REDEFINISI HILAL SEBAGAI KONSEPSI TITIK TEMU PERBEDAAN
Hisab (perhitungan secara astronomis) atau Rukyat (observasi), dalam
perspektif ilmu pengetahuan, sebenarnya adalah dua sisi dari sekeping
mata uang. Artinya hubungan antara hisab dan rukyat sejatinya adalah
timbal balik sehingga tidak perlu ditempatkan berlawanan, apalagi
dibandingkan mana yang paling unggul.
Manusia melakukan rukyat selama
3.000 tahun terakhir (sejak era Babilonia Baru) guna mendapat data
empirik untuk membangun teori hisab, dan sebaliknya teori hisab yang ada
menghasilkan prediksi elemen Bulan sehingga rukyat bisa dilaksanakan
dengan presisi lebih baik.
Ingat saja metode ilmiah : sebuah
hipotesis (yang dihasilkan oleh hisab) akan terbukti jika didukung oleh
hasil pengamatan (rukyat) dan sebaliknya hasil pengamatan pun harus
memenuhi syarat yang dikehendaki oleh hipotesisnya, agar hasilnya bisa
dinyatakan valid dan reliabel.
Apa yang menjadikan perbedaan antara
Hisab dan Rukyat pada saat ini, atau lugasnya, yang membuat Muhammadiyah
(di kutub hisab) dan NU (di kutub rukyat) berbeda sejatinya terletak
pada TIADANYA DEFINISI TUNGGAL tentang hilal, baik di Indonesia maupun
dunia.
APA ITU HILAL?
Secara bahasa artinya Bulan
sabit (crescent). Namun Bulan dalam fase sabit memiliki beragam bentuk,
ada yang tebal (gemuk) dan ada pula yang tipis.
Yang manakah yang
disebut hilal? Jika pertanyaan ini anda ajukan (misalnya) kepada anggota
Lajnah Falakiyah PBNU atau anggota Majelis Tarjih PP Muhammadiyah,
Insya Allah tidak akan mendapatkan jawaban yang jelas. Jangankan lagi
kepada Ketua PBNU atau PP Muhammadiyah atau bahkan kepada Presiden/Wakil
Presiden, yang secara teknis “tidak memahami” seluk beluk ini.
Mendefinisikan hilal sebenarnya bertumpu pada dua pilar, yakni kedudukan
Bulan dan sensitivitas alat optik yang digunakan (termasuk mata
telanjang).
Pilar pertama, yakni kedudukan Bulan (yang diderivasikan
dalam elemen seperti tinggi, azimuth, elongasi, fase, magnitude visual)
sebenarnya bukan masalah besar lagi, terutama sejak dekade 1960-an.
Dengan memanfaatkan cermin retroreflektor yang ditempatkan astronot
Apollo di sisi dekat Bulan (yakni sisi yang menghadap ke Bumi), Lunar
Laser Ranging (LLR) yang berbasis sinar laser dan teleskop reflektor 3,5
mm telah mampu mengukur jarak Bumi-Bulan dengan ketelitian luar biasa
tinggi, hingga tingkat kesalahan maksimumnya hanya 2 mm saja.
Konsekuensinya, algoritma modern mengenai gerak Bulan yang diderivasikan
dari eksperimen LLR ini pun mempunyai ketelitian sangat tinggi, seperti
misalnya algoritma Chapront ELP 2000/82 yang tingkat kesalahan
maksimumnya ‘hanya’ 10 detik busur alias 3 miliderajat saja. Sebagai
pembanding, diameter cakram Bulan bila dilihat dari Bumi adalah 500
miliderajat. Jika hanya memperhitungkan pilar ini saja, wujudul hilal
sudah mencukupi, karena “kriteria” ini mewajibkan Bulan harus di atas
horizon (ufuk mar’i) ketika Matahari terbenam.
Sementara pilar
kedua, yakni sensitivitas alat optik, relatif “terlantar” alias tidak
banyak diteliti, padahal tak kalah pentingnya. Sebab manusia hidup di
Bumi, dilindungi atmosfer yang tebal dan memiliki sifat optik
tersendiri, sementara alat optik yang digunakan manusia (baik mata
telanjang maupun teleskop/binokuler) punya keterbatasan. Baru belakangan
saja (tepatnya sejak masa F Bruin, 1977) masalah sensitivitas alat
optik mulai dikaji secara mendalam, meski akarnya telah diteliti hingga
jauh ke masa silam, mulai al-Biruni hingga Andre Danjon (yang melahirkan
konsep Danjon Limit). Dan pilar ini pula yang mendatangkan
ketidakpastian terbesar dalam histori observasi hilal, dimana tingkat
kesalahannya bisa mencapai 20 % (rata-rata).
Idealnya, para pengamat
harus membawa instrumen fotometri untuk membandingkan kecemerlangan
cahaya Bulan (L) terhadap kecemerlangan cahaya langit di latar
belakangnya (Lb). Jika L < Lb, otomatis hilaal takkan bisa dilihat
dengan cara apapun. Sedangkan jika L > Lb, hilal hanya bisa terlihat
jika nilai (L/Lb) – 1 lebih besar dibanding Blackwell contrast
threshold. Yang menarik disini, menggunakan teleskop/binokuler dengan
perbesaran yang tepat membuat nilai L dan Lb yang kita lihat lewat alat
optik berkurang, namun besaran (L/Lb) – 1 adalah tetap, sementara
Blackwell contrast threshold-nya pun berkurang sehingga memungkinkan
hilal terlihat, meski ketika menggunakan mata telanjang hilal tak
nampak.
Jika dilihat dari pilar ini, wujudul hilal jelas kurang
tepat karena sepenuhnya mengabaikan pengaruh atmosfer Bumi dan
sensitivitas alat optik. Namun instrumen fotometri bukan barang murah.
Maka sejak lama para astronom sudah mencoba mendekati keadaan ideal
tersebut dengan mengkaitkan L terhadap elemen Bulan, sementara Lb
dikaitkan dengan posisi Matahari, kemudian hasilnya dikombinasikan
sehingga diperoleh parameter visibilitas Bulan sebagai fungsi dari
selisih tinggi (aD) dan elongasi (aL). Inilah yang dikerjakan sejak masa
Bruin (1977) dan kini yang termutakhir adalah buah karya Odeh (2004).
Hasilnya memang rada ruwet, seperti dari Odeh misalnya, yang merumuskan
persamaan berikut :
V = aD – (-0,1018*W*W*W + 0,7319*W*W – 6,3226*W + 7,1651)
dimana
W = R(1 – cos(aL))
Dengan aD dan aL dalam satuan derajat, R = jari-jari apparent Bulan
(dalam satuan menit busur) dan V = parameter Odeh. Agar hilal terlihat,
jika pengamatan hanya mengandalkan mata telanjang, V harus berharga
lebih dari 2. Sedangkan jika pengamatan menggunakan teleskop/binokuler, V
harus lebih besar dari -0,96.
Inilah pendekatan ilmiah untuk
definisi “hilal”, meski juga belum sempurna benar, karena didasarkan
sepenuhnya pada kondisi cuaca yang cerah, belum memperhitungkan langit
yang “sedikit berawan.”
Definisi hilal semacam ini sering pula
disebut “hilal ilmiah.” Secara umum disini bisa dikatakan bahwa hilal
bisa terlihat (dengan teleskop/binokuler) jika dan hanya Bulan memiliki
elongasi > 7 derajat kala terbenamnya Matahari dan aD > 10 derajat
(jika selisih azimuth Bulan-Matahari/DAz mendekati nol) atau aD > 4
derajat (jika DAz > 5 derajat).
Sering muncul gugatan, ilmu
astronomi/falak merupakan ilmu-nya orang Islam yang sudah dikuasai sejak
lama, maka mengapa persoalan rukyat ini masih menjadi masalah? Dari
catatan yang ditinggalkan para ahli falak Muslim sejak masa Daulah Bani
Abbasiyah dan sesudahnya, diketahui bahwa al-Khawarizmi merumuskan
elongasi Bulan harus > 9,5 derajat agar hilal bisa terlihat.
Sementara Ibn Maimun sedikit berbeda, yakni elongasi > 9 derajat.
Al-Battani, Abdurrahman as-Sufi, ibn Yunus dan al-Kashani
menggarisbawahi nilai elongasi > 10 derajat. Dan Tsabit ibn Qurra’
sedikit lebih longgar yakni elongasi > 11 derajat.
Maka nampak
jelas bahwa hasil karya ahli falak Muslim tempo dulu pun tidak
menyelisihi kesimpulan yang diperoleh dimasa sekarang. Meski secara
ilmiah sudah terdefinisikan bahkan sejak berabad-abad silam,
persoalannya definisi “hilal ilmiah” belum tersosialisasikan sepenuhnya
ke segenap lapisan umat, apalagi memang ada kesan “rumit” dengan
sederetan persamaan matematis tersebut. Inilah tugas kita untuk
menyosialisasikannya, sebagai pihak yang alhamdulillah diberi sedikit
pengetahuan tentang itu.
Untuk Indonesia, memang ada “hilal
kesepakatan”, yakni disepakati (oleh sebagian besar komponen Umat Islam)
yang disebut hilal adalah Bulan dengan aD > 3 derajat, aL > 4,2
derajat dan telah berumur 8 jam pasca konjungsi. Muhammadiyah
mengkritik definisi “hilal kesepakatan” ini sejak awal karena terlalu
sederhana dan tidak ilmiah. Namun sedari awal “hilal kesepakatan” ini
memang ditujukan untuk menyatukan umat terlebih dahulu dan sekaligus
berperan sebagai definisi transisi menuju pengertian “hilal ilmiah” yang
sesungguhnya. Harapannya, dengan semakin majunya zaman, semakin
terdidiknya umat, diharapkan hilal kesepakatan ini perlahan bisa
bergeser ke arah yang lebih baik. Jika yang diutak-atik perkara ilmiah
apa tidak, wujudul hilal yang dipakai Muhammadiyah pun juga tidak ilmiah
dan ‘hanyalah’ hipotesis tanpa bukti. Sebab hingga kini tak satupun ada
bukti yang menyebutkan jika Bulan terbenam semenit lebih lambat
dibanding Matahari maka hilal sudah bisa dilihat.
Dari hasil
observasi ICOP, diketahui bahwa selisih minimum antara waktu terbenamnya
Bulan terhadap waktu terbenamnya Matahari agar hilal bisa terlihat
adalah 20 menit (dengan teleskop) dan 29 menit (dengan mata telanjang),
itupun hanya terjadi di titik observasi yang lokasinya cukup tinggi.
Jika definisi hilal sudah disepakati, maka kepastian bisa didapatkan
dan andaikata tidak dilaksanakan rukyat pun (seperti dalam kasus
penentuan waktu shalat) tidaklah mengapa. Waktu shalat bisa ditentukan
dengan pasti karena definisi tiap waktu shalat cukup jelas. Idealnya,
kelak dalam menentukan 1 Ramadhan, 1 Syawwal dan 1 Dzulhijjah pun
demikian. Meski rukyat tetap saja masih bisa dilakukan untuk konfirmasi.
Apakah situasi (perbedaan) ini, di Indonesia khususnya, akan seperti
ini terus? Di lingkungan Muhammadiyah, wujudul hilal sudah digunakan
sejak 1969 alias bertahan hampir 40 tahun. Sementara riset tentang hilal
sudah jauh berkembang pesat selama 40 tahun terakhir, terutama yang
dipelopori oleh F. Bruin dkk (1977) yang memperkenalkan algoritma modern
hingga masa Yallop, Odeh dan Sultan sekarang ini. Dan jika anda
cermati, PP Muhammadiyah sejak tahun 2007 mulai membuat pelatihan hisab
dan rukyat, berbeda dari biasanya yang hanya pelatihan hisab saja.
Lembaga pendidikan tinggi Muhammadiyah juga sudah mulai getol meneliti
langit..
Sementara di lingkungan NU, belakangan muncul ide untuk
menyertifikasi para perukyat. Pelatihan disini juga sudah kian gencar
dilakukan. Ini tentu saja ditujukan agar para perukyat makin terlatih
(karena mayoritas dari mereka ternyata belum pernah sama sekali
menyaksikan hilal) dan menghindari “salah lihat” yang bisa berakibat
serius, seperti misalnya menganggap Venus sebagai hilal. Dalam definisi
hilal, NU berpegangan pada Danjon Limit (yakni elongasi > 6,4
derajat), namun dalam operasionalnya tetap menerima “hilal kesepakatan”
yang ditawarkan Depag.
Dua Hilal: Bagaimana jika keduanya sama-sama ilmiah?
1433 tahun yang lalu, Rasul SAW bersama para sahabatnya melakukan
hijrah dari Makkah menuju ke Yatsrib (Madinah) dalam rangka untuk
menyelamatkan akidah dari tekanan mayoritas penduduk Makkah. Peristiwa
tersebut kemudian dijadikan awal bagi penanggalan umat Islam yang
dikenal dengan penanggalan Hijriah.
Penanggalan hijriah
merupakan penanggalan yang didasarkan pada gerakan bulan. Oleh karena
itu awal dari suatu bulan di dalam penanggalan hijriah ditandai dengan
munculnya bulan sabit baru (hilal). Penentuan awal bulan dalam
penanggalan hijriah pengaruhnya begitu krusial bagi umat islam. Hal ini
dikarenakan penanggalan hijriah sangat erat kaitannya dengan
ritual-ritual keagamaan dalam agama islam.
Dua Definisi Hilal
Hilal atau bulan sabit baru ternyata terdapat dua definisi yang
berbeda, dan kedua definisi tersebut telah beredar luas di masyarakat.
Definisi pertama adalah hilal merupakan posisi bulan sesaat setelah
bulan berputar penuh mengelilingi bumi. Definisi inilah yang dianut para
pengikut organisasi massa (ormas) islam Muhammadiyah. Pihak
Muhammadiyah mengumumkan tanggal 1 Syawal 1432 H bertepatan dengan
tanggal 30 Agustus 2011. Alasan yang mereka kemukakan adalah, bulan
telah mencapai titik konjungsinya pada 10.05 WIB pada hari senin 29
Agustus 2011. Definisi kedua tentang hilal adalah ketika cahaya matahari
yang terpantul oleh permukaan bulan dapat terlihat dari permukaan bumi.
Jadi bisa dikatakan bahwa hilal memiliki definisi:
1. Bulan telah mengelilingi bumi dengan sempurna.
2.Bulan telah mengalami satu fase penuh dalam satu bulan.
Pengertian 'bulan telah mengelilingi bumi dengan sempurna' memiliki
makna yang berbeda dengan 'bulan telah mengalami satu fase penuh dalam
satu bulan'. Ketika kita mengatakan bulan telah mengelilingi bumi satu
putaran penuh berarti jika bulan pada awalnya berada pada koordinat A di
garis bujur bumi, maka bulan mengelilingi bumi satu putaran penuh
adalah ketika bulan kembali pada koordinat A. Sebagai contoh adalah jika
suatu ketika bulan berada pada garis bujur bumi yang segaris dengan
tugu monas, maka bulan telah mengelilingi bumi secara sempurna apabila
bulan telah kembali pada garis bujur bumi yang sebujur dengan tugu
monas. Sedangkan jika kita mengatakan bulan telah mengalami satu fase
sempurna berarti jika bulan telah menampakkan bentuk fasenya secara
penuh dari bulan sabit baru kembali lagi ke bulan sabit baru. Perbedaan
keduanya adalah untuk bulan mengelilingi bumi secara sempurna hanya
bergantung pada posisi bulan dengan suatu derajat koordinat bujur pada
permukaan bumi. Sedangkan untuk bulan mengalami satu fase penuh
bergantung pada letak posisi bulan, bumi, dan matahari yang mempengaruhi
bentuk penampakan bulan di bumi (kita tahu bahwa cahaya bulan merupakan
hasil pantulan dari sinar matahari), sedangkan fase bulan dipengaruhi
oleh posisi bulan terhadap bumi dan matahari, yang dalam artian pada
saat tertentu sinar matahari akan terhalang oleh bumi, sehingga bagian
gelap bulan merupakan bayangan bumi.
Manakah di antara kedua pengertian hilal tersebut yang lebih ilmiah?
Pada tanggal 29 Agustus 2011, dari situs portal berita JPNN diberitakan
bahwa hari raya Idul Fitri hampi 1 Syawal 1432 H pasti akan berbeda.
Hal ini dikarenakan posisi bulan baru berada pada sudut kurang dari 2
derajat. Sedangkan pada posisi tersebut bisa dipastikan bahwa pantulan
cahaya matahari oleh permukaan bulan tidak akan dapat disaksikan dari
permukaan bumi, bahkan dengan alat tercanggih yang ada pada saat ini.
Tapi meski bulan tidak menampakkan pantulannya, ia telah mengitari penuh
permukaan bumi. Jadi secara perhitungan (hisab) telah diketahui bahwa
pada tanggal 30 Agustus hilal, dengan definisi pertama, akan muncul
dengan posisi kurang dari 2 derajat, sehingga ia mustahil akan tampak
dari permukaan bumi. Sedangkan cara yang sama, perhitungan (hisab),
hilal dengan definisi kedua akan muncul pada tanggal 31 Agustus karena
pada saat itu posisinya berada lebih dari 2 derajat. Jadi apa yang
menjadi polemik bukanlah pada metode mana yang lebih modern dalam
penentuan bulan sabit baru, melainkan pada perbedaan definisi hilal.
Ada satu hal lain yang juga perlu dipahami dalam penanggalan Hijriah,
yaitu awal hari dari suatu penanggalannya berbeda dengan kalender
Masehi. Jika kalender masehi penanggalan baru selalu dimulai dari garis
bujur 180 derajat (UTC±12) yang berada pada tengah laut pasifik, tapi
tidak demikian dengan kalender Hijriah. Awal suatu hari dalam kalender
baru bisa terjadi di mana saja. Sebagai contoh kota Jakarta Indonesia
akan selalu mengalami tanggal 1 Januari enam jam lebih awal dibandingkan
dengan kota Paris di Prancis. Sedangkan dalam penanggalan Hijriah,
suatu daerah yang mengalami awal dari suatu penanggalan tidak bersifat
tetap sebagaimana kalender Masehi yang selalu tetap dengan mengikuti
pembagian waktu UTC. Dengan demikian, dalam penanggalan Hijriah, bisa
jadi kota Prancis akan mengalami awal suatu penanggalan jika di kota
tersebut telah tampak pertama kali bulan sabit baru atau di tempat
manapun di belahan bumi yang lain yang muncul pertama kali penampakan
bulan sabit baru. Oleh karena itu dalam penentuan awal suatu hari baru
dalam suatu bulan dalam kalender Hijriah untuk beberapa kalangan masih
mengandalkan pada (metode rukyat) metode pengamatan langsung pada
kemunculan bulan sabit baru.
Namun ada berita gembira bahwa upaya
menuju penyelesaian perbedaan telah ditegaskan pada fatwa MUI tentang
penetapan awal Ramadan, Syawal, dan Dzulhijah yang dikeluarkan pada 16
Desember 2003 lalu. Isinya mewajibkan umat Islam Indonesia menaati
ketetapan pemerintah tentang penetapan awal-awal bulan tersebut dan
merekomendasikan upaya mencari kriteria titik temu yang dapat dijadikan
pedoman bersama. Suasana kondusif ini sangat baik kita gunakan untuk
mengkaji sumber perbedaan dan mencari titik temunya.
Perbedaan
pendapat tentang hisab rukyat dan mathla' serta implikasinya telah
menyita banyak energi umat Islam. Persoalan ijtihadiyah ini sangat
berpotensi merusakkan ukhuwah islamiyah. Padahal kita akui bersama,
tidak ada kebenaran mutlak atas pendapat ijtihadiyah. Sifatnya kadang
sangat temporal dan situasional. Namun seringkali kita terpaku pada
pendapat ulama yang zaman dan situasinya jauh berbeda dengan saat ini.
Keterpakuan pada pendapat lama dan kesempitan wawasan akan perkembangan
baru terbukti telah meng’kotak’kan umat Islam pada mazhab yang
representasinya berasosiasi dengan ormas Islam. Di Indonesia, sekian
puluh tahun pandangan hisab-rukyat didominasi oleh perbedaan dua ormas
besar: Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, dengan beberapa varian
pada ormas Islam lainnya.
Masalah ini kadang luput dari perhatian
dalam mencari solusi umat secara integral, bukan parsial dalam komunitas
ormas tertentu saja. Kita semua diajak untuk mengubah paradigma kita
dari "perdebatan dalil hukum tentang metode yang paling sahih dan paling
baik" menjadi "pencarian kriteria bersama untuk metode yang berbeda".
Upaya maksimal yang kita lakukan dengan paradigma lama adalah "kita
saling menghargai", kita tingkatkan dalam paradigma baru dengan "kita
saling mengisi". Kita reorientasikan upaya ijtihadiyah kita dari
"mencari kebenaran relatif ijtihadiyah" menjadi "ijtihadiyah menuju
titik temu bersama". Sudahlah cukup energi umat dicurahkan untuk
mengkaji sepenggal dalil yang kadang hanya berujung pada kompilasi
pendapat lama.
Beberapa pendapat yang berkembang di Indonesia dalam
masalah hisab rukyat akan diulas, termasuk kritik terhadapnya. Ada
potensi untuk menuju titik temu antara pendapat-pendapat yang berkembang
tersebut. Konsepsi titik temu astronomis diusulkan untuk jadi pemikiran
bersama.
Substansi masalah
Dalil Alquran dan hadis
tentang hisab rukyat sebenarnya tidak banyak. Tanpa menyebut satu
persatu dalil Alquran dan hadis yang biasa dikemukakan oleh para ahli
fiqih, secara umum dalil-dalil tersebut menyatakan hal berikut :
Hilal digunakan untuk menentukan waktu (kalender) dan ibadah (Q.S. 2: 189).
Penentuan waktu bisa dilakukan karena bulan mempunyai fase-fase dari
sabit sampai kembali menjadi sabit yang tipis seperti pelepah kering
dengan periode yang tertentu (Q.S. 36: 39). Dengan keteraturan
peredarannya, matahari dan bulan dapat digunakan untuk perhitungan waktu
dan penentuan bilangan tahun (Q.S. 10: 5, 55: 5).
Kemudian,
tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malam pun tidak
dapat mendahului siang, karena masing-masing beredar pada garis edarnya
(Q.S. 36: 40). Hukum Allah tentang peredaran matahari dan bulan di
langit yang menentukan satu tahun itu 12 bulan, karenanya mengubah atau
mengulurnya karena suatu alasan (misalnya strategi perang atau
penyesuaian dengan musim) tidak dibenarkan (Q.S. 9: 36-37).
Berpuasalahlah kamu semua bila melihatnya (hilal) dan berbukalah bila
melihatnya, bila terhalang awan maka sempurnakan bilangan bulan
(Sya’ban) 30 hari. (HR Bukhari Muslim).
Dari sekian dalil Alquran
dan Hadis, pokok masalah yang utama adalah tidak adanya petunjuk
operasional yang jelas, rinci, dan bersifat kuantitatif seperti halnya
masalah waris. Tentu ini ada hikmahnya, umat Islam dengan demikian
ditantang untuk melakukan riset ilmiah untuk memperjelas, merinci, dan
menguantitaskan pedoman umum dalam nash Alquran dan Hadis. Sesuai dengan
sifat riset ilmiah, tidak ada yang bersifat benar mutlak untuk
selamanya dan di segala tempat. Semuanya bersifat dinamis.
Hal-hal pokok yang perlu diperjelas, diperinci, dan dikuantitaskan adalah sebagai berikut :
1. Apakah hilal itu? Definisi hilal bisa beragam, tetapi bila itu
bagian dari riset ilmiah, semua definisi itu semestinya saling
melengkapi. Bukan dipilih definisi parsial. Hilal harus didefinisikan
mulai dari metode sederhana rukyat tanpa alat bantu sampai dengan alat
canggih hasil teknologi terbaru. Hilal juga harus terdefinisi dalam
kriteria hisab yang menjelaskan hasil observasi. Definisi lengkapnya
misalnya, dirumuskan, hilal adalah bulan sabit pertama yang teramati di
ufuk barat sesaat setelah matahari terbenam, tampak sebagai goresan
garis cahaya yang tipis, dan bila menggunakan teleskop dengan pemroses
citra bisa tampak sebagai garis cahaya tipis di tepi bulatan bulan yang
mengarah ke matahari.
Dari data rukyatul hilal jangka panjang,
keberadaan hilal dibatasi oleh kriteria hisab tinggi minimal sekian
derajat bila jaraknya dari matahari sekian derajat dan beda waktu
terbenam bulan-matahari sekian menit serta fraksi iluminasi sekian
persen.
Fenomena rukyat dan hisab seperti itu harus saling mengisi,
sehingga dapat saling menggantikan dalam kondisi tertentu, baik kondisi
alamiah maupun kondisi pemikiran (misalnya pemilihan hisab saja atau
rukyat saja seperti terjadi sekarang).
2. Sejauh mana keberlakuan
rukyatul hilal atau mathla'? Kita semua mengetahui bahwa bumi itu bulat,
bukan seperti selembar kertas. Dapat dipastikan ada daerah yang bisa
melihat hilal lebih awal dari daerah lainnya. Tidak ada batasan fisik
kuantitatif yang dapat dibuat dalam menentukan mathla' tanpa
mempertimbangkan kondisi sebaran penduduk dan geopolitik pada suatu
masa. Gagasan untuk membuat rukyat yang bersifat global akan berbenturan
dengan sekian kesulitan, termasuk memaksa orang untuk berjaga menunggu
kesaksian hilal yang belum pasti atau memaksa orang meng-qadha puasa
bila terlewat. Sementara membuat batasan radius sekian derajat juga
tidak ada alasan ilmiah yang sahih. Gagasan ahli fiqih dalam menentukan
mathla' bersifat wilayatul hukmi (berdasarkan wilayah hukum) dipandang
sangat beralasan karena berangkat dari konsep ulil amri sebagai
pemersatu umat. Kalaulah kelak ada ulil amri yang ditaati oleh semua
umat Islam sedunia, konsep wilayatul hukmi yang global bisa terwujud.
Ada masalah musykil yang mengemuka dan berimplikasi munculnya perbedaan
pendapat yang berkepanjangan. Untuk mendapat jawaban atas masalah pokok
tersebut di atas, umat Islam terus-menerus selama ratusan tahun
mengkajinya dari penafsiran makna tersirat dari nash Alquran dan
pendapat ulama terdahulu yang mungkin didasarkan pada perkembangan
pemikiran pada zamannya.
Ada juga kecenderungan simplifikasi
masalah sehingga solusinya bersifat parsial. Misalnya, sekian lama kita
berdebat soal makna "rukyat" sehingga kemudian muncul ungkapan "rukyat
bil qalbi", "rukyat bil ilmi", dan "rukyat bil 'ain". Sekian lama kita
terpaku pada pendapat wujudul hilal atau tidak sahnya rukyat pakai alat
yang bersifat memantulkan cahaya. Pemisahan rukyat dan hisab, penggunaan
hisab wujudul hilal, atau kriteria tunggal tinggi bulan minimal 2
derajat adalah representasi bentuk simplifikasi permasalahan yang
kemudian dianggap sebagai hasil pemikiran yang final oleh sebagian
masyarakat.
Jadi, substansi masalah pokok hanyalah redefinisi
"hilal" yang integral antara hisab dan rukyat dengan riset ilmiah yang
terbuka. Riset tidak berarti harus memulai dari nol dengan merukyat
sendiri, karena hal itu justru bukan metodologi riset yang efisien untuk
masalah hisab rukyat yang memerlukan data jangka panjang dan cakupan
wilayah yang sangat luas. Perlu keberanian mengoreksi pendapat sendiri
dan sikap terbuka menerima pendapat lain yang mungkin sama sekali baru.
Hisab rukyat di Indonesia kini mencermati perkembangan praktik
penentuan awal Ramadan, Idul Fitri, dan Idul Adha di Indonesia, kita
bisa merujuk akar masalahnya pada kriteria yang digunakan oleh dua ormas
besar, NU (Nahdlatul Ulama) dan Muhammadiyah. Ormas lain, seperti
Persis (Persatuan Islam), walau sedikit berbeda kriterianya secara garis
besar berada pada salah satu kriteria NU atau Muhammadiyah. Untuk
mencari titik temu, perlu kita pahami kesamaan dan perbedaannya serta
kemungkinannya untuk dipersatukan.
Keputusan Musyawarah Tarjih
Muhammadiyah 1932 menegaskan bahwa datangnya awal bulan bukan hanya
dengan rukyat, tetapi juga dengan hisab. Hisab bisa berdiri sendiri
sebagai sumber pengetahuan datangnya Ramadan dan bulan-bulan qamariyah
lainnya. Ini berbeda dengan NU yang menyatakan hisab hanya sebagai
pembantu rukyat.
Muhammadiyah mendefinisikan hisab sebagai
perhitungan astronomis tentang posisi hilal. Namun, hisab tidak mungkin
membuat keputusan tanpa adanya kriteria yang disebut hilal. Tidak ada
satu pun dalil dalam Hadis atau Alquran yang menyebutkan secara tegas
apa itu hilal yang bisa diterjemahkan secara kuantitatif dalam kriteria
hisab.
Pendekatan yang dilakukan Muhammadiyah adalah dengan
pendekatan astronomis bahwa hilal adalah penampakan bulan yang paling
kecil yang menghadap bumi beberapa saat setelah ijtimak. Inilah yang
kemudian menjadi kriteria hisabnya bahwa awal bulan baru ditandai dengan
berujudnya hilal. Tandanya adalah bila matahari terbenam lebih dahulu
daripada bulan.
Dalam perkembangan pemikiran ijtihadiyah, penggunaan
kriteria wujudul hilal patut dihargai, itu merupakan syarat untuk
munculnya hilal, tetapi syarat itu belum cukup. Hilal telah terwujud
bisa juga terjadi sebelum ijtimak. Hal itu terjadi di Indonesia pada
Dzulhijah 1423 lalu. Di Kalimantan bagian selatan, Sulawesi bagian
selatan, Nusa Tenggara, dan Papua bagian selatan bulan telah berujud
pada saat magrib 1 Februari, tetapi belum terjadi ijtimak. Kasus yang
ekstrem terjadi pada bulan Syaban 1423 (Oktober 2002). Saat itu di
sebagian besar Indonesia bulan telah berujud, tetapi belum terjadi
ijtima’.
Dalam beberapa kasus (misalnya, saat penentuan Idul Adha
1423), masalah ini teratasi dengan konsep mathla' wilayatul hukmi.
Tetapi bila kasus ekstrem seperti Syaban 1423 dengan garis ijtima' saat
magrib bergeser ke arah barat, ke luar Indonesia, konsep wilayatul hukmi
tidak dapat mengatasi wujudul hilal sebelum terjadi ijtima'. Kriteria
wujudul hilal kemudian perlu ditambahkan dengan kriteria ijtima’ sebelum
magrib (ijtima’ qablal ghurub).
Dalam perkembangan saat ini
berbagai argumentasi dikemukakan untuk mendukung kriteria wujudul hilal,
termasuk dari penafsiran Q.S. 36: 39-40. Bahkan ada juga yang mencari
pendekatan dari awal bulan secara astronomis yang diharapkan
kesimpulannya akan sama dengan awal bulan dengan kriteria wujudul hilal.
Pendekatan murni astronomis bisa menyesatkan bila digunakan untuk
pembenaran penetapan awal bulan yang harus mempertimbangkan syariat.
Bulan baru astronomi atau ijtima’ tidak ada dasar hukumnya untuk diambil
sebagai batas awal bulan qamariyah. Sementara itu, posisi bulan di atas
ufuk dalam definisi sesungguhnya wujudul hilal tidak punya arti secara
astronomis, karena tidak mungkin teramati. Wujudul hilal hanya ada dalam
teori. Apalagi kalau wujudul hilal tidak mempertimbangkan ijtima'
qablal ghurub, "hilal" teoritik pun mungkin tidak ada karena belum
terjadi ijtima’.
Sementara itu konsep mathla' wilayatul hukmi
kontradiksi kalau diterapkan pada hisab murni, tanpa mengadopsi kriteria
rukyat. Konsepsi mathla' berangkat dari ketidakpastian rukyat. Di satu
daerah hilal tampak, sedangkan di daerah lain tidak tampak. Pada zaman
Ibnu Abbas, mathla' dapat diterapkan tanpa masalah karena komunikasi
antardaerah masih sangat buruk. Tetapi dengan makin baiknya komunikasi,
kesaksian rukyatul hilal di suatu daerah segera tersebar. Dalam hal ini
konsep mathla' diperlukan untuk memberikan kepastian keberlakuan
rukyatul hilal itu. Dengan hisab murni, mathla' tidak diperlukan lagi.
Garis tanggal dapat digunakan sebagai pembatas daerah yang mana yang
masuk tanggal lebih dahulu dari daerah lainnya. Tentu dengan konsekuensi
kemungkinan satu wilayah hukum terpecah dua.
Muhammadiyah telah
berijtihad mengambil hisab secara mandiri tanpa bergantung rukyat secara
fisik (bil fi'li) karena rukyat telah direpresentasikan dalam bentuk
kriteria wujudul hilal. Dalam perkembangannya, kriteria wujudul hilal
saja tidak cukup, perlu kriteria ijtima’ qablal ghurub. Kini
Muhammadiyah perlu juga terbuka untuk mengkaji ulang ijtihadnya, dengan
memasukkan faktor transparansi atmosfer dan kepekaan mata manusia yang
lazim dalam telaah astronomis tentang visibilitas hilal (imkanur
rukyat). Sehingga definisi hilal bukan lagi hilal teoretis yang tidak
punya landasan qath'i dari syariat dan tidak punya dukungan astronomis,
melainkan hilal yang benar-benar terbukti dapat dirukyat.
NAHDLATUL
Ulama (NU) sebagai ormas Islam berhaluan ahlussunnah wal jamaah
berketetapan mencontoh Rasulullah dan para sahabatnya dan mengikut
ijtihad para ulama mazhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali).
Dalam hal penentuan awal bulan, NU menetapkan harus dengan rukyatul
hilal bil fi'li, dengan melihat hilal secara langsung. Bila berawan atau
menurut hisab hilal masih di bawah ufuk, mereka tetap merukyat untuk
kemudian mengambil keputusan dengan menggenapkan (istikmal) bulan
berjalan menjadi 30 hari. Demikianlah ketentuan syariat yang
diyakininya. Hisab hanya sebagai alat bantu, bukan sebagai penentu
masuknya awal bulan qamariyah.
Kesaksian dapat diyakini karena saksi
perlu disumpah. Seringkali sumpah dianggap lebih kuat dari argumentasi
ilmiah berupa hasil hisab. Dalam beberapa kasus, bulan yang masih di
bawah ufuk menurut perhitungan astronomi dilaporkan terlihat dan diambil
sebagai dasar penetapan awal bulan, misalnya pada penetapan Idul Fitri
1413/1993. Namun sejak 1994, PBNU telah membuat pedoman bahwa kesaksian
hilal bisa ditolak bila semua ahli hisab sepakat menyatakan hilal tidak
mungkin dirukyat. Secara lebih tegas dinyatakan, kesaksian rukyatul
hilal dapat ditolak bila tidak didukung ilmu pengetahuan atau hisab yang
akurat.
Prinsip penolakan itu telah dilakukan dalam sidang itsbat
penentuan Idul Fitri 1418/1998 yang menolak kesaksian di Cakung dan
Bawean. Saat itu hilal masih di bawah kriteria imkanur rukyat 2 derajat.
Namun prinsip itu belum secara konsisten dilaksanakan, karena PWNU Jawa
Timur justru menerima kesaksian tersebut. Termasuk komentar negatif
dari beberapa tokoh NU atas pernyataan Lajnah Falakiyah PBNU yang
mengisyaratkan Idul Fitri jatuh pada 6 Desember 2002 sebelum ada
rukyatul hilal, hanya mendasarkan pada kriteria yang sebenarnya telah
menjadi pedoman PBNU. Tampaknya kriteria imkanur rukyat 2 derajat belum
diterima di seluruh jajaran NU atau belum dimasyarakatkan. Padahal
kriteria itu didasari oleh hasil rukyat sebelumnya tentang batas minimal
ketinggian hilal yang teramati secara meyakinkan.
Hal ini bisa
dirujuk dari pengamatan hilal awal Ramadan 1394/16 September 1974 yang
dilaporkan oleh 10 saksi dari 3 lokasi yang berbeda. Tidak ada indikasi
gangguan planet Venus. Perhitungan astronomis menyatakan, tinggi hilal
sekitar 2 derajat dengan beda azimut 6 derajat dan umur bulan sejak
ijtimak 8 jam. Jarak sudut Bulan-Matahari 6,8 derajat, dekat dengan
limit Danjon yang menyatakan jarak minimal 7 derajat untuk mata manusia
rata-rata.
Kriteria tinggi 2 derajat dan umur bulan 8 jam ini yang
kemudian diadopsi sebagai kriteria imkanur rukyat MABIMS (negara-negara
Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) pada 1996.
NU
telah berijtihad menerima batasan imkanur rukyat 2 derajat, walaupun
sosialisasi ke semua jajaran belum berjalan baik. Lagi-lagi, sebagai
bagian proses ijtihad, penetapan imkanur rukyat 2 derajat patut
dihargai. Ini lebih baik daripada tanpa kriteria seperti kasus Idulfitri
1413/1993 yang menerima kesaksian rukyatul hilal padahal bulan sudah di
bawah ufuk menurut hisab astronomi yang akurat. Namun pedoman "didukung
ilmu pengetahuan atau hisab yang akurat" masih membuka peluang yang
lebih luas. Kriteria imkanur rukyat 2 derajat yang telah diterima, masih
harus dikaji lagi secara ilmiah. NU juga harus terbuka mengkaji ulang
ijtihadnya agar sesuai dengan ilmu pengetahuan atau hisab yang akurat
sesuai pedoman yang ditetapkan. Sehingga definisi hilalnya bukan
semata-mata hilal "syariat" yang diyakini benarnya dari sumpah
pengamatnya, melainkan hilal sesungguhnya yang dapat dibuktikan secara
ilmiah.
Konsepsi titik temu
Tanpa banyak diketahui
oleh masyarakat umum, upaya-upaya menuju titik temu itu sudah mulai
dilakukan oleh masing-masing ormas tersebut. NU yang dikenal kuat
mempertahankan rukyatul hilal, telah banyak berubah dengan
memperkenankan penggunaan alat untuk rukyat dan mengadopsi kriteria
hisab imkanur rukyat (kemungkinan rukyat) untuk menolak kesaksian rukyat
yang terlalu rendah. Muhammadiyah yang dikenal kuat juga mempertahankan
hisab wujudul hilal, mulai mengkaji melalui workshop yang mengundang
berbagai praktisi hisab rukyat, termasuk dari NU dan Persis. Momentum
yang baik ini dapat digunakan untuk melakukan redefinisi tentang hilal.
Sayang, Munas Tarjih Muhammadiyah awal Oktober 2003 lalu belum
menghasilkan perubahan yang signifikan, walau ada titik terang untuk
terus mengkaji.
Kriteria MABIMS pada awal 1990-an yang sebenarnya
berpotensi mempertemukan kalangan hisab dan rukyat dalam mendefinisikan
"hilal" sebenarnya telah diterima oleh hampir semua ormas Islam, kecuali
Muhammadiyah. Kriteria itu telah digunakan oleh kalender nasional dan
beberapa Ormas Islam.
Muhammadiyah, menurut salah seorang tokoh
ahli hisabnya, keberatan karena anggapan kriteria itu tidak ada dukungan
ilmiahnya. Memang benar, kriteria tersebut berdasarkan analisis
sederhana, belum memperhitungkan beda azimut Bulan-Matahari seperti yang
dilakukan pada kriteria astronomis. Kalau mau jujur, kriteria wujudul
hilal yang saat ini digunakan Muhammadiyah juga tidak ada dukungan
ilmiahnya.
Kehendak untuk mendasarkan kriteria "hilal" pada dukungan
ilmu pengetahuan merupakan jalan menuju titik temu. Baik Muhammadiyah
maupun NU memerlukan kriteria yang ada dukungan ilmu pengetahuannya.
Kriteria wujudul hilal yang dipegang Muhammadiyah (dan Persis pasca-4
November 2002) dan kriteria imkanur rukyat 2 derajat yang dipegang NU
(dan Persis pra-4 November 2002) sama-sama harus dikaji ulang. Kita
berharap Muhammadiyah, NU, dan Persis serta ormas-ormas Islam lainnya
terbuka untuk mencari titik temu. Para astronom bersedia menjadi
mediator dan Depag telah menyatakan akan menjadi fasilitator untuk
diskusi antarormas dan pakar astronomi.
Metode masing-masing ormas
boleh berbeda. Namun, bila kriterianya sama dalam mendefinisikan hilal,
insya Allah keputusannya bisa sama. Saudara-saudara kita yang
menggunakan hisab hanya akan memutuskan masuknya tanggal bila ketinggian
bulan dan syarat-syarat lainnya telah terpenuhi untuk terjadinya
rukyatul hilal. Demikian juga saudara-saudara kita yang menggunakan
rukyat hanya akan menerima kesaksian rukyatul hilal yang meyakinkan
secara ilmiah, termasuk memenuhi syarat tinggi dan ketentuan lainnya.
Secara astronomis pengertian rukyatul hilal bil fi'ili, bil ain, bil
'ilmi, atau bi qalbi, sama saja, yaitu merujuk pada kriteria imkanur
rukyat atau visibilitas hilal. Kriteria bersama antara hisab dan rukyat
tersebut dapat ditentukan dari analisis semua data rukyatul hilal dan
dikaji dengan data hisab. Dari analisis itu dapat diketahui
syarat-syarat rukyatul hilal, berupa kriteria hisab-rukyat. Kriteria itu
dapat dijadikan sebagai pedoman bagi para perukyat bil fi'li/bil 'ain
(secara fisik dengan mata) untuk menolak kesaksian yang mungkin terkecoh
oleh objek terang bukan hilal.
Kriteria itu juga dapat dijadikan
sebagai pedoman bagi para ahli hisab yang melakukan rukyat bil ilmi/bi
qalbi (dengan ilmu atau dengan hati) untuk menentukan masuknya awal
bulan.
Secara astronomis, kriteria visibilitas hilal untuk
hisab-rukyat telah banyak tersedia yang didasarkan pada data rukyatul
hilal internasional.
Namun, data rukyatul hilal Indonesia perlu
juga dikaji secara astronomis dalam membuat "Kriteria Hisab Rukyat
Indonesia". Sebagai titik awal, kajian oleh Lembaga Penerbangan dan
Antariksa Nasional (LAPAN) dapat dijadikan sebagai embrio kriteria
tersebut. Para ahli hisab-rukyat dari semua Ormas Islam bersama para
pakar astronomi dari Observatorium Bosscha/Departemen Astronomi ITB,
Planetarium/Observatorium Jakarta, LAPAN, Bakosurtanal, dan lainnya
secara bertahap dapat mengkaji ulang kriteria tersebut dengan
bertambahnya data rukyatul hilal di Indonesia.
Berdasarkan kajian
astronomis yang dilakukan LAPAN (Djamaluddin, 2000, "Visibilitas Hilal
di Indonesia", Warta LAPAN, Vol. 2, No. 4, Oktober 2000, Hlm. 137-136)
terhadap data rukyatul hilal di Indonesia (1962-1997) yang
didokumentasikan oleh Departemen Agama RI diperoleh dua kriteria "hilal"
yang rumusannya disederhanakan sesuai dengan praktik hisab-rukyat di
Indonesia. Awal bulan ditandai dengan terpenuhi kedua-duanya, bila hanya
salah satu maka dianggap belum masuk tanggal. Kriteria Hisab-Rukyat
Indonesia adalah sebagai berikut :
1. Umur hilal minimum 8 jam.
2. Tinggi bulan minimum tergantung beda azimut Bulan-Matahari. Bila
bulan berada lebih dari 6 derajat tinggi minimumnya 2,3 derajat. Tetapi
bila tepat berada di atas matahari, tinggi minimumnya 8,3 derajat.
Diharapkan, sebagai titik awal, Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia menjadi
kriteria baru menggantikan kriteria MABIMS yang telah ada. Pada tingkat
Ormas Islam, kriteria ini diharapkan akan menggantikan kriteria yang
berlaku saat ini, setelah dimasyarakatkan untuk difahami bersama. Untuk
tingkat regional, kriteria ini dapat diusulkan sebagai kriteria MABIMS
yang baru.
Bila ada data rukyatul hilal yang lebih rendah dari
kriteria yang dilaporkan oleh tiga atau lebih lokasi pengamatan yang
berbeda dan tidak ada objek terang (planet atau lainnya) sehingga
meyakinkan sebagai hilal, maka rukyatul hilal tersebut dapat diterima
dan digunakan sebagai data baru untuk penyempurnaan kriteria.
Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia yang mendefinisikan "hilal" semestinya
merupakan kriteria dinamis yang masih perlu disempurnakan berdasar
data-data baru rukyat di Indonesia. Namun, untuk memberikan kepastian,
kriteria ini diharapkan bisa berlaku dan bersifat mengikat untuk masa
tertentu yang disepakati (misalnya setiap 5 tahun). Dalam hal masih
terjadi perbedaan karena masalah penafsiran fiqih dalam beberapa kasus
(misalnya, kasus penerapan istikmal pada saat mendung padahal posisi
hilal telah memenuhi kriteria dan kasus penentuan Idul Adha yang berbeda
hari dengan Arab Saudi) atau ditemukannya rukyatul hilal yang lebih
rendah dari kriteria, prinsip ukhuwah islamiyah hendaknya dikedepankan
dalam mengatasi masalah ijtihadiyah ini.
Kesimpulan
Energi umat Islam yang telah tersita untuk memperdebatkan masalah hisab
rukyat selama ratusan tahun kita cukupkan sampai sekian saja. Masih
banyak masalah yang lebih mendesak untuk diselesaikan dalam era
globalisasi saat ini, termasuk masalah korupsi, liberalisme,
sekularisme, zionisme dan wahabi yang kini mulai dijadikan musuh
bersama. Kita fokuskan pemikiran kita dalam masalah hisab rukyat untuk
mencari titik temu. Dengan semua perkembangan ini, usaha merumuskan
definisi tunggal tentang hilal (di Indonesia) tidaklah laksana punguk
merindukan Jupiter(bulan udah pernah masalahnya hehehe).