Pengangkatan seorang pegawai untuk memangku jabatan, terutama jabatan penting dengan ruang lingkup luas menyangkut kepentingan orang banyak adalah merupakan sebuah kepercayaan besar yang diberikan oleh negara. Karena itu penunjukan atas jabatan tersebut harus dilakukan dengan cara tepat dan seksama. Tentunya pemilihan terhadap seseorang untuk menduduki suatu jabatan didasarkan atas pertimbangan kompetensi dan kelayakannya. Dan yang lebih penting lagi adalah jabatan itu mampu dijalankan dengan penuh amanah dan tanggung jawab. Ini juga bermakna bahwa jabatan adalah bentuk pengabdian kepada negara yang dilakukan dengan penuh kejujuran dan keikhlasan. Sebab cukup banyak orang yang cakap, layak, dan mampu menempati suatu jabatan penting, tetapi tidak banyak orang yang mampu menjalankannya dengan amanah, jujur, dan ikhlas.
Konsep agama sendiri menegaskan bahwa jabatan bukan sekedar kontrak sosial (janji) antara sang pejabat dengan masyarakat, tetapi merupakan ikatan perjanjian antara dia dengan Tuhan. Boleh jadi seorang pemimpin atau pejabat secara normatif dan formal administratif merasa “sudah menjalankan tugas dan banyak berbuat jasa”, akan tetapi barangkali ada sebagian tindakannya yang mengandung kecurangan, kelicikan, siasat, tipu muslihat, dan penuh rekayasa yang ditutup-tutupi tanpa sepengetahuan orang lain. Namun harus diingat segala perbuatannya pasti tidak akan pernah luput dari pengetahuan Tuhan. Di sinilah letak pentingnya amanah dalam memegang jabatan. Prinsip tersebut secara tegas dinyatakan dalam Q. S. Yasin (36): 65, yang berbunyi: “Pada hari ini Kami tutup mulut mereka, lalu tangan mereka akan berkata kepada Kami dan kaki mereka akan memberi kesaksian terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan”.
Berkaitan dengan itu, pegawai negeri yang akan memangku suatu jabatan, pada saat pengangkatannya wajib mengangkat Sumpah Jabatan di hadapan atasan yang berwenang dengan disaksikan orang ramai menurut agama atau kepercayaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Sumpah Jabatan tersebut berbunyi sebagai berikut:
“Demi Allah ! Saya bersumpah, Bahwa saya, untuk diangkat dalam jabatan ini, baik langsung maupun tidak langsung, dengan rupa atau dalih apapun juga, tidak memberi atau menyanggupi akan memberi sesuatu kepada siapapun juga;
Bahwa saya akan setia dan taat kepada Negara Republik Indonesia;
Bahwa saya akan memegang rahasia sesuatu yang menurut sifatnya atau menurut perintah harus saya rahasiakan;
Bahwa saya tidak akan menerima hadiah atau suatu pemberian berupa apa saja dan dari siapapun juga, yang saya tahu atau patut dapat mengira, bahwa ia mempunyai hal yang bersangkutan atau mungkin bersangkutan dengan jabatan atau pekerjaan saya;
Bahwa saya dalam menjalankan jabatan atau pekerjaan saya, senantiasa akan lebih mementingkan kepentingan Negara daripada kepentingan saya sendiri atau golongan;
Bahwa saya senantiasa akan menjunjung tinggi kehormatan Negara, Pemerintah, dan Pegawai Negeri;
Bahwa saya akan bekerja dengan jujur, tertib, cermat dan bersemangat untuk kepentingan Negara”.
Inti Sumpah Jabatan adalah ikrar kesetiaan, komitmen, kesiapan dan kesanggupan atas nama Tuhan bahwa jabatan yang dipangkunya akan dilaksanakan secara sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab. Dengan adanya Sumpah Jabatan itu sesungguhnya seorang pejabat telah diikat oleh apa yang diucapkannya. Bukan saja karena sumpah tersebut didengar dan disaksikan oleh khalayak ramai, akan tetapi yang lebih dituntut adalah komitmen yang bersangkutan untuk melaksanakan isi sumpah dan segala konsekwensi yang mengiringinya. Sumpah Jabatan itu benar-benar mengikat hati nurani pejabat, sehingga tidak ada keberanian sedikitpun ataupun hanya sekedar niat untuk melanggarnya, walau tidak ada seorang manusia pun yang mengetahui.
Lafaz sumpah yang diawali/diakhiri dengan mengucapkan nama Tuhan menyiratkan makna bahwa segala sesuatu yang dilakukan pejabat selama memegang jabatannya adalah “demi karena Tuhan” dan Dia senantiasa mengawasi semua perbuatan. Dan tidak ada satupun tindakan, berkaitan dengan jabatan langsung maupun tidak langsung kecuali dilakukan demi kepentingan pemerintah dan negara, bukan untuk kepentingan pribadi dan golongan. Sumpah juga berarti suatu tekad seseorang di depan Tuhannya bahwa ia akan bekerja dan berkarya sesuai isi sumpah yang diucapkannya dan tidak akan pernah menyimpang.
Sumpah Jabatan merupakan alat kontrol diri yang menempel terus selama jabatan yang diterima sebagai amanah itu masih dipegang. Bagi yang mengucapkan memiliki keyakinan bahwa apa yang sedang dipikirkan, direncanakan, diputuskan, dan diamalkan selalu dikontrol oleh Tuhan walau tanpa seorangpun yang tahu, melihat, atau mendengarkannya.
Makna Sumpah Jabatan Dalam Islam
Ada tiga aspek yang terkandung dalam Sumpah Jabatan menurut pandangan Islam, yaitu: al-amanah (kepercayaan), ‘adalatul ‘am (keadilan publik) dan ath-tha’ah(ketaatan). (Al-Asyhar, 2008).
Pertama, al-amanah (kepercayaan). Yaitu sumpah setia atas nama Tuhan akan selalu berbuat jujur, dapat dipercaya dalam menjalankan kepemimpinan yang merupakan nilai sangat mendasar dalam jiwa seseorang. Ia tidak hanya berlaku bagi seorang pemimpin saja, namun berlaku untuk semua orang yang percaya akan hari pembalasan. Komitmen para pemimpin untuk selalu memegang teguh amanah disinggung dalam Q. S. An-Nisa’ (4): 58, “Sungguh Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya”. Sedangkan penegasan terhadap larangan mengkhianati amanah dijelaskan dalam Q. S. Al-Anfal (8): 27, “Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul dan (juga) janganlah kamu mnegkhianati amanat yang dipercayakan kepadamu, sedangkan kamu mengetahui”.
Namun demikian, standar amanah dalam kepemimpinan tidak hanya berhenti pada aspek moral saja. Lebih dari itu, amanah moral harus pula dikawal dengan amanah profesional yang tidak kalah pentingnya untuk menjalankan tugas-tugas pemerintahan atau organisasi. Yang dimaksud dengan amanah profesional adalah mampu memenej secara baik roda kepemimpinan berdasarkan standar kepemimpinan profesional. Tidak adanya, atau kurangnya amanah profesional seorang pemimpin akan mengalami kepincangan antara keberhasilan moral dengan keberhasilan fisik dalam kepemimpinan.
Kedua, ‘adalatul ‘am (keadilan publik). Jabatan yang diberikan kepada seorang pemimpin secara serta merta mempunyai keterkaitan ruh (semangat) keterwakilan Tuhan di dunia. Sebagai khalifah Tuhan yang bertugas menata dan mengatur bumi, seorang pemimpin harus mempunyai jiwa keadilan publik sebagaimana sifat Tuhan Yang Maha Adil, yaitu keadilan semesta untuk semua kalangan baik makhluk hidup maupun makhluk mati yang tidak mengenal suku, ras, agama, latar belakang sosial, kelompok dan lain-lain. Sebaliknya, pengingkaran terhadap keadilan publik berarti pula telah mengesampingkan nilai-nilai ketuhanan. Hal ini jelas bertentangan dengan firman Allah yang menganjurkan kita untuk selalu berbuat adil dan kebenaran. Banyak ayat al-Quran yang menyinggung masalah tersebut, diantaranya Q. S. Al-Maidah (5): 8, “Wahai orang-orang yang beriman jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, menjadi saksi dengan adil”.
Ketiga, ath-tha’ah (ketaatan). Ketaatan atau kepatuhan harus dilakukan secara timbal balik antara pemimpin dengan masyarakat, bawahan atau staf yang dipimpinnya. Sumpah Jabatan merupakan nota kesepakatan antara rakyat dengan pemimpin untuk selalu saling bekerja sama, menghormati eksistensi masing-masing dan tidak saling meniadakan. Ketaatan yang harus dilakukan meliputi kepada sistem politik, sistem hukum, sistem sosial, sistem budaya yang ada dalam sebuah negara, daerah atau organisasi (unit) pemerintahan.
Setiap muslim seharusnya menyadari bahwa setiap manusia akan diminta pertanggungjawabannya terhadap apa yang telah dilakukannya terlebih bagi seorang pejabat yang telah dipercayakan untuk memimpin dalam suatu instansi/lembaga/organisasi bagi para anggotanya dan masyarakat pada umummya. Jika semua pejabat muslim benar-benar mengakui Al-Quran sebagai petunjuk dalam memegang amanat yang diberikan maka semua kejadian yang memalukan diri, keluarga dan membuat sakit hati masyarakat tidak akan terjadi.
Menghayati Sumpah Jabatan
Setiap kali dilakukan pengambilan Sumpah Jabatan para pejabat baru, pastilah mereka mengucapkan sumpah. Namun pada saat bersamaan tidak kurang pula banyaknya para pejabat berulang kali melanggar butir-butir penerapan sumpah jabatan dalam melaksanakan tugasnya. Seolah telah mentradisi, sumpah jabatan itu hanya kepentingan seremoni, lalu sesudah itu ditinggalkan, tidak ada pengaruh apa-apa lagi. Kondisi seperti inilah, sering meninggalkan rentetan pertanyaan panjang yang sampai kini belum didapatkan jawaban memuaskan apa yang menjadi penyebabnya.
Sebagian orang beranggapan si pejabat tidak mendalam keyakinannya bahwa ada Tuhan yang selalu mengamati setiap gerak-gerik manusia tanpa pengecualian. Ada juga yang mengkritik karena sumpah jabatan yang sakral seperti itu tidak diucapkan langsung dari hati nurani sang pejabat, tetapi didikte dengan menirukan ucapan pejabat yang menyumpahnya. Sebagian pejabat ada beranggapan sumpah jabatan sekadar formalitas.
Maka dalam sumpah jabatan yang terpenting adalah pemahaman, penghayatan, dan pengamalan isi dan maknanya oleh sang pejabat, yang tertanam dalam hati nuraninya. Oleh karena itu mekanisme sumpah jabatan yang sekarang ini selalu dilaksanakan harus diubah secara mendasar, bukan sekadar didikte dan orang yang disumpah cukup menirukan, melainkan seharusnya dibaca sendiri oleh pejabat yang bersumpah dengan pelan dan penuh khidmat. Sumpah jabatan bukan sekadar gerakan bibir tanpa makna, melainkan ungkapan hati nurani, lubuk hati calon pejabat yang didengar dan disaksikan oleh seluruh hadirin, malaikat, dan Allah Yang Maha Mendengar. (Purwosaputro, 2008).
Terlepas dari hal tersebut, hal yang paling penting adalah adanya pengambilan ikrar (komitmen) Sumpah Jabatan bagi calon pejabat. Pengambilan Sumpah Jabatan ini dimaksudkan untuk menegaskan kembali pada komitmen pribadi seorang calon pejabat yang disandarkan kepada Tuhan sesuai keyakinannya masing-masing sebelum menjalankan tugas-tugas pemerintahan atau organisasi. Pengikraran kesesungguhan komitmen dan kesetiaaan terhadap suatu nilai yang dianut dalam sebuah negara, daerah atau organisasi/unit pemerintahan tertentu melalui Sumpah Jabatan jelas mempunyai konsekuensi yang tidak ringan, baik secara normatif maupun pertanggung jawaban spiritual. Konsistensi sikap dan garis kebijakan yang disandarkan penuh pada aspek pertanggung jawaban Sumpah Jabatan menjadi tolok ukur keberhasilan dalam menjalankan kepemimpinan. Sebaliknya, pengingkaran terhadap nilai yang terkandung dalam rangkaian teks Sumpah Jabatan akan membawa malapetaka di dunia maupun di akhirat.
Untuk itulah urgensi Sumpah Jabatan dalam suatu kepemimpinan tidak berhenti pada aspek verbal dalam sebuah acara pelantikan, namun mempunyai konsekuensi serius yang bersifat spiritual yang harus dipertanggung jawabkan baik di hadapan masyarakat yang dipimpinnya, maupun di hadapan Allah swt. Ketika pemimpin sudah bersumpah atas nama Tuhan dan Kitab Suci untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan, maka ada dua kemungkinan yang akan diraihnya, yaitu: kepemimpinan yang diberkahi atau kepemimpinan yang dilaknati, baik oleh manusia atau Tuhan. Meskipun kadang orang tidak mau atau berpura-pura melafalkan teks Sumpah Jabatan dengan tujuan menghindarkan dari tanggung jawab moral, namun pemberian amanah jabatan kepadanya berkonsekuensi langsung terhadap pertanggungjawaban kepemimpinannya. Artinya, pejabat yang disumpah maupun tidak sama-sama memiliki tanggung jawab dunia dan akhirat.
(Wallahu a'lam).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar