Prinsip-Prinsip Pernikahan
Adalah sangat perlu untuk diperhatikan tentang beberapa prinsip pernikahan menurut agama islam agar pernikahan itu berarti dalam kehidupan yang melaksanakannya ialah:
” wahai pemuda! Barang siapa diantara kamu telah mampu untuk menikah, maka menikahlah, sesungguhnya menikah itu lebih menenangkan dari pada liarnya pandangan dan memelihara kehormatan. Dan barang siapa yang belum mapu untuk menikah (sedang ia mengiginkan), maka hendaklah ia berpuasa, karena berpuasa itu dapat menenangkan syahwat”. (HR. Bukhori Muslim)
”Apabila seorang hamba telah menikah, sesungguhnya ia telah menyempurnahkan setengah agamanya, maka hendaklah ia bertakwa kepada Allah untuk sisanya yang lainnya” ( HR. At-Thobrani)
agama islamam telah mengatur pernikahan secara jelas dan rinci melalui al-Qur’an dan al-hadits, memberi batasan rukun dan syarat-syarat yang perlu dipenuhi agar pernikahan sah dan tidak fasid atau batal. Demikian pula agamamemberi ketentuan lain disamping rukun dan syarat, seperti harus adanya mahar dalam pernikahan dsan harus adanya kemampuan.
Dalam haditsnya Rasulullah S.A.W pernah membatalkan suatu pernikahan sahabat yang tidak didasarkan atas persetujuan calon isteri sedang calon isteri itu adalah seorang janda. Demikian pula beliau pernah mempersilahkan kepada seorang gadis untuk memilih apakah ia menyetujui atau tidak tindakan wali yang menikahinya:
”…Dari khusnah binti khidaan, bahwa ayahnya pernah menikahinya padahal ia seorang janda, maka (karena ia tidak menyetujuinya) ia mengatakan Rasulullah s.a.w. dan Rasulpun menolak/membatalkan pernikahannya.”(HR. Jama’ah kecuali muslim)
”Dari ibnu Abbas r.a. diriwayatkan bahwa seorang hamba sahaya yang masih gadis datang kepada nabi s.a.w. dan mengadu bahwa ayahnya telah mengawinkannya sedang ia tidak menyetujuinnya, maka Nabi menyuruh ia memilih (menerima atau menolak)”. (HR. Ahmad Abu Daud dan Ibnu Majah)
Dari keterangan hadits diatas jelas bahwa persetujuaan kedua pihak merupakan hal yang penting disamping adanya juga izin wali seperti tersirat dalam hadits :”… Nabi bersabda, Tidak sah nikah kecuali dengan wali yang sederhana akalnya.” (HR. Asy-syaf’i dari Ibnu Abbas)
”..Dari sabrah al-juhaeni, bahwa ia bersam rasulullah s.a.w dan beliau berkata: wahai segenap insan, bahwasanya dulu saya membolehkan kawin secara istinta’ dengan wanita (nikah mut’ah) dan sesungguhnya Allah telah mengharamkan yang demikian sampai hari kiamat…: (HR. Muslim dari Sabrah al-Juhaeni)
” dan diriwayatkan dari Abu Huroiroh bahwa Rosulullah bersabda: Allah melaknat orang yang mengfhalalkan (muhalil) dan orang yang dihalalkan baginya (maliallal lahu). (HR. Ahmad dengan sanad hasan)
Kendatipun demikian sesuai dengan kodretnya suami yang diciptakan Allah SWT dengan kondisi fisik dan kemempuannya ia diberi amanat tanggung jawab sebagimana tersirat dalam firman Allah:
” kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka…” (Q 4:34)
posisi suami sebagai pemimpin keluarga tidaklah harus diterjemahkan bahwa ia berkuasa segala-galanya atas isteri, namun oleh kewajiban selaku pemimpin akan mengemban tanggung jawab yang lebih besar, maka sudah sewajarnya apabila ia mempunyai hak yang lebih dari warga yang ada dalam suatu rumah tangga. Mahmud Salthout memberikan analisis tentang kelebihan kewajiban suami dan isteri sama halnya dengan kelebihan salah satu anggota badan yang satu melebihi yang lainnya, seperti tangan kanan atas tangan kiri, atau pikiran yang unggul dari penglihatan.
Dalam surat an-Nisa 3 dan 129 prinsip pernikahan monogami dan polygami diisyaratkan:
”dan jika kamu tidak akan berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu tidak akan dapat berlaku adil maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepata tidak berbuat aniaya.” (Q 4:3)
’Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguh Allah Maha Penyayang.” (Q 4:129)
keterangan ayat-ayat diatas menunjukkan bahwa prinsip pernikahan dalam islam adalah monogami disamping itu dibolehkan pula polygami dalam jumlah tidak lebih dari empet isteri apabila ia dapat berlaku adil terhadap isteri-isterinya. Namun demikian oleh karena pada dasarnya seorang suami sangat sulit untuk dapat berlaku adil secara sempurna, maka layaknya perlu menjadi perhatian dengan seksama:
- Bahwa islam telah mensyaratkan keadilan dan pemenuhan tanggung jawab kepada suami apabila ingin berpolygami. Sementara itu apabila faktor-faktor pendukung untuk tercapainya tujuan tercapainya perkawinan dengan isteri yang pertama belum terpenuhi, misalnya tidak mendapat keturunan, hubungan seksual yang tidak seimbang dan sebagainya, maka polygami boleh dilakukan.
- Apabila suami tidak bertanggung jawab, atau tidak akan berlaku adil, hendaknya yang dilakukan seorang pria dalam perkawinan adalah monogami.
- Islam telah mengisyaratkan prinsip-prinsip dan pencapaian tujuan dalam pernikahan oleh suami isteri. Lalu apabila mereka menghadapi persoalan keluarga dalam pernikahan hendaknya dilakukan atas dasar musyawarah termasuk dalam hal polygami.
Adalah sangat perlu untuk diperhatikan tentang beberapa prinsip pernikahan menurut agama islam agar pernikahan itu berarti dalam kehidupan yang melaksanakannya ialah:
- pernikahan adalah untuk mengetahui dan melaksanakan perintah agama.
” wahai pemuda! Barang siapa diantara kamu telah mampu untuk menikah, maka menikahlah, sesungguhnya menikah itu lebih menenangkan dari pada liarnya pandangan dan memelihara kehormatan. Dan barang siapa yang belum mapu untuk menikah (sedang ia mengiginkan), maka hendaklah ia berpuasa, karena berpuasa itu dapat menenangkan syahwat”. (HR. Bukhori Muslim)
”Apabila seorang hamba telah menikah, sesungguhnya ia telah menyempurnahkan setengah agamanya, maka hendaklah ia bertakwa kepada Allah untuk sisanya yang lainnya” ( HR. At-Thobrani)
agama islamam telah mengatur pernikahan secara jelas dan rinci melalui al-Qur’an dan al-hadits, memberi batasan rukun dan syarat-syarat yang perlu dipenuhi agar pernikahan sah dan tidak fasid atau batal. Demikian pula agamamemberi ketentuan lain disamping rukun dan syarat, seperti harus adanya mahar dalam pernikahan dsan harus adanya kemampuan.
- Pernikah dilaksanakan atas dasar ikhtiyar atau kerelaan/tidak dipaksa.
Dalam haditsnya Rasulullah S.A.W pernah membatalkan suatu pernikahan sahabat yang tidak didasarkan atas persetujuan calon isteri sedang calon isteri itu adalah seorang janda. Demikian pula beliau pernah mempersilahkan kepada seorang gadis untuk memilih apakah ia menyetujui atau tidak tindakan wali yang menikahinya:
”…Dari khusnah binti khidaan, bahwa ayahnya pernah menikahinya padahal ia seorang janda, maka (karena ia tidak menyetujuinya) ia mengatakan Rasulullah s.a.w. dan Rasulpun menolak/membatalkan pernikahannya.”(HR. Jama’ah kecuali muslim)
”Dari ibnu Abbas r.a. diriwayatkan bahwa seorang hamba sahaya yang masih gadis datang kepada nabi s.a.w. dan mengadu bahwa ayahnya telah mengawinkannya sedang ia tidak menyetujuinnya, maka Nabi menyuruh ia memilih (menerima atau menolak)”. (HR. Ahmad Abu Daud dan Ibnu Majah)
Dari keterangan hadits diatas jelas bahwa persetujuaan kedua pihak merupakan hal yang penting disamping adanya juga izin wali seperti tersirat dalam hadits :”… Nabi bersabda, Tidak sah nikah kecuali dengan wali yang sederhana akalnya.” (HR. Asy-syaf’i dari Ibnu Abbas)
- Pernikahan dilaksanakan untuk selamanya.
”..Dari sabrah al-juhaeni, bahwa ia bersam rasulullah s.a.w dan beliau berkata: wahai segenap insan, bahwasanya dulu saya membolehkan kawin secara istinta’ dengan wanita (nikah mut’ah) dan sesungguhnya Allah telah mengharamkan yang demikian sampai hari kiamat…: (HR. Muslim dari Sabrah al-Juhaeni)
” dan diriwayatkan dari Abu Huroiroh bahwa Rosulullah bersabda: Allah melaknat orang yang mengfhalalkan (muhalil) dan orang yang dihalalkan baginya (maliallal lahu). (HR. Ahmad dengan sanad hasan)
- Suami sebabgai penanggung jawab umum dalam rumah tangga.
Kendatipun demikian sesuai dengan kodretnya suami yang diciptakan Allah SWT dengan kondisi fisik dan kemempuannya ia diberi amanat tanggung jawab sebagimana tersirat dalam firman Allah:
” kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka…” (Q 4:34)
posisi suami sebagai pemimpin keluarga tidaklah harus diterjemahkan bahwa ia berkuasa segala-galanya atas isteri, namun oleh kewajiban selaku pemimpin akan mengemban tanggung jawab yang lebih besar, maka sudah sewajarnya apabila ia mempunyai hak yang lebih dari warga yang ada dalam suatu rumah tangga. Mahmud Salthout memberikan analisis tentang kelebihan kewajiban suami dan isteri sama halnya dengan kelebihan salah satu anggota badan yang satu melebihi yang lainnya, seperti tangan kanan atas tangan kiri, atau pikiran yang unggul dari penglihatan.
- Pernikahan dalam islam adalah monogami atau polygami
Dalam surat an-Nisa 3 dan 129 prinsip pernikahan monogami dan polygami diisyaratkan:
”dan jika kamu tidak akan berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu tidak akan dapat berlaku adil maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepata tidak berbuat aniaya.” (Q 4:3)
’Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguh Allah Maha Penyayang.” (Q 4:129)
keterangan ayat-ayat diatas menunjukkan bahwa prinsip pernikahan dalam islam adalah monogami disamping itu dibolehkan pula polygami dalam jumlah tidak lebih dari empet isteri apabila ia dapat berlaku adil terhadap isteri-isterinya. Namun demikian oleh karena pada dasarnya seorang suami sangat sulit untuk dapat berlaku adil secara sempurna, maka layaknya perlu menjadi perhatian dengan seksama:
- Bahwa islam telah mensyaratkan keadilan dan pemenuhan tanggung jawab kepada suami apabila ingin berpolygami. Sementara itu apabila faktor-faktor pendukung untuk tercapainya tujuan tercapainya perkawinan dengan isteri yang pertama belum terpenuhi, misalnya tidak mendapat keturunan, hubungan seksual yang tidak seimbang dan sebagainya, maka polygami boleh dilakukan.
- Apabila suami tidak bertanggung jawab, atau tidak akan berlaku adil, hendaknya yang dilakukan seorang pria dalam perkawinan adalah monogami.
- Islam telah mengisyaratkan prinsip-prinsip dan pencapaian tujuan dalam pernikahan oleh suami isteri. Lalu apabila mereka menghadapi persoalan keluarga dalam pernikahan hendaknya dilakukan atas dasar musyawarah termasuk dalam hal polygami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar