Senin, 23 Juli 2012

KONSEPSI HILAL

REDEFINISI HILAL SEBAGAI KONSEPSI TITIK TEMU PERBEDAAN


Hisab (perhitungan secara astronomis) atau Rukyat (observasi), dalam perspektif ilmu pengetahuan, sebenarnya adalah dua sisi dari sekeping mata uang. Artinya hubungan antara hisab dan rukyat sejatinya adalah timbal balik sehingga tidak perlu ditempatkan berlawanan, apalagi dibandingkan mana yang paling unggul. 
Manusia melakukan rukyat selama 3.000 tahun terakhir (sejak era Babilonia Baru) guna mendapat data empirik untuk membangun teori hisab, dan sebaliknya teori hisab yang ada menghasilkan prediksi elemen Bulan sehingga rukyat bisa dilaksanakan dengan presisi lebih baik.
Ingat saja metode ilmiah : sebuah hipotesis (yang dihasilkan oleh hisab) akan terbukti jika didukung oleh hasil pengamatan (rukyat) dan sebaliknya hasil pengamatan pun harus memenuhi syarat yang dikehendaki oleh hipotesisnya, agar hasilnya bisa dinyatakan valid dan reliabel.
Apa yang menjadikan perbedaan antara Hisab dan Rukyat pada saat ini, atau lugasnya, yang membuat Muhammadiyah (di kutub hisab) dan NU (di kutub rukyat) berbeda sejatinya terletak pada TIADANYA DEFINISI TUNGGAL tentang hilal, baik di Indonesia maupun dunia.

APA ITU HILAL?

Secara bahasa artinya Bulan sabit (crescent). Namun Bulan dalam fase sabit memiliki beragam bentuk, ada yang tebal (gemuk) dan ada pula yang tipis.
Yang manakah yang disebut hilal? Jika pertanyaan ini anda ajukan (misalnya) kepada anggota Lajnah Falakiyah PBNU atau anggota Majelis Tarjih PP Muhammadiyah, Insya Allah tidak akan mendapatkan jawaban yang jelas. Jangankan lagi kepada Ketua PBNU atau PP Muhammadiyah atau bahkan kepada Presiden/Wakil Presiden, yang secara teknis “tidak memahami” seluk beluk ini.
Mendefinisikan hilal sebenarnya bertumpu pada dua pilar, yakni kedudukan Bulan dan sensitivitas alat optik yang digunakan (termasuk mata telanjang).
Pilar pertama, yakni kedudukan Bulan (yang diderivasikan dalam elemen seperti tinggi, azimuth, elongasi, fase, magnitude visual) sebenarnya bukan masalah besar lagi, terutama sejak dekade 1960-an. Dengan memanfaatkan cermin retroreflektor yang ditempatkan astronot Apollo di sisi dekat Bulan (yakni sisi yang menghadap ke Bumi), Lunar Laser Ranging (LLR) yang berbasis sinar laser dan teleskop reflektor 3,5 mm telah mampu mengukur jarak Bumi-Bulan dengan ketelitian luar biasa tinggi, hingga tingkat kesalahan maksimumnya hanya 2 mm saja. Konsekuensinya, algoritma modern mengenai gerak Bulan yang diderivasikan dari eksperimen LLR ini pun mempunyai ketelitian sangat tinggi, seperti misalnya algoritma Chapront ELP 2000/82 yang tingkat kesalahan maksimumnya ‘hanya’ 10 detik busur alias 3 miliderajat saja. Sebagai pembanding, diameter cakram Bulan bila dilihat dari Bumi adalah 500 miliderajat. Jika hanya memperhitungkan pilar ini saja, wujudul hilal sudah mencukupi, karena “kriteria” ini mewajibkan Bulan harus di atas horizon (ufuk mar’i) ketika Matahari terbenam.
Sementara pilar kedua, yakni sensitivitas alat optik, relatif “terlantar” alias tidak banyak diteliti, padahal tak kalah pentingnya. Sebab manusia hidup di Bumi, dilindungi atmosfer yang tebal dan memiliki sifat optik tersendiri, sementara alat optik yang digunakan manusia (baik mata telanjang maupun teleskop/binokuler) punya keterbatasan. Baru belakangan saja (tepatnya sejak masa F Bruin, 1977) masalah sensitivitas alat optik mulai dikaji secara mendalam, meski akarnya telah diteliti hingga jauh ke masa silam, mulai al-Biruni hingga Andre Danjon (yang melahirkan konsep Danjon Limit). Dan pilar ini pula yang mendatangkan ketidakpastian terbesar dalam histori observasi hilal, dimana tingkat kesalahannya bisa mencapai 20 % (rata-rata).
Idealnya, para pengamat harus membawa instrumen fotometri untuk membandingkan kecemerlangan cahaya Bulan (L) terhadap kecemerlangan cahaya langit di latar belakangnya (Lb). Jika L < Lb, otomatis hilaal takkan bisa dilihat dengan cara apapun. Sedangkan jika L > Lb, hilal hanya bisa terlihat jika nilai (L/Lb) – 1 lebih besar dibanding Blackwell contrast threshold. Yang menarik disini, menggunakan teleskop/binokuler dengan perbesaran yang tepat membuat nilai L dan Lb yang kita lihat lewat alat optik berkurang, namun besaran (L/Lb) – 1 adalah tetap, sementara Blackwell contrast threshold-nya pun berkurang sehingga memungkinkan hilal terlihat, meski ketika menggunakan mata telanjang hilal tak nampak.
Jika dilihat dari pilar ini, wujudul hilal jelas kurang tepat karena sepenuhnya mengabaikan pengaruh atmosfer Bumi dan sensitivitas alat optik. Namun instrumen fotometri bukan barang murah. Maka sejak lama para astronom sudah mencoba mendekati keadaan ideal tersebut dengan mengkaitkan L terhadap elemen Bulan, sementara Lb dikaitkan dengan posisi Matahari, kemudian hasilnya dikombinasikan sehingga diperoleh parameter visibilitas Bulan sebagai fungsi dari selisih tinggi (aD) dan elongasi (aL). Inilah yang dikerjakan sejak masa Bruin (1977) dan kini yang termutakhir adalah buah karya Odeh (2004). Hasilnya memang rada ruwet, seperti dari Odeh misalnya, yang merumuskan persamaan berikut :
V = aD – (-0,1018*W*W*W + 0,7319*W*W – 6,3226*W + 7,1651)
dimana
W = R(1 – cos(aL))
Dengan aD dan aL dalam satuan derajat, R = jari-jari apparent Bulan (dalam satuan menit busur) dan V = parameter Odeh. Agar hilal terlihat, jika pengamatan hanya mengandalkan mata telanjang, V harus berharga lebih dari 2. Sedangkan jika pengamatan menggunakan teleskop/binokuler, V harus lebih besar dari -0,96.
Inilah pendekatan ilmiah untuk definisi “hilal”, meski juga belum sempurna benar, karena didasarkan sepenuhnya pada kondisi cuaca yang cerah, belum memperhitungkan langit yang “sedikit berawan.”
Definisi hilal semacam ini sering pula disebut “hilal ilmiah.” Secara umum disini bisa dikatakan bahwa hilal bisa terlihat (dengan teleskop/binokuler) jika dan hanya Bulan memiliki elongasi > 7 derajat kala terbenamnya Matahari dan aD > 10 derajat (jika selisih azimuth Bulan-Matahari/DAz mendekati nol) atau aD > 4 derajat (jika DAz > 5 derajat).
Sering muncul gugatan, ilmu astronomi/falak merupakan ilmu-nya orang Islam yang sudah dikuasai sejak lama, maka mengapa persoalan rukyat ini masih menjadi masalah? Dari catatan yang ditinggalkan para ahli falak Muslim sejak masa Daulah Bani Abbasiyah dan sesudahnya, diketahui bahwa al-Khawarizmi merumuskan elongasi Bulan harus > 9,5 derajat agar hilal bisa terlihat. Sementara Ibn Maimun sedikit berbeda, yakni elongasi > 9 derajat. Al-Battani, Abdurrahman as-Sufi, ibn Yunus dan al-Kashani menggarisbawahi nilai elongasi > 10 derajat. Dan Tsabit ibn Qurra’ sedikit lebih longgar yakni elongasi > 11 derajat.
Maka nampak jelas bahwa hasil karya ahli falak Muslim tempo dulu pun tidak menyelisihi kesimpulan yang diperoleh dimasa sekarang. Meski secara ilmiah sudah terdefinisikan bahkan sejak berabad-abad silam, persoalannya definisi “hilal ilmiah” belum tersosialisasikan sepenuhnya ke segenap lapisan umat, apalagi memang ada kesan “rumit” dengan sederetan persamaan matematis tersebut. Inilah tugas kita untuk menyosialisasikannya, sebagai pihak yang alhamdulillah diberi sedikit pengetahuan tentang itu.
Untuk Indonesia, memang ada “hilal kesepakatan”, yakni disepakati (oleh sebagian besar komponen Umat Islam) yang disebut hilal adalah Bulan dengan aD > 3 derajat, aL > 4,2 derajat dan telah berumur 8 jam pasca konjungsi. Muhammadiyah mengkritik definisi “hilal kesepakatan” ini sejak awal karena terlalu sederhana dan tidak ilmiah. Namun sedari awal “hilal kesepakatan” ini memang ditujukan untuk menyatukan umat terlebih dahulu dan sekaligus berperan sebagai definisi transisi menuju pengertian “hilal ilmiah” yang sesungguhnya. Harapannya, dengan semakin majunya zaman, semakin terdidiknya umat, diharapkan hilal kesepakatan ini perlahan bisa bergeser ke arah yang lebih baik. Jika yang diutak-atik perkara ilmiah apa tidak, wujudul hilal yang dipakai Muhammadiyah pun juga tidak ilmiah dan ‘hanyalah’ hipotesis tanpa bukti. Sebab hingga kini tak satupun ada bukti yang menyebutkan jika Bulan terbenam semenit lebih lambat dibanding Matahari maka hilal sudah bisa dilihat.
Dari hasil observasi ICOP, diketahui bahwa selisih minimum antara waktu terbenamnya Bulan terhadap waktu terbenamnya Matahari agar hilal bisa terlihat adalah 20 menit (dengan teleskop) dan 29 menit (dengan mata telanjang), itupun hanya terjadi di titik observasi yang lokasinya cukup tinggi.
Jika definisi hilal sudah disepakati, maka kepastian bisa didapatkan dan andaikata tidak dilaksanakan rukyat pun (seperti dalam kasus penentuan waktu shalat) tidaklah mengapa. Waktu shalat bisa ditentukan dengan pasti karena definisi tiap waktu shalat cukup jelas. Idealnya, kelak dalam menentukan 1 Ramadhan, 1 Syawwal dan 1 Dzulhijjah pun demikian. Meski rukyat tetap saja masih bisa dilakukan untuk konfirmasi.
Apakah situasi (perbedaan) ini, di Indonesia khususnya, akan seperti ini terus? Di lingkungan Muhammadiyah, wujudul hilal sudah digunakan sejak 1969 alias bertahan hampir 40 tahun. Sementara riset tentang hilal sudah jauh berkembang pesat selama 40 tahun terakhir, terutama yang dipelopori oleh F. Bruin dkk (1977) yang memperkenalkan algoritma modern hingga masa Yallop, Odeh dan Sultan sekarang ini. Dan jika anda cermati, PP Muhammadiyah sejak tahun 2007 mulai membuat pelatihan hisab dan rukyat, berbeda dari biasanya yang hanya pelatihan hisab saja. Lembaga pendidikan tinggi Muhammadiyah juga sudah mulai getol meneliti langit..
Sementara di lingkungan NU, belakangan muncul ide untuk menyertifikasi para perukyat. Pelatihan disini juga sudah kian gencar dilakukan. Ini tentu saja ditujukan agar para perukyat makin terlatih (karena mayoritas dari mereka ternyata belum pernah sama sekali menyaksikan hilal) dan menghindari “salah lihat” yang bisa berakibat serius, seperti misalnya menganggap Venus sebagai hilal. Dalam definisi hilal, NU berpegangan pada Danjon Limit (yakni elongasi > 6,4 derajat), namun dalam operasionalnya tetap menerima “hilal kesepakatan” yang ditawarkan Depag.

Dua Hilal: Bagaimana jika keduanya sama-sama ilmiah?

1433 tahun yang lalu, Rasul SAW bersama para sahabatnya melakukan hijrah dari Makkah menuju ke Yatsrib (Madinah) dalam rangka untuk menyelamatkan akidah dari tekanan mayoritas penduduk Makkah. Peristiwa tersebut kemudian dijadikan awal bagi penanggalan umat Islam yang dikenal dengan penanggalan Hijriah.

Penanggalan hijriah merupakan penanggalan yang didasarkan pada gerakan bulan. Oleh karena itu awal dari suatu bulan di dalam penanggalan hijriah ditandai dengan munculnya bulan sabit baru (hilal). Penentuan awal bulan dalam penanggalan hijriah pengaruhnya begitu krusial bagi umat islam. Hal ini dikarenakan penanggalan hijriah sangat erat kaitannya dengan ritual-ritual keagamaan dalam agama islam.

Dua Definisi Hilal

Hilal atau bulan sabit baru ternyata terdapat dua definisi yang berbeda, dan kedua definisi tersebut telah beredar luas di masyarakat. Definisi pertama adalah hilal merupakan posisi bulan sesaat setelah bulan berputar penuh mengelilingi bumi. Definisi inilah yang dianut para pengikut organisasi massa (ormas) islam Muhammadiyah. Pihak Muhammadiyah mengumumkan tanggal 1 Syawal 1432 H bertepatan dengan tanggal 30 Agustus 2011. Alasan yang mereka kemukakan adalah, bulan telah mencapai titik konjungsinya pada 10.05 WIB pada hari senin 29 Agustus 2011. Definisi kedua tentang hilal adalah ketika cahaya matahari yang terpantul oleh permukaan bulan dapat terlihat dari permukaan bumi. Jadi bisa dikatakan bahwa hilal memiliki definisi:
1. Bulan telah mengelilingi bumi dengan sempurna.
2.Bulan telah mengalami satu fase penuh dalam satu bulan.

Pengertian 'bulan telah mengelilingi bumi dengan sempurna' memiliki makna yang berbeda dengan 'bulan telah mengalami satu fase penuh dalam satu bulan'. Ketika kita mengatakan bulan telah mengelilingi bumi satu putaran penuh berarti jika bulan pada awalnya berada pada koordinat A di garis bujur bumi, maka bulan mengelilingi bumi satu putaran penuh adalah ketika bulan kembali pada koordinat A. Sebagai contoh adalah jika suatu ketika bulan berada pada garis bujur bumi yang segaris dengan tugu monas, maka bulan telah mengelilingi bumi secara sempurna apabila bulan telah kembali pada garis bujur bumi yang sebujur dengan tugu monas. Sedangkan jika kita mengatakan bulan telah mengalami satu fase sempurna berarti jika bulan telah menampakkan bentuk fasenya secara penuh dari bulan sabit baru kembali lagi ke bulan sabit baru. Perbedaan keduanya adalah untuk bulan mengelilingi bumi secara sempurna hanya bergantung pada posisi bulan dengan suatu derajat koordinat bujur pada permukaan bumi. Sedangkan untuk bulan mengalami satu fase penuh bergantung pada letak posisi bulan, bumi, dan matahari yang mempengaruhi bentuk penampakan bulan di bumi (kita tahu bahwa cahaya bulan merupakan hasil pantulan dari sinar matahari), sedangkan fase bulan dipengaruhi oleh posisi bulan terhadap bumi dan matahari, yang dalam artian pada saat tertentu sinar matahari akan terhalang oleh bumi, sehingga bagian gelap bulan merupakan bayangan bumi.

Manakah di antara kedua pengertian hilal tersebut yang lebih ilmiah?

Pada tanggal 29 Agustus 2011, dari situs portal berita JPNN diberitakan bahwa hari raya Idul Fitri hampi 1 Syawal 1432 H pasti akan berbeda. Hal ini dikarenakan posisi bulan baru berada pada sudut kurang dari 2 derajat. Sedangkan pada posisi tersebut bisa dipastikan bahwa pantulan cahaya matahari oleh permukaan bulan tidak akan dapat disaksikan dari permukaan bumi, bahkan dengan alat tercanggih yang ada pada saat ini. Tapi meski bulan tidak menampakkan pantulannya, ia telah mengitari penuh permukaan bumi. Jadi secara perhitungan (hisab) telah diketahui bahwa pada tanggal 30 Agustus hilal, dengan definisi pertama, akan muncul dengan posisi kurang dari 2 derajat, sehingga ia mustahil akan tampak dari permukaan bumi. Sedangkan cara yang sama, perhitungan (hisab), hilal dengan definisi kedua akan muncul pada tanggal 31 Agustus karena pada saat itu posisinya berada lebih dari 2 derajat. Jadi apa yang menjadi polemik bukanlah pada metode mana yang lebih modern dalam penentuan bulan sabit baru, melainkan pada perbedaan definisi hilal.

Ada satu hal lain yang juga perlu dipahami dalam penanggalan Hijriah, yaitu awal hari dari suatu penanggalannya berbeda dengan kalender Masehi. Jika kalender masehi penanggalan baru selalu dimulai dari garis bujur 180 derajat (UTC±12) yang berada pada tengah laut pasifik, tapi tidak demikian dengan kalender Hijriah. Awal suatu hari dalam kalender baru bisa terjadi di mana saja. Sebagai contoh kota Jakarta Indonesia akan selalu mengalami tanggal 1 Januari enam jam lebih awal dibandingkan dengan kota Paris di Prancis. Sedangkan dalam penanggalan Hijriah, suatu daerah yang mengalami awal dari suatu penanggalan tidak bersifat tetap sebagaimana kalender Masehi yang selalu tetap dengan mengikuti pembagian waktu UTC. Dengan demikian, dalam penanggalan Hijriah, bisa jadi kota Prancis akan mengalami awal suatu penanggalan jika di kota tersebut telah tampak pertama kali bulan sabit baru atau di tempat manapun di belahan bumi yang lain yang muncul pertama kali penampakan bulan sabit baru. Oleh karena itu dalam penentuan awal suatu hari baru dalam suatu bulan dalam kalender Hijriah untuk beberapa kalangan masih mengandalkan pada (metode rukyat) metode pengamatan langsung pada kemunculan bulan sabit baru.
Namun ada berita gembira bahwa upaya menuju penyelesaian perbedaan telah ditegaskan pada fatwa MUI tentang penetapan awal Ramadan, Syawal, dan Dzulhijah yang dikeluarkan pada 16 Desember 2003 lalu. Isinya mewajibkan umat Islam Indonesia menaati ketetapan pemerintah tentang penetapan awal-awal bulan tersebut dan merekomendasikan upaya mencari kriteria titik temu yang dapat dijadikan pedoman bersama. Suasana kondusif ini sangat baik kita gunakan untuk mengkaji sumber perbedaan dan mencari titik temunya.
Perbedaan pendapat tentang hisab rukyat dan mathla' serta implikasinya telah menyita banyak energi umat Islam. Persoalan ijtihadiyah ini sangat berpotensi merusakkan ukhuwah islamiyah. Padahal kita akui bersama, tidak ada kebenaran mutlak atas pendapat ijtihadiyah. Sifatnya kadang sangat temporal dan situasional. Namun seringkali kita terpaku pada pendapat ulama yang zaman dan situasinya jauh berbeda dengan saat ini. Keterpakuan pada pendapat lama dan kesempitan wawasan akan perkembangan baru terbukti telah meng’kotak’kan umat Islam pada mazhab yang representasinya berasosiasi dengan ormas Islam. Di Indonesia, sekian puluh tahun pandangan hisab-rukyat didominasi oleh perbedaan dua ormas besar: Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, dengan beberapa varian pada ormas Islam lainnya.
Masalah ini kadang luput dari perhatian dalam mencari solusi umat secara integral, bukan parsial dalam komunitas ormas tertentu saja. Kita semua diajak untuk mengubah paradigma kita dari "perdebatan dalil hukum tentang metode yang paling sahih dan paling baik" menjadi "pencarian kriteria bersama untuk metode yang berbeda". Upaya maksimal yang kita lakukan dengan paradigma lama adalah "kita saling menghargai", kita tingkatkan dalam paradigma baru dengan "kita saling mengisi". Kita reorientasikan upaya ijtihadiyah kita dari "mencari kebenaran relatif ijtihadiyah" menjadi "ijtihadiyah menuju titik temu bersama". Sudahlah cukup energi umat dicurahkan untuk mengkaji sepenggal dalil yang kadang hanya berujung pada kompilasi pendapat lama.
Beberapa pendapat yang berkembang di Indonesia dalam masalah hisab rukyat akan diulas, termasuk kritik terhadapnya. Ada potensi untuk menuju titik temu antara pendapat-pendapat yang berkembang tersebut. Konsepsi titik temu astronomis diusulkan untuk jadi pemikiran bersama.

Substansi masalah

Dalil Alquran dan hadis tentang hisab rukyat sebenarnya tidak banyak. Tanpa menyebut satu persatu dalil Alquran dan hadis yang biasa dikemukakan oleh para ahli fiqih, secara umum dalil-dalil tersebut menyatakan hal berikut :
Hilal digunakan untuk menentukan waktu (kalender) dan ibadah (Q.S. 2: 189).
Penentuan waktu bisa dilakukan karena bulan mempunyai fase-fase dari sabit sampai kembali menjadi sabit yang tipis seperti pelepah kering dengan periode yang tertentu (Q.S. 36: 39). Dengan keteraturan peredarannya, matahari dan bulan dapat digunakan untuk perhitungan waktu dan penentuan bilangan tahun (Q.S. 10: 5, 55: 5).
Kemudian, tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang, karena masing-masing beredar pada garis edarnya (Q.S. 36: 40). Hukum Allah tentang peredaran matahari dan bulan di langit yang menentukan satu tahun itu 12 bulan, karenanya mengubah atau mengulurnya karena suatu alasan (misalnya strategi perang atau penyesuaian dengan musim) tidak dibenarkan (Q.S. 9: 36-37). Berpuasalahlah kamu semua bila melihatnya (hilal) dan berbukalah bila melihatnya, bila terhalang awan maka sempurnakan bilangan bulan (Sya’ban) 30 hari. (HR Bukhari Muslim).
Dari sekian dalil Alquran dan Hadis, pokok masalah yang utama adalah tidak adanya petunjuk operasional yang jelas, rinci, dan bersifat kuantitatif seperti halnya masalah waris. Tentu ini ada hikmahnya, umat Islam dengan demikian ditantang untuk melakukan riset ilmiah untuk memperjelas, merinci, dan menguantitaskan pedoman umum dalam nash Alquran dan Hadis. Sesuai dengan sifat riset ilmiah, tidak ada yang bersifat benar mutlak untuk selamanya dan di segala tempat. Semuanya bersifat dinamis.
Hal-hal pokok yang perlu diperjelas, diperinci, dan dikuantitaskan adalah sebagai berikut :
1. Apakah hilal itu? Definisi hilal bisa beragam, tetapi bila itu bagian dari riset ilmiah, semua definisi itu semestinya saling melengkapi. Bukan dipilih definisi parsial. Hilal harus didefinisikan mulai dari metode sederhana rukyat tanpa alat bantu sampai dengan alat canggih hasil teknologi terbaru. Hilal juga harus terdefinisi dalam kriteria hisab yang menjelaskan hasil observasi. Definisi lengkapnya misalnya, dirumuskan, hilal adalah bulan sabit pertama yang teramati di ufuk barat sesaat setelah matahari terbenam, tampak sebagai goresan garis cahaya yang tipis, dan bila menggunakan teleskop dengan pemroses citra bisa tampak sebagai garis cahaya tipis di tepi bulatan bulan yang mengarah ke matahari.
Dari data rukyatul hilal jangka panjang, keberadaan hilal dibatasi oleh kriteria hisab tinggi minimal sekian derajat bila jaraknya dari matahari sekian derajat dan beda waktu terbenam bulan-matahari sekian menit serta fraksi iluminasi sekian persen.
Fenomena rukyat dan hisab seperti itu harus saling mengisi, sehingga dapat saling menggantikan dalam kondisi tertentu, baik kondisi alamiah maupun kondisi pemikiran (misalnya pemilihan hisab saja atau rukyat saja seperti terjadi sekarang).
2. Sejauh mana keberlakuan rukyatul hilal atau mathla'? Kita semua mengetahui bahwa bumi itu bulat, bukan seperti selembar kertas. Dapat dipastikan ada daerah yang bisa melihat hilal lebih awal dari daerah lainnya. Tidak ada batasan fisik kuantitatif yang dapat dibuat dalam menentukan mathla' tanpa mempertimbangkan kondisi sebaran penduduk dan geopolitik pada suatu masa. Gagasan untuk membuat rukyat yang bersifat global akan berbenturan dengan sekian kesulitan, termasuk memaksa orang untuk berjaga menunggu kesaksian hilal yang belum pasti atau memaksa orang meng-qadha puasa bila terlewat. Sementara membuat batasan radius sekian derajat juga tidak ada alasan ilmiah yang sahih. Gagasan ahli fiqih dalam menentukan mathla' bersifat wilayatul hukmi (berdasarkan wilayah hukum) dipandang sangat beralasan karena berangkat dari konsep ulil amri sebagai pemersatu umat. Kalaulah kelak ada ulil amri yang ditaati oleh semua umat Islam sedunia, konsep wilayatul hukmi yang global bisa terwujud.
Ada masalah musykil yang mengemuka dan berimplikasi munculnya perbedaan pendapat yang berkepanjangan. Untuk mendapat jawaban atas masalah pokok tersebut di atas, umat Islam terus-menerus selama ratusan tahun mengkajinya dari penafsiran makna tersirat dari nash Alquran dan pendapat ulama terdahulu yang mungkin didasarkan pada perkembangan pemikiran pada zamannya.
Ada juga kecenderungan simplifikasi masalah sehingga solusinya bersifat parsial. Misalnya, sekian lama kita berdebat soal makna "rukyat" sehingga kemudian muncul ungkapan "rukyat bil qalbi", "rukyat bil ilmi", dan "rukyat bil 'ain". Sekian lama kita terpaku pada pendapat wujudul hilal atau tidak sahnya rukyat pakai alat yang bersifat memantulkan cahaya. Pemisahan rukyat dan hisab, penggunaan hisab wujudul hilal, atau kriteria tunggal tinggi bulan minimal 2 derajat adalah representasi bentuk simplifikasi permasalahan yang kemudian dianggap sebagai hasil pemikiran yang final oleh sebagian masyarakat.
Jadi, substansi masalah pokok hanyalah redefinisi "hilal" yang integral antara hisab dan rukyat dengan riset ilmiah yang terbuka. Riset tidak berarti harus memulai dari nol dengan merukyat sendiri, karena hal itu justru bukan metodologi riset yang efisien untuk masalah hisab rukyat yang memerlukan data jangka panjang dan cakupan wilayah yang sangat luas. Perlu keberanian mengoreksi pendapat sendiri dan sikap terbuka menerima pendapat lain yang mungkin sama sekali baru.
Hisab rukyat di Indonesia kini mencermati perkembangan praktik penentuan awal Ramadan, Idul Fitri, dan Idul Adha di Indonesia, kita bisa merujuk akar masalahnya pada kriteria yang digunakan oleh dua ormas besar, NU (Nahdlatul Ulama) dan Muhammadiyah. Ormas lain, seperti Persis (Persatuan Islam), walau sedikit berbeda kriterianya secara garis besar berada pada salah satu kriteria NU atau Muhammadiyah. Untuk mencari titik temu, perlu kita pahami kesamaan dan perbedaannya serta kemungkinannya untuk dipersatukan.
Keputusan Musyawarah Tarjih Muhammadiyah 1932 menegaskan bahwa datangnya awal bulan bukan hanya dengan rukyat, tetapi juga dengan hisab. Hisab bisa berdiri sendiri sebagai sumber pengetahuan datangnya Ramadan dan bulan-bulan qamariyah lainnya. Ini berbeda dengan NU yang menyatakan hisab hanya sebagai pembantu rukyat.
Muhammadiyah mendefinisikan hisab sebagai perhitungan astronomis tentang posisi hilal. Namun, hisab tidak mungkin membuat keputusan tanpa adanya kriteria yang disebut hilal. Tidak ada satu pun dalil dalam Hadis atau Alquran yang menyebutkan secara tegas apa itu hilal yang bisa diterjemahkan secara kuantitatif dalam kriteria hisab.
Pendekatan yang dilakukan Muhammadiyah adalah dengan pendekatan astronomis bahwa hilal adalah penampakan bulan yang paling kecil yang menghadap bumi beberapa saat setelah ijtimak. Inilah yang kemudian menjadi kriteria hisabnya bahwa awal bulan baru ditandai dengan berujudnya hilal. Tandanya adalah bila matahari terbenam lebih dahulu daripada bulan.
Dalam perkembangan pemikiran ijtihadiyah, penggunaan kriteria wujudul hilal patut dihargai, itu merupakan syarat untuk munculnya hilal, tetapi syarat itu belum cukup. Hilal telah terwujud bisa juga terjadi sebelum ijtimak. Hal itu terjadi di Indonesia pada Dzulhijah 1423 lalu. Di Kalimantan bagian selatan, Sulawesi bagian selatan, Nusa Tenggara, dan Papua bagian selatan bulan telah berujud pada saat magrib 1 Februari, tetapi belum terjadi ijtimak. Kasus yang ekstrem terjadi pada bulan Syaban 1423 (Oktober 2002). Saat itu di sebagian besar Indonesia bulan telah berujud, tetapi belum terjadi ijtima’.
Dalam beberapa kasus (misalnya, saat penentuan Idul Adha 1423), masalah ini teratasi dengan konsep mathla' wilayatul hukmi. Tetapi bila kasus ekstrem seperti Syaban 1423 dengan garis ijtima' saat magrib bergeser ke arah barat, ke luar Indonesia, konsep wilayatul hukmi tidak dapat mengatasi wujudul hilal sebelum terjadi ijtima'. Kriteria wujudul hilal kemudian perlu ditambahkan dengan kriteria ijtima’ sebelum magrib (ijtima’ qablal ghurub).
Dalam perkembangan saat ini berbagai argumentasi dikemukakan untuk mendukung kriteria wujudul hilal, termasuk dari penafsiran Q.S. 36: 39-40. Bahkan ada juga yang mencari pendekatan dari awal bulan secara astronomis yang diharapkan kesimpulannya akan sama dengan awal bulan dengan kriteria wujudul hilal. Pendekatan murni astronomis bisa menyesatkan bila digunakan untuk pembenaran penetapan awal bulan yang harus mempertimbangkan syariat. Bulan baru astronomi atau ijtima’ tidak ada dasar hukumnya untuk diambil sebagai batas awal bulan qamariyah. Sementara itu, posisi bulan di atas ufuk dalam definisi sesungguhnya wujudul hilal tidak punya arti secara astronomis, karena tidak mungkin teramati. Wujudul hilal hanya ada dalam teori. Apalagi kalau wujudul hilal tidak mempertimbangkan ijtima' qablal ghurub, "hilal" teoritik pun mungkin tidak ada karena belum terjadi ijtima’.
Sementara itu konsep mathla' wilayatul hukmi kontradiksi kalau diterapkan pada hisab murni, tanpa mengadopsi kriteria rukyat. Konsepsi mathla' berangkat dari ketidakpastian rukyat. Di satu daerah hilal tampak, sedangkan di daerah lain tidak tampak. Pada zaman Ibnu Abbas, mathla' dapat diterapkan tanpa masalah karena komunikasi antardaerah masih sangat buruk. Tetapi dengan makin baiknya komunikasi, kesaksian rukyatul hilal di suatu daerah segera tersebar. Dalam hal ini konsep mathla' diperlukan untuk memberikan kepastian keberlakuan rukyatul hilal itu. Dengan hisab murni, mathla' tidak diperlukan lagi. Garis tanggal dapat digunakan sebagai pembatas daerah yang mana yang masuk tanggal lebih dahulu dari daerah lainnya. Tentu dengan konsekuensi kemungkinan satu wilayah hukum terpecah dua.
Muhammadiyah telah berijtihad mengambil hisab secara mandiri tanpa bergantung rukyat secara fisik (bil fi'li) karena rukyat telah direpresentasikan dalam bentuk kriteria wujudul hilal. Dalam perkembangannya, kriteria wujudul hilal saja tidak cukup, perlu kriteria ijtima’ qablal ghurub. Kini Muhammadiyah perlu juga terbuka untuk mengkaji ulang ijtihadnya, dengan memasukkan faktor transparansi atmosfer dan kepekaan mata manusia yang lazim dalam telaah astronomis tentang visibilitas hilal (imkanur rukyat). Sehingga definisi hilal bukan lagi hilal teoretis yang tidak punya landasan qath'i dari syariat dan tidak punya dukungan astronomis, melainkan hilal yang benar-benar terbukti dapat dirukyat.
NAHDLATUL Ulama (NU) sebagai ormas Islam berhaluan ahlussunnah wal jamaah berketetapan mencontoh Rasulullah dan para sahabatnya dan mengikut ijtihad para ulama mazhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali). Dalam hal penentuan awal bulan, NU menetapkan harus dengan rukyatul hilal bil fi'li, dengan melihat hilal secara langsung. Bila berawan atau menurut hisab hilal masih di bawah ufuk, mereka tetap merukyat untuk kemudian mengambil keputusan dengan menggenapkan (istikmal) bulan berjalan menjadi 30 hari. Demikianlah ketentuan syariat yang diyakininya. Hisab hanya sebagai alat bantu, bukan sebagai penentu masuknya awal bulan qamariyah.
Kesaksian dapat diyakini karena saksi perlu disumpah. Seringkali sumpah dianggap lebih kuat dari argumentasi ilmiah berupa hasil hisab. Dalam beberapa kasus, bulan yang masih di bawah ufuk menurut perhitungan astronomi dilaporkan terlihat dan diambil sebagai dasar penetapan awal bulan, misalnya pada penetapan Idul Fitri 1413/1993. Namun sejak 1994, PBNU telah membuat pedoman bahwa kesaksian hilal bisa ditolak bila semua ahli hisab sepakat menyatakan hilal tidak mungkin dirukyat. Secara lebih tegas dinyatakan, kesaksian rukyatul hilal dapat ditolak bila tidak didukung ilmu pengetahuan atau hisab yang akurat.
Prinsip penolakan itu telah dilakukan dalam sidang itsbat penentuan Idul Fitri 1418/1998 yang menolak kesaksian di Cakung dan Bawean. Saat itu hilal masih di bawah kriteria imkanur rukyat 2 derajat. Namun prinsip itu belum secara konsisten dilaksanakan, karena PWNU Jawa Timur justru menerima kesaksian tersebut. Termasuk komentar negatif dari beberapa tokoh NU atas pernyataan Lajnah Falakiyah PBNU yang mengisyaratkan Idul Fitri jatuh pada 6 Desember 2002 sebelum ada rukyatul hilal, hanya mendasarkan pada kriteria yang sebenarnya telah menjadi pedoman PBNU. Tampaknya kriteria imkanur rukyat 2 derajat belum diterima di seluruh jajaran NU atau belum dimasyarakatkan. Padahal kriteria itu didasari oleh hasil rukyat sebelumnya tentang batas minimal ketinggian hilal yang teramati secara meyakinkan.
Hal ini bisa dirujuk dari pengamatan hilal awal Ramadan 1394/16 September 1974 yang dilaporkan oleh 10 saksi dari 3 lokasi yang berbeda. Tidak ada indikasi gangguan planet Venus. Perhitungan astronomis menyatakan, tinggi hilal sekitar 2 derajat dengan beda azimut 6 derajat dan umur bulan sejak ijtimak 8 jam. Jarak sudut Bulan-Matahari 6,8 derajat, dekat dengan limit Danjon yang menyatakan jarak minimal 7 derajat untuk mata manusia rata-rata.
Kriteria tinggi 2 derajat dan umur bulan 8 jam ini yang kemudian diadopsi sebagai kriteria imkanur rukyat MABIMS (negara-negara Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) pada 1996.
NU telah berijtihad menerima batasan imkanur rukyat 2 derajat, walaupun sosialisasi ke semua jajaran belum berjalan baik. Lagi-lagi, sebagai bagian proses ijtihad, penetapan imkanur rukyat 2 derajat patut dihargai. Ini lebih baik daripada tanpa kriteria seperti kasus Idulfitri 1413/1993 yang menerima kesaksian rukyatul hilal padahal bulan sudah di bawah ufuk menurut hisab astronomi yang akurat. Namun pedoman "didukung ilmu pengetahuan atau hisab yang akurat" masih membuka peluang yang lebih luas. Kriteria imkanur rukyat 2 derajat yang telah diterima, masih harus dikaji lagi secara ilmiah. NU juga harus terbuka mengkaji ulang ijtihadnya agar sesuai dengan ilmu pengetahuan atau hisab yang akurat sesuai pedoman yang ditetapkan. Sehingga definisi hilalnya bukan semata-mata hilal "syariat" yang diyakini benarnya dari sumpah pengamatnya, melainkan hilal sesungguhnya yang dapat dibuktikan secara ilmiah.

Konsepsi titik temu

Tanpa banyak diketahui oleh masyarakat umum, upaya-upaya menuju titik temu itu sudah mulai dilakukan oleh masing-masing ormas tersebut. NU yang dikenal kuat mempertahankan rukyatul hilal, telah banyak berubah dengan memperkenankan penggunaan alat untuk rukyat dan mengadopsi kriteria hisab imkanur rukyat (kemungkinan rukyat) untuk menolak kesaksian rukyat yang terlalu rendah. Muhammadiyah yang dikenal kuat juga mempertahankan hisab wujudul hilal, mulai mengkaji melalui workshop yang mengundang berbagai praktisi hisab rukyat, termasuk dari NU dan Persis. Momentum yang baik ini dapat digunakan untuk melakukan redefinisi tentang hilal. Sayang, Munas Tarjih Muhammadiyah awal Oktober 2003 lalu belum menghasilkan perubahan yang signifikan, walau ada titik terang untuk terus mengkaji.
Kriteria MABIMS pada awal 1990-an yang sebenarnya berpotensi mempertemukan kalangan hisab dan rukyat dalam mendefinisikan "hilal" sebenarnya telah diterima oleh hampir semua ormas Islam, kecuali Muhammadiyah. Kriteria itu telah digunakan oleh kalender nasional dan beberapa Ormas Islam.
Muhammadiyah, menurut salah seorang tokoh ahli hisabnya, keberatan karena anggapan kriteria itu tidak ada dukungan ilmiahnya. Memang benar, kriteria tersebut berdasarkan analisis sederhana, belum memperhitungkan beda azimut Bulan-Matahari seperti yang dilakukan pada kriteria astronomis. Kalau mau jujur, kriteria wujudul hilal yang saat ini digunakan Muhammadiyah juga tidak ada dukungan ilmiahnya.
Kehendak untuk mendasarkan kriteria "hilal" pada dukungan ilmu pengetahuan merupakan jalan menuju titik temu. Baik Muhammadiyah maupun NU memerlukan kriteria yang ada dukungan ilmu pengetahuannya. Kriteria wujudul hilal yang dipegang Muhammadiyah (dan Persis pasca-4 November 2002) dan kriteria imkanur rukyat 2 derajat yang dipegang NU (dan Persis pra-4 November 2002) sama-sama harus dikaji ulang. Kita berharap Muhammadiyah, NU, dan Persis serta ormas-ormas Islam lainnya terbuka untuk mencari titik temu. Para astronom bersedia menjadi mediator dan Depag telah menyatakan akan menjadi fasilitator untuk diskusi antarormas dan pakar astronomi.
Metode masing-masing ormas boleh berbeda. Namun, bila kriterianya sama dalam mendefinisikan hilal, insya Allah keputusannya bisa sama. Saudara-saudara kita yang menggunakan hisab hanya akan memutuskan masuknya tanggal bila ketinggian bulan dan syarat-syarat lainnya telah terpenuhi untuk terjadinya rukyatul hilal. Demikian juga saudara-saudara kita yang menggunakan rukyat hanya akan menerima kesaksian rukyatul hilal yang meyakinkan secara ilmiah, termasuk memenuhi syarat tinggi dan ketentuan lainnya.
Secara astronomis pengertian rukyatul hilal bil fi'ili, bil ain, bil 'ilmi, atau bi qalbi, sama saja, yaitu merujuk pada kriteria imkanur rukyat atau visibilitas hilal. Kriteria bersama antara hisab dan rukyat tersebut dapat ditentukan dari analisis semua data rukyatul hilal dan dikaji dengan data hisab. Dari analisis itu dapat diketahui syarat-syarat rukyatul hilal, berupa kriteria hisab-rukyat. Kriteria itu dapat dijadikan sebagai pedoman bagi para perukyat bil fi'li/bil 'ain (secara fisik dengan mata) untuk menolak kesaksian yang mungkin terkecoh oleh objek terang bukan hilal.
Kriteria itu juga dapat dijadikan sebagai pedoman bagi para ahli hisab yang melakukan rukyat bil ilmi/bi qalbi (dengan ilmu atau dengan hati) untuk menentukan masuknya awal bulan.
Secara astronomis, kriteria visibilitas hilal untuk hisab-rukyat telah banyak tersedia yang didasarkan pada data rukyatul hilal internasional.
Namun, data rukyatul hilal Indonesia perlu juga dikaji secara astronomis dalam membuat "Kriteria Hisab Rukyat Indonesia". Sebagai titik awal, kajian oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) dapat dijadikan sebagai embrio kriteria tersebut. Para ahli hisab-rukyat dari semua Ormas Islam bersama para pakar astronomi dari Observatorium Bosscha/Departemen Astronomi ITB, Planetarium/Observatorium Jakarta, LAPAN, Bakosurtanal, dan lainnya secara bertahap dapat mengkaji ulang kriteria tersebut dengan bertambahnya data rukyatul hilal di Indonesia.
Berdasarkan kajian astronomis yang dilakukan LAPAN (Djamaluddin, 2000, "Visibilitas Hilal di Indonesia", Warta LAPAN, Vol. 2, No. 4, Oktober 2000, Hlm. 137-136) terhadap data rukyatul hilal di Indonesia (1962-1997) yang didokumentasikan oleh Departemen Agama RI diperoleh dua kriteria "hilal" yang rumusannya disederhanakan sesuai dengan praktik hisab-rukyat di Indonesia. Awal bulan ditandai dengan terpenuhi kedua-duanya, bila hanya salah satu maka dianggap belum masuk tanggal. Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia adalah sebagai berikut :
1. Umur hilal minimum 8 jam.
2. Tinggi bulan minimum tergantung beda azimut Bulan-Matahari. Bila bulan berada lebih dari 6 derajat tinggi minimumnya 2,3 derajat. Tetapi bila tepat berada di atas matahari, tinggi minimumnya 8,3 derajat.
Diharapkan, sebagai titik awal, Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia menjadi kriteria baru menggantikan kriteria MABIMS yang telah ada. Pada tingkat Ormas Islam, kriteria ini diharapkan akan menggantikan kriteria yang berlaku saat ini, setelah dimasyarakatkan untuk difahami bersama. Untuk tingkat regional, kriteria ini dapat diusulkan sebagai kriteria MABIMS yang baru.
Bila ada data rukyatul hilal yang lebih rendah dari kriteria yang dilaporkan oleh tiga atau lebih lokasi pengamatan yang berbeda dan tidak ada objek terang (planet atau lainnya) sehingga meyakinkan sebagai hilal, maka rukyatul hilal tersebut dapat diterima dan digunakan sebagai data baru untuk penyempurnaan kriteria.
Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia yang mendefinisikan "hilal" semestinya merupakan kriteria dinamis yang masih perlu disempurnakan berdasar data-data baru rukyat di Indonesia. Namun, untuk memberikan kepastian, kriteria ini diharapkan bisa berlaku dan bersifat mengikat untuk masa tertentu yang disepakati (misalnya setiap 5 tahun). Dalam hal masih terjadi perbedaan karena masalah penafsiran fiqih dalam beberapa kasus (misalnya, kasus penerapan istikmal pada saat mendung padahal posisi hilal telah memenuhi kriteria dan kasus penentuan Idul Adha yang berbeda hari dengan Arab Saudi) atau ditemukannya rukyatul hilal yang lebih rendah dari kriteria, prinsip ukhuwah islamiyah hendaknya dikedepankan dalam mengatasi masalah ijtihadiyah ini.

Kesimpulan

Energi umat Islam yang telah tersita untuk memperdebatkan masalah hisab rukyat selama ratusan tahun kita cukupkan sampai sekian saja. Masih banyak masalah yang lebih mendesak untuk diselesaikan dalam era globalisasi saat ini, termasuk masalah korupsi, liberalisme, sekularisme, zionisme dan wahabi yang kini mulai dijadikan musuh bersama. Kita fokuskan pemikiran kita dalam masalah hisab rukyat untuk mencari titik temu. Dengan semua perkembangan ini, usaha merumuskan definisi tunggal tentang hilal (di Indonesia) tidaklah laksana punguk merindukan Jupiter(bulan udah pernah masalahnya hehehe).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar