Sepenggal kisah ini, adalah gambaran begitu indahnya taqdir jodoh itu dipertemukan, sahabatku khalid berbahagialah sepanjang masa...(^_^)
ada perantara seorang guru dan pendamping ..
Gimana Bi, apa sudah bisa dimulai proses ta’arufnya” Tanya ustadzah Heni pada ustad Fadlan. “Iya, bisa langsung dimulai!” ucap ustad Fadlan. “Silakan akh Khalid, untuk menanyakan sesuatu hal yang ingin antum tanyakan” ucap ustad Fadlan, mempersilahkan. Aku benar-benar kikuk. Entah malu, atau bahkan malu-maluin. Mulutku bagaikan terkunci. Berat sekali untuk membuka sebuah percakapan. Apalagi bertanya tentang sesuatu hal pada si Akhwat. “Ehm…” ustad Fadlan memperingatkan aku untuk segera bertanya. Tak seberapa lama langsung ustadzah Heni berkata “Abi, biarkan akh Khalid. Biasalah, perjumpaan pertama sama-sama malu. Nanti juga kalau sudah jadi suami istri, pasti sama-sama mau” Ustad Fadlan langsung tertawa, sambil mengatakan “Umi, ada-ada saja!” Aku hanya tersenyum malu. Entah, mungkin si Akhwat juga tersenyum malu dibalik tabir. “Assalamu’alaikum, Ukhti” salamku pada si Akhwat. “Wa’alaikumsalam” jawab si Akhwat dengan lembut. Sejenak hatiku berdesir. Mendengar suara si Akhwat yang benar-benar lembut. Sungguh kelembutan suara yang pernah aku dengar. Kelembutan suara yang membuat bulukudukku merinding. Tetapi tetap, aku tidak boleh tertipu suaranya. “Nama anti, Ukhti Zahra?” tanyaku “Iya!” jawabnya singkat “Ukhti, sudah kerja apa masih kuliah” tanyaku. “Ana, masih kuliah!” jawabnya singkat. “Apa anti sudah siap, menikah dengan ana Ukh?” tanyaku lagi “Ana, siap!” jawabnya. Lagi-lagi dengan singkat. “Ana Cuma mau mengingatkan anti. Kalau ana, belum kerja! Masih berstatus mahasiswa. Dan keluarga ana tidak begitu kaya. Bisa dogolongkan, dari golongan menengah kebawah” kataku menakut-nakuti. “Akhi, ana pengen menikah dengan antum bukan karena harta antum. Atau bahkan jaminan antum! Kalaulah antum belum bekerja. Asal antum mau, pasti ada pekerjaan buat antum! Ana Cuma mengingatkan antum saja. Bahwa antum, tidak akan bisa memberikan ana jaminan kepastian untuk bisa menghidupi ana! Kalaulah ana menikah dengan antum, antum bukanlah penjamin hidup ana. Atau bahkan bisa memberikan nafkah kepada ana! Allahlah yang menjamin rezeki tiap-tiap umatnya. Lalu kenapa kita harus takut untuk melangkah dalam pernikahan, karena alasan soal rezeki atau nafkah. Semua serahkan ke Allah. Kalau ana jadi istri antum, ana siap hidup menderita karena harta. Tetapi berlimpah-limpah keimanan! Dan ingat akh, menikah juga termasuk salah satu pintu rezeki!” Subhanallah, ucapku lirih dalam hati. Yaa Allah, aku siap menikah sekarang juga, kalau Engkau memang memberikan bidadari ini padaku. Ucapannya lembut, tutur katanya santun. Tidak menggurui. Tetapi tetap, dalam dihati. Sungguh bidadari yang turun kebumi. Entah siapa dia. Pokoknya aku sudah tidak butuh lagi wajah cantiknya. Aku tidak butuh lagi keindahan dan kemerduan suaranya. Asal wanita ini siap berjalan denganku menuju Jannah Illahi. Aku akan menikahinya. Tetapi tetap, kalau bisa yang cantik dan mempunyai kemerduan suara yang seperti ini. “Akh Khalid! Antum kenapa melamun” suara ustad Fadlan mengagetkanku. “Oh, tidak apa-apa ustad” jawabku sekenanya. “Ukhti, apakah anti benar-benar siap menikah dengan ana?” tanyaku. “Ana siap, sesiap antum yang telah meluangkan waktu untuk hadir disini!” ucap si akhwat serius. Sebenarnya aku jadi malu sendiri. Karena sebenarnya aku sama sekali belum siap. Belum siap untuk menikah secepatnya ini. Tetapi mungkin bukan belum siap, hanya kaget saja. “Afwan ukhti, bukan maksud ana ingin menyinggung atau bahkan menyakiti perasaan anti! Ana hanya ingin meminta sesuatu hal sebelum kita menikah” “Apa itu akhi?” sela Akhwat terlihat dengan nada cemas. “Seperti dalam sebuah hadits muslim yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, menuturkan, Aku berada di sisi Rasulullah, lalu seseorang datang kepada beliau untuk memberitahukan bahwa dirinya ingin menikahi seorang wanita Anshar, maka Rasulullah bertanya: ‘Apakah engkau telah melihatnya?’ Ia menjawab: ‘Belum.’ Rasulullah bersabda: ‘Pergilah dan lihatlah dia; sebab dimata orang-orang Anshar ada sesuatu’ Maksud ana, bahwa sebenarnya saat kita akan menikahi seseorang. Maka kita diperbolehkan untuk melihat orang yang akan kita nikahi! Apakah ana boleh melihat anti” jelasku Entah kenapa suasana menjadi hening. Hanya terdengar sayup-sayup bisikan antara akhwat dan ustadzah Heni. Tak lama ustadzah Heni keluar dari tabir, sambil membuka sedikit kain tabir yang memanjang itu. Lalu ustadzah Heni, memanggil suaminya. Ustad Fadlan. Tak lama setelah mereka berdua berbincang-bincang. Ustad Fadlan mendatangiku. “Akh Khalid, apa antum sudah selesai dengan semua pertanyaan antum?” Tanya ustad Fadlan. Aku hanya mengangguk. Menandakan selesai. Hem, mungkin si akhwat malu kalau dilihat langsung. Ya sudahlah! Gumamku dalam hati, agak menyesal. “Kalau begitu, silahkan antum melihat calon antum” ucap ustad Fadlan mempersilahkan aku melihat dari balik tabir yang terbuka. Alhamdulillah, ucap syukur dalam hati. Minimal aku bisa melihat wajah calon istriku. Kalaulah dia tidak secantik dugaanku, tetapi aku sudah melihatnya. Maka aku tidak akan pernah kecewa dengan dia. Tetapi seandainya dia cantik. Mungkin Allah memang bermaksud memberikan aku ujian. Ujian menerima istri yang cantik, tentunya. Aku melangkah menuju tabir yang sedikit terbuka. Jantungku berdegup kencang, seakan-akan jantung ini ingin meloncat keluar. Tubuhku menjadi panas dingin dan tanganku bergetar. Aku benar-benar gugup sekali. Entah kenapa. Saat tanganku menggapai kain tabir, mencoba untuk melihat. Masya Allah. Lututku menjadi lemas. Tubuhku pun tak ayal menjadi lemas, ingin ku terjatuh. Tetapi aku masih tetap berusaha mempertahankan kondisi tubuhku. Keringat dingin pun mengucur lirih dalam pelipis keningku. Mataku pun sangat susah untuk berkedip, bagaikan aku melihat sebuah bencana besar. Jantung dan nafasku pun, bagaikan terhenti. Mulutku tidak dapat berkata apapun. Semuanya kaku. “Akh Khalid! Antum sudah selesai?” tegur ustad Fadlan, mengagetkanku. “I…ya ustad, sudah selesai!” ucapku terbata-bata. Serta mertapun ustad Fadlan menutup kain tabir itu kembali. Menghilangkan pandangan yang membuat mati rasa tubuhku. Sungguh benar-benar diluar dugaanku. Diluar kesadaran manusia. Sungguh perencanaan Maha Perencana yang sangat matang. Maha Mengetahui kegelisahan hati hambanya. Maha Mengetahui akan kebutuhan hambanya. Dan Maha membuat kehidupan hambanya lebih berarti. Aku masih tetap terdiam. Terpaku dan membisu, tidak dapat berkata apapun. Tubuhku masih tetap merasa sangat lemas. Tetapi kini mulut dan hatiku, akhirnya bisa aku kuasai. Kini aku bisa mengucap syukur dan takbir, berkali-kali. “Apa ada pertanyaan lagi, Akh?” ucap Akhwat, dibalik tabir. “Masih, ada? Ana mau bertanya tiga hal!” ucapku. “Apa itu, akhi?” ucapnya lembut Lagi-lagi suara ini membuat jantungku lemah. Sungguh kemerduan sebuah suara bidadari dunia. “Sebenarnya, nama lengkap anti siapa?” ucapku “Nama ana, Farah Zahrani! Kalau dikampus biasa dipanggil Farah, tetapi kalau untuk dirumah ana dipanggil Zahra” “Apakah anti tahu, kalau anti akan dijodohkan dengan ana?” tanyaku lagi “Ana tahu! Dan ana setuju saat keluarga menjodohkan ana dengan antum” ucapnya lembut. “Satu lagi. Kalaulah anti tahu, lalu kenapa anti meminta ana untuk mengisi kajian yang anti selenggarakan” tanyaku, dengan nada yang agak bingung. “Akhi, apa antum lupa kalau antum dulu sering ngetest para akhwat! Nah sekarang ana, gentian akhwat yang ngetest antum. Tetapi Alhamdulillah, paman ana. Ustad Fadlan. Tidak salah memilihkan seorang ikhwan yang akan menjadi suami ana kelak” ucap Farah dengan kelembutan hati dan suara. Ustad Fadlan terlihat hanya tersenyum, sambil mengangguk-anggukkan kepala. Sungguh benar-benar kenikmatan yang tiadatara. Aku telah mendapatkan bidadari dunia. Yang akan mendampingiku selama-lamanya. Bahkan diakhirat kelak, dia akan menjadi bidadariku. Tak henti-hentinya ucapan takhmid dan takbir, berkumandang lirih dimulutku. “Terima kasih ukh! Sudah semua pertanyaan ana” kataku, sambil melihat dan menganggukkan kepala pada ustad Fadlan. “Baik, kalau gitu kita sudahi dulu acara ta’aruf kita ini. Tinggal pengkhitbahannya! Ana akan telephone antum jika sudah matang rencananya” ucap ustad Fadlan. Aku hanya mengangguk pelan. *** Dalam perjalanan pulang kerumah kontrakan. Cuaca begitu panas dan terik, tak aku rasakan. Langkahku mantap, menapaki perjalanan dalam setiap panas yang menyengat tubuh ini. Sungguh, aku benar-benar sangat gembira. Entah kegembiraanku karena akan menikahi wanita cantik, atau karena menikah dengan gadis impian. Farah Zahrani. Yang terpenting bahwa aku telah mendapatkan seorang bidadari. Seorang wanita yang sempurna dalam segala hal. Wajah, tubuh, kecantikannya tidaklah membuat Farah lupa dengan menjaga kesempurnaannya. Jilbab. Lalu lalang mobil dan motor yang sedang hilir mudik. Bagaikan sebuah pernak-pernik hiasan dunia. Manakala hati benar-benar telah dirasuki cinta. Cinta, ya benar kata itu yang tepat untukku saat ini. Entah apakah perasaanku ini sudah bisa disebut cinta. Cinta memang membuat orang buta. Cinta membuat orang menjadi lupa, terlena hingga akhirnya terjebak dengan kata cinta. Cinta, tak ayal adalah kata yang selalu menghiasi para laki-laki dan perempuan didunia ini. Cinta, selalu membuat keleluasaan manusia dalam menghalalkan segalanya. Cinta, yang akhirnya menjadikan orang benar-benar terlihat gila. Entah apa makna cinta. Kata orang, cinta itu adalah perasaan yang berbunga-bunga saat berdekatan dengan yang dicintainya. Lalu kata pelajar, cinta adalah rasa senang saat berduaan dengan yang dicintainya. Kata remaja, cinta adalah gabungan rasa antara dua lawan jenis yang sedang dilanda asmara. Atau kata sufi, cinta adalah rasa penghambaan diri pada sang pencipta. Entah mana yang benar. Tetapi menurutku apa yang dikatakan Ibn al-Qyyim ada benarnya “cinta tidak bisa didefinisikan dengan jelas, bahkan bila didefinisikan tidak menghasilkan (sesuatu) melainkan menambah kabur dan tidak jelas, (berarti) defines cinta adalah cinta itu sendiri...
ada perantara seorang guru dan pendamping ..
Gimana Bi, apa sudah bisa dimulai proses ta’arufnya” Tanya ustadzah Heni pada ustad Fadlan. “Iya, bisa langsung dimulai!” ucap ustad Fadlan. “Silakan akh Khalid, untuk menanyakan sesuatu hal yang ingin antum tanyakan” ucap ustad Fadlan, mempersilahkan. Aku benar-benar kikuk. Entah malu, atau bahkan malu-maluin. Mulutku bagaikan terkunci. Berat sekali untuk membuka sebuah percakapan. Apalagi bertanya tentang sesuatu hal pada si Akhwat. “Ehm…” ustad Fadlan memperingatkan aku untuk segera bertanya. Tak seberapa lama langsung ustadzah Heni berkata “Abi, biarkan akh Khalid. Biasalah, perjumpaan pertama sama-sama malu. Nanti juga kalau sudah jadi suami istri, pasti sama-sama mau” Ustad Fadlan langsung tertawa, sambil mengatakan “Umi, ada-ada saja!” Aku hanya tersenyum malu. Entah, mungkin si Akhwat juga tersenyum malu dibalik tabir. “Assalamu’alaikum, Ukhti” salamku pada si Akhwat. “Wa’alaikumsalam” jawab si Akhwat dengan lembut. Sejenak hatiku berdesir. Mendengar suara si Akhwat yang benar-benar lembut. Sungguh kelembutan suara yang pernah aku dengar. Kelembutan suara yang membuat bulukudukku merinding. Tetapi tetap, aku tidak boleh tertipu suaranya. “Nama anti, Ukhti Zahra?” tanyaku “Iya!” jawabnya singkat “Ukhti, sudah kerja apa masih kuliah” tanyaku. “Ana, masih kuliah!” jawabnya singkat. “Apa anti sudah siap, menikah dengan ana Ukh?” tanyaku lagi “Ana, siap!” jawabnya. Lagi-lagi dengan singkat. “Ana Cuma mau mengingatkan anti. Kalau ana, belum kerja! Masih berstatus mahasiswa. Dan keluarga ana tidak begitu kaya. Bisa dogolongkan, dari golongan menengah kebawah” kataku menakut-nakuti. “Akhi, ana pengen menikah dengan antum bukan karena harta antum. Atau bahkan jaminan antum! Kalaulah antum belum bekerja. Asal antum mau, pasti ada pekerjaan buat antum! Ana Cuma mengingatkan antum saja. Bahwa antum, tidak akan bisa memberikan ana jaminan kepastian untuk bisa menghidupi ana! Kalaulah ana menikah dengan antum, antum bukanlah penjamin hidup ana. Atau bahkan bisa memberikan nafkah kepada ana! Allahlah yang menjamin rezeki tiap-tiap umatnya. Lalu kenapa kita harus takut untuk melangkah dalam pernikahan, karena alasan soal rezeki atau nafkah. Semua serahkan ke Allah. Kalau ana jadi istri antum, ana siap hidup menderita karena harta. Tetapi berlimpah-limpah keimanan! Dan ingat akh, menikah juga termasuk salah satu pintu rezeki!” Subhanallah, ucapku lirih dalam hati. Yaa Allah, aku siap menikah sekarang juga, kalau Engkau memang memberikan bidadari ini padaku. Ucapannya lembut, tutur katanya santun. Tidak menggurui. Tetapi tetap, dalam dihati. Sungguh bidadari yang turun kebumi. Entah siapa dia. Pokoknya aku sudah tidak butuh lagi wajah cantiknya. Aku tidak butuh lagi keindahan dan kemerduan suaranya. Asal wanita ini siap berjalan denganku menuju Jannah Illahi. Aku akan menikahinya. Tetapi tetap, kalau bisa yang cantik dan mempunyai kemerduan suara yang seperti ini. “Akh Khalid! Antum kenapa melamun” suara ustad Fadlan mengagetkanku. “Oh, tidak apa-apa ustad” jawabku sekenanya. “Ukhti, apakah anti benar-benar siap menikah dengan ana?” tanyaku. “Ana siap, sesiap antum yang telah meluangkan waktu untuk hadir disini!” ucap si akhwat serius. Sebenarnya aku jadi malu sendiri. Karena sebenarnya aku sama sekali belum siap. Belum siap untuk menikah secepatnya ini. Tetapi mungkin bukan belum siap, hanya kaget saja. “Afwan ukhti, bukan maksud ana ingin menyinggung atau bahkan menyakiti perasaan anti! Ana hanya ingin meminta sesuatu hal sebelum kita menikah” “Apa itu akhi?” sela Akhwat terlihat dengan nada cemas. “Seperti dalam sebuah hadits muslim yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, menuturkan, Aku berada di sisi Rasulullah, lalu seseorang datang kepada beliau untuk memberitahukan bahwa dirinya ingin menikahi seorang wanita Anshar, maka Rasulullah bertanya: ‘Apakah engkau telah melihatnya?’ Ia menjawab: ‘Belum.’ Rasulullah bersabda: ‘Pergilah dan lihatlah dia; sebab dimata orang-orang Anshar ada sesuatu’ Maksud ana, bahwa sebenarnya saat kita akan menikahi seseorang. Maka kita diperbolehkan untuk melihat orang yang akan kita nikahi! Apakah ana boleh melihat anti” jelasku Entah kenapa suasana menjadi hening. Hanya terdengar sayup-sayup bisikan antara akhwat dan ustadzah Heni. Tak lama ustadzah Heni keluar dari tabir, sambil membuka sedikit kain tabir yang memanjang itu. Lalu ustadzah Heni, memanggil suaminya. Ustad Fadlan. Tak lama setelah mereka berdua berbincang-bincang. Ustad Fadlan mendatangiku. “Akh Khalid, apa antum sudah selesai dengan semua pertanyaan antum?” Tanya ustad Fadlan. Aku hanya mengangguk. Menandakan selesai. Hem, mungkin si akhwat malu kalau dilihat langsung. Ya sudahlah! Gumamku dalam hati, agak menyesal. “Kalau begitu, silahkan antum melihat calon antum” ucap ustad Fadlan mempersilahkan aku melihat dari balik tabir yang terbuka. Alhamdulillah, ucap syukur dalam hati. Minimal aku bisa melihat wajah calon istriku. Kalaulah dia tidak secantik dugaanku, tetapi aku sudah melihatnya. Maka aku tidak akan pernah kecewa dengan dia. Tetapi seandainya dia cantik. Mungkin Allah memang bermaksud memberikan aku ujian. Ujian menerima istri yang cantik, tentunya. Aku melangkah menuju tabir yang sedikit terbuka. Jantungku berdegup kencang, seakan-akan jantung ini ingin meloncat keluar. Tubuhku menjadi panas dingin dan tanganku bergetar. Aku benar-benar gugup sekali. Entah kenapa. Saat tanganku menggapai kain tabir, mencoba untuk melihat. Masya Allah. Lututku menjadi lemas. Tubuhku pun tak ayal menjadi lemas, ingin ku terjatuh. Tetapi aku masih tetap berusaha mempertahankan kondisi tubuhku. Keringat dingin pun mengucur lirih dalam pelipis keningku. Mataku pun sangat susah untuk berkedip, bagaikan aku melihat sebuah bencana besar. Jantung dan nafasku pun, bagaikan terhenti. Mulutku tidak dapat berkata apapun. Semuanya kaku. “Akh Khalid! Antum sudah selesai?” tegur ustad Fadlan, mengagetkanku. “I…ya ustad, sudah selesai!” ucapku terbata-bata. Serta mertapun ustad Fadlan menutup kain tabir itu kembali. Menghilangkan pandangan yang membuat mati rasa tubuhku. Sungguh benar-benar diluar dugaanku. Diluar kesadaran manusia. Sungguh perencanaan Maha Perencana yang sangat matang. Maha Mengetahui kegelisahan hati hambanya. Maha Mengetahui akan kebutuhan hambanya. Dan Maha membuat kehidupan hambanya lebih berarti. Aku masih tetap terdiam. Terpaku dan membisu, tidak dapat berkata apapun. Tubuhku masih tetap merasa sangat lemas. Tetapi kini mulut dan hatiku, akhirnya bisa aku kuasai. Kini aku bisa mengucap syukur dan takbir, berkali-kali. “Apa ada pertanyaan lagi, Akh?” ucap Akhwat, dibalik tabir. “Masih, ada? Ana mau bertanya tiga hal!” ucapku. “Apa itu, akhi?” ucapnya lembut Lagi-lagi suara ini membuat jantungku lemah. Sungguh kemerduan sebuah suara bidadari dunia. “Sebenarnya, nama lengkap anti siapa?” ucapku “Nama ana, Farah Zahrani! Kalau dikampus biasa dipanggil Farah, tetapi kalau untuk dirumah ana dipanggil Zahra” “Apakah anti tahu, kalau anti akan dijodohkan dengan ana?” tanyaku lagi “Ana tahu! Dan ana setuju saat keluarga menjodohkan ana dengan antum” ucapnya lembut. “Satu lagi. Kalaulah anti tahu, lalu kenapa anti meminta ana untuk mengisi kajian yang anti selenggarakan” tanyaku, dengan nada yang agak bingung. “Akhi, apa antum lupa kalau antum dulu sering ngetest para akhwat! Nah sekarang ana, gentian akhwat yang ngetest antum. Tetapi Alhamdulillah, paman ana. Ustad Fadlan. Tidak salah memilihkan seorang ikhwan yang akan menjadi suami ana kelak” ucap Farah dengan kelembutan hati dan suara. Ustad Fadlan terlihat hanya tersenyum, sambil mengangguk-anggukkan kepala. Sungguh benar-benar kenikmatan yang tiadatara. Aku telah mendapatkan bidadari dunia. Yang akan mendampingiku selama-lamanya. Bahkan diakhirat kelak, dia akan menjadi bidadariku. Tak henti-hentinya ucapan takhmid dan takbir, berkumandang lirih dimulutku. “Terima kasih ukh! Sudah semua pertanyaan ana” kataku, sambil melihat dan menganggukkan kepala pada ustad Fadlan. “Baik, kalau gitu kita sudahi dulu acara ta’aruf kita ini. Tinggal pengkhitbahannya! Ana akan telephone antum jika sudah matang rencananya” ucap ustad Fadlan. Aku hanya mengangguk pelan. *** Dalam perjalanan pulang kerumah kontrakan. Cuaca begitu panas dan terik, tak aku rasakan. Langkahku mantap, menapaki perjalanan dalam setiap panas yang menyengat tubuh ini. Sungguh, aku benar-benar sangat gembira. Entah kegembiraanku karena akan menikahi wanita cantik, atau karena menikah dengan gadis impian. Farah Zahrani. Yang terpenting bahwa aku telah mendapatkan seorang bidadari. Seorang wanita yang sempurna dalam segala hal. Wajah, tubuh, kecantikannya tidaklah membuat Farah lupa dengan menjaga kesempurnaannya. Jilbab. Lalu lalang mobil dan motor yang sedang hilir mudik. Bagaikan sebuah pernak-pernik hiasan dunia. Manakala hati benar-benar telah dirasuki cinta. Cinta, ya benar kata itu yang tepat untukku saat ini. Entah apakah perasaanku ini sudah bisa disebut cinta. Cinta memang membuat orang buta. Cinta membuat orang menjadi lupa, terlena hingga akhirnya terjebak dengan kata cinta. Cinta, tak ayal adalah kata yang selalu menghiasi para laki-laki dan perempuan didunia ini. Cinta, selalu membuat keleluasaan manusia dalam menghalalkan segalanya. Cinta, yang akhirnya menjadikan orang benar-benar terlihat gila. Entah apa makna cinta. Kata orang, cinta itu adalah perasaan yang berbunga-bunga saat berdekatan dengan yang dicintainya. Lalu kata pelajar, cinta adalah rasa senang saat berduaan dengan yang dicintainya. Kata remaja, cinta adalah gabungan rasa antara dua lawan jenis yang sedang dilanda asmara. Atau kata sufi, cinta adalah rasa penghambaan diri pada sang pencipta. Entah mana yang benar. Tetapi menurutku apa yang dikatakan Ibn al-Qyyim ada benarnya “cinta tidak bisa didefinisikan dengan jelas, bahkan bila didefinisikan tidak menghasilkan (sesuatu) melainkan menambah kabur dan tidak jelas, (berarti) defines cinta adalah cinta itu sendiri...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar