahnya. Sebagian pejabat ada beranggapan sumpah jabatan sekadar formalitas. 

Maka dalam sumpah jabatan yang terpenting adalah pemahaman, penghayatan, dan pengamalan isi dan maknanya oleh sang pejabat, yang tertanam dalam hati nuraninya. Oleh karena itu mekanisme sumpah jabatan yang sekarang ini selalu dilaksanakan harus diubah secara mendasar, bukan sekadar didikte dan orang yang disumpah cukup menirukan, melainkan seharusnya dibaca sendiri oleh pejabat yang bersumpah dengan pelan dan penuh khidmat. Sumpah jabatan bukan sekadar gerakan bibir tanpa makna, melainkan ungkapan hati nurani, lubuk hati calon pejabat yang didengar dan disaksikan oleh seluruh hadirin, malaikat, dan Allah Yang Maha Mendengar. (Purwosaputro, 2008).

Terlepas dari hal tersebut, hal yang paling penting adalah adanya pengambilan ikrar (komitmen) Sumpah Jabatan bagi calon pejabat. Pengambilan Sumpah Jabatan ini dimaksudkan untuk menegaskan kembali pada komitmen pribadi seorang calon pejabat yang disandarkan kepada Tuhan sesuai keyakinannya masing-masing sebelum menjalankan tugas-tugas pemerintahan atau organisasi. Pengikraran kesesungguhan komitmen dan kesetiaaan terhadap suatu nilai yang dianut dalam sebuah negara, daerah atau organisasi/unit pemerintahan tertentu melalui Sumpah Jabatan jelas mempunyai konsekuensi yang tidak ringan, baik secara normatif maupun pertanggung jawaban spiritual. Konsistensi sikap dan garis kebijakan yang disandarkan penuh pada aspek pertanggung jawaban Sumpah Jabatan menjadi tolok ukur keberhasilan dalam menjalankan kepemimpinan. Sebaliknya, pengingkaran terhadap nilai yang terkandung dalam rangkaian teks Sumpah Jabatan akan membawa malapetaka di dunia maupun di akhirat. 

Untuk itulah urgensi Sumpah Jabatan dalam suatu kepemimpinan tidak berhenti pada aspek verbal dalam sebuah acara pelantikan, namun mempunyai konsekuensi serius yang bersifat spiritual yang harus dipertanggung jawabkan baik di hadapan masyarakat yang dipimpinnya, maupun di hadapan Allah swt. Ketika pemimpin sudah bersumpah atas nama Tuhan dan Kitab Suci untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan, maka ada dua kemungkinan yang akan diraihnya, yaitu: kepemimpinan yang diberkahi atau kepemimpinan yang dilaknati, baik oleh manusia atau Tuhan. Meskipun kadang orang tidak mau atau berpura-pura melafalkan teks Sumpah Jabatan dengan tujuan menghindarkan dari tanggung jawab moral, namun pemberian amanah jabatan kepadanya berkonsekuensi langsung terhadap pertanggungjawaban kepemimpinannya. Artinya, pejabat yang disumpah maupun tidak sama-sama memiliki tanggung jawab dunia dan akhirat.
(Wallahu a'lam).

Kamis, 13 Februari 2014

WANITA IDEAL YANG LAYAK DINIKAHI

Wanita Ideal yang layak untuk dinikahi dalam Kitab Qurrat al-’Uyun Syarh Nadzm Ibnu Yamun.Nabi Muhammad Saw. bersabda: “Dunia laksana perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalehah.”


Dalam riwayat yang lain: “Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita yang dapat membantu suaminya dalam urusan akhirat.”
Nabi Muhammad Saw. bersabda: “Setelah takwa kepada Allah, seorang mukmin tidak bisa mengambil manfaat yang lebih baik dibanding istri yang shalehah dan cantik yang:
1. Jika suaminya memerintahkan sesuatu kepadanya dia selalu taat.
2. Jika suaminya memandangnya dia menyenangkan.
3. Jika suaminya menyumpahinya dia selalu memperbaiki dirinya.
4. Dan jika suaminya meninggalkannya(bepergian) dia pun selalu menjaga diri dan harta suaminya.”
Nabi Muhammad Saw. bersabda:
1. Barangsiapa menikah dengan seorang wanita hanya karena memandang kemuliaan derajatnya, maka Allah Swt. tidak akan menambah baginya kecuali kehinaan.
2. Barangsiapa menikah dengan seorang wanita hanya karena memandang hartanya, maka Allah tidak akan menambah baginya kecuali kefakiran.
3. Barangsiapa menikah dengan seorang wanita karena kecantikannya, maka Allah tidak akan menambah baginya kecuali kerendahan.
4. Dan barangsiapa menikah dengan sorang wanita tanpa tujuan lain kecuali agar dia lebih mampu meredam gejolak pandangannya dan lebih dapat memelihara kesucian seksualnya dari perbuatan zina atau dia hanya ingin menyambung ikatan kekeluargaan, maka Allah Swt. akan selalu memberkahinya bagi istrinya.
Sedangkan seorang hamba sahaya yang jelek rupa dan hitam kulitnya, namun kuat imannya adalah lebih utama.”
Nabi Muhammad Saw. bersabda: “Barangsiapa mempunyai anak dan mampu untuk mengawinkannya, namun dia tidak mau mengawinkannya. Kemudian anaknya berbuat zina, maka keduanya berdosa.”
Nabi Muhammad Saw. bersabda: “Seorang wanita dinikahi karena 4 hal, yaitu: hartanya, keturunannya, kecantikannya dan agamanya. Maka hendaklah kamu menikah dengan wanita yang kuat agamanya agar kamu memperoleh kebahagiaan.”
Rasulullah Saw. bersabda: “Barangsiapa ingin menghadap ke haribaan Allah dalam keadaan suci dan disucikan, maka kawinlah dengan wanita yang merdeka.”
Nabi Muhammad Saw. bersabda: “Ada 4 resep kebahagiaan bagi seseorang yaitu:
1. Istrinya adalah wanita shalehah.
2. Putra-putrinya baik-baik.
3. Pergaulannya bersama orang-orang shaleh.
4. Rizkinya diperoleh dari negeri sendiri.
Rasulullah Saw. bersabda: “Sebaik-baik wanita dari umatku ialah yang berwajah ceria dan sedikit maharnya.”
Rasulullah Saw. bersabda: “Kawinlah kalian dengan wanita yang periang dan banyak anaknya. Karena sesungguhnya aku akan membanggakan banyaknya jumlah kalian di hadapan para nabi terdahulu kelak pada hari kiamat.”
Nabi Muhammad Saw. bersabda kepada Zaid bin Tsabit: “Hai Zaid, apakah engkau sudah kawin?”
Zaid menjawab: “Belum.”
Rasulullah Saw. bersabda: “Kawinlah, maka engkau akan selalu terjaga sebagaimana engkau menjaga diri. Dan janganlah sekali-kali kawin dengan lima golongan wanita.”
Zaid bertanya: “Siapakah mereka ya Rasulullah?”
Rasulullah Saw. menjawab: “Mereka adalah: syahbarah, lahbarah, nahbarah, handarah dan lafut.”
Zaid berkata: “Ya Rasulullah, saya tidak mengerti apa yang engkau katakan.”
Maka Nabi Muhammad Saw. menjelaskan:
1. Syahbarah ialah wanita yang bermata abu-abu dan jelek tutur katanya.
2. Lahbarah ialah wanita yang tinggi dan kurus.
3. Nahbarah ialah wanita tua yang senang membelakangi suaminya (ketika tidur).
4. Handarah ialah wanita yang cebol dan tercela.
5. Lafut ialah wanita yang melahirkan anak dari laki-laki selain kamu.”
Satu riwayat menceritakan: “Seorang laki-laki datang menghadap kepada Rasulullah Saw. dan berkata: “Ya Rasulullah, aku menemukan seorang wanita yang baik dan cantik, tetapi dia mandul. Apakah aku boleh mengawininya?”
Rasulullah Saw. menjawab: “Jangan.”
Kemudian dia datang lagi kepada Rasulullah untuk kedua kalinya. Nabi Muhammad Saw. tetap melarangnya. Dia pun datang lagi untuk ketiga kalinya. Nabi Muhammad Saw. pun tetap melarangnya menikahi wanita itu, dan beliau Saw. bersabda: “Kawinlah kalian dengan wanita yang selalu menyenangkan hati dan banyak anaknya. Karena sesungguhnya aku akan membanggakan banyaknya jumlah keturunan kalian.”
Walllahu'alam
By. Gus MUH

Detik-Detik Menjelang Wafat

Detik-detik Menjelang wafatnya Hujjatul Islam Imam Ghozali ada dikisahkan sedikit di dalam kitab ‘Thabaqat asy-Syafi’iyah al-Kubra’ (طبقات الشافعية الكبرى) karya Syeikh Tajuddin As-Subqi (727 H – 771 H / 1327M – 1370 M) cetakan Dar Ihya al-Kutub al-’Arabiyah jilid 6 halaman 201, diterangkan sebagai berikut:

و كان وفاته , قدس الله روحه , بطوس يوم الاثنين رابع عشر جمادى الأخرة سنة خمس و خمسمائة
و مشهده بها يزار بمقبرة الطابران
قال أبو الفرج بن الجوزي فى كتاب “الثبات عند الممات” : علي بالكفن , فأخذه و قبله ووضعه على عينيه , و قال : سمعا و طاعة للدخول على الملك . ثم مد رجليه , و استقبل القبلة , و مات قبل الاسفار , قدس الله روحه

ِArtinya:
Hujjatul Islam Imam Ghozali wafat, semoga Allah mensucikan rohnya, di kota Thus (Persia) pada hari Senin tanggal 14 Rabi’ul Akhir tahun 505 H (1112 M) dan makamnya diziarahi orang di pemakaman Thabaran.
Abul Faraj bin Al-Jauzi berkata di dalam kitabnya “Ats-Tsabat ‘Inda al-Mamat”: Berkata Ahmad, saudara laki-lakinya dari Imam Ghozali: Ketika hari Senin pada waktu subuh, saudaraku Abu Hamid berwudhu dan shalat dan ia berkata: Tetapkanlah aku dengan kain kafan !! Kemudian ia (Imam Ghozali) mengambil kain kafan itu dan mencium dan meletakkannya di atas kedua matanya sambil berkata: Sesungguhnya aku mendengar dan ta’at untuk masuk kepada Sang Raja (Allah swt). Kemudian sang Hujjatul Islam Imam Ghozali menjulurkan kedua kakinya dan menghadap kiblat. Setelah itu ia wafat. Semoga Allah mensucikan rohnya !!.
Pada hari isnin 14 Jamadilakhir  tahun 505 Hijrah bersamaan 1111 Masihi  beliau wafat dan telah dikebumikan di bandar Tus, Khusaran (Iran). Imam Al-Ghazali rahimahullah diriwayatkan, beliaumendapati tanda-tanda kematian dirinya sehingga beliau mampu menyiapkan diri untuk menghadapi sakratulmaut secara sendirian. Beliau menyiapkan dirinya dengan segala persiapan termasuk mandinya, wudhuknya serta kafannya sekali. Cuma ketika sampai bahagian tubuh dan kepala saja beliau telah memanggil abangnya yaitu Imam Ahmad Ibnu Hambal untuk meneruskan tugas tersebut. Beliau wafat ketika Imam Ahmad bersedia untuk mengkafankan wajahnya. 


Tanda-tanda kematian yang dirasai oleh Imam Al-Ghazali akan dirasai oleh orang Islam sahaja, manakala bagi orang-orang kafir nyawa mereka akan terus direntap tanpa adanya tanda sesuai dengan kekufuran mereka kepada Allah SWT. 

Tanda 100 hari sebelum kematian
Tanda ini akan berlaku umumnya setelah waktu Asar. Seluruh tubuh iaitu dari hujung rambut sehingga ke hujung kaki akan mengalami getaran atau seakan-akan menggigil. Contohnya, seperti daging sapi yang baru disembelih dimana jika diperhatikan dengan teliti kita akan mendapati daging tersebut seakan-akan bergetar.

Tanda ini rasanya nikmat, dan bagi mereka yang sedar dan terdetik di hatinya bahwa mungkin ini adalah tanda kematian maka getaran ini akan berhenti dan hilang setelah kita sedar akan kehadiran tanda ini. Bagi mereka yang tidak diberi kesadaran atau mereka yang hanyut dengan kenikmatan duniawi tanpa memikirkan soal kematian, tanda ini akan hilang begitu saja tanpa ada manfaatnya.

Tanda 40 hari sebelum kematian
Tanda ini juga akan berlaku sesudah waktu Asar. Bahagian pusat kita akan berdenyut-denyut. Pada saat itu daun yang tertulis nama kita akan gugur dari pohon yang letaknya di atas Arasy-nya Allah SWT. Maka saat itu malaikat maut (Izrail) akan mengambil daun tersebut dan mulai membuat persiapannya kepada kita di antaranya ialah dia akan mulai mengikuti kita sepanjang itu.

Akan terjadi dimana malaikat maut (Izrail) ini akan memperlihatkan wajahnya sepintas lalu dan jika ini terjadi, mereka yang terpilih ini akan merasakan seakan-akan bingung seketika.

Tanda 7 hari sebelum kematian
Adapun tanda ini akan diberikan hanya kepada mereka yang diuji dengan musibah kesakitan dimana orang sakit yang tidak makan (tak berselera) secara tiba-tiba berselera untuk makan.

Tanda 3 hari sebelum kematian
Pada ketika ini akan terasa denyutan dibagian tengah dahi kita yaitu diantara dahi kanan dan kiri. Ketika ini juga mata hitam kita tidak akan bersinar lagi. Dan bagi orang yang sakit,  hidungnya akan perlahan-lahan jatuh dan ini dapat dikesan jika kita melihatnya dari bahagian sisi/samping. Telinganya akan layu dimana bagian ujungnya akan berangsur-angsur masuk kedalam. Telapak kakinya yang terlunjur akan perlahan-lahan jatuh ke depan dan sukar ditegakkan.

Tanda 1 hari sebelum kematian
Akan berlaku sesudah waktu Asar dimana kita akan merasakan satu denyutan disebelah belakang iaitu di kawasan ubun-ubun dimana ini menandakan kita tidak akan sempat untuk menemui waktu Asar keesokan harinya.

Tanda Akhir
Akan berlaku keadaan dimana kita akan merasakan satu keadaan sejuk di bagian pusat lalu rasa itu akan turun ke pinggang dan seterusnya akan naik ke bagian kerongkong. Ketika ini hendaklah kita terus mengucap kalimat syahadah dan berdiam diri dan menantikan kedatangan malaikat maut untuk menjemput kita kembali kepada Allah SWT yang telah menghidupkan kita dan sekarang akan mematikan pula.

Namun begitu, tidak semestinya tanda-tanda ini boleh berlaku kepada semua orang, hanya orang-orang tertentu dan terpilih sahaja yang mungkin merasai tanda-tanda yang sama

KITAB-KITAB KARANGAN IMAM GHOZALI:

1. احياء علوم الدين / Ihya ‘Ulumuddin (4 jilid besar)
2. الأربعين / Al-Arba’in
3. الأسماء الحسنى / Al-Asma’ ul Husna
4. المستصفى فى اصول الفقه / Al-Mustashfa fii Ushulil Fiqhi
5. المنخول فى أصول الفقه / Al-Mankhul fii Ushulil Fiqhi
6. بداية الهداية و المأخذ فى الخلافيات / Bidayatul Hidayah wal Ma’akhidzi fil Khilafiyyat
7. تحسين المأخذ / Tahsinul Ma’akhidz
8. كيمياء السعادة / Kimia Sa’adah (terjemahan: Kimia Kebahagiaan)
9. المنقذ من الضلال / Al-Munqidz minadh Dhalal (terj: Penyelamat dari Kesesatan)
10. اللباب المنتخل / Al-Lubabul Muntakhal
11. شفاء الغليل فى بيان مسالك التعليل / Syifa’ul Ghalil fii Bayani Masalikit Ta’lil
12. الاقتصاد فى الاعتقاد / Al-Iqtishad fil I’tiqad
13. معيار النظر / Mi’yarun Nazhari
14. محك النظر / Mahakkun Nazhari
15. بيان القولين للشافعي / Bayanul Qaulaini lisy Syafi’iyyi
16. مشكاة الأنوار / Misykatul Anwar
17. المستظهرى فى الرد على الباطنية / Al-Mustazhhiri fir Raddi ‘alal Bathiniyyah
18. تهافت الفلاسفة / Tahafutul Falasifah (terj: Kerancuan Filsafat)
19. المقاصد فى بيان اعتقاد الأوائل / Al-Maqashidu fii Bayani’ Tiqadil Awa’il
20. الجام العوام فى علم الكلام / Iljamul ‘Awam fii ‘Ilmil Kalam
21. الغاية القصوى / Al-Ghayatul Qushwa
22. جواهر القرأن / Jawahirul Qur’an (terjemah: Mutiara-mutiara Al-Qur’an)
23. بيان فضائح الامامية / Bayanu Fadha’ihil Imamiyyah
24. غور الدور فى المسألة السريجية / Ghaurad Dauri fil Mas’alatis Suraijiyyah
25. كشف علوم الأخرة / Kasyfu ‘Ulumil Akhirah (terjemah: Menyingkap Ilmu-ilmu Akherat)
26. الرسالة القدسية / Ar-Risalatul Qudsiyyah
27. الفتاوى / Al-Fatawi (terjemah: Fatwa-fatwa)
28. ميزان العمل / Mizanul ‘Amal (terjemah: Timbangan Amal)
29. قواصم الباطنية / Qawashimul Bathiniyyah
30. حقيقة الروح / Haqiqatur Ruh (terjenah: Hakekat Ruh)
31. كتاب أسرار معاملات الدين / Kitabu Asrari Mu’amalatiddin (terjemah: Kitab Rahasia2 Transaksi Agama)
32. عقيدة المصباح / Aqidatul Mishbah (terjemah: Lampu Aqidah)
33. المنهج الأعلى / Al-Manhajul A’la (terjemah: Jalan Yang Luhur)
34. أخلاق الأنوار / Akhlaqul Anwar (terjenah: Lampu Cahaya-cahaya Ilahi)
35. المعراج / Al-Mi’raj
36. حجة الحق / Hujjatul Haq (terjemah: Argumentasi Kebenaran)
37. تنبيه الغافلين / Tanbihul Ghafilin (terjemah: Peringatan Bagi Orang2 Yang Lupa)
39. رسالة الأقطاب / Risalatul Aqthab (terjemah: Risalah Wali-wali Quthub)
40. مسلم السلاطين / Musallamus Salathin
41. القانون الكلي Artinya: Al-Qanunul Kulliyyu (terjemah: Undang-undang Universal)
42. القربة الى الله / Al-Qurbatu Ilallah (terj: Pendekatan Diri Kepada Allah)
43. مفصل القياس فى أصول الخلاف / Mufashshalul Qiyas fii Ushulil Khilaf
44. أسرار اتباع السنة / Asrarut Tiba’is Sunnah (terjemah: Rahasia2 Mengikuti Sunnah)
45. تلبيس ابليس / Talbisu Iblis (terjemah: Penyamaran Iblis)
46. البادى و الغايات / Al-Badi wal Ghayat
47. الأجوبة / Al-Ajwibah (terjemah: Jawaban-jawaban)
48. كتاب عجائب صنع الله / Kitabu ‘Aja’ibi Sun’illah (terjemah: Kitab Keajaiban2 Ciptaan Allah)
49. رسالة الطير / Risalatut Thair (terjemah: Risalah Burung)
50. الرد على من طغى / Ar-Raddu ‘ala Man Thagha (terjemah: Bantahan Terhadap Orang Yang Melampaui Batas)
51. الأوفاق الغرالى / Al-Awfaqul Ghozali
Demikian sedikit kisah detik-detik menjelang wafatnya sang Hujjatul Islam Imam Ghozali