Senin, 29 Juli 2013

TIGA TINGKATAN PUASA

Imam Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin menerangkan tingkatan dalam berpuasa. Shaumul umum, shaumul khushus, dan shaumul khushusil khushus. Ketiganya bagaikan tangga yang selalu menarik siapapun untuk menaikinya agar sampai di tempat yang lebih tinggi. 
Imam Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin mengatakan bahwa posisi ibadah puasa adalah seperempat bagian dari iman. Artinya barang siapa yang tidak puasa maka imannya kurang seperempat. Hal ini merupakan kesimpulan dari dua sabda Rasulullah saw. yang pertama berbunyi “ الصوم نصف الصبر” puasa merupakan setengah dari kesabaran. Dan hadits kedua berbunyai “ الصبر نصف الإيمان ” sabar adalah setengah dari iman. Oleh karena itulah Imam Ghazali menyimpulkan bahwa puasa adalah seperempat bagian dari iman. 
Dua hadits tersebut sebenarnya tidaklah hanya menunjukkan bagian puasa dalam iman, tetapi juga menghubungkan puasa, kesabaran dan iman. Jika dicermati maka sesungguhnya ketiganya memiliki hubungan yang erat. Sabar adalah inti dari puasa. Kesabaran dalam menahan segala larangan dhahiriah yang dapat membatalkan puasa, dan larangan batiniyah yang mengurangi makna puasa. Keduanya  merupakan ujian yang berat. Sekaligus juga merupakan barometer kualitas keimanan seseorang.
Mengukur barometer iman seseorang bukanlah hal yang sulit, meskipun iman adalah soal kepercayaan dan kepercayaan tersimpan rapat-rapat dalam dunia batin. Akan tetapi, iman itu membutuhkan aktualisasi diri dalam dunia kenyataan. Tidak mungkin seseorang mengaku iman dan cinta kepada Allah swt. tetapi ia menenggelamkan diri dalam selimut ketika Allah memanggilnya melalui adzan. Bukankah orang yang cinta akan segera menyambut panggilan yang dicintainya?
Begitulah kemudian Imam Ghazali mencoba mengklasifikasikan secara bertingkat model puasa manusia. Ia menerangkan bahwa puasa itu ada tiga tingkatan:
Pertama, shaumul umum,  yang bisa diterjemahkan dengan puasa biasa-biasa saja (puasanya orang awam). Yaitu puasa dengan menahan lapar, dahaga dan syahwat, menjaga mulut dan alat kelamin dari hal-hal yang membatalkan puasa.
Kedua, shaumul khushus, atau puasa spesial (puasanya orang khusus) yaitu puasa dengan menahan pendengaran, penglihatan, lisan, tangan, kaki dan segala anggota badan dari dosa dan maksiat.
Ketiga, shaumul khususil khusus, atau puasa istimewa (puasanya orang istimewa) yaitu puasa dengan menahan hati dari keraguan mengenai hal-hal keakhiratan, dan menahan pikiran untuk tidak memikirkan masalah keduniawiyahan, serta menjaga diri dari berpikir selain Allah swt.
Maka, standar kebatalan puasa istimewa ini adalah apabila telah terbersit dalam hati pikiran selain Allah, apalagi memikirkan harta kekayaan yang tidak bermanfaat bagi kehidupan akhirat kelak. Bahkan menurut kelompok ketiga puasa dapat terkurangi nilainya, dan dianggap batal apabila di dalam hati tersirat keraguan atas kekuasaan-Nya. Misalkan dengan meniatkan diri untuk bekerja dan mencari penghidupan sepanjang siang hanya karena khawatir tidak bisa mendapat sesuatu yang dipakai untuk berbuka puasa, sungguh hal ini sama artinya dengan tidak percaya kepada janji Allah, bahwa Allah Yang Maha Pemberi Rezeki itu sungguh-sungguh menghormati dan memuliakan orang yang berpuasa. Tidak mungkin ada orang berpuasa yang tidak berbuka.
Untuk itulah, kemudian al-Ghazali dalam lanjutan keterangannya memberikan tratmen atau gaiden mendaki ketiga tingkatan itu, ia kemudian jelaskan bahwa puasa spesial (shaumul khusus) itu adalah puasanya shalihin. Yang dapat digapai dengan menyempurnakan enam hal:
Pertama, menjaga mata dan penglihatan dari segala hal yang dicela agama dan dibenci Allah swt. dan menghindarkan dari melihat segala hal yang akan melalaikan hati kita ingat kepada Allah. Misalnya, menyibukkan mata dengan menonton film selama puasa, bermain game, memanjakan mata dengan pemandangan duniawi di seputar Mall dan Mini Market yang menggiurkan dan seterusnya.
Dalam sebuah hadits Rasulullah saw. pernah bersabda:
النظرة سهم من سهام إبليس من تركها خوفا من الله آتاه الله إيمانا يجد حلاوته في قلبه
Pandangan adalah saham bagian dari sahamnya Iblis, barang siapa yang meninggalkannya karena takut kepada Allah, maka Allah akan memberikan kelezatan (kemanisan) iman dalam hatinya.
Kedua, dengan menjaga lisan dari berbohong, menggunjing, berbicara jorok dan berbagai keburukan lisan lainnya, serta menggunakan lisan untuk dzikir kepada Allah swt. dan memperbanyak membaca Al-Qur’an. Inilah makna puasa bagi  lisan.
Ketiga, mencegah pendengaran dari hal-hal yang dibenci Allah swt. diantara perkara yang dilarang adalah mendengarkan pergunjingan. Baik yang menggunjing maupun yang mendengarkannya terkena hukum haram. Begitu buruknya perkerjaan mennggunjing dan mendengarkan gunjingan hingga Allah swt. berfirman:
 سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ
Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram.
Keempat, mencegah anggota badan yang lain seperti tangan, kaki, dan perut dari makanan-makanan syubhat ketika berpuasa. Puasa bukanlah menahan makanan halal dan berbuka dengan yang haram, tetapi menahan diri dari makanan yang haram. Diantara menjaga makanan haram adalah menghindarkan diri dari memakan daging manusia sesama saudaranya. Artinya, menghindarkan diri dari menggunjing orang lain.
Kelima, menjaga diri untuk tidak berlebih-lebihan ketika berbuka puasa. Meskipun makanan itu sudah jelas halalnya. Karena diantara hal yang dibenci Allah swt. adalah perut yang dipenuhi makanan halal (makan berlebihan). Hal ini dianggap menghambat diri memecahkan hawa nafsu.
Keenam, hendaklah setelah berbuka puasa seseorang menjadi bermuhasabah, mengintrospeksi diri adakah puasa yang diakukannya hari ini diterima, atau ditolak? Sungguh hal ini akan menjadi pelajaran dan membawa seseorang lebih berhati-hati di hari kemudian.
Walahu 'Alam  bshowab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar