(Suatu Pendekatan Hidup Berdasarkan Qur'an dan Hadis)
Senin, 30 April 2012
Kamis, 26 April 2012
CATATAN UNTUK PACARAN
Allah memberikan rizki sesuai dengan kebutuhan hambaNya dan di waktu
yang menurut Allah terbaik untuk kita mendapatkannya. Jodoh adalah salah
satu rizki yang Allah persiapkan untuk kita.
Allah akan
memberikan jodoh pada kita di saat yang tepat. Bukan sesuai dengan
keinginan kita. Seringnya kita menginginkan sesuatu hanya berdasarkan
pada keinginan bukan pada kebutuhan. Allah Maha Tahu, kapan kita akan
siap untuk menerima sebuah tanggung jawab besar untuk membentuk suatu
peradaban kecil yang di mulai dari sebuah keluarga.
Karena menikah
bukan hanya penyatuan dua insan berbeda dalam satu bahtera tanpa visi
dan tujuan yang pasti, berlayar tanpa arah atau berlayar hanya menuju
samudera duniawi. Menikah adalah penggenapan setengah agama karena
menikah adalah sarana ibadah kepada Allah. Dalam tiap perbuatan di dalam
rumah tangga dengan berdasarkan keikhlasan dan ketaqwaan maka
ganjarannya adalah pahala. Tapi jika menikah hanya berdasarkan nafsu
atau bahkan mengikuti perputaran kehidupan dunia, maka hasilnya pun akan
sesuai dengan yang di niatkan.
Karena menikah adalah ibadah.
Menikah adalah sunnah di anjurkan Rasulullah. Menimbun pahala yang
terserak di dalam rumah tangga. Dan semua manusia yang normal pasti akan
mendambakan suatu pernikahan. Merasakan suatu episode hidup dimana kita
akan memulai segala sesuatu yang baru. Yang dahulu kita berperan
sebagai seorang anak dengan berbagai kebahagiaan bermandikan kasih
sayang orang tua. Maka menikah adalah suatu gerbang menuju pembelajaran
menjadi orang tua kelak. Kita bukan lagi sebagai penumpang di mana
mengikuti arah kehidupan yang di tentukan orang tua, melainkan kita akan
menjadi driver untuk kehidupan kita sendiri kelak. Kita bisa saja
mengikuti jalur yang telah di lewati orang tua, jika memang itu jalur
yang tepat. Tapi jika jalur itu tak sesuai dengan arah tujuan kehidupan
rumah tangga kita yaitu jalur keridhaan Allah, maka kita pun harus
mencari jalur yang tepat.
Karena menikah itu adalah satu kebaikan
maka seharusnya harus di mulai dengan yang baik pula. Misalnya, ketika
kita ingin lulus ujian, maka kita harus belajar yang giat bukan
bermalas-malasan.
Ayat Allah masih jelas tertera dalam kitabNya,
bahwa pria yang baik akan mendapatkan wanita yang baik pula dan
sebaliknya. Dan ayat itu masih sama dengan pada saat Allah turunkan
beribu tahun yang lalu. Janji Allah pun tergambar melalui ayat itu dan
Allah Maha Menepati janji. Lalu mengapa kita masih meragukan janji Allah
itu??
Masih haruskah berpacaran??
Mengenal lawan jenis
dengan dalih untuk mengenal pribadi masing-masing. Padahal kenyataannya,
hanya sedikit kejujuran yang di tampakkan pada saat pacaran. Rasa takut
yang besar untuk di tinggal pasangannya atau hendak mengambil hati
pasangannya membuat mereka menyembunyikan keburukan yang terdapat dalam
dirinya. Sudah menjadi rahasia umum, jika usia pacaran yang lama tak
menjamin bahwa itu menjadi suatu jalan untuk memuluskan hubungan menuju
jenjang pernikahan. Sudah tak menjamin adanya pernikahan setelah sekian
lama menjalin masa pacaran, juga banyak di bumbui pelanggaran terhadap
rambu-rambu Allah. Maksiat yang terasa nikmat.
Zaman sekarang,
berpacaran sudah selayaknya menjadi pasangan suami istri. Si pria seolah
menjadi hak milik wanita dan si wanita kepunyaan pribadi si pria.
Mereka pun bebas melakukan apapun sesuai keinginan mereka. Yang terparah
adalah sudah hilangnya rasa malu ketika melakukan hubungan suami istri
dengan sang pacar yang notabene bukan mahram. Padahal pengesahan
hubungan berpacaran hanya berupa ucapan yang biasa di sebut “nembak”,
misalnya “I Love You, maukah kau menjadi pacarku?” dan di terima dengan
ucapan “I Love You too, aku mau jadi pacarmu”. Atau sejenisnya. Hanya
itu. Tanpa adanya perjanjian yang kuat (mitsaqan ghaliza) antara seorang
hamba dengan Sang Pencipta. Tanpa adanya akad yang menghalalkan
hubungan tersebut. Hubungan pacaran tak ada pertanggungjawaban kecuali
pelanggaran terhadap aturan Allah. Karena tak ada yang namanya pacaran
islami, pacaran sehat atau apalah namanya untuk melegalkan hubungan
tersebut.
Kita berlelah melakukan hubungan pacaran. Melakukan
apapun guna menyenangkan hati sang kekasih (yang belum halal) meskipun
hati kita menolak. Jungkir balik kita mempermainkan hati. Hingga suka
dan sedih karena cinta, cinta terlarang. Hati dan otak di penuhi hanya
dengan masalah cinta. Kita menangis karena cinta, kita tertawa karena
cinta, kita meraung-meraung di tinggal cinta, kita pun mengemis cinta.
Hingga tak ada tempat untuk otak memikirkan hal positif lainnya. Tapi
sayang, itu hanya cinta semu. Sesuatu yang semu adalah kesia-siaan. Kita
berkorban mengatasnamakan cinta semu. Seorang pacar, hebatnya bisa
menggantikan prioritas seorang anak untuk menghormati orangtua. Tak
sedikit yang lebih senang berdua-duaan dengan sang pacar di banding
menemani orangtua. Pacar bisa jadi lebih tau sedang dimana seorang anak
di banding orang tuanya sendiri. Seseorang akan rela menyenangkan hati
pacarnya untuk di belikan sesuatu yang di suka di bandingkan memberikan
kejutan untuk seorang ibu yang melahirkannya. Seseorang akan lebih
menurut pada perintah sang pacar di banding orang tuanya. Hubungan yang
baru terjalin bisa menggantikan hubungan lahiriah dan batiniyah seorang
anak dengan orangtua.
Jika pun akhirnya menikah, maka tak ada lagi
sesuatu yang spesial untuk di persembahkan pada pasangannya. Sebuah
rasa yang seharusnya di peruntukan untuk pasangannya karena telah di
umbar sebelumnya, maka akan menjadi hal yang biasa. Tak ada lagi rasa
“greget”, karena masing-masing telah mendapatkan apa yang di inginkan
pada masa berpacaran. Bisa jadi, akibat mendapatkan sesuatu belum pada
waktunya maka ikrar suci pernikahan bukan menjadi sesuatu yang sakral
dan mudah di permainkan. Na’udzubillah.
Parahnya jika tiba-tiba
hubungan pacaran itu kandas, hanya dengan sebuah kata “PUTUS” maka
kebanyakan akan menjadi sebuah permusuhan. Apalagi jika di sebabkan hal
yang kurang baik misalnya perselingkuhan. Kembali hati yang menanggung
akibatnya. Kesedihan yang berlebihan hingga beberapa lama. Hati yang
terlanjur memendam benci. Tak sedikit yang teramat merasakan patah hati
dikarenakan cinta berlebihan menyebabkannya sakit secara fisik dan
psikis. Juga ada beberapa kasus bunuh diri karena tak kuat menahan
kesedihan akibat patah hati.
Terdengar berlebihan. Tapi itulah
kenyataannya, hati adalah suatu organ yang sensitif. Bisa naik secara
drastis, tak jarang bisa jatuh langsung menghantam ke bumi. Apa yang di
rasakan hati akan terlihat pada sikap dan perilaku. Hati yang terpenuhi
nafsu akan enggan menerima hal baik. Ada orang bilang, jangan pernah
bermain dengan hati. Karena dari mata turun ke hati, kemudian tak akan
turun kembali. Akan ada sebuah rasa akan mengendap di dalam hati. Jika
rasa itu baik dan di tujukan pada seseorang yang halal (suami atau
istri) maka kebaikan akan terpancar secara lahiriah. Bukan sebuah
melankolisme yang kini merajalela.
Banyak pelajaran dari sekitar. Kenapa masih harus berpacaran??
Karena
ingin ada teman yang selalu setia mendengar tiap keluh kesah?? Tak
selamanya manusia bisa dengan rela mendengarkan keluhan manusia lainnya.
Hanya Allah yang tak pernah berpaling untuk hambaNya. Bisa jadi secara
fisik sang pacar rela mendengar dengan seksama, tapi dia juga manusia
yang akan merasa bosan jika selalu di cecoki dengan berbagai keluhan.
Malu di bilang jomblo??
Jika
dengan jomblo kita bisa terbebas dari rasa yang terlarang, kenapa harus
malu?? justru kita akan merasa nyaman bercengkerama dengan Allah karena
sadar hati kita hanya patut di tujukan kepadaNya bukan yang lain.
Justru kita harus bangga, di saat yang lain berlomba untuk melakukan hal
terlarang tapi kita menjauhinya. Kemudian tak akan ada perasaan was was
karena telah melanggar aturan Allah. Kita bebas berkumpul dengan
kawan-kawan tanpa ada kekangan dari orang yang sesungguhnya tak memiliki
kewenangan terhadap diri kita.
Mungkin masih banyak lagi
kesia-siaan dalam berpacaran. Dan sesungguhnya belum tentu sang pacar
akan menjadi pasangan kita kelak.
Pacaran ibarat minuman
beralkohol, banyak yang mengelak bahwa dengan berpacaran mereka memiliki
semangat baru dan sederet hal positif yang mereka kumandangkan. Tapi
sama halnya dengan alkohol, maka manfaat yang di dapat jauh lebih kecil
di banding kemudharatan yang di hasilkan. Karena segala sesuatu yang di
larang Allah, pasti ada sebab dan manfaatnya.
Kemudian ada yang
berdalih, toh pacaran itu tidak merugikan orang lain. Tidak merugikan
orang lain, namun hukum Allah jauh lebih baik untuk di ikuti ketimbang
menurutkan hawa nafsu yang berakhir pada jurang kebinasaan.
Kembali
ke pernikahan, suatu kebaikan maka tak pantas jika di awali dengan
keburukan. Allah tak akan ingkar janji, karena jodoh telah Allah
tetapkan di Lauh Mahfuzh. Tinggal kita melakukan usaha yang baik, yang
Allah ridhai. Supaya tiap langkah kita, hanya berisi keridhaan Allah dan
mendapat keberkahanNya. Aamiin.
(hanya sebuah catatan hati guna pengingat diri dan saudara seimanku)
Allahua’
BERBAGI DENGAN DAKWAH
PERNIKAHAN YANG BERKAH
Ada bebrapa tips untuk meraih pernikahan yang barokah yakni:
Motivasi
menikah bukanlah semata untuk memuaskan kebutuhan biologis/fisik.
Menikah merupakan salah satu tanda kebesaran Allah SWT sebagaimana
diungkap dalam Alqur’an (QS. Ar Rum:21), sehingga bernilai sakral dan
signifikan. Menikah juga merupakan perintah-Nya (QS. An-Nur:32) yang
berarti suatu aktifitas yang bernilai ibadah dan merupakan Sunnah Rasul
dalam kehidupan sebagaimana ditegaskan dalam salah satu hadits :
”Barangsiapa yang dimudahkan baginya untuk menikah, lalu ia tidak
menikah maka tidaklah ia termasuk golonganku” (HR.At-Thabrani dan
Al-Baihaqi). Oleh karena nikah merupakan sunnah Rasul, maka selayaknya
proses menuju pernikahan, tata cara (prosesi) pernikahan dan bahkan
kehidupan pasca pernikahan harus mencontoh Rasul. Misalnya saat hendak
menentukan pasangan hidup hendaknya lebih mengutamakan kriteria ad Dien
(agama/akhlaq) sebelum hal-hal lainnya (kecantikan/ketampanan,
keturunan, dan harta); dalam prosesi pernikahan (walimatul ‘urusy)
hendaknya juga dihindari hal-hal yang berlebihan (mubadzir), tradisi
yang menyimpang (khurafat) dan kondisi bercampur baur (ikhtilath).
Kemudian dalam kehidupan berumah tangga pasca pernikahan hendaknya
berupaya membiasakan diri dengan adab dan akhlaq seperti yang
dicontohkan Rasulullah saw.
Menikah merupakan upaya menjaga
kehormatan dan kesucian diri, artinya seorang yang telah menikah
semestinya lebih terjaga dari perangkap zina dan mampu mengendalikan
syahwatnya. Allah SWT akan memberikan pertolong-an kepada mereka yang
mengambil langkah ini; “ Tiga golongan yang wajib Aku (Allah)
menolongnya, salah satunya adalah orang yang menikah karena ingin
menjaga kesucian dirinya.” (HR. Tarmidzi)
Menikah juga merupakan
tangga kedua setelah pembentukan pribadi muslim (syahsiyah islamiyah)
dalam tahapan amal dakwah, artinya menjadikan keluarga sebagai ladang
beramal dalam rangka membentuk keluarga muslim teladan (usrah islami)
yang diwarnai akhlak Islam dalam segala aktifitas dan interaksi seluruh
anggota keluarga, sehingga mampu menjadi rahmatan lil ‘alamin bagi
masyarakat sekitarnya. Dengan adanya keluarga-keluarga muslim pembawa
rahmat diharapkan dapat terwujud komunitas dan lingkungan masyarakat
yang sejahtera.
2. Sikap saling terbuka (Mushorohah)
Secara
fisik suami isteri telah dihalalkan oleh Allah SWT untuk saling terbuka
saat jima’ (bersenggama), padahal sebelum menikah hal itu adalah
sesuatu yang diharamkan. Maka hakikatnya keterbukaan itu pun harus
diwujudkan dalam interaksi kejiwaan (syu’ur), pemikiran (fikrah), dan
sikap (mauqif) serta tingkah laku (suluk), sehingga masing-masing dapat
secara utuh mengenal hakikat kepribadian suami/isteri-nya dan dapat
memupuk sikap saling percaya (tsiqoh) di antara keduanya.
Hal itu
dapat dicapai bila suami/isteri saling terbuka dalam segala hal
menyangkut perasaan dan keinginan, ide dan pendapat, serta sifat dan
kepribadian. Jangan sampai terjadi seorang suami/isteri memendam
perasaan tidak enak kepada pasangannya karena prasangka buruk, atau
karena kelemahan/kesalahan yang ada pada suami/isteri. Jika hal yang
demikian terjadi hal yang demikian, hendaknya suami/isteri segera
introspeksi (bermuhasabah) dan mengklarifikasi penyebab masalah atas
dasar cinta dan kasih sayang, selanjutnya mencari solusi bersama untuk
penyelesaiannya. Namun apabila perasaan tidak enak itu dibiarkan maka
dapat menyebabkan interaksi suami/isteri menjadi tidak sehat dan
potensial menjadi sumber konflik berkepanjangan.
3. Sikap toleran (Tasamuh)
Dua
insan yang berbeda latar belakang sosial, budaya, pendidikan, dan
pengalaman hidup bersatu dalam pernikahan, tentunya akan menimbulkan
terjadinya perbedaan-perbedaan dalam cara berfikir, memandang suatu
permasalahan, cara bersikap/bertindak, juga selera (makanan, pakaian,
dsb). Potensi perbedaan tersebut apabila tidak disikapi dengan sikap
toleran (tasamuh) dapat menjadi sumber konflik/perdebatan. Oleh karena
itu masing-masing suami/isteri harus mengenali dan menyadari kelemahan
dan kelebihan pasangannya, kemudian berusaha untuk memperbaiki kelemahan
yang ada dan memupuk kelebihannya. Layaknya sebagai pakaian (seperti
yang Allah sebutkan dalam QS. Albaqarah:187), maka suami/isteri harus
mampu mem-percantik penampilan, artinya berusaha memupuk kebaikan yang
ada (capacity building); dan menutup aurat artinya berupaya
meminimalisir kelemahan/kekurangan yang ada.
Prinsip “hunna
libasullakum wa antum libasullahun (QS. 2:187) antara suami dan isteri
harus selalu dipegang, karena pada hakikatnya suami/isteri telah menjadi
satu kesatuan yang tidak boleh dipandang secara terpisah. Kebaikan
apapun yang ada pada suami merupakan kebaikan bagi isteri, begitu
sebaliknya; dan kekurangan/ kelemahan apapun yang ada pada suami
merupakan kekurangan/kelemahan bagi isteri, begitu sebaliknya; sehingga
muncul rasa tanggung jawab bersama untuk memupuk kebaikan yang ada dan
memperbaiki kelemahan yang ada.
Sikap toleran juga menuntut adanya
sikap mema’afkan, yang meliputi 3 (tiga) tingkatan, yaitu: (1) Al ‘Afwu
yaitu mema’afkan orang jika memang diminta, (2) As-Shofhu yaitu
mema’afkan orang lain walaupun tidak diminta, dan (3) Al-Maghfirah yaitu
memintakan ampun pada Allah untuk orang lain. Dalam kehidupan rumah
tangga, seringkali sikap ini belum menjadi kebiasaan yang melekat,
sehingga kesalahan-kesalahan kecil dari pasangan suami/isteri kadangkala
menjadi awal konflik yang berlarut-larut. Tentu saja “mema’afkan” bukan
berarti “membiarkan” kesalahan terus terjadi, tetapi mema’afkan berarti
berusaha untuk memberikan perbaikan dan peningkatan.
4. Komunikasi (Musyawarah)
Tersumbatnya
saluran komunikasi suami-isteri atau orang tua-anak dalam kehidupan
rumah tangga akan menjadi awal kehidupan rumah tangga yang tidak
harmonis. Komunikasi sangat penting, disamping akan meningkatkan jalinan
cinta kasih juga menghindari terjadinya kesalahfahaman.
Kesibukan
masing-masing jangan sampai membuat komunikasi suami-isteri atau orang
tua-anak menjadi terputus. Banyak saat/kesempatan yang bisa
dimanfaatkan, sehingga waktu pertemuan yang sedikit bisa memberikan
kesan yang baik dan mendalam yaitu dengan cara memberikan perhatian
(empati), kesediaan untuk mendengar, dan memberikan respon berupa
jawaban atau alternatif solusi. Misalnya saat bersama setelah menunaikan
shalat berjama’ah, saat bersama belajar, saat bersama makan malam, saat
bersama liburan (rihlah), dan saat-saat lain dalam interaksi
keseharian, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan
memanfaatkan sarana telekomunikasi berupa surat, telephone, email, dsb.
Alqur’an
dengan indah menggambarkan bagaimana proses komunikasi itu berlangsung
dalam keluarga Ibrahim As sebagaimana dikisahkan dalam
QS.As-Shaaffaat:102, yaitu : “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur
sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata; Hai anakku,
sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka
fikirkanlah apa pendapatmu, Ia menjawab; Hai Bapakku, kerjakanlah apa
yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk
orang-orang yang sabar”.
Ibrah yang dapat diambil dalam kisah
tersebut adalah adanya komunikasi yang timbal balik antara orang
tua-anak, Ibrahim mengutarakan dengan bahasa dialog yaitu meminta
pendapat pada Ismail bukan menetapkan keputusan, adanya keyakinan kuat
atas kekuasaan Allah, adanya sikap tunduk/patuh atas perintah Allah, dan
adanya sikap pasrah dan tawakkal kepada Allah; sehingga perintah yang
berat dan tidak logis tersebut dapat terlaksana dengan kehendak Allah
yang menggantikan Ismail dengan seekor kibas yang sehat dan besar.
5. Sabar dan Syukur
Allah
SWT mengingatkan kita dalam Alqur’an surat At Taghabun ayat 14: ”Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya diantara istri-istrimu dan
anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu
terhadap mereka. Dan jika kamu mema’afkan dan tidak memarahi serta
mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.”
Peringatan Allah tersebut nyata dalam kehidupan rumah
tangga dimana sikap dan tindak tanduk suami/istri dan anak-anak
kadangkala menunjukkan sikap seperti seorang musuh, misalnya dalam
bentuk menghalangi-halangi langkah dakwah walaupun tidak secara
langsung, tuntutan uang belanja yang nilainya di luar kemampuan,
menuntut perhatian dan waktu yang lebih, prasangka buruk terhadap
suami/isteri, tidak merasa puas dengan pelayanan/nafkah yang diberikan
isteri/suami, anak-anak yang aktif dan senang membuat keributan,
permintaan anak yang berlebihan, pendidikan dan pergaulan anak, dan
sebagainya. Jika hal-hal tersebut tidak dihadapi dengan kesabaran dan
keteguhan hati, bukan tidak mungkin akan membawa pada jurang kehancuran
rumah tangga.
Dengan kesadaran awal bahwa isteri dan anak-anak
dapat berpeluang menjadi musuh, maka sepatutnya kita berbekal diri
dengan kesabaran. Merupakan bagian dari kesabaran adalah keridhaan kita
menerima kelemahan/kekurangan pasangan suami/isteri yang memang diluar
kesang-gupannya. Penerimaan terhadap suami/isteri harus penuh sebagai
satu “paket”, dia dengan segala hal yang melekat pada dirinya, adalah
dia yang harus kita terima secara utuh, begitupun penerimaan kita kepada
anak-anak dengan segala potensi dan kecenderungannya. Ibaratnya
kesabaran dalam kehidupan rumah tangga merupakan hal yang fundamental
(asasi) untuk mencapai keberkahan, sebagaimana ungkapan bijak
berikut:“Pernikahan adalah Fakultas Kesabaran dari Universitas
Kehidupan”. Mereka yang lulus dari Fakultas Kesabaran akan meraih banyak
keberkahan.
Syukur juga merupakan bagian yang tak dapat
dipisahkan dalam kehidupan berumah tangga. Rasulullah mensinyalir bahwa
banyak di antara penghuni neraka adalah kaum wanita, disebabkan mereka
tidak bersyukur kepada suaminya.
Mensyukuri rezeki yang diberikan
Allah lewat jerih payah suami seberapapun besarnya dan bersyukur atas
keadaan suami tanpa perlu membanding-bandingkan dengan suami orang lain,
adalah modal mahal dalam meraih keberkahan; begitupun syukur terhadap
keberadaan anak-anak dengan segala potensi dan kecenderungannya, adalah
modal masa depan yang harus dipersiapkan.
Dalam keluarga harus
dihidupkan semangat “memberi” kebaikan, bukan semangat “menuntut”
kebaikan, sehingga akan terjadi surplus kebaikan. Inilah wujud tambahnya
kenikmatan dari Allah, sebagaimana firmannya: Sesungguhnya jika kamu
bersyukur, pasti Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu
mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih (QS.
Ibrahim:7).
Mensyukuri kehadiran keturunan sebagai karunia Allah,
harus diwujudkan dalam bentuk mendidik mereka dengan pendidikan Rabbani
sehingga menjadi keturunan yang menyejukkan hati. Keturunan yang mampu
mengemban misi risalah dien ini untuk masa mendatang, maka jangan pernah
bosan untuk selalu memanjatkan do’a:
Ya
Rabb kami karuniakanlah kami isteri dan keturunan yang sedap dipandang
mata, dan jadikanlah kami pemimpin orang yang bertaqwa.
Ya Rabb kami karuniakanlah kami anak-anak yang sholeh.
Ya Rabb kami karuniakanlah kami dari sisi Engkau keturunan yang baik.
Ya Rabb kami karuniakanlah kami dari sisi Engkau keturunan yang Engkau Ridha-i.
Ya Rabb kami jadikanlah kami dan keturunan kami orang yang mendirikan shalat.
Do’a
diatas adalah ungkapan harapan para Nabi dan Rasul tentang sifat-sifat
(muwashshofat) ketuturunan (dzurriyaat) yang diinginkan, sebagaimana
diabadikan Allah dalam Alqur’an (QS. Al-Furqon:74; QS. Ash-Shaafaat:100 ;
QS.Al-Imran:38; QS. Maryam: 5-6; dan QS. Ibrahim:40). Pada intinya
keturun-an yang diharapkan adalah keturunan yang sedap dipandang mata
(Qurrota a’yun), yaitu keturunan yang memiliki sifat penciptaan jasad
yang sempurna (thoyyiba), ruhaniyah yang baik (sholih), diridhai Allah
karena misi risalah dien yang diperjuangkannya (wali radhi), dan
senantiasa dekat dan bersama Allah (muqiimash-sholat).
Demikianlah
hendaknya harapan kita terhadap anak, agar mereka memiliki muwashofaat
tersebut, disamping upaya (ikhtiar) kita memilihkan guru/sekolah yang
baik, lingkungan yang sehat, makanan yang halal dan baik (thoyyib),
fasilitas yang memadai, keteladanan dalam keseharian, dsb; hendaknya
kita selalu memanjatkan do’a tersebut.
6. Sikap yang santun dan bijak (Mu’asyarah bil Ma’ruf)
Merawat
cinta kasih dalam keluarga ibaratnya seperti merawat tanaman, maka
pernikahan dan cinta kasih harus juga dirawat agar tumbuh subur dan
indah, diantaranya dengan mu’asyarah bil ma’ruf. Rasulullah saw
menyatakan bahwa : “Sebaik-baik orang diantara kamu adalah orang yang
paling baik terhadap isterinya, dan aku (Rasulullah) adalah orang yang
paling baik terhadap isteriku.” (HR.Thabrani & Tirmidzi)
Sikap
yang santun dan bijak dari seluruh anggota keluarga dalam interaksi
kehidupan berumah tangga akan menciptakan suasana yang nyaman dan indah.
Suasana yang demikian sangat penting untuk perkembangan kejiwaan
(maknawiyah) anak-anak dan pengkondisian suasana untuk betah tinggal di
rumah.
Ungkapan yang menyatakan “Baiti Jannati” (Rumahku Syurgaku)
bukan semata dapat diwujudkan dengan lengkapnya fasilitas dan luasnya
rumah tinggal, akan tetapi lebih disebabkan oleh suasana interaktif
antara suami-isteri dan orang tua-anak yang penuh santun dan bijaksana,
sehingga tercipta kondisi yang penuh keakraban, kedamain, dan cinta
kasih.
Sikap yang santun dan bijak merupakan cermin dari kondisi
ruhiyah yang mapan. Ketika kondisi ruhiyah seseorang labil maka
kecenderungannya ia akan bersikap emosional dan marah-marah, sebab
syetan akan sangat mudah mempengaruhinya. Oleh karena itu Rasulullah saw
mengingatkan secara berulang-ulang agar jangan marah (Laa tagdlob).
Bila muncul amarah karena sebab-sebab pribadi, segeralah menahan diri
dengan beristigfar dan mohon perlindungan Allah (ta’awudz billah), bila
masih merasa marah hendaknya berwudlu dan mendirikan shalat. Namun bila
muncul marah karena sebab orang lain, berusahalah tetap menahan diri dan
berilah ma’af, karena Allah menyukai orang yang suka mema’afkan.
Ingatlah, bila karena sesuatu hal kita telanjur marah kepada
anak/isteri/suami, segeralah minta ma’af dan berbuat baiklah sehingga
kesan (atsar) buruk dari marah bisa hilang. Sesungguhnya dampak dari
kemarahan sangat tidak baik bagi jiwa, baik orang yang marah maupun bagi
orang yang dimarahi.
7. Kuatnya hubungan dengan Allah (Quwwatu shilah billah)
Hubungan
yang kuat dengan Allah dapat menghasilkan keteguhan hati (kemapanan
ruhiyah), sebagaimana Allah tegaskan dalam QS. Ar-Ra’du:28. “Ketahuilah
dengan mengingat Allah, hati akan menjadi tenang”. Keberhasilan dalam
meniti kehidupan rumah tangga sangat dipengaruhi oleh keteguhan
hati/ketenangan jiwa, yang bergantung hanya kepada Allah saja (ta’alluq
billah). Tanpa adanya kedekatan hubungan dengan Allah, mustahil
seseorang dapat mewujudkan tuntutan-tuntutan besar dalam kehidupan rumah
tangga. Rasulullah saw sendiri selalu memanjatkan do’a agar mendapatkan
keteguhan hati: “Yaa muqollibal quluub tsabbit qolbiy ‘alaa diinika
wa’ala thoo’atika” (wahai yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah
hatiku untuk tetap konsisten dalam dien-Mu dan dalam menta’ati-Mu).
Keteguhan
hati dapat diwujudkan dengan pendekatan diri kepada Allah (taqarrub ila
Allah), sehingga ia merasakan kebersamaan Allah dalam segala
aktifitasnya (ma’iyatullah) dan selalu merasa diawasi Allah dalam
segenap tindakannya (muraqobatullah). Perasaan tersebut harus dilatih
dan ditumbuhkan dalam lingkungan keluarga, melalui pembiasaan keluarga
untuk melaksanakan ibadah nafilah secara bertahap dan dimutaba’ah
bersama, seperti : tilawah, shalat tahajjud, shaum, infaq, do’a,
ma’tsurat, dll. Pembiasaan dalam aktifitas tersebut dapat menjadi sarana
menjalin keakraban dan persaudaraan (ukhuwah) seluruh anggota keluarga,
dan yang penting dapat menjadi sarana mencapai taqwa dimana Allah swt
menjamin orang-orang yang bertaqwa, sebagaimana firman-Nya dalam QS.
Ath-Thalaaq: 2-3.
“Barangsiapa bertaqwa kepada Allah niscaya Dia
akan mengadakan bagi-nya jalan keluar (solusi) dan memberinya rezeki
dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barangsiapa yang bertawakkal
kepada Allah niscaya Allah akan mencukupi (keperluan) nya.”
Wujud indahnya keberkahan keluarga
Keberkahan
dari Allah akan muncul dalam bentuk kebahagiaan hidup berumah tangga,
baik kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Kebahagiaan di dunia, boleh
jadi tidak selalu identik dengan kehidupan yang mewah dengan rumah dan
perabotan yang serba lux. Hati yang selalu tenang (muthma’innah),
fikiran dan perasaan yang selalu nyaman adalah bentuk kebahagiaan yang
tidak bisa digantikan dengan materi/kemewahan.
Kebahagiaan hati
akan semakin lengkap jika memang bisa kita sempurnakan dengan 4 (empat)
hal seperti dinyatakan oleh Rasulullah, yaitu : (1) Isteri yang
sholihah, (2) Rumah yang luas, (3) Kendaraan yang nyaman, dan (4)
Tetangga yang baik.
Kita bisa saja memanfaatkan fasilitas rumah
yang luas dan kendaraan yang nyaman tanpa harus memiliki, misalnya di
saat-saat rihlah, safar, silaturahmi, atau menempati rumah dan kendaraan
dinas. Paling tidak keterbatasan ekonomi yang ada tidak sampai
mengurangi kebahagiaan yang dirasakan, karena pemilik hakiki adalah
Allah swt yang telah menyediakan syurga dengan segala kenikmatan yang
tak terbatas bagi hamba-hamba-Nya yang bertaqwa, dan menjadikan segala
apa yang ada di dunia ini sebagai cobaan.
Kebahagiaan yang lebih
penting adalah kebahagiaan hidup di akhirat, dalam wujud dijauhkannya
kita dari api neraka dan dimasukkannya kita dalam syurga. Itulah hakikat
sukses hidup di dunia ini, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Imran :
185
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya
pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan
dari neraka dan dimasukkan kedalam syurga, maka sungguh ia telah
beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang
memperdayakan.”
Selanjutnya alangkah indahnya ketika Allah
kemudian memanggil dan memerintahkan kita bersama-sama isteri/suami dan
anak-anak untuk masuk kedalam syurga; sebagaimana dikhabarkan Allah
dengan firman-Nya:
“Masuklah kamu ke dalam syurga, kamu dan isteri-isteri kamu digembirakan”. (QS, Az-Zukhruf:70)
“Dan
orang-orang yang beriman dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka
dalam keimanan, kami hubungkan (pertemukan) anak cucu mereka dengan
mereka (di syurga), dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala
amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.
(QS. Ath-Thuur:21).
Inilah keberkahan yang hakiki.
Sumber: http://www.dakwatuna.com
PEMBENTUK KELUARGA SAKINAH
Faktor-Faktor Pembentukan Keluarga Sakinah
Untuk
membentuk keluarga sakinah, dimulai dari pranikah, pernikahan, dan
berkeluarga. Dalam berkeluarga ada beberapa hal yang perlu difahami,
antara lain :
1. Memahami hak suami terhadap istri dan kewajiban istri terhadap suami
a. Menjadikannya sebagai Qowwam (yang bertanggung jawab)
- Suami merupakan pemimpin yang Allah pilihkan
- Suami wajib ditaati dan dipatuhi dalam setiap keadaan kecuali yang bertentangan dengan syariat Islam.
b. Menjaga kehormatan diri
- Menjaga akhlak dalam pergaulan
- Menjaga izzah suami dalam segala hal
- Tidak memasukkan orang lain ke dalam rumah tanpa seizin suami
c. Berkhidmat kepada suami
- Menyiapkan dan melayani kebutuhan lahir batin suami
- Menyiapkan keberangkatan
- Mengantarkan kepergian
- Suara istri tidak melebihi suara suami
- Istri menghargai dan berterima kasih terhadap perlakuan dan pemberian suami
2. Memahami hak istri terhadap suami dan kewajiban suami terhadap istri
a. Istri berhak mendapat mahar
b. Mendapat perhatian dan pemenuhan kebutuhan lahir batin
- Mendapat nafkah: sandang, pangan, papan
- Mendapat pengajaran Diinul Islam
- Suami memberikan waktu untuk memberikan pelajaran
- Memberi izin atau menyempatkan istrinya untuk belajar kepada seseorang atau lembaga dan mengikuti perkembangan istrinya
- Suami memberi sarana untuk belajar
- Suami mengajak istri untuk menghadiri majlis ta’lim, seminar atau ceramah agama
c. Mendapat perlakuan baik, lembut dan penuh kasih saying
- Berbicara dan memperlakukan istri dengan penuh kelembutan lebih-lebih ketika haid, hamil dan paska lahir
- Sekali-kali bercanda tanpa berlebihan
- Mendapat kabar perkiraan waktu kepulangan
- Memperhatikan adab kembali ke rumah
B. Faktor Penunjang
1. Realistis dalam kehidupan berkeluarga
- Realistis dalam memilih pasangan
- Realistis dalam menuntut mahar dan pelaksanaan walimahan
- Realistis dan ridho dengan karakter pasangan
- Realistis dalam pemenuhan hak dan kewajiban
2. Realistis dalam pendidikan anak
Penanganan
Tarbiyatul Awlad (pendidikan anak) memerlukan satu kata antara ayah dan
ibu, sehingga tidak menimbulkan kebingungan pada anak. Dalam memberikan
ridho’ah (menyusui) dan hadhonah (pengasuhan) hendaklah diperhatikan
muatan:
- Tarbiyyah Ruhiyyah (pendidikan mental)
- Tarbiyah Aqliyyah (pendidikan intelektual)
- Tarbiyah Jasadiyyah (pendidikan Jasmani)
3. Mengenal kondisi nafsiyyah suami istri
4. Menjaga kebersihan dan kerapihan rumah
5. Membina hubungan baik dengan orang-orang terdekat
a. Keluarga besar suami / istri
b. Tetangga
c. Tamu
d. Kerabat dan teman dekat
b. Tetangga
c. Tamu
d. Kerabat dan teman dekat
6. Memiliki ketrampilan rumah tangga
7. Memiliki kesadaran kesehatan keluarga
C. Faktor Pemeliharaan
1. Meningkatkan kebersamaan dalam berbagai aktifitas
2. Menghidupkan suasana komunikatif dan dialogis
3. Menghidupkan hal-hal yang dapat merusak kemesraan keluarga baik dalam sikap, penampilan maupun prilaku
Demikianlah
sekelumit tentang pernikahan dan pembentukan keluarga sakinah. Semoga
Allah memberi kekuatan, kesabaran dan keberkahan kepada kita dalam
membentuk keluarga sakinah yang mawaddah wa rahmah sehingga terealisir
izzatul islam walmuslimin. Amin.
Sumber: http://www.dakwatuna.com
JODOH YANG BAIK
Adalah harapan jodoh yang baik bagi setiap insan yang belum memiliki pasangan, dan yang telah membina dalam perjalanan biduk rumah tangga..
hall ini dalat diperoleh pemahaman dari Penjelasan An Nur 26
Jika
dilihat dari konteks ayat ini, ada dua penafsiran para ulama terhadap
ayat ini yaitu tentang arti kata “wanita yang baik” dan juga “ucapan
yang baik” Sehingga dapat juga diartikan seperti ini;
“Perkara-perkara
(ucapan) yang kotor adalah dari orang-orang yang kotor, dan orang-orang
yang kotor adalah untuk perkara-perkara yang kotor. Sedang perkara
(ucapan) yang baik adalah dari orang baik-baik, dan orang baik-baik
menimbulkan perkara yang baik pula. Mereka (yang dituduh) itu bersih
dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka
ampunan dan rizki yang mulia (surga).”
Kata khabiitsat biasa
dipakai untuk makna ucapan yang kotor (keji), juga kata thayyibaat dalam
Quran diartikan sebagai kalimat yang baik.
Hakam Ibnu Utaibah
yang menceritakan, bahwa ketika orang-orang mempergunjingkan perihal
Aisyah RA Rasulullah saw menyuruh seseorang mendatangi Siti Aisyah RA
Utusan itu mengatakan, “Hai Aisyah! Apakah yang sedang dibicarakan oleh
orang-orang itu?” Aisyah RA menjawab, “Aku tidak akan mengemukakan suatu
alasan pun hingga turun alasanku dari langit”. Maka Allah menurunkan
firman-Nya sebanyak lima belas ayat di dalam surah An Nur mengenai diri
Siti Aisyah RA. Selanjutnya Hakam Ibnu Utaiban membacakannya hingga
sampai dengan firman-Nya, “Ucapan-ucapan yang keji adalah dari
orang-orang yang keji…” (Q.S. An Nur, 26). Hadits ini berpredikat Mursal
dan sanadnya shahih.
Ayat 26 inilah penutup dari ayat wahyu yang
membersihkan istri Nabi, Aisyah dari tuduhan keji itu. Di dalam ayat ini
diberikan pedoman hidup bagi setiap orang yang beriman. Tuduhan keji
adalah perbuatan yang amat keji hanya akan timbul daripada orang yang
keji pula. Memang orang-orang yang kotorlah yang menimbulkan perbuatan
kotor. Adapun ucapan-ucapan yang baik adalah keluar dari orang-orang
yang baik pula, dan memanglah orang baik yang sanggup menciptakan
perkara baik. Orang kotor tidak menghasilkan yang bersih, dan orang baik
tidaklah akan menghasilkan yang kotor, dan ini berlaku secara umum
Di
akhir ayat 26 Tuhan menutup perkara tuduhan ini dengan ucapan bersih
dari yang dituduhkan yaitu bahwa sekalian orang yang difitnah itu adalah
bersih belaka dari segala tuduhan, mereka tidak bersalah sama sekali.
Maka makna ayat di atas juga sangat tepat bahwa orang yang baik tidak
akan menyebarkan fitnah, fitnah hanya keluar dari orang–orang yang
berhati dengki, kotor, tidak bersih. Orang yang baik, dia akan tetap
bersih, karena kebersihan hatinya.
Yang Baik Hanya Untuk yang baik?
Pembahasan
kedua yaitu tentang maksud ayat di atas yaitu “wanita yang baik” dan
“wanita yang keji”. Dalam hal ini terjemahan Depag menggunakan arti
wanita yang baik dan pemahaman ini berangkat dari para ulama yang
menyatakan bahwa Aisyah merupakan wanita yang baik-baik, karena konteks
ayat tersebut turun satu paket, yaitu ayat 11-26 dengan ayat sebelumnya
tentang seseorang menuduh wanita yang baik-baik berzina. Maka jika
diartikan begitu sesuai dengan pertanyaan di atas
”Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rizki yang mulia (surga).”
”Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rizki yang mulia (surga).”
Ayat ini bersifat umum,
bahwa wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, begitu
juga sebaliknya. Namun yang perlu dipahami adalah ayat ini sebuah
kondisi atau memang anjuran, sebab para ulama banyak mengemukakan
pendapat tentang hal ini. Syaikh Muhammad Mutawalli as-Sya’rawi, ulama
Mesir pernah berkata: ada dua macam kalam (kalimat sempurna) dalam
bahasa Arab. Pertama; Kalam yang mengabarkan kondisi atau suasana yang
ada.
Kedua Kalam yang bermaksud ingin menciptakan kondisi dan
suasana. Kalam seperti ini bisa ditemukan dalam Quran. Seperti firman
Allah QS. Ali-Imran: 97: Barang siapa yang memasukinya (Baitullah itu)
menjadi amanlah dia. Ayat itu kalau dipahami, bahwa Allah sedang
mengabarkan kondisi dan suasana kota Mekah sesuai kenyataan yang ada,
maka tentu tidak akan terjadi hal-hal yang bertolak belakang dengan
kondisi itu. Akan tetapi, kalau ayat itu dipahami, sebagai bentuk
pengkondisian suasana, maka Allah sesungguhnya tengah menyuruh manusia,
untuk menciptakan kondisi aman di kota Mekah. Kalaupun kenyataan banyak
terjadi, bahwa kota Mekah kadang tidak aman, maka hal itu artinya,
manusia tidak mengejewantahkan perintah Allah.
Pemahaman yang sama
juga bisa ditelaah pada ayat ini; Wanita-wanita yang keji adalah untuk
laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita
yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki
yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik
(pula). (QS. An-Nur: 26). Pada kenyataan yang terjadi, ternyata, ada
laki-laki yang baik mendapat istri yang keji, begitu pula sebaliknya.
Maka memahami ayat tersebut sebagai sebuah perintah, untuk menciptakan
kondisi yang baik-baik untuk yang baik-baik, adalah sebuah keharusan.
Kalau tidak, maka kondisi terbalik malah yang akan terjadi.
Kalau kita bandingkan dengan Annur ayat 3 yang mana kalimat digunakan untuk umum
“laki-laki
yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau
perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini
melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik” (QS. An Nur ayat 3)
Di
ayat ini lebih tegas mengandung “unsur perintah” untuk mencari pasangan
yang sepadan. Sehingga ayat 26 bisa dimengerti sebagai sebuah motivasi
atau anjuran untuk mengondisikan dan bukan sebagai ketetapan bahwa yang
baik “otomatis” akan mendapatkan pasangan yang baik. Hal ini tentu
memerlukan usaha untuk memperbaiki diri lebih baik.
Ayat
tersebut bukanlah merupakan janji Allah kepada manusia yang baik akan
ditakdirkan dengan pasangan yang baik. Sebaliknya ayat tersebut
merupakan peringatan agar umat Islam memilih manusia yang baik untuk
dijadikan pasangan hidup. Oleh karena itu nabi bersabda tentang
anjuran memilih pasangan yaitu lazimnya dengan 4 pertimbangan, dan
terserah yang mana saja, namun yang agamanya baik tentu sangat
dianjurkan.
Wallahua’lam.
TENTRAM MENIKAH
Islam telah menjadikan istri sebagai tempat yang penuh ketenteraman bagi suaminya. Allah SWT berfirman: “Di
antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untuk kalian
istri-istri dari jenis kalian sendiri supaya kalian cenderung dan merasa
tenteram kepadanya”. (QS Ar Rum: 21).
Secara fitrah, dengan
menikah akan memberikan ketenangan bagi setiap manusia, jika pernikahan
yang dilakukan sesuai dengan aturan Allah SWT. Pastinya setiap mukmin
punya harapan yang sama tentang keluarganya, yaitu ingin berbahagia,
menjadi keluarga yang sakinah mawaddah warahmah.
Namun, sebagian
orang menganggap bahwa untuk menjadikan keluarga yang sakinah mawaddah
warahmah serta langgeng hingga kakek nenek adalah hal yang tidak mudah
dibuat begitu saja. Ia penuh onak dan duri, lika-liku, serta jalan yang
cukup panjang.
Namun demikian, menikah itu bukanlah sesuatu yang
menakutkan bagi yang menjalankan, hanya perlu perhitungan yang cermat
serta persiapan matang saja, agar tidak menimbulkan penyesalan dikemudia
hari. Sebagai risalah yang menyeluruh dan sempurna, Islam telah
memberikan tuntunan tentang tujuan pernikahan yang harus dipahami oleh
kaum Muslim.
Tujuannya adalah agar pernikahan itu mendapatkan
keberkahan dan bernilai ibadah di sisi Allah SWT serta benar-benar
memberikan ketenangan bagi pasangan suami istri. Dengan itu akan
terwujud keluarga yang bahagia dan langgeng hingga tua.
Menikah
hendaknya diniatkan untuk mengikuti sunnah Rasullullah SAW, melanjutkan
keturunan, dan menjaga kehormatan. Menikah juga hendaknya ditujukan
sebagai sarana dakwah, meneguhkan iman, dan menjaga kehormatan.
Pernikahan
pada dasarnya merupakan akad antara seorang laki-laki dan perempuan
untuk membangun rumahtangga sesuai dengan ketentuan syariat Islam. Dan
sesungguhnya kehidupan rumahtangga dalam Islam adalah kehidupan
persahabatan. Suami adalah sahabat karib bagi istrinya, begitu pula
sebaliknya, dengan saling melengkapi satu dengan yang lain.
Keduanya,
bagaikan dua sahabat karib yang siap berbagi suka dan duka bersama
dalam menjalani kehidupan pernikahan mereka demi meraih tujuan yang
diridhai Allah SWT. Istri bukanlah sekadar partner kerja bagi suami,
apalagi bawahan atau pegawai yang bekerja pada suami. Istri adalah
sahabat karib, partner dakwah, partner kerja kebaikan, belahan jiwa, dan
tempat curahan hati suaminya. Selalu ada untuk sang suami dan
sebaliknya, suami selalu ada untuk sang istri
Karena itu, sudah
selayaknya suami akan merasa tenteram dan damai jika ada di sisi
istrinya, demikian pula sebaliknya. Suami akan selalu cenderung dan
ingin berdekatan dengan istrinya dengan penuh cinta. Di sisi istrinya,
suami akan selalu mendapat semangat baru untuk terus menapaki jalan
kebaikan (dakwah), dan sebaliknya.
Keduanya akan saling tertarik
dan cenderung kepada pasangannya, bukan saling menjauh bahkan bercerai.
Keduanya akan saling menasihati bukan mencela, saling menguatkan bukan
melemahkan, saling membantu bukan bersaing. Keduanya pun selalu siap
berproses bersama meningkatkan kualitas ketakwaannya demi meraih
kemulian disisiNya.
Hasilnya, kehidupan pernikahan yang ideal
adalah terjalinnya kehidupan persahabatan antara suami dan istri yang
mampu memberikan ketenangan dan ketenteraman bagi keduanya. Sering
terjadi, kenyataan hidup tidaklah seindah harapan yang kita tanamkan.
Begitu
pula dengan kehidupan rumahtangga, tidak selamanya berlangsung tenang,
pasti aka nada riak-riak ombak yang akan menghantam biduk rumah tangga.
Adakalanya kehidupan suami istri itu dihadapkan pada berbagai problem
baik kecil ataupun besar, yang bisa mengusik ketenangan keluarga.
Sebabnya
pun sangat beragam. Bisa karena kurangnya komunikasi antara suami
istri, suami kurang makruf terhadap istri, kurang perhatian kepada istri
dan anak-anak. Istri yang kurang pandai dan kreatif menjalankan
fungsinya sebagai istri, ibu, dan manajer rumahtangga dan lainnya. Mari
kita terus belajar menjalankan rumah tangga, dengan sebaik-baiknya.
Dengan pernikahan ada berjuta kebahagiaan, karena itu jangan pernah
takut untuk menikah. Wallahu’alam
Sumber: http://www.dakwatuna.com
PERSIAPAN MENIKAH
Saatnya untuk menikah, kata-kata itulah yang kali
ini terngiang-ngiang selalu di pikirannya, memenuhi relung hatinya, dan
merasuki berbagai macam kegiatan yang ia lakukan.
Menikah, sebuah
fitrah yang memang Allah ciptakan untuk menjadikan ketenangan bagi
manusia. Ialah yang merupakan sebuah labuhan hati untuk jiwa-jiwa yang
rindu akan kesucian cinta dan hakikinya hubungan manusia dengan
Tuhannya. Menikah bukan hanya sekedar pemenuhan hawa nafsu atau
keinginan untuk bersama antara dua insan saja, tapi lebih kepada sebuah
jalan bagi para pembangun peradaban. Pernikahanlah yang menjadi sebuah
titik tolak awal kebangkitan umat. Pernikahan yang baik dan suci serta
pendidikan keluarga yang tarbawi-lah yang menjadi momentum yang akan
membawa energi perubahan di masa mendatang.
Menikah bukanlah hal
yang sederhana namun pula tak pantas untuk membuatnya menjadi kompleks
yang akhirnya menghilangkan makna keindahannya. Menikah akan
mempertemukan dua manusia yang memiliki karakteristik jiwa yang berbeda
satu sama lainnya namun memiliki ketertarikan yang tak mampu dijelaskan
dengan kata-kata biasa, sekalipun oleh para pujangga. Ia seolah seperti
sebuah energi yang tersimpan kuat di dalam dada setiap manusia,
terkadang tenang, terkadang bergolak, dan akhirnya ingin bertemu pada
muara yang sama.
Sebuah jiwa yang telah resah di hari-harinya
seolah seluruh dunianya telah berubah karena ia seperti kehilangan
separuh hatinya. Sebenarnya bukan kehilangan tepatnya, namun ia hanya
belum menemukan. Puisi-puisi, syair-syair, bahkan nasihat dari para
bijak bestari pun tak lagi memiliki arti bagi para jiwa yang sudah tak
kuasa ‘tuk segera menggenapkan diri.
“Lalu, apa? Apa yang sebaiknya aku lakukan?”
Rasulullah
saw pernah bersabda, “Tak ada yang bisa dilihat lebih indah dari
orang-orang yang SALING MENCINTAI seperti halnya PERNIKAHAN” (HR. Al
Hakim).
Cinta antara dua manusia, antara dua jiwa yang berbeda
namun entah mengapa tiba-tiba mereka memiliki frekuensi yang sama, harus
bermuara dalam pernikahan. Tidak bisa tidak, tak ada lagi tawaran lain
selain pernikahan. Hubungan-hubungan palsu duniawi yang lemah tidak akan
pernah mampu menggantikan ajeg dan kokohnya tali cinta dalam
pernikahan.
Sekali lagi, mari ingatlah, pernikahan bukanlah hal
yang mudah namun tidak pantas pula untuk mempersulitnya. Banyak yang
ragu dan enggan untuk memulai. Bisa disebabkan karena kondisi keuangan,
kondisi pribadi, hingga kondisi keluarga. Seorang pemuda yang telah
jatuh hati pada wanita idamannya hanya akan memiliki dua pilihan,
meminang wanita itu hingga akhirnya menikah, atau izinkan laki-laki
shalih
lainnya untuk meminangnya. Dia tak bisa memberikan
janji-janji pemenuh kebutaan syahwat yang pada akhirnya hanya akan
menyakiti kedua belah pihak, entah akhirnya mereka benar-benar menikah
atau tidak.
Setelah meminang, hanya akan keluar dua kalimat indah
yang telah diajarkan oleh manusia paling mulia, Rasulullah saw. Katakan,
“Alhamdulillah” jika engkau diterima, dan gelorakan, “Allahu Akbar”
jika pinanganmu ditolaknya, sederhana. Sederhana pada pelaksanaannya
namun hati, hati adalah rongga yang begitu dalam dan memiliki detak dan
debar yang tidak sederhana. Maka di sinilah diuji keimanan manusia,
apakah ia ridha dengan keputusan Tuhannya, Tuhan yang telah membuat ia
dari saat sebelumnya ia bukan apa-apa, Tuhan yang telah memberikan
nikmat yang sama sekali tidak mampu terhitung jumlahnya, dan tentu saja
Tuhan yang telah menyematkan cinta yang begitu indah di dalam hatinya,
atau ia merasa kecewa, tidak ikhlas, hingga akhirnya gerutu dan umpatan
keluar dari lidah dan lisannya.
Sungguh kawan, cinta dua insan
tidaklah mampu disembunyikan. Layaknya Abdullah bin Abu Bakar dan
istrinya Atikah. Kenikmatan dan indahnya cinta yang akhirnya mereka
rasakan dalam pernikahan membuat Abdullah lalai akan mengingat Tuhannya,
bahkan hingga syuruq pun belum terlihat batang hidungnya di antara para
jamaah shalat subuh. Maka, Abu Bakar, ayahnya, meminta untuk
menceraikan istrinya. Perasaan apa yang ada di hatinya? Wanita yang
begitu ia cintai, yang akhirnya ia dapatkan dengan cara halal dan suci
harus ia lepaskan begitu saja! Siapa?! Siapa?! Siapa yang tidak akan
menangis begitu dalam ketika harus menerima kenyataan ini. Siapa yang
tidak akan menggubah syair yang memilukan jika harus menghadapi ini?
Tetapi, perintah orang tua-lah yang ia utamakan, karena ia tahu ridha
Allah berada pada ridha orang tua dan murka Allah berada pada murka
orang tua.
Hari-hari kedua insan itu hanya dilalui seolah dua
orang pesakitan yang tidak lagi memiliki harapan hidup, karena sebagian
jiwa mereka hilang dan tidak mampu tergantikan kecuali kembali
digenapkan. Akhirnya, Allah mengizinkan untuk mereka berkumpul kembali
dalam siraman ridha Illahi.
Kawan, pernikahan membutuhkan
persiapan. Ada dua hal mendasar yang memiliki batas yang hampir-hampir
saling bersinggungan satu dengan yang lainnya, yaitu antara menyegerakan
dan tergesa-gesa. Rasulullah saw bersabda, “Wahai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mampu ba`ah, maka hendaklah ia menikah, karena pernikahan lebih dapat menundukkan pandangan dan menjaga kehormatan farji…“(HR. Bukhari dan Muslim).
Apakah
itu ba’ah wahai saudaraku? Ibnu Qayyim al-Jauziy berkata bahwa ba’ah
adalah kemampuan biologis untuk berjima’. Namun, beberapa ulama ada yang
menambahkan bahwa ba’ah adalah mahar (mas kawin), nafkah, juga
penyediaan tempat tinggal. Kita tak mampu menutup mata dari berbagai
kebutuhan yang harus terpenuhi ketika dua insan telah menyatu di dalam
pernikahan.
Ada beberapa hal penting yang harus dipersiapkan
menuju pernikahan. Sebuah bekal yang akan mempermudah dua insan untuk
berjalan di jalur yang sama dalam pernikahan.
1. Persiapan ruhiyah
Saat
pernikahan hanyalah memiliki satu niat, untuk semakin mendekatkan diri
pada Tuhannya, sehingga Allah akan berkenan untuk meridhainya. Niat
paling murni dan penuh keikhlasan dari seorang hamba. Dengan niat yang
lurus ini seseorang akan yakin dan percaya bahwa Allah hanya akan
memberikan yang terbaik untuknya, yang terbaik, yang terbaik, sekali
lagi, yang terbaik. Tidak ada pilihan lainnya. Tentu saja hal ini tidak
akan datang begitu saja, melainkan melalui proses perbaikan diri,
perbaikan kualitas ibadah, dan pemurnian hati.
2. Persiapan ilmu
Saat
dua paradigma berpikir disatukan, maka ia akan menemui benturan dan adu
argumen antara keduanya. Persiapan ilmu dibutuhkan untuk mempersiapkan
dan menyelaraskan perbedaan pandangan yang akan ditemukan ketika dua
insan telah berada pada bahtera yang sama. Tanpa persiapan ilmu yang
cukup, yang ada hanya pertengkaran dan tidak adanya pengertian antara
yang satu dengan yang lainnya.
3. Persiapan fisik
Adalah
cinta membutuhkan energi untuk hidup dan tetap menyala, maka seperti
itulah yang dibutuhkan dalam kehidupan rumah tangga. Adalah bodoh ketika
seorang suami hanya memberikan cinta tanpa menafkahi istri dan
anak-anaknya. Cinta bukanlah khayalan dan fatamorgana, namun cinta
adalah kenyataan yang dihadapi di depan mata. Fisik keduanya harus kuat,
baik untuk membangun cinta juga untuk membangun keluarga. Hingga
akhirnya cinta akan tetap hidup dalam bahtera keduanya.
4. Mengenal calon pasangan
Kenali
ia dengan bertanya kepada keluarga atau orang yang shalih dan dapat
dipercaya. Berjalan dengan mata tertutup adalah kebodohan yang nyata
yang akan membawa mudharat baginya. Maka, lihat dan kenalilah calon
pasanganmu dan berdoalah agar Allah memberikan yang terbaik untukmu.
Satu hal yang perlu diingat kawan! Mengenal pasangan bukanlah dengan
engkau berjalan berdua dengannya memadu cinta kasih yang sama sekali
Allah haramkan hubungannya. Sama sekali tidak! Dengan itu kau hanya
belajar menjadi kekasih yang baik, bukan istri/suami yang baik.
Percayalah, pernikahan tak sama dengan hubungan semu yang sedang kau
jalin bersamanya. Saat kau menikah tetap akan ada hal-hal baru yang sama
sekali tidak kau ketahui dan itu jauh berbeda. Jika hasilnya sama,
mengapa memilih jalan yang penuh duri dan sama sekali tidak mengandung
ridha-Nya?
5. Lurusnya niat
Meskipun telah disinggung pada
poin pertama, namun lurusnya niat bukanlah hal mudah untuk dilakukan. Ia
harus terhindar dari riya’ dan sum’ah, dari dengki dan iri, dan dari
berbagai sifat yang merusak hati serta merusak hubungan dengan Tuhannya.
Karena segala sesuatu berawal dan berakhir dari niatnya.
Cinta
bukanlah satu hal pasif yang tidak membutuhkan energi dan pengorbanan
untuk meraihnya namun ia adalah energi yang membutuhkan kerja keras dan
berbagai pengorbanan, membutuhkan keikhlasan dan jernihnya hati, dan
membutuhkan penyerahan diri pada pemilik cinta yang hakiki.
Biarlah
cintamu tumbuh berkembang, akarnya menghujam bumi, daunnya berdesir
mengikuti alunan angin, dan buahnya manis, serta bunganya indah merona,
karena kau serahkan segalanya kepada Allah, Tuhan yang menciptakan cinta
itu sendiri.
Berbag dengan dakwah untuk semua insan didunia. @dakwatuna
Akhwat dan facebookers
assalamu'alaikum
Ini adalah kisah dari sebuah cerita dan pengalaman untuk shareing bersama dalam ukhuwah, semoga ada ibroh dan hikmahnya..
Suatu hari saat chatting YM, saat aku belum memiliki akun FB..
”Ada FB ga?”
”Ga ada. Adanya blog multiply. perempuanlangitbiru.multiply.com..”
Tak berapa lama kemudian.
”Kok
foto di MPmu (multiply, red), anak kecil semuanya siih?? Fotomu mana?”,
tanya seorang akhwat yang baru dikenal dari forum radiopengajian.com.
”Itu semua foto keponakanku yang lucu.. ”, jawabku.
Suatu hari di pertemuan bulanan arisan keluarga..
“De’ kok di FBmu ga ada fotomu siih??”, tanya kakak sepupu yang baru aja ngeadd FB-ku.
“Hehe.. Ntar banyak fansnya..”, jawabku singkat sambil nyengir.
Suatu siang di pertemuan pekanan..
“Kak, foto yang aku tag di FB diremove ya? Kenapa kak??”, tanya seorang adik yang hanya berbeda setahun dibawahku..
“He..”, jawabku sambil senyum nyengir yang agak maksa.
Suatu malam di rumah seorang murid.
”FBmu apa?? Saya add ya..”, tanya bapak dari muridku.
Setelah add FBku sang bapak bertanya: ”Kok ga ada fotonya siih??”
Aku hanya bisa ber-hehe-ria.
Dari
beberapa kejadian itu, aku hanya bisa menyimpulkan bahwa yang pertama
kali dilihat orang ketika meng-add FB seseorang adalah fotonya. Entahlah
apa alasannya, mungkin memang ingin tahu bagaimana wajah sang pemilik
akun FB, padahal kan yang di add biasanya yang sudah dikenal. Lantas
jika memang sang empunya akun tidak memajang foto dirinya di FB,
langsung deh jadi bahan pertanyaan, bahkan untuk seorang akhwat
sekalipun.
Jika ditilik-tilik, fenomena foto akhwat yang
bertebaran di dunia maya nampaknya sudah bukan barang asing lagi. Kita
dengan mudah menemuinya termasuk di FB. FB yang merupakan suatu situs
jejaring sosial begitu berdampak besar bagi pergaulan masyarakat dunia,
pun termasuk pergaulan di dunia ikhwan akhwat.
Maraknya foto
akhwat yang bertebaran di FB, membuat LDK (Lembaga Da’wah Kampus) suatu
kampus ternama harus membuat peraturan yaitu tidak memperbolehkan akhwat
aktivis da’wah kampus memajang foto dirinya di FB. Tentu saja banyak
reaksi yang muncul dari peraturan dan kebijakan itu, mulai dari yang
taat menerima dengan lapang dada sampai ada juga yang mem’bandel’. Namun
apalah arti sebuah peraturan jika memang kita tidak mengetahui fungsi
dan tujuannya dengan benar, dapat dipastikan peraturan hanya untuk
dilanggar jika ditegakkan tanpa kepahaman.
****
Di suatu pertemuan para akhwat aktivis da’wah kampus..
”Ayolaaah,,
foto bareng..”, rayuku sebagai fotografer ketika terheran-heran melihat
seorang akhwat yang tidak mau ikut foto, menjauhi kumpulan akhwat yang
siap-siap berpose.
Selidik punya selidik ternyata akhwat tersebut
kapok untuk difoto karena fotonya beredar di FB padahal dia ga punya FB.
Fotonya bisa beredar di FB karena teman-teman satu jurusan mengunduh
foto momen bersama di FB yang tentu saja ada dirinya di dalam foto itu.
Padahal saat itu, aku belum punya FB (hanya memiliki blog di multiply)
dan tidak terbersit sedikit pun berniat untuk mempublish foto itu di
dunia maya, yaaa hanya untuk disimpan di folder pribadiku. Foto
kebersamaan dengan para saudari seperjuangan yang bisa membangkitkan
semangat di saat-saat tak bersemangat, hanya dengan melihatnya.
Jika
diperhatikan dengan seksama, ternyata benar bahwa orang-orang termasuk
akhwat sudah terbiasa berkata: ”Nanti jangan lupa di upload n di tag in
di FB ya..” setelah melakukan foto bersama.
Benar saja! Di suatu
kesempatan berselancar di dunia maya, di saat aku akhirnya memutuskan
membuat akun FB, melihat-lihat, berkunjung ke FB para akhwat, dan
ternyata benar saja foto-foto akhwat dengan mudah dilihat para pengguna
FB yang telah menjadi temannya. Aku yang memiliki kepribadian
idealis-pemimpi agak terkejut juga melihat hal itu, secara baru terjun
di dunia perFBan. Terkejut karena kecantikan para akhwat dengan mudah
dinikmati oleh orang lain. Aku agak bingung juga harus bagaimana melihat
fenomena akhwat facebook-ers. Ada kekhawatiran apakah terlalu
idealisnya pikiranku yang mungkin sebenarnya mengunduh foto sudah
menjadi hal yang biasa saja di kalangan para akhwat. Itulah realita yang
ada. Entah apa yang melatarbelakangi para akhwat akhirnya mengunduh
foto pribadinya atau bersama rekan-rekannya di FB.
Hingga akhirnya pada suatu hari, terjadilah sebuah percakapan:
”Kenapa
siih yang dilarang majang foto itu cuma akhwat? Kenapa ikhwan juga ga
dilarang?? Bukannya sama aja ya?? Sama-sama bakalan dinikmati kecantikan
atau kegantengannya kan??”, tanyaku bertubi-tubi kepada seorang saudari
yang sepemikiran denganku tentang fenomena foto akhwat di FB.
”Ya
beda-lah.. Coba kita liat para cewek yang ngefans sama artis-artis
cowok Korea, mereka cuma ngeliat cowok Korea itu sekadar suka-suka yang
berlebihan.. Udaaaah,, hanya sebatas suka ngeliat. Tapi kalo cowok yang
ngeliat foto cewek, itu beda. Kamu tau kan kalo daya lihat para cowok
itu berbeda?? Ada pemikiran-pemikiran tertentu dari para cowok ketika
melihat seorang cewek bahkan hanya sekadar foto.”
Hmm.. yayaya..
Memang aku pernah mendengar bahwa daya lihat seorang laki-laki itu 3
dimensi. Laki-laki bisa membayangkan dan memikirkan hal-hal yang abstrak
diluar dari yang dia lihat. Bahkan katanya lagi, seorang laki-laki bisa
saja memikirkan seorang perempuan tanpa berbusana hanya karena melihat
seorang perempuan yang berbusana mini berlalu di hadapannya. Namun
kebenaran itu belum bisa kubuktikan karena aku hanyalah seorang
perempuan biasa bukan seorang laki-laki.
Pantas saja Allah memerintahkan kita untuk menahan pandangan, seperti dalam firman-NYA:
Katakanlah
kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih
suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka
perbuat”. Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka
menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya. . . . .” [QS. An-Nuur :
30-31]
Ayat ini turun saat Nabi Shalallahu a’laihi wassalam
pernah memalingkan muka anak pamannya, al-Fadhl bin Abbas, ketika beliau
melihat al-Fadhl berlama-lama memandang wanita Khats’amiyah pada waktu
haji. Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa al-Fadhl bertanya kepada
Rasulullah Shalallahu a’laihi wassalam, “Mengapa engkau palingkan muka
anak pamanmu?” Beliau Shalallahu a’laihi wassalam menjawab, “Saya
melihat seorang pemuda dan seorang pemudi, maka saya tidak merasa aman
akan gangguan setan terhadap mereka.”
Dari ayat diatas dapat
dilihat bahwa yang diperintahkan untuk menahan pandangan bukan saja
laki-laki namun juga perempuan. Untuk itu, sudah seharusnya kita menjaga
pandangan dari hal-hal yang tidak seharusnya kita pandang.
Lalu apa hubungannya dengan pemajangan foto di dunia maya??
Jika
dulu kasus menjaga pandangan hanya karena bertemu dan bertatap
langsung, namun saat ini sudah lebih canggih lagi, tanpa bertemu dan
bertatap pun, godaan menahan pandangan itu tetap ada. Ya! Bisa jadi
dengan banyaknya bertebaran foto akhwat di dunia maya, itulah godaan
terbesar. Buat para ikhwan, harus mampu menahan pandangan di saat
berselancar di dunia maya, di saat-saat kesendirian berada di depan
layar komputer ataupun laptop. Kondisikan hati terpaut dengan Allah
saat-saat kesendirian, jangan sampai kita menikmati foto akhwat yang
bertebaran di dunia maya. Buat para akhwat, yang memang merupakan godaan
terbesar bagi para ikhwan, akankah kita terus menciptakan peluang untuk
membuat para ikhwan ter’paksa’ memandangi foto-foto pribadi kita?
****
Kejadian
demi kejadian yang kutemukan di dunia maya begitu banyak menyadarkanku
akan pentingnya seorang akhwat menjaga dirinya untuk tidak mudah
mengupload foto dirinya di dunia maya.
Beberapa hari belakangan
ini, ketika sedang mencari desain kebaya wisuda untuk muslimah berjilbab
di mesin pencari google, diri ini dipertemukan dengan sebuah blog yang
bernama ’jilbab lovers’. Pecinta jilbab. Ya! Sesuai namanya, di blog itu
berisi hampir semuanya adalah foto-foto muslimah berjilbab dengan
berbagai pose. Di antara beberapa foto muslimah berjilbab itu, aku
temukan 3 komentar yang mengomentari foto seorang gadis, aku akui gadis
dalam foto itu sungguh cantik, memenuhi kriteria wanita cantik yang
biasanya dikatakan sebagian besar orang. Beginilah kurang lebih komentar
3 orang laki-laki pada foto gadis itu dengan sedikit perubahan:
” Itu baru namanya gadis .. cantik nan islami.. sempuuuuurnaaaa… salam kenal..”
”Subhanallah ada juga makhluk Allah seperti ini ya..”
”Subhanallah..”
Jika
kita lihat ke-3 komentar diatas, bisa dilihat bahwa komentarnya begitu
islami dengan kata-kata Subhanallah namun juga menyiratkan bahwa sang
komentator begitu menikmati kecantikan sang gadis di dalam foto. Hal ini
menandakan bahwa siapapun yang melihat foto itu memang pada akhirnya
akan menikmati kecantikan sang gadis berjilbab. Allahurobbi,, akankah
kita -para akhwat- rela jika kecantikan diri kita dapat dengan bebas
dinikmati oleh orang lain yang belum halal bagi kita bahkan belum kita
kenal?
Mungkin akan ada sebagian dari kita -para akhwat- yang akan
menepisnya: ”Aaahh,, itu kan foto close up. Kalo foto bareng-bareng ya
gpp donk??”
Hmm.. ada satu lagi yang kutemukan di dunia maya
mengenai foto muslimah berjilbab. Pernah suatu hari, ketika diri ini
mencari gambar kartun akhwat untuk sebuah publikasi acara LDF (Lembaga
Da’wah Fakultas) di mbah google, kutemukan foto muslimah berjilbab yang
sudah diedit sedemikian rupa hingga menjadi sebuah gambar porno. Memang
gambar itu tidak kutemukan langsung diawal-awal halaman pencarian
google, tapi berada di halaman kesekian puluh dari hasil pencarian
keyword yang aku masukkan. Terlihat foto wajah sang muslimah begitu
kecil (kuduga dicrop dari sebuah foto) dan dibagian bawah wajah sang
muslimah berjilbab diedit dengan dipasangkan foto/gambar sesuatu yang
seharusnya tidak diperlihatkan. Naudzubillahimindzalik..
Bagaimana
perasaan kita jika seandainya melihat foto diri kita sendiri yang sudah
diedit menjadi gambar porno dan dinikmati oleh orang banyak di dunia
maya? Atau bagaimana perasaan kita jika ada kerabat dekat yang melihat
foto kita yang sudah diedit sedemikian rupa menjadi gambar porno?
Semoga saja hal ini tidak menimpa diri kita. Ya Rabb,, bantu kami –para akhwat- untuk menjaga kemuliaan diri kami..
Mungkin kita bisa mengambil teladan dari kejadian di bawah ini…
Suatu
ketika, diri ini menemukan blog (multiply, red) seorang ustadz. Dalam
blog itu, terlihat foto sang ustadz bersama ketiga anaknya yang masih
kecil, tanpa terlihat ada istrinya. Di bawah foto itu diberi
keterangan:”mohon maaf tidak menampilkan foto istri saya..”
Dari
situ aku ambil kesimpulan bahwa sang ustadz sepertinya memang tidak
ingin menampilkan foto sang istri. Bisa jadi karena begitu besar
cintanya terhadap sang istri, maka tak boleh ada yang menikmati
kecantikan sang istri selain dirinya, begitu dijaga sekali kemuliaan
istrinya. Ya Rabb,, semoga kami -para akhwat- bisa menjaga kemuliaan
diri kami..
Mungkin kita bisa mengambil hikmah dari kejadian di bawah ini…
Baru
saja kemarin, di perkampungan multiply, MP, ada berita bahwa ada
seorang ikhwan yang tiba-tiba minta ta’aruf dengan seorang akhwat
padahal belum kenal sang akhwat dan hanya melihat foto sang akhwat di
FB. Huufffhh.. ada-ada aja..
Jika diliat dari akar masalahnya mungkin berasal dari foto sang akhwat di FB, bukan begitu??
Jadi, apa yang akan kita –para akhwat- lakukan setelah ini??
****
Tulisan
ini dipublish terutama ditujukan pada setiap wanita yang sebagai seorang
akhwat yang masih harus terus belajar menjaga kemuliaan diri serta untuk
saling mengingatkan para facebookers yang lain.
Semoga kita bisa
menjaga kemuliaan diri kita sebagai seorang akhwat ketika berada di
dunia maya. Ketika kita -para akhwat- ingin mengupload foto pribadi atau
bersama sahabat seperjuangan di dunia maya, tanyakan lagi pada hati
kita: untuk apa foto itu dipublish di dunia maya, timbangkanlah
masak-masak sebelum menguploadnya, lebih banyak manfaat atau
mudharatnya.
Tentunya bukan hanya masalah foto yang terpampang di dunia
maya yang mengharuskan kita menjaga kemuliaan diri tapi juga ketika kita
berinteraksi di dunia maya, entah melalui comment ataupun fasilitas
chat yang bersifat lebih privacy.
”Kejahatan itu bukan hanya
sekadar berasal dari niat seseorang untuk berbuat jahat tapi karena ada
kesempatan. Waspadalah..Waspadalah..”
Semangat bermanfaat!
Jadikan dunia maya sebagai ladang amal kita..Aamiin
Wallau 'alam bishowab
Langganan:
Postingan (Atom)