Rabu, 31 Oktober 2012

PRINSIP PERNIKAHAN

Prinsip-Prinsip Pernikahan
Adalah sangat perlu untuk diperhatikan tentang beberapa prinsip pernikahan menurut agama islam agar pernikahan itu berarti dalam kehidupan yang melaksanakannya ialah:
  1. pernikahan adalah untuk mengetahui dan melaksanakan perintah agama.
Sebagai mana diketahui bahwa pernikahan adalah sunnah Nabi yang berarti bagi mereka yang melaksanakanya pada hakekatnya merupakan pelaksananan dari ajaran agama. Rasulullah S.A.W bersabda.
” wahai pemuda! Barang siapa diantara kamu telah mampu untuk menikah, maka menikahlah, sesungguhnya menikah itu lebih menenangkan dari pada liarnya pandangan dan memelihara kehormatan. Dan barang siapa yang belum mapu untuk menikah (sedang ia mengiginkan), maka hendaklah ia berpuasa, karena berpuasa itu dapat menenangkan syahwat”. (HR. Bukhori Muslim)

”Apabila seorang hamba telah menikah, sesungguhnya ia telah menyempurnahkan setengah agamanya, maka hendaklah ia bertakwa kepada Allah untuk sisanya yang lainnya” ( HR. At-Thobrani)
agama islamam telah mengatur pernikahan secara jelas dan rinci melalui al-Qur’an dan al-hadits, memberi batasan rukun dan syarat-syarat yang perlu dipenuhi agar pernikahan sah dan tidak fasid atau batal. Demikian pula agamamemberi ketentuan lain disamping rukun dan syarat, seperti harus adanya mahar dalam pernikahan dsan harus adanya kemampuan.
  1. Pernikah dilaksanakan atas dasar ikhtiyar atau kerelaan/tidak dipaksa.
Suatu pernikahan haruslah dilakukan dan dirumuskan dengan kata-kata kerelaan calon isteri dan suami atau atas dasar persetujuan mereka. untuk kesempurnaan itulah perlu adanya khitbah atau peminangan sebagai langkah awal dari pelaksanaan atau dilangsungkannya suatu perkawinan, sehingga kedua pihak dapat mempertimbangkan apa yang mereka lakukan. Kerelaan dari calon suami dan wali jelas dapat dilihat dari tindakan dan ucapannya, sedangkan untuk kerelaan calon isteri, mengingat wanita mempunyai ekspresi kejiwaan yang seringkali berbeda denagn pria, dapat dilihat dari sikapnya umpamanya diam atau tidak memberikan  reaksi penolakan dipandang sebagai persetujuan atau kerelaan bila ia gadis, namun diperlukan persetujuan secara tegas apabila ia telah janda,. Sebagaima tuntunan Rasul dalam Hadits riwayat Abu Hurairoh; ”…jangan dinikahkan janda sehingga dimintai persetujuannya secara tegas (perintahnya/tusta’mar), dan janganlah dinikahkan gadis sehingga diminta persetujuannya (izin/tustar’zar), sahabat bertanya, Ya rasulullah bagaimana izinnya itu? Nabi Menjawab, kalau dia diam”. (HR. Abu Huroiroh).

Dalam haditsnya Rasulullah S.A.W pernah membatalkan suatu pernikahan sahabat yang tidak didasarkan atas persetujuan calon isteri sedang calon isteri itu adalah seorang janda. Demikian pula beliau pernah mempersilahkan kepada seorang gadis untuk memilih apakah ia menyetujui atau tidak tindakan wali yang menikahinya:

”…Dari khusnah binti khidaan, bahwa ayahnya pernah menikahinya padahal ia seorang janda, maka (karena ia tidak menyetujuinya) ia mengatakan Rasulullah s.a.w. dan Rasulpun menolak/membatalkan pernikahannya.”(HR. Jama’ah kecuali muslim)
”Dari ibnu Abbas r.a. diriwayatkan bahwa seorang hamba sahaya yang masih gadis datang kepada nabi s.a.w. dan mengadu bahwa ayahnya telah mengawinkannya sedang ia tidak menyetujuinnya, maka Nabi menyuruh ia memilih (menerima atau menolak)”. (HR. Ahmad Abu Daud dan Ibnu Majah)
Dari keterangan hadits diatas jelas bahwa persetujuaan kedua pihak merupakan hal yang penting disamping adanya juga izin wali seperti tersirat dalam hadits :”… Nabi bersabda, Tidak sah nikah kecuali dengan wali yang sederhana akalnya.” (HR. Asy-syaf’i dari Ibnu Abbas)
  1. Pernikahan dilaksanakan untuk selamanya.
Sebagaimana dikemukakan diatas bahwa suatu pernikahan bertujuan untuk memperoleh keturunan, ketenangan, ketentraman,cinta dan kasih sayang. Dan semuanya itu dapat dicapai apabila perkawinan itu didasarin oleh prinsip untuk selamanya, bukan untuk sementara waktu atau untuk waktu tertentu. Atas dasar itupun islam tidak membenarkan apabila akad nikah yang dilaksanakan seorang mengandung ketentuan pembatasan waktu perkawinan, seperti ucapan wali; ” aku nikahkan engkau dengan amnak saya….. dengan mahar Mushhaf Al-Qur’an untuk selam 3 bulan atau 1 tahun. Ataupun ucapan Qobul calon suami yang mengandung ketentuan untuk waktu tertentu. Demikian pula Islam tidak membenarkan terjadinya nikah mut’ah dan nikah muhallil, sebagaimana dinyatakan Rasul dalam Haditsnya:

”..Dari sabrah al-juhaeni, bahwa ia bersam rasulullah s.a.w dan beliau berkata: wahai segenap insan, bahwasanya dulu saya membolehkan kawin secara istinta’ dengan wanita (nikah mut’ah) dan sesungguhnya Allah telah mengharamkan yang demikian sampai hari kiamat…: (HR. Muslim dari Sabrah al-Juhaeni)
” dan diriwayatkan dari Abu Huroiroh bahwa Rosulullah bersabda: Allah melaknat orang yang mengfhalalkan (muhalil) dan orang yang dihalalkan baginya (maliallal lahu). (HR. Ahmad dengan sanad hasan)

  1. Suami sebabgai penanggung jawab umum dalam rumah tangga.
Sebagai suatu konsekuensi dari suatu perkawinan akan terwujud hak-hak dan kewajiban antara suami dan isteri. Dalam hukum Islam suami dan istri tidak selamanya mempunyai kewajiban yang sama. Adakalanya istri lebih besar hak dan kewajibannya daripada suami, dan adakalnya suami lebih besar hak dan kewajibannya dari pada isteri. Masing-masing pihak tentunya disamping akan saling merelakan hak-haknya, seperti hak kebebasan dalam berumah tangga, mereka masing2 juga akan memperoleh hak-hak seperti hak seksual, hak nafkah, hak memperoleh pembagian harta atau warisan apabila perkawinan mereka berakhir atau meninggal salah satunya dan sebagainya. Demikian pula masing-masing akan menanggung kewajiban baru seperti kewajiban suami melindungi isteri dan anak-anaknya, memberi nafkah dan sebagainya. Begitu pila kewajiban istri melayani kebutuhan suami dengan ketentuan yang ada.
Kendatipun demikian sesuai dengan kodretnya suami yang diciptakan Allah SWT dengan kondisi fisik dan kemempuannya ia diberi amanat tanggung jawab sebagimana tersirat dalam firman Allah:

” kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka…” (Q 4:34)
posisi suami sebagai pemimpin keluarga tidaklah harus diterjemahkan bahwa ia berkuasa segala-galanya atas isteri, namun oleh kewajiban selaku pemimpin akan mengemban tanggung jawab yang lebih besar, maka sudah sewajarnya apabila ia mempunyai hak yang lebih dari warga yang ada dalam suatu rumah tangga. Mahmud Salthout memberikan analisis tentang kelebihan kewajiban suami dan isteri sama halnya dengan kelebihan salah satu anggota badan yang satu melebihi yang lainnya, seperti tangan kanan atas tangan kiri, atau pikiran yang unggul dari penglihatan.
  1. Pernikahan dalam islam adalah monogami atau polygami
Monogami adalah seorang kawin dengan satu isteri, sedangkan polygami adalah seorang yang kawin dengan lebih dari satu isteri, yakni dua, tiga, atau empat.
Dalam surat an-Nisa 3 dan 129 prinsip pernikahan monogami dan polygami diisyaratkan:

”dan jika kamu tidak akan berlaku adil terhadap (hak-hak)  perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu tidak akan dapat berlaku adil maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepata tidak berbuat aniaya.” (Q 4:3)

’Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguh Allah Maha Penyayang.” (Q 4:129)
keterangan ayat-ayat diatas menunjukkan bahwa prinsip pernikahan dalam islam adalah monogami disamping itu dibolehkan pula polygami dalam jumlah tidak lebih dari empet isteri apabila ia dapat berlaku adil terhadap isteri-isterinya. Namun demikian oleh karena pada dasarnya seorang suami sangat sulit untuk dapat berlaku adil secara sempurna, maka layaknya perlu menjadi perhatian dengan seksama:

-          Bahwa islam telah mensyaratkan keadilan dan pemenuhan tanggung jawab kepada suami apabila ingin berpolygami. Sementara itu apabila faktor-faktor pendukung untuk tercapainya tujuan tercapainya perkawinan dengan isteri yang pertama belum terpenuhi, misalnya tidak mendapat keturunan, hubungan seksual yang tidak seimbang dan sebagainya, maka polygami boleh dilakukan.

-          Apabila suami tidak bertanggung jawab, atau tidak akan berlaku adil, hendaknya yang dilakukan seorang pria dalam perkawinan adalah monogami.

-          Islam telah mengisyaratkan prinsip-prinsip dan pencapaian tujuan dalam pernikahan oleh suami isteri. Lalu apabila mereka menghadapi persoalan keluarga dalam pernikahan hendaknya dilakukan atas dasar musyawarah termasuk dalam hal polygami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar