Rabu, 22 Juni 2011

MENCAMPURI ISTRI (JIMA')


Pelajaran mencampuri (jima’) istri


Dalil Qur’an  surah al.baqoroh ayat 223
“Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaiman saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amalan-amalan yang baik) untuk dirimu, bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemuiNya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman”

Asbabun nuzul
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa pada zaman nabi orang-orang yahudi beranggapan, apabila menggauli istrinya dari belakang kefarjinya, anaknya akan lahir bermata juling, maka turunlah ayat tersebut yang membantah anggapan tersebut.
Hal ini diriwayatkan oleh bukhori, muslim, abu daud dan tirmidzi yang bersumber dari jabir.
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa umar bin khottob dating menghadap Rasulullah Saw dan berkata: Ya Rasulullah celakalah saya! Nabi bertanya: apakah yang menyebabkan kamu celaka?                Ia menjawab: aku pindahkan sukdufku tadi malam ( berjima’ dengan istriku dari belakang). Nabi Saw terdiam dan turunlah ayat tersebut yang kemudian beliau bersabda: berbuatlah dari muka ataupun dari belakang, tetapi hindarkanlah dubur (anus) dan yang sedang haidl”.

Hal ini diriwayatkan oleh ahmad dan tirmidzi yang bersumber dari ibnu abbas.
Dalam riwayat lain dikemukakan orang-orang pada waktu itu menganggap munkar kepada seseorang menggauli isterinya dari belakang. Maka turunlah ayat tersebut yang menyalahkan sikap dan anggapan tersebut.

Hal ini Diriwayatkan oleh jarir, abu ya’la dan ibnu marduwaih yang bersumber dari zaid bin aslam, dari ‘atha bin yasar bersumber dari abi sa’id al-khudri.
Juga Diriwayatkan oleh al-bukhari yang bersumber dari ibnu umar seperti ini.
Dalam riwayat lainnya lagi dikemukakan bahwa turunnya ayat tersebut sebagai pemberian kelonggaran dalam menggauli istri dari belakang.
Hal ini diriwayatkan oleh at-thabrani dalam kitab al-ausath dengan sanat yang kuat yang bersumber dari ibnu umar.
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa penghuni kampong disekitar yatsrib (madinah), tadinya menyembah berhala yang berdampingan dengan kaum yahudi ahli kitab. Mereka menganggap bahwa kaum yahudi terhormat dan berilmu, sehingga mereka banyak meniru dan menganggap baik segala perbuatannya. Salah satu perbuatannya yang dianggap baik oleh mereka ialah tidak menggauli istrinya dari belakang.

Adapun penduduk kampung sekitar Quraisy (Mekkah) menggauli istrinya dengan segala keleluasaannya. Ketika kaum muhajirin (orang mekkah) tibba dimadinah, salah seorang kaum muhajirin menikah dengan seorang wanita anshor (orang madina). Maka orang itu berbuat seperti kebiasaany, akan tetapi ditolak oleh istrinya denganberkata: “kebiasaan orang sini (madinah) hanya menggauli istrinya dari muka saja”. Kejadian ini akhirnya sampai kepada Nabi Saw sehingga turunlah ayat tersebut yang membolehkan menggauli istrinya dari depan, belakang, atau terlentang, tetapi ditempat yang lazim.
Hal ini diriwayatkan oleh abu daud dan al hakim yang bersumber dari ibnu abbas.
Keterangan menurut al hafidh ibnu hajar dalam syarah bukhari bahwa sebab turunya ayat tersebut yang dikemukakan oleh abi sa’id mungkin tidak sampai kepada ibnu abbas sehingga ia meragukannya. Sedangkan yang dikeluarkan oleh ibnu umar sanadnya sampai kepada ibnu abbas dan mashur (terkenal sanadnya).

Wallahu 'alam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar