Alhamdulillah, segala puji kita panjatkan kepada
Penguasa alam semesta ini. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan
kepada Rasulullah, keluarga beliau dan seluruh sahabat beliau.
Para ulama telah bersilisih pendapat tentang permasalahan
: “Apakah wanita hamil dan menyusui jika meninggalkan puasa karena udzur, harus
mengqodlo atau cukup membayar fidyah saja?”.
Terdapat beberapa pendapat dalam permasalahan ini,
hanya saja pada kesampatan ini penulis hanya coba memaparkan dua pendapat yang
terkuat dari sekian pendapat para ulama dalam permasalahan ini. Akan tetapi
sebelumnya penulis ingin mengingatkan kepada para pembaca sekalian bahwasanya
permasalahan ini adalah permasalahan khilafiyah dikalangan para ulama,
bagaimanapun penulis berusaha memilih pendapat yang terkuat, toh
permasalahannya tetap merupakan permasalahan khilaf yang mengharuskan kita
untuk berlapang dada dan bertoleransi dengan pendapat yang lain, tanpa ada
sedikitpun dalam hati kita pikiran yang negatif terhadap orang yang menyelisihi
pendapat kita, terlebih lagi menuduh orang yang menyelisihi kita hanya
mengikuti hawa nafsu atau hanya mencari-cari keringanan. Karena tidak ada nash
yang tegas dalam permasalahan ini. Syaikh Al-’Utsaimin berkata, “Dan sebab
khilaf adalah tidak adanya nash yang tegas yang shahih dan jelas” (As-Syarhul
Mumti’ 6/350)
Pendapat Pertama
Pendapat Pertama
Keduanya wajib mengqodho tanpa harus membayar fidyah.
Dan hal ini berlaku secara mutlaq apakah keduanya berbuka karena khawatir
terhadap diri mereka sendiri ataukah karena khawatir terhadap anak-anak mereka
ataukah karena keuda-duanya.
Pendapat ini adalah pendapat madzhab Hanafi (Lihat
Al-Mabshuuth 3/99 dan Badaai’ As-Shonaai’ 2/97), dan pendapat ini sangatlah
kuat mengingat kekuatan dalil yang ada, oleh karenanya pendapat inilah yang
dipilih oleh mayoritas para ulama di zaman kita, seperti Syaikh Bin Baaz (lihat
majmu’ al-fatawa 15/225) , Syaikh Utsaimin (lihat Asy-Syarhul Mumti’ 6/220),
dan Al-Lajnah Ad-Daimah (lihat fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah 10/226). Bahkan Ibnu
Qudamah berkata, “Wanita hamil dan wanita menyusui jika khawatir terhadap diri
mereka sendiri (bukan kawatir terhadap anak mereka-pent) maka boleh bagi mereka
berdua untuk berbuka dan wajib bagi mereka berdua untuk qodho saja, dan kami
tidak mengetahui adanya khilaf diantara para ahli ilmu dalam hal ini”
(Al-Mughni 4/393-394). Meskipun penafian khilaf yang disampaikan oleh Ibnu
Qudamah berkaitan dengan kondisi khusus -yaitu jika keduanya berbuka karena
kawatir terhadap diri mereka berdua sendiri-, akan tetapi ini jelas
bertentangan dengan pendapat yang menyatakan bahwa keduanya hanya cukup
membayar fidyah secara mutlaq tanpa harus mengqodho baik khawatiran karena diri
mereka sendiri atau karena anak-anak mereka atau karena kedua-duanya.
Kesimpulan dalil yang dikemukakan oleh para ulama yang
memilih pendapat yang pertama ini adalah sebagai berikut :
Pertama : Hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik
إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ شَطْرَ
الصَّلاَةِ ، وَعَنِ الْمُسَافِرِ وَالْحَامِلِ وَالْمُرْضِعِ الصَّوْمَ أَوِ
الصِّيَامَ
Sesungguhnya Allah meringankan bagi seorang musafir setengah sholat dan meringankan puasa bagi musafir, wanita hamil.
(Hadits dengan lafal ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya 31/392 no 19047, Ibnu Majah dalam sunannya 1/533 no 1667, dan Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubro 4/231 )
Sisi pendalilan di sini, bahwasanya Allah
menggandengkan hukum wanita hamil dan wanita menyusui dengan musafir dalam hal
sama-sama diberi keringanan untuk berbuka (tidak berpuasa), hal ini menunjukan
bahwa hukum antara wanita menyusui dan wanita hamil juga sama dengan hukum
musafir. Jika musafir wajib mengqodho puasa yang ditinggalkannya dan tidak
membayar fidyah maka demikian juga dengan wanita hamil dan wanita menyusui.
Kedua : Dalil qiyas, dan ini merupakan dalil terkuat,
karena kondisi wanita hamil dan wanita menyusui adalah kondisi seseorang yang
mendapatkan suatu udzur yang kelak akan hilang udzur tersebut. Hal ini
sebagaimana kondisi seorang musafir yang memiliki udzur safar yang tentunya
memberatkan, dan suatu saat dia akan berhenti dari safarnya sehingga hilang
udzurnya. Sebagaimana juga seorang yang sakit, ia memiliki udzur sakit dan
suatu saat dia akan sembuh sehingga udzurnya hilang. Maka demikian juga dengan
wanita hamil dan menyusui, suatu saat udzur mereka akan hilang, oleh karenanya
mereka lebih pantas untuk diqiyaskan kepada orang musafir dan orang sakit.
Berkata As-Sirokhsi, “Karena wanita yang hamil atau wanita yang menyusui
mendapatkan “haroj” (kepayahan/kesulitan) tatkala puasa, dan kesulitan
merupakan udzur untuk berbuka sebagaimana orang sakit dan musafir, dan wajib
bagi wanita hamil atau menyusui qodho’ tanpa bayar fidyah” (Al-Mabshuuth 3/99,
Lihat juga penjelasan Syaikh al-’Utsaimin dalam Majmuu’ Fataawa beliau 19/165 dan
juga penjelasan Syaikh Bin Baaz dalam Majmu” fataawaa beliau 15/225, 227)
Al-Kaasaani berkata, “Adapun kewajiban membayar fidyah
maka syaratnya adalah ketidakmampuan utnuk mengqodho puasa, yaitu
ketidakmampuan yang tidak bisa diharapkan akan hilang hingga sampai meninggal
dunia. Karenanya fidyah tidak wajib kecuali hanya pada manula. Tidak wajib
fidyah bagi orang sakit dan musafir, dan tidak juga wajib fidyah bagi wanita
hamil dan wanita menyusui” (Badaai’ As-Shonaai’ 2/105)
Bahkan Al-Kaasaani berkata tentang firman Allah :
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ
فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. (QS 2:184)
Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. (QS 2:184)
Beliau berkata, “Bukanlah yang dimaksud dalam ayat ini
dzat sakit, karena orang yang sakit yang tidak mendapat kemudhorotan karena
puasa maka tidak boleh baginya untuk berbuka. Maka penyebutan sakit di sini
adalah kinayah untuk kondisi yang terdapat pada seseorang yang jika ia berpuasa
maka bisa mendapatkan kemudhorotan. Dan kondisi ini juga terdapat pada wanita
hamil dan wanita menyusui, maka keduanya masuk (dalam ayat ini-pent) untuk
mendapatkan keringanan berbuka” (Badaai’ As-Shonaai’ 2/97)
Pendapat Kedua
Keduanya hanya wajib membayar fidyah secara mutlaq
tanpa harus mengqodho. Ini adalah pendapat Ibnu Umar, Ibnu Abbas–radhiollahu
‘anhum-
Ibnul Mundzir berkata, “Para ulama dalam masalah ini
ada empat madzhab.
- Ibnu Umar, Ibnu Abaas, dan Sa’iid bin Jubair
berkata, “Keduanya (wanita hamil dan wanita menyusui) berbuka dan memberi makan
(fidyah), dan tidak wajib qodho atas keduanya.
- ‘Atoo bi Abi Robaah, Al-Hasan, Ad-Dhohaak,
An-Nakho’i, Az-Zuhri, Robi’ah, Al-Auzaa’i, Abu Hanifah, Ats-Tsauri, Abu ‘Ubaid,
Abu Tsaur, dan Ashaab Ar-Ro’yi berpendapat mereka berdua berbuka dan mengqoho
tanpa bayar fidyah. Hukum keduanya seperti hukum orang sakit.
- As-Syafi’i dan Ahmad berkata : Keduanya berbuka dan
mengqodho serta membayar fidyah. Pendapat ini juga diriwayatkan dari Mujahid.
- Malik berkata : wanita hamil berbuka dan mengqodho
tanpa fidyah dan wanita menyusui berbuka dan mengqoho serta membayar fidyah”
(sebagaimana dinukil oleh An-Nawawi dalam Majmu’ Sarhul Muhadzdzab 6/275)
Pendapat kedua inilah yang dipilih oleh Syaikh
Al-Albani dan diikuti oleh kedua murid beliau Syaikh Ali Hasan dan Syaikh Salim
Al-Hilali (lihat sifat shoum An-Nabi hal 80-85)
Kesimpulan argument yang diajukan oleh para pemilik
pendapat kedua ini adalah bahwasanya pendapat ini adalah pendapat sebagian
sahabat diantaranya Ibnu Abbas. Beliau pernah berkata
إذا خَافَتِ الحاملُ على نفسها والمرضِعُ على
ولدها في رمضان : يُفطران ويُطعمان مكانَ كل يومٍ مسكيناً، ولا يقضيان صوماً
“Jika seorang wanita hamil mengkawatirkan dirinya dan wanita menyusui mengkawatirkan anaknya di bulan Ramadhan (jika mereka berdua berpuasa) maka mereka berdua berbuka dan membayar fidyah untuk setiap hari dengan memberi makan kepada seorang miskin, dan keduanya tidak mengqodho.” (Diriwayatkan oleh At-Thobari no 2758. Syaikh Al-Albani berkata, “Isnadnya shahih sesuai dengan persyaratan Imam Muslim lihat al-Irwaa 4/19)
Bahkan Ibnu Abbas menganggap bahwa wanita hamil dan
wanita menyusui sama hukumnya seperti orang manula yang berat melakukan puasa,
dimana mereka hanya diwajibkan untuk membayar fidyah tanpa harus mengqodho.
Beliau pernah melihat wanita yang hamil atau menyusui maka beliau berkata,
أَنْتِ بِمَنْزِلَةِ الَّذِي لاَ يُطِيْقُ، عَلَيْكِ
أَنْ تُطْعِمِي مَكَانَ كُلَّ يَوْمٍ مِسْكِيْنًا وَلاَ قَضَاءَ عَلَيْكِ
“Kedudukanmu seperti orang yang tidak mampu untuk berpuasa, maka hendaknya engkau memberi makan seorang miskin untuk ganti setiap hari berbuka, dan tidak ada qodho bagimu.” (Diriwayatkan oleh Al-Bazzaar dalam musnadnya 11/227 no 4996 dan Ad-Daruqthni dalam sunannya 3/196 no 2382 dan Ad-Daruquthni berkata, “Ini adalah isnad yang shahih”)
“Kedudukanmu seperti orang yang tidak mampu untuk berpuasa, maka hendaknya engkau memberi makan seorang miskin untuk ganti setiap hari berbuka, dan tidak ada qodho bagimu.” (Diriwayatkan oleh Al-Bazzaar dalam musnadnya 11/227 no 4996 dan Ad-Daruqthni dalam sunannya 3/196 no 2382 dan Ad-Daruquthni berkata, “Ini adalah isnad yang shahih”)
Beliau juga berkata,
الحاملُ والمرضعُ تفطر ولا تَقٌضِي
Wanita hamil dan wanita menyusui berbuka dan tidak
mengqodho (Diriwayatkan oleh Ad-Dahruqthni dalam sunannya 2/196 no 2385, dan
dishahihkan oleh beliau)
Ibnu Umar juga berpendapat seperti pendapat Ibnu
Abbas.
أَنَّ امْرَأَةً سَأَلَتْهُ وَهِيَ حُبْلَى فَقَالَ
أَفْطِرِي وَأَطْعِمِي عَنْ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا ، وَلاَ تَقْضِي
Ada seorang wanita hamil bertanya kepada Ibnu Umar,
maka Ibnu Umar berkata, “Berbukalah dan berilah makan kepada seorang miskin
untuk mengganti setiap harinya, dan janganlah mengqodhlo”
(
HR Ad-Daruquthni dalam sunannya
2/196 no 2388. Abdurrozzaq dalam mushonnafnya 4/217 no 7558, 7559, dan 7561
juga meriwayatkan atsar dari Ibnu Umar dengan makna yang sama dengan riwayat
diatas)
Dan tidak diketahui adanya sahabat yang lain yang
menyelisihi Ibnu Abbas. Bahkan pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Umar. Dan
perkataan seorang sahabat adalah sebuah hujjah selama tidak diketahui ada
sahabat lain yang menyelisihi dan tidak menyelisihi nash. Ibnu Qudamah berkata,
“Tidak ada dari para sahabat yang menyelisihi mereka berdua (Ibnu Abbas dan
Ibnu Umar)” (Al-Mughni 4/394, meskipun Ibnu Qudamah membawakan atsar Ibnu Abbas
dan Ibnu Umar pada jika wanita hamil dan menyusui berbuka karena kawatir kepada
anak mereka)
Dan perkataan seorang sahabat merupakan hujjah selama
tidak ada sabahat lain yang menyelishi, hal ini disepakati oleh para empat imam
madzhab (adapun tahqiq dalam permasalahan ini para pemabaca bisa merujuk kepada
sebuah bahasan yang ditulis oleh DR Tarhiib Ad-Dausari dengan judul Hujjiyyatu
qoulus Shohaabiy ‘inda As-Salaf, dan sebelumnya silahkan membaca penjelasan
Ibnul Qoyyim dalam kitabnya I’laamu’ Muwaqqi’iin 5/548 dst). Syaikh
Al-’Utsaimin berkata, “Dan perkataan (pendapat) seorang sahabat adalah hujjah
selama tidak menyelisihi nash” (As-Syarhul Mumti’ 6/446). Kita tidak mengatakan
bahwa pendapat Ibnu Abbas dan Ibnu Umar dihukumi marfu’ kepada Nabi, karena
kalau dihukumi marfu’ maka tentu jelas kekuatan hukumnya sebagaimana hadits
Nabi. Akan tetapi kita katakan bahwa pendapat mereka berdua merupakan ijtihad,
dan ijtihad itulah yang dikenal oleh para ulama ushul dengan istilah qoulus
shohaabiy, yang hal itu merupakan hujjah jika tidak ada sahabat lain yang
menyelisihi.
Renungan :
Pertama : Dari penjelasan diatas maka jelas bahwa
dalil pendapat yang pertama yang paling kuat adalah dalil qiyas, yaitu
mengqiyaskan wanita hamil dan menyusui dengan orang sakit dan musaafir, dengan
‘illah yang sama yaitu mereka semua sama-sama memiliki udzur yang bisa hilang
dikemudian hari.
Kedua : Adapun dalil dari hadits Anas yang dijadikan
hujjah oleh pendapat pertama, sisi pendalilannya adalah dikenal oleh para ahli
usul dengan istilah “Dalaalatul iqtiroon”, dan sisi pendalilan seperti ini
adalah pendalilan yang lemah sebagaimana dijelaskan oleh para ulama ahli ushul.
Bukankah jika ada seseroang berkata, “Allah telah
menggugurkan kewajiban puasa bagi seroang yang sakit dan orang yang tua yang
tidak mampu berpuasa”, maka tentu ini adalah perkataan yang benar, namun tidak
melazimkan bahwa keduanya (orang sakit dan orang tua) sama dalam hal membayar
puasa mereka yang batal. Karena orang yang tua dengan membayar fidyah sedangkan
orang yang sakit dengan mengqodho. Oleh karenanya hadits Anas di atas juga
dijadikan dalil oleh para pemihak pendapat yang kedua (lihat At-Tarjiih fi
Masaaili As-Shiyaam waz Zakaat hal 62), karena telah datang satu riwayat dari
hadits Anas tersebut dengan lafal
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ
شَطْرَ الصَّلاَةِ ، وَعَنِ الْمُسَافِرِ وَالْحَامِلِ أَوِ الْمُرْضِعِ الصَّوْمَ
، أَوِ الصِّيَامَ
Sesungguhnya Allah menggugurkan setengah sholat bagi musafir dan menggugurkan puasa bagi wanita hamil atau menyusui.
(HR Ahmad no 19047 dan Ibnu Majah no 1667)
Sesungguhnya Allah menggugurkan setengah sholat bagi musafir dan menggugurkan puasa bagi wanita hamil atau menyusui.
(HR Ahmad no 19047 dan Ibnu Majah no 1667)
Kalau ada yang berkata, “Bukankah Allah
menggugurkan setengah sholat (2 rakaat) bagi orang musafir dan Allah tidak
memerintahkan untuk mengqodho’nya?, maka demikian juga dengan pengguguran puasa
bagi wanita hamil dan menyusui tidak perlu diqodho sebagaimana setengah sholat
yang tidak perlu diqodho oleh musafir jika telah selesai safarnya”. Maka kita
katakan ini juga merupakan pendalilan dengan dalaalaatul iqtiroon, dan
pendalilan ini lemah.
Ketiga : Tidak bisa dikatakan bahwa pendapat Ibnu
Abbas dan Ibnu Umar sebagai ijmaa’ sukuuti, mengingat bahwasanya tidak
disebutkan bahwa pendapat mereka tersohor dikalangan para sahabat dan tidak ada
sahabat yang menyelisihi. Yang benar kita katakana bahwa tidak ada dalil yang
menunjukan bahwa pendapat mereka berdua tersohor di kalangan para sahabat,
namun juga tidak sampai kepada kita dengan riwayat yang shahih ada sahabat lain
yang menyelisihi mereka dalam permasalahan ini.
Keempat : Adapun riwayat yang menyebutkan bahwa Ibnu
Abbas memerintahkan wanita hamil dan wanita menyusui untuk mengqodho maka
riwayat tersebut tidaklah shahih.
Riwayat tersebut adalah sebagaimana diriwayatkan oleh
Abdurrozzaq dalam mushonnaf beliau bahwasanya Ibnu Abbas berkata
تُفْطِرُ الْحَامِلُ وَالْمُرْضِعُ فِي رَمَضَانَ
وَتَقْضِيَانِ صِيَاماً وَلاَ تُطْعِمَانِ
“Wanita hamil dan wanita menyusui berbuka di bulan Ramadhan dan keduanya mengqhodo puasa mereka tanpa memberi makan (tanpa fidyah)” (Al-Mushonnaf 4/218 no 7564)
“Wanita hamil dan wanita menyusui berbuka di bulan Ramadhan dan keduanya mengqhodo puasa mereka tanpa memberi makan (tanpa fidyah)” (Al-Mushonnaf 4/218 no 7564)
Riwayat ini adalah riwayat yang lemah atau syadz karea
beberapa hal;
Pertama : Riwayat ini adalah riwayat ‘an’anah Ibnu
Juraij, dan Ibnu Juraij adalah mudallis. Karena Abdurrozzaq berkata :
عن ابن جريج عن عطاء عن ابن عباس
Dari Ibni Juraij dari ‘Athoo’ dari Ibnu ‘Abaas
Ibnu Juraij -yaitu Abdul Malik bin Abdil Aziz bin
Juraij- dimasukkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar pada tobaqoh (tingkatan) ke tiga
dari tobaqoot al-Mudallisiin (Tingkatan-tingkatan para mudallis). Ibnu Hajar
telah membagi para mudallis menjadi lima tingkatan, dan tingkatan yang ketiga
adalah
مَنْ أَكْثَرَ مِنَ التَّدْلِيْسِ فَلَمْ يَحْتَج
الأَئِمَّةُ مِنْ أَحَادِيْثِهِمْ إِلاَّ بِمَا صَرَّحُوا فِيْهِ بِالسَّمَاعِ.
“Yaitu para mudallis yang banyak melakukan tadlis sehingga
para imam tidak berhujjah dengan hadits-hadits mereka kecuali jika mereka
menjelaskan dengan As-Samaa’ (yaitu tatkala meriwayatkan menyebutkan lafal yang
menunjukan adanya pendengaran langsung seperti سَمِعْتُ -pent). (Tobaqootul
Mudallisiin hal 13)
Adapun riwayat ‘an’anah nya Ibnu Juraij dari ‘Athoo’
maka para ulama telah khilaf apakah diterima secara muthlaq atau ditolak secara
muthlaq mengingat Ibnu Juraij banyak meriwayatkan hadits dari ‘Atoo’ bin Abi
Robaah. (lihat al-Irwaa’ 3/97). Akan tetapi yang lebih rojih bahwasanya
‘an’anah ibnu Juraij tidak diterima secara mutlaq kecuali jika “sorroha bit
tahdiits” karena sebab-sebab berikut ini
- Ibnu Juraij banyak melakukan tadlis terhadap
rawi-rawi yang lemah dan majhul. Ibnu Hajar berkata tentangnya, “An-Nasaa’i dan
yang lainnya mensifati Ibnu Juraij dengan tadlis. Ad-Daaruquthni berkata,
“Seburuk-buruk tadlis adalah tadlisnya Ibnu Juraij, karena tadlisnya buruk, ia
tidak mentadlis kecuali pada hadits-hadits yang ia dengarkan dari orang yang
majruh” (Tobaqootul Mudallisiin hal 41). Imam Ahmad berkata, “Jika Ibnu Juraij
berkata , “Qoola fulaan wa qoola fulaan”, maka ia akan mendatangkan
hadits-hadits yang mungkar. Dan jika ia berkata, “Akhbaroni wa sami’tu”
maka cukuplah engkau dengan hal itu (artinya terimalah riwayatnya-pent)” (siyar
A’laam An-Nubalaa’ 6/328). Imam Ahmad juga berkata, “Jika Ibnu Juraij berkata,
“Qoola fulaan” maka hati-hatilah” (siyar A’laam An-Nubalaa’ 6/328)
- Ternyata Ibnu Juraij terkadang Ibnu Juraij
berpendapat bolehnya menggunakan sigoh “Akhbaroni” dan “Haddatsani” pada
periwayatan dengan ijaazh dan munaawalah
(lihat kitab At-Tadliis fil hadiits karya DR Musfir
Ad-Dumaini hal 383-386). Bahkan DR Musfir Ad-Dumaini memasukkan Ibnu Juraij
dalam tingkatan ke empat dari para tukang tadliis yang disifati oleh Ibnu
Hajar, “Para perawi yang telah disepakati oleh para ulama bahwasanya
hadits-hadits (periwayatan) mereka tidak bisa dijadikan hujjah kecuali jika
mereka menjelaskan (dengan shigoh periwayatan yang menunjukan adanya
pendegnaran secara langsung-pent), karena banyak tadlis mereka lakukan terhadap
rawi-rawi yang lemah dan majhul” (Tobaqootul Mudallisiin hal 14)
Kedua : Jika berpendapat bahwa riwayat ‘an’anah Ibnu
Juraij dari ‘Athoo itu adalah riwayat yang shahih maka kita katakan bahwa riwayat
ini syadz karena dua hal
- Riwayat ini bertentangan dengan riwayat yang
ma’ruf dari Ibnu Abbas yang shahih dari banyak jalur (sebagaimana telah
dijelaskan penjang lebar tentang jalan-jalan riwayatnya oleh Syaikh Al-Albani
dalam Irwaaul Golil 4/17)
- Hampir seluruh fuqohaa’ dari empat madzhab
dari dulu hingga sekarang tidak ada yang mengisyaratkan kepada riwayat Ibnu
Juraij di atas, bahkan mereka semua mengakui bahwa pendapat Ibnu Abbas dalam
masalah ini adalah wanita hamil dan wanita menyusui cukup membayar fidyah dan
tidak perlu mengqodho. Demikian juga para ulama yang menyebutkan tentang khilaf
dalam permasalahan ini, mereka mengakui akan pendapat Ibnu Abbas dari riwayat
yang shahih bahwasanya wanita hamil dan menyusui hanya cukup membayar fidyah
tanpa qodho
Oleh karenanya hingga saat ini penulis belum menemukan
ada ulama yang berkata bahwa “riwayat Ibnu Juraij di atas shahih dan kita tidak
tahu mana yang lebih dahulu dari pendapat Ibnu Abbas, apakah wanita hamil
dan menyusui cukup membayar fidyah tanpa qodho?, ataukah pendapatnya : wanita
hamil dan menyusui hanya mengqodho tanpa membayar fidyah”
Kesimpulan
Dari sisi dalil maka penulis lebih condong untuk
memilih pendapat Ibnu Abbas dan Ibnu Umar bahwasanya wanita yang hamil dan
menyusui hanya diwajibkan membayar fidyah tanpa harus mengqodho mengingat bahwa
perkataan seorang sahabat merupakan hujjah selama tidak ada sahabat lain yang
menyelisihi. Dan hujjah ini lebih kuat daripada hujjah mengqiyaskan wanita
hamil dan menyusui dengan musafir dan orang sakit. Dan hingga saat ini penulis
belum menemukan ada sahabat yang lain –yang diriwayatkan dengan sanad yang
shahih- yang menyelisihi Ibnu Abbas dan Ibnu Umar.
Akan tetapi jika ternyata diketahui ada sabahat lain
yang menyelisihi Ibnu Abbas dan Ibnu Umar maka gugurlah pendalilan para pemihak
pendapat kedua, dan kuatlah dalil qiyas yang dikemukakan oleh para pemihak
pendapat yang pertama.
Kembali lagi penulis mengingatkan bahwa
permasalahannya adalah permasalahan khilaf yang kuat yang tidak ada nash yang
tegas dalam permasalaha ini. Syaikh Al-’Utsaimin berkata, “Dan sebab khilaf
adalah tidak adanya nash yang tegas yang shahih dan jelas” (As-Syarhul Mumti’
6/350)
Wallahu A’lamu bis Showaab.
Kitab Rujukan
1. Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, tahqiq Syu’aib
Al-Arnauth, ‘Adil Mursyid, dll, Isyroof : DR Abdulloh bin Abdul Muhsin
At-Turki, Muassasah Ar-Risaalah, cetakan pertama (1421 H-2001 M)
2. Sunan Ibni Maajah, tahqiq : Muhammad Fu’ad Abdul
Baaqi, Darul Fikr
3. As-Sunan Al-Kubro, Al-Baihaqi, Mathba’ah Majlis
Daairotil Ma’aarif al-’Utsmaaniah (1352 H)
4. As-Syarhul Mumti’ ‘Alaa Zaadil Mustaqni’, Muhammad
bin Sholeh Al-’Utsaimin, Daar Ibnul Jauzi, cetakan pertama (1424)
5. Majmu’ Fatawa wa Rosaail Syaikh Muhammad bin Sholeh
al-’Utsaimin, jam’ wa tartiib : Fahd bin Naashir bin Ibroohiim As-Sulaimaan,
Daar At-Tsuroyyaa
6. Syarh Az-Zarksyi ‘alaa Mukhtshor Al-Khiroqi
fil Fiqh ‘alaa madzhab al-Imam Ahmad bin Hanbal, tahqiq : Abdullah bin
Abdirrohman Al-Jibriin, Maktbah Al-’Ubaikan, Cetakan pertama (1413 H-1993 M)
7. Al-Mabshuuth, Syamsuddin As-Sirokhsi, Darul
Ma’rifah
8. Badaai’ As-Shonaai’ fi tartiib As-Syarooi’,
‘Alaauddiin Abu Bakr bin Mas’uud Al-Kaasaani Al-Hanafi, Daarul Kutub
al-’Ilmiyyah, cetakan kedua (1406 H-1986 M)
9. Al-Majmuu’ Syarhul Muhadzzab, An-Nawawi,
tahqiq : Muhammad Najiib Al-Muthi’iy, Maktabah Al-Irsyaad
10. Al-Mushonnaf li Abdirrozzaq, Abu Bakr Abdurrozzaq
bin Hammaam As-Shon’aani, tahqiq : Habiiburrohmaan Al-A’dzhomi, dari Manyuroot
Al-Majlis Al-’Ilmiy
11. Sifat shoumin Nabiy, Ali hasan dan Salim
Al-Hilali, Al-Maktabah Al-Islamiyyah, cetakan ke dua (1409 H)
12. Tobaqootul Mudallisiin, Ibnu Hajar al-’Asqolaani,
tahqiq : DR ‘Isoom Al-Qoryuuthi, Maktabah Al-Manaar, cetakan pertama
13. Sunan Ad-Daaruquthni, Ali bin Umar Ad-Daaruquthni,
tahqiq : Syu’aib Al-Arnauth, isyroof Abdul Muhsin At-Turki, Muassasah
Ar-Risalah, cetakan pertama (1424 H-2004 M)
14. At-Tadliis fil hadiits, DR Musfir Ad-Dumaini,
cetakan pertama (1412 H-1992 M)
15. Siyar A’laam An-Nubalaa, Ad-Dzahabi, tahqiq
Syu’aib Al-Aranuuth, Muassasah Ar-Risaalah, cetakan kedua (1402 H-1982 M)
16. At-Tarjiih fi masaailis soum waz zakaat, Muhammad
bin Umar Bazmuul, Daarul Hijroh, cetakan pertama (1415 H-1995 M)
Artikel: www.firanda.com
Artikel: www.firanda.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar