Ada bebrapa tips untuk meraih pernikahan yang barokah yakni:
Motivasi
menikah bukanlah semata untuk memuaskan kebutuhan biologis/fisik.
Menikah merupakan salah satu tanda kebesaran Allah SWT sebagaimana
diungkap dalam Alqur’an (QS. Ar Rum:21), sehingga bernilai sakral dan
signifikan. Menikah juga merupakan perintah-Nya (QS. An-Nur:32) yang
berarti suatu aktifitas yang bernilai ibadah dan merupakan Sunnah Rasul
dalam kehidupan sebagaimana ditegaskan dalam salah satu hadits :
”Barangsiapa yang dimudahkan baginya untuk menikah, lalu ia tidak
menikah maka tidaklah ia termasuk golonganku” (HR.At-Thabrani dan
Al-Baihaqi). Oleh karena nikah merupakan sunnah Rasul, maka selayaknya
proses menuju pernikahan, tata cara (prosesi) pernikahan dan bahkan
kehidupan pasca pernikahan harus mencontoh Rasul. Misalnya saat hendak
menentukan pasangan hidup hendaknya lebih mengutamakan kriteria ad Dien
(agama/akhlaq) sebelum hal-hal lainnya (kecantikan/ketampanan,
keturunan, dan harta); dalam prosesi pernikahan (walimatul ‘urusy)
hendaknya juga dihindari hal-hal yang berlebihan (mubadzir), tradisi
yang menyimpang (khurafat) dan kondisi bercampur baur (ikhtilath).
Kemudian dalam kehidupan berumah tangga pasca pernikahan hendaknya
berupaya membiasakan diri dengan adab dan akhlaq seperti yang
dicontohkan Rasulullah saw.
Menikah merupakan upaya menjaga
kehormatan dan kesucian diri, artinya seorang yang telah menikah
semestinya lebih terjaga dari perangkap zina dan mampu mengendalikan
syahwatnya. Allah SWT akan memberikan pertolong-an kepada mereka yang
mengambil langkah ini; “ Tiga golongan yang wajib Aku (Allah)
menolongnya, salah satunya adalah orang yang menikah karena ingin
menjaga kesucian dirinya.” (HR. Tarmidzi)
Menikah juga merupakan
tangga kedua setelah pembentukan pribadi muslim (syahsiyah islamiyah)
dalam tahapan amal dakwah, artinya menjadikan keluarga sebagai ladang
beramal dalam rangka membentuk keluarga muslim teladan (usrah islami)
yang diwarnai akhlak Islam dalam segala aktifitas dan interaksi seluruh
anggota keluarga, sehingga mampu menjadi rahmatan lil ‘alamin bagi
masyarakat sekitarnya. Dengan adanya keluarga-keluarga muslim pembawa
rahmat diharapkan dapat terwujud komunitas dan lingkungan masyarakat
yang sejahtera.
2. Sikap saling terbuka (Mushorohah)
Secara
fisik suami isteri telah dihalalkan oleh Allah SWT untuk saling terbuka
saat jima’ (bersenggama), padahal sebelum menikah hal itu adalah
sesuatu yang diharamkan. Maka hakikatnya keterbukaan itu pun harus
diwujudkan dalam interaksi kejiwaan (syu’ur), pemikiran (fikrah), dan
sikap (mauqif) serta tingkah laku (suluk), sehingga masing-masing dapat
secara utuh mengenal hakikat kepribadian suami/isteri-nya dan dapat
memupuk sikap saling percaya (tsiqoh) di antara keduanya.
Hal itu
dapat dicapai bila suami/isteri saling terbuka dalam segala hal
menyangkut perasaan dan keinginan, ide dan pendapat, serta sifat dan
kepribadian. Jangan sampai terjadi seorang suami/isteri memendam
perasaan tidak enak kepada pasangannya karena prasangka buruk, atau
karena kelemahan/kesalahan yang ada pada suami/isteri. Jika hal yang
demikian terjadi hal yang demikian, hendaknya suami/isteri segera
introspeksi (bermuhasabah) dan mengklarifikasi penyebab masalah atas
dasar cinta dan kasih sayang, selanjutnya mencari solusi bersama untuk
penyelesaiannya. Namun apabila perasaan tidak enak itu dibiarkan maka
dapat menyebabkan interaksi suami/isteri menjadi tidak sehat dan
potensial menjadi sumber konflik berkepanjangan.
3. Sikap toleran (Tasamuh)
Dua
insan yang berbeda latar belakang sosial, budaya, pendidikan, dan
pengalaman hidup bersatu dalam pernikahan, tentunya akan menimbulkan
terjadinya perbedaan-perbedaan dalam cara berfikir, memandang suatu
permasalahan, cara bersikap/bertindak, juga selera (makanan, pakaian,
dsb). Potensi perbedaan tersebut apabila tidak disikapi dengan sikap
toleran (tasamuh) dapat menjadi sumber konflik/perdebatan. Oleh karena
itu masing-masing suami/isteri harus mengenali dan menyadari kelemahan
dan kelebihan pasangannya, kemudian berusaha untuk memperbaiki kelemahan
yang ada dan memupuk kelebihannya. Layaknya sebagai pakaian (seperti
yang Allah sebutkan dalam QS. Albaqarah:187), maka suami/isteri harus
mampu mem-percantik penampilan, artinya berusaha memupuk kebaikan yang
ada (capacity building); dan menutup aurat artinya berupaya
meminimalisir kelemahan/kekurangan yang ada.
Prinsip “hunna
libasullakum wa antum libasullahun (QS. 2:187) antara suami dan isteri
harus selalu dipegang, karena pada hakikatnya suami/isteri telah menjadi
satu kesatuan yang tidak boleh dipandang secara terpisah. Kebaikan
apapun yang ada pada suami merupakan kebaikan bagi isteri, begitu
sebaliknya; dan kekurangan/ kelemahan apapun yang ada pada suami
merupakan kekurangan/kelemahan bagi isteri, begitu sebaliknya; sehingga
muncul rasa tanggung jawab bersama untuk memupuk kebaikan yang ada dan
memperbaiki kelemahan yang ada.
Sikap toleran juga menuntut adanya
sikap mema’afkan, yang meliputi 3 (tiga) tingkatan, yaitu: (1) Al ‘Afwu
yaitu mema’afkan orang jika memang diminta, (2) As-Shofhu yaitu
mema’afkan orang lain walaupun tidak diminta, dan (3) Al-Maghfirah yaitu
memintakan ampun pada Allah untuk orang lain. Dalam kehidupan rumah
tangga, seringkali sikap ini belum menjadi kebiasaan yang melekat,
sehingga kesalahan-kesalahan kecil dari pasangan suami/isteri kadangkala
menjadi awal konflik yang berlarut-larut. Tentu saja “mema’afkan” bukan
berarti “membiarkan” kesalahan terus terjadi, tetapi mema’afkan berarti
berusaha untuk memberikan perbaikan dan peningkatan.
4. Komunikasi (Musyawarah)
Tersumbatnya
saluran komunikasi suami-isteri atau orang tua-anak dalam kehidupan
rumah tangga akan menjadi awal kehidupan rumah tangga yang tidak
harmonis. Komunikasi sangat penting, disamping akan meningkatkan jalinan
cinta kasih juga menghindari terjadinya kesalahfahaman.
Kesibukan
masing-masing jangan sampai membuat komunikasi suami-isteri atau orang
tua-anak menjadi terputus. Banyak saat/kesempatan yang bisa
dimanfaatkan, sehingga waktu pertemuan yang sedikit bisa memberikan
kesan yang baik dan mendalam yaitu dengan cara memberikan perhatian
(empati), kesediaan untuk mendengar, dan memberikan respon berupa
jawaban atau alternatif solusi. Misalnya saat bersama setelah menunaikan
shalat berjama’ah, saat bersama belajar, saat bersama makan malam, saat
bersama liburan (rihlah), dan saat-saat lain dalam interaksi
keseharian, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan
memanfaatkan sarana telekomunikasi berupa surat, telephone, email, dsb.
Alqur’an
dengan indah menggambarkan bagaimana proses komunikasi itu berlangsung
dalam keluarga Ibrahim As sebagaimana dikisahkan dalam
QS.As-Shaaffaat:102, yaitu : “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur
sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata; Hai anakku,
sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka
fikirkanlah apa pendapatmu, Ia menjawab; Hai Bapakku, kerjakanlah apa
yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk
orang-orang yang sabar”.
Ibrah yang dapat diambil dalam kisah
tersebut adalah adanya komunikasi yang timbal balik antara orang
tua-anak, Ibrahim mengutarakan dengan bahasa dialog yaitu meminta
pendapat pada Ismail bukan menetapkan keputusan, adanya keyakinan kuat
atas kekuasaan Allah, adanya sikap tunduk/patuh atas perintah Allah, dan
adanya sikap pasrah dan tawakkal kepada Allah; sehingga perintah yang
berat dan tidak logis tersebut dapat terlaksana dengan kehendak Allah
yang menggantikan Ismail dengan seekor kibas yang sehat dan besar.
5. Sabar dan Syukur
Allah
SWT mengingatkan kita dalam Alqur’an surat At Taghabun ayat 14: ”Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya diantara istri-istrimu dan
anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu
terhadap mereka. Dan jika kamu mema’afkan dan tidak memarahi serta
mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.”
Peringatan Allah tersebut nyata dalam kehidupan rumah
tangga dimana sikap dan tindak tanduk suami/istri dan anak-anak
kadangkala menunjukkan sikap seperti seorang musuh, misalnya dalam
bentuk menghalangi-halangi langkah dakwah walaupun tidak secara
langsung, tuntutan uang belanja yang nilainya di luar kemampuan,
menuntut perhatian dan waktu yang lebih, prasangka buruk terhadap
suami/isteri, tidak merasa puas dengan pelayanan/nafkah yang diberikan
isteri/suami, anak-anak yang aktif dan senang membuat keributan,
permintaan anak yang berlebihan, pendidikan dan pergaulan anak, dan
sebagainya. Jika hal-hal tersebut tidak dihadapi dengan kesabaran dan
keteguhan hati, bukan tidak mungkin akan membawa pada jurang kehancuran
rumah tangga.
Dengan kesadaran awal bahwa isteri dan anak-anak
dapat berpeluang menjadi musuh, maka sepatutnya kita berbekal diri
dengan kesabaran. Merupakan bagian dari kesabaran adalah keridhaan kita
menerima kelemahan/kekurangan pasangan suami/isteri yang memang diluar
kesang-gupannya. Penerimaan terhadap suami/isteri harus penuh sebagai
satu “paket”, dia dengan segala hal yang melekat pada dirinya, adalah
dia yang harus kita terima secara utuh, begitupun penerimaan kita kepada
anak-anak dengan segala potensi dan kecenderungannya. Ibaratnya
kesabaran dalam kehidupan rumah tangga merupakan hal yang fundamental
(asasi) untuk mencapai keberkahan, sebagaimana ungkapan bijak
berikut:“Pernikahan adalah Fakultas Kesabaran dari Universitas
Kehidupan”. Mereka yang lulus dari Fakultas Kesabaran akan meraih banyak
keberkahan.
Syukur juga merupakan bagian yang tak dapat
dipisahkan dalam kehidupan berumah tangga. Rasulullah mensinyalir bahwa
banyak di antara penghuni neraka adalah kaum wanita, disebabkan mereka
tidak bersyukur kepada suaminya.
Mensyukuri rezeki yang diberikan
Allah lewat jerih payah suami seberapapun besarnya dan bersyukur atas
keadaan suami tanpa perlu membanding-bandingkan dengan suami orang lain,
adalah modal mahal dalam meraih keberkahan; begitupun syukur terhadap
keberadaan anak-anak dengan segala potensi dan kecenderungannya, adalah
modal masa depan yang harus dipersiapkan.
Dalam keluarga harus
dihidupkan semangat “memberi” kebaikan, bukan semangat “menuntut”
kebaikan, sehingga akan terjadi surplus kebaikan. Inilah wujud tambahnya
kenikmatan dari Allah, sebagaimana firmannya: Sesungguhnya jika kamu
bersyukur, pasti Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu
mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih (QS.
Ibrahim:7).
Mensyukuri kehadiran keturunan sebagai karunia Allah,
harus diwujudkan dalam bentuk mendidik mereka dengan pendidikan Rabbani
sehingga menjadi keturunan yang menyejukkan hati. Keturunan yang mampu
mengemban misi risalah dien ini untuk masa mendatang, maka jangan pernah
bosan untuk selalu memanjatkan do’a:
Ya
Rabb kami karuniakanlah kami isteri dan keturunan yang sedap dipandang
mata, dan jadikanlah kami pemimpin orang yang bertaqwa.
Ya Rabb kami karuniakanlah kami anak-anak yang sholeh.
Ya Rabb kami karuniakanlah kami dari sisi Engkau keturunan yang baik.
Ya Rabb kami karuniakanlah kami dari sisi Engkau keturunan yang Engkau Ridha-i.
Ya Rabb kami jadikanlah kami dan keturunan kami orang yang mendirikan shalat.
Do’a
diatas adalah ungkapan harapan para Nabi dan Rasul tentang sifat-sifat
(muwashshofat) ketuturunan (dzurriyaat) yang diinginkan, sebagaimana
diabadikan Allah dalam Alqur’an (QS. Al-Furqon:74; QS. Ash-Shaafaat:100 ;
QS.Al-Imran:38; QS. Maryam: 5-6; dan QS. Ibrahim:40). Pada intinya
keturun-an yang diharapkan adalah keturunan yang sedap dipandang mata
(Qurrota a’yun), yaitu keturunan yang memiliki sifat penciptaan jasad
yang sempurna (thoyyiba), ruhaniyah yang baik (sholih), diridhai Allah
karena misi risalah dien yang diperjuangkannya (wali radhi), dan
senantiasa dekat dan bersama Allah (muqiimash-sholat).
Demikianlah
hendaknya harapan kita terhadap anak, agar mereka memiliki muwashofaat
tersebut, disamping upaya (ikhtiar) kita memilihkan guru/sekolah yang
baik, lingkungan yang sehat, makanan yang halal dan baik (thoyyib),
fasilitas yang memadai, keteladanan dalam keseharian, dsb; hendaknya
kita selalu memanjatkan do’a tersebut.
6. Sikap yang santun dan bijak (Mu’asyarah bil Ma’ruf)
Merawat
cinta kasih dalam keluarga ibaratnya seperti merawat tanaman, maka
pernikahan dan cinta kasih harus juga dirawat agar tumbuh subur dan
indah, diantaranya dengan mu’asyarah bil ma’ruf. Rasulullah saw
menyatakan bahwa : “Sebaik-baik orang diantara kamu adalah orang yang
paling baik terhadap isterinya, dan aku (Rasulullah) adalah orang yang
paling baik terhadap isteriku.” (HR.Thabrani & Tirmidzi)
Sikap
yang santun dan bijak dari seluruh anggota keluarga dalam interaksi
kehidupan berumah tangga akan menciptakan suasana yang nyaman dan indah.
Suasana yang demikian sangat penting untuk perkembangan kejiwaan
(maknawiyah) anak-anak dan pengkondisian suasana untuk betah tinggal di
rumah.
Ungkapan yang menyatakan “Baiti Jannati” (Rumahku Syurgaku)
bukan semata dapat diwujudkan dengan lengkapnya fasilitas dan luasnya
rumah tinggal, akan tetapi lebih disebabkan oleh suasana interaktif
antara suami-isteri dan orang tua-anak yang penuh santun dan bijaksana,
sehingga tercipta kondisi yang penuh keakraban, kedamain, dan cinta
kasih.
Sikap yang santun dan bijak merupakan cermin dari kondisi
ruhiyah yang mapan. Ketika kondisi ruhiyah seseorang labil maka
kecenderungannya ia akan bersikap emosional dan marah-marah, sebab
syetan akan sangat mudah mempengaruhinya. Oleh karena itu Rasulullah saw
mengingatkan secara berulang-ulang agar jangan marah (Laa tagdlob).
Bila muncul amarah karena sebab-sebab pribadi, segeralah menahan diri
dengan beristigfar dan mohon perlindungan Allah (ta’awudz billah), bila
masih merasa marah hendaknya berwudlu dan mendirikan shalat. Namun bila
muncul marah karena sebab orang lain, berusahalah tetap menahan diri dan
berilah ma’af, karena Allah menyukai orang yang suka mema’afkan.
Ingatlah, bila karena sesuatu hal kita telanjur marah kepada
anak/isteri/suami, segeralah minta ma’af dan berbuat baiklah sehingga
kesan (atsar) buruk dari marah bisa hilang. Sesungguhnya dampak dari
kemarahan sangat tidak baik bagi jiwa, baik orang yang marah maupun bagi
orang yang dimarahi.
7. Kuatnya hubungan dengan Allah (Quwwatu shilah billah)
Hubungan
yang kuat dengan Allah dapat menghasilkan keteguhan hati (kemapanan
ruhiyah), sebagaimana Allah tegaskan dalam QS. Ar-Ra’du:28. “Ketahuilah
dengan mengingat Allah, hati akan menjadi tenang”. Keberhasilan dalam
meniti kehidupan rumah tangga sangat dipengaruhi oleh keteguhan
hati/ketenangan jiwa, yang bergantung hanya kepada Allah saja (ta’alluq
billah). Tanpa adanya kedekatan hubungan dengan Allah, mustahil
seseorang dapat mewujudkan tuntutan-tuntutan besar dalam kehidupan rumah
tangga. Rasulullah saw sendiri selalu memanjatkan do’a agar mendapatkan
keteguhan hati: “Yaa muqollibal quluub tsabbit qolbiy ‘alaa diinika
wa’ala thoo’atika” (wahai yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah
hatiku untuk tetap konsisten dalam dien-Mu dan dalam menta’ati-Mu).
Keteguhan
hati dapat diwujudkan dengan pendekatan diri kepada Allah (taqarrub ila
Allah), sehingga ia merasakan kebersamaan Allah dalam segala
aktifitasnya (ma’iyatullah) dan selalu merasa diawasi Allah dalam
segenap tindakannya (muraqobatullah). Perasaan tersebut harus dilatih
dan ditumbuhkan dalam lingkungan keluarga, melalui pembiasaan keluarga
untuk melaksanakan ibadah nafilah secara bertahap dan dimutaba’ah
bersama, seperti : tilawah, shalat tahajjud, shaum, infaq, do’a,
ma’tsurat, dll. Pembiasaan dalam aktifitas tersebut dapat menjadi sarana
menjalin keakraban dan persaudaraan (ukhuwah) seluruh anggota keluarga,
dan yang penting dapat menjadi sarana mencapai taqwa dimana Allah swt
menjamin orang-orang yang bertaqwa, sebagaimana firman-Nya dalam QS.
Ath-Thalaaq: 2-3.
“Barangsiapa bertaqwa kepada Allah niscaya Dia
akan mengadakan bagi-nya jalan keluar (solusi) dan memberinya rezeki
dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barangsiapa yang bertawakkal
kepada Allah niscaya Allah akan mencukupi (keperluan) nya.”
Wujud indahnya keberkahan keluarga
Keberkahan
dari Allah akan muncul dalam bentuk kebahagiaan hidup berumah tangga,
baik kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Kebahagiaan di dunia, boleh
jadi tidak selalu identik dengan kehidupan yang mewah dengan rumah dan
perabotan yang serba lux. Hati yang selalu tenang (muthma’innah),
fikiran dan perasaan yang selalu nyaman adalah bentuk kebahagiaan yang
tidak bisa digantikan dengan materi/kemewahan.
Kebahagiaan hati
akan semakin lengkap jika memang bisa kita sempurnakan dengan 4 (empat)
hal seperti dinyatakan oleh Rasulullah, yaitu : (1) Isteri yang
sholihah, (2) Rumah yang luas, (3) Kendaraan yang nyaman, dan (4)
Tetangga yang baik.
Kita bisa saja memanfaatkan fasilitas rumah
yang luas dan kendaraan yang nyaman tanpa harus memiliki, misalnya di
saat-saat rihlah, safar, silaturahmi, atau menempati rumah dan kendaraan
dinas. Paling tidak keterbatasan ekonomi yang ada tidak sampai
mengurangi kebahagiaan yang dirasakan, karena pemilik hakiki adalah
Allah swt yang telah menyediakan syurga dengan segala kenikmatan yang
tak terbatas bagi hamba-hamba-Nya yang bertaqwa, dan menjadikan segala
apa yang ada di dunia ini sebagai cobaan.
Kebahagiaan yang lebih
penting adalah kebahagiaan hidup di akhirat, dalam wujud dijauhkannya
kita dari api neraka dan dimasukkannya kita dalam syurga. Itulah hakikat
sukses hidup di dunia ini, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Imran :
185
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya
pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan
dari neraka dan dimasukkan kedalam syurga, maka sungguh ia telah
beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang
memperdayakan.”
Selanjutnya alangkah indahnya ketika Allah
kemudian memanggil dan memerintahkan kita bersama-sama isteri/suami dan
anak-anak untuk masuk kedalam syurga; sebagaimana dikhabarkan Allah
dengan firman-Nya:
“Masuklah kamu ke dalam syurga, kamu dan isteri-isteri kamu digembirakan”. (QS, Az-Zukhruf:70)
“Dan
orang-orang yang beriman dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka
dalam keimanan, kami hubungkan (pertemukan) anak cucu mereka dengan
mereka (di syurga), dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala
amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.
(QS. Ath-Thuur:21).
Inilah keberkahan yang hakiki.
Sumber: http://www.dakwatuna.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar