Dalam kita Bidayatul Mujtahid Ibnu Rusydi mengemukakan,
bahwa terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang
hukum pernikahan, sesuai dengan kondisimasing-masing
pihak yang akan melangsungkan pernikahan tersebut. Pernikahan bagiseseorang
dapat dikatakan wajib baginya, sedangkan bagi orang lain dapat juga sunnahhukumnya,
malah juga ada yang haram, atau mubah, sebagai berikut:
1.Mubah
Imam
Asy-Syafi’I mengatakan, bahwa hukum melakukan pernikahan adalah ibahah
atau boleh bagi orang yang tidak khawatir akan melakukan zina jika tidak
menikah, atau tidak takut berbuat aniaya bila ia menikah. Hal ini berarti
setiap orang halal, atau mempunyaihak
untuk melakukan suatu pernikahan dan berhak pula untuk tidak melakukannya.
Setiaporang, lelaki atau wanita bila
memenuhi persyaratan perkawinan, maka boleh baginyamelakukan perkawinan.
Ini sesuai dengan firman Allah SWT
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku
adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim
(bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan
dapat berlaku adil,maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu
miliki. Yang demikian ituadalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”(QS.
An-Nisa’, 4: 43)
2.Wajib
Menurut sebagian besar Fukaha’,
hukum melakukan pernikahan yang asalnya mubah dapat berubah menjadi wajib, manakala seseorang merasa sangat khawatir
akan melakukan perbuatan zina
jika ia tidak melangsungkan pernikahan. Perbuatan tersebut sangat terceladan
terlarang karena merupakan dosa besar menurut ajaran Islam. Oleh karena itu, ia
wajibmenikah jika memenuhi segala
persyaratan untuk melakukannya. Bila ia adalah orangyang cukup dewasa dari segi umur, jasmaniah sehat
walafiat dan akal pikirannyapunsempurna.Perintah Allah berkenaan dengan pernikahan itu antara lain disebutkan
dalam Al-Qur’an,antaranya:
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di
antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba
sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka
miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia- Nya. Dan Allah Maha
luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”.
(QS. An Nur,
24:32)Perintah
itu dikemukakan setelah Allah SWT. memperingatkan agar setiap laki-lakimenahan pandangannya dan memelihara kemaluannya
dari perbuatan rendah dan tercelaseperti dikemukakan dalam dua ayat sebelumnya
yaitu dalam surat An-Nur (24) ayat 30-31.3.SunnahSeseorang yang telah mencapai tingkat dewasa, memiliki
tingkat jasmani dan rohani yangsehat, cukup
layak hatinya cenderung dan mempunyai hasrat untuk menikah, memilikiharta kekayaan yang memadai atau memilki pekerjaan
yang dapat diandalkan untuk membiayai
dan member nafkah dalam hidup berumahtangga, disunnshksn untuk melakukan
pernikahan. Pendapat ini dikemukakan oleh jumhur ulama selain Syafi’i (lihat: Al-Fiqhul
Islam wa Adillatuhu, Wahbah Az-Zuhaili)
Dalam keadaan
seperti, melakukan pernikahan adalah lebih baik daripada tidak menikah.Dalam pernikahan itu, ia dapat menyalurkan dorongan naluri
biologisnya secara baik (sex-impuls)
.4.Haram
Melakukan suatu
pernikahan akan menjadi haram, jika dalam perbuatan itu seseorangmempunyai
iktikad yang tidak terpuji, seperti untuk menyakiti atau menganiaya istrinya.Begitu
juga seseorang yang berniat sekedar untuk mempermainkan pasangannya, makaharam baginya melakukan pernikahan.
Orang seperti itu bahkan wajib meninggalkan pernikahan.Haram pula melakukan pernikahan bagi seorang
laki-laki yang nyata-nyata tidak mampumemberikan nafkah lahir maupun batin
terhadap istrinya, jika keadaan seperti itu justru
akan mengakibatkan
seorang istri hidup dalam penderitaan. Firman Allah SWT.menyebutkan:
“Dan orang-orang yang tidak mampu kawin
hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga
Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.”
(QS. An Nur, 24: 33)Haram pula hukumnya melakukan pernikahan, jika
seorang laki-laki membohongi calonistrinya
dengan menyebutkan keturunan, harta kekayaan, dan pekerjaan secara palsu.Begitu pula haram bagi perempuan yang menyadari
dirinya tidak mampu memenuhi hak-hak suaminya tetapi ia tidak mau menjelaskan
hal itu kepada calon suaminya sebelum pernikahan dilangsungkannya.
5.Makruh
Orang yang mempunyai
cukup hasrat untuk melakukan pernikahan, telah memenuhikedewasaan umur dengan jasmani yang
sehat dan rohani yang sempurna, tetapi ia tidak mampu memberi nafkah dan membiayai
rumahtangga karena tidak mempunyai hartakekayaan atau tidak mempunyai sumber penghasilan, maka
makruh baginya melakukan perkawinan. Begitu pula bagi laki-laki yang lemah
syahwat, sungguhpun istrinya relauntuk tidak menerima nafkah batin, maka makruh baginya
melakukan perkawinan.Demikian Sayyid Sabiq menjelaskan
dalam bukunya, Fiqhus Sunnah
Wallahu 'Alam bishowab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar