Senin, 12 September 2011

ISTILAH HALAL BIHALAL

Halal bi Halal adalah suatu bentuk ungkapan khusus pada waktu dan tempat tertentu sebagai pengganti dari kata Silatur-Rahmi pada kedua hari raya islam yang telah membudaya di beberapa Negara di Asia Tenggara khusnya Indonesia. Jika kita kembali pada sejarah Islam, sejak zaman Rasulullah SAW, sahabat, para tabi’ dan tabi’ tabi’in bahkan hingga saat ini, maka kita tidak akan mendapatkan istilah Halal bi Halal kecuali Silatu Rahim. Meskipun Istilah Halal bi Halal ini berasal dari bahasa Arab yang berarti “Halal dengan yang halal” atau “sama-sama saling menghalalkan” atau kadang pula diartikan dengan “saling maaf memaafkan/saling menghalalkan dosa masing-masing” namun terdapat kerancuan pemahaman di kalangan orang Arab itu sendiri (ashab al-lughah) terhadap penggunaan dan maksud dari istilah ini.
Tidak mengherankan jika orang Arab akan terheran-heran di saat mereka bertanya tentang acara Halal bi Halal yang sedang dirayakan oleh masyarakat Indonesia yang berada di Arab. Mereka pun akan memahaminya setelah mendapatkan penjelasan tentang sebab dan maksud dari perayaan itu dan kadang mendapat sorotan tentang kesalahan penempatan bahasa yang dimaklumi sebagai bahasa atau ungkapan orang yang baru belajar bahasa Arab namun kadang pula mendapat pujian tentang dalamnya hikmah yang terkandung dari ungkapan tersebut.
Uslub (gaya bahasa) dari Halal bi Halal sangat terpengaruh dengan uslub yang terdapat dalam firman Allah SWT, Surah Al-Maidah:45 :
وَ كَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيْهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالأَنْفَ بِالأَنْفِ وَالأُذُنَ بِالأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ ……
“Dan kami Telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata (dibalas) dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada qisashnya…”.
Uslub pada ayat ini mengandung makna qishaash (hukum balasan) terhadap orang yang telah dirugikan, dibalas dengan balasan yang sama atau setimpal. Dalam firman-Nya yang lain :
يَاأَيُّهَا الذِيْنَ ءَامَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلىَ اَلْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالأُنْثَى بِالأُنْثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيْهِ شَيْئٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوْفِ وَأَدَآءٌ اِلَيْهِ بِإِحْسٰنٍ….
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema’afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema’afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma’af) membayar (diat) kepada yang memberi ma’af dengan cara yang baik (pula). (QS.Al-Baqarah:178).
Qishaash ialah mengambil pembalasan yang sama. qishaash itu tidak dilakukan, bila yang membunuh mendapat kema’afan dari ahli waris yang terbunuh yaitu dengan membayar diat (ganti rugi) yang wajar. pembayaran diat diminta dengan baik, umpamanya dengan tidak mendesak yang membunuh, dan yang membunuh hendaklah membayarnya dengan baik, umpamanya tidak menangguh-nangguhkannya. bila ahli waris si korban sesudah Tuhan menjelaskan hukum-hukum ini, membunuh yang bukan si pembunuh, atau membunuh si pembunuh setelah menerima diat, Maka terhadapnya di dunia diambil qishaash dan di akhirat dia mendapat siksa yang pedih.
Pada ayat ini, telah mengisyaratkan akan adanya sifat pemaaf, yang kemudian pada ayat 237 surah Al-Baqarah disebutkan bahwa :
وَ أَنْ تَعْفُوْا أَقـْرَبُ لِلتـَّقـْوَى
“..Dan jika kamu memaafkan, maka hal itu lebih dekat kepada takwa…”
Memaafkan orang lain sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh baginda Rasulullah SAW di awal dakwahnya, bahkan beliau mendoakan mereka yang ingkar dan telah melukainya di saat Jibril as meminta kepadanya untuk memohon balasan atau azab Allah bagi mereka, merupakan suatu kesabaran dan keteguhan hati dalam meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT. Hal senada pun akan dijumpai dalam berpuasa pada bulan Ramadhan, dimana dengan berpuasa akan melatih kesabaran dan membentuk keperibadian dalam meraih tujuan utama dari puasa yaitu:
لـَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْن
“…Agar kamu bertakwa” (QS.Al-Baqarah:183)
Sehingga para ulama yang menyebarkan islam di Indonesia, di saat menjawab pertanyaan-pertanyaan orang awam tentang perbedaan Silatur Rahmi pada hari-hari biasa dan pada hari Ied, mereka lebih menyederhanakan perbedaan tersebut dengan Istilah baru yaitu Halal bi Halal, yang dapat berarti bahwa bersilatur rahmi di hari biasa boleh jadi Haram bi Halal atau orang yang menjalin hubungan telah berbuat salah dan dalam keadaan biasa-biasa saja terlebih lagi di Indonesia, ungkapan silatur rahmi lebih diterjemahkan dengan sekedar berziarah. Sedangkan bersilatur rahmi setelah Ied merupakan refleksi dari pembentukkan keperibadian di saat berpuasa sehingga orang yang menjalin dan dijalin silatur rahmi dalam keadaan suci, sadar dan ikhlas untuk memaafkan dan dimaafkan serta memperbaiki hubungan yang telah kusut.
Makna dari Halal bi Halal ini akan lebih bermakna jika puasa yang dilakukan benar-benar sempurna dan mampu meraih tujuan utama dari puasa itu sendiri yaitu meningkatkan kualitas ketakwaan kepada Allah SWT. Karena Rasulullah SAW bersabda :
رُبَّ صَائِمٍ لـَيْسَ لَهُ مِنٓ صِيَامِهِ إِلاَّ الـْجُوْع
“Banyak sekali orang yang berpuasa namun tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali rasa lapar” (HR.Nasai, Ibnu Majah dan Al-Hakim).
Hal ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan dan kesadaran akan niat dan tujuan dalam berpuasa.
Jika kita ingin melakukan perjalanan ke suatu tempat, mislanya dari Ambon menuju Jakarta, maka niat kita bukan sekedar berangkat ke Jakarta dan tujuan kita bukan semata-mata karena ingin sampai atau tiba di bandara maupun pelabuhan yang ada di Jakarta, melainkan masih banyak tujuan-tujuan utama lainnya yaitu ingin mengagumi kemegahan kota metropolitan, bersilatur rahmi dengan sanak saudara, berbelanja ataupun berekreasi dan bertamasya. Begitu pula halnya dengan berpuasa, dimana niat berpuasa bukan sekedar melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim, malu dengan tetangga atau takut dihina. Dan tujuan berpuasa bukan karena ingin sampai dan tiba di pelabuhan idul fitri saja melainkan masih banyak tujuan utama lainnya yang akan menjadikan kita sebagai orang yang bertakwa.
Kesadaran akan niat dan tujuan inilah yang akan mendukung pelaksanaan puasa guna membentuk keperibadian yang sebelumnya mati rasa menjadi sensitive dalam merasa dan memperoleh banyak bekal lahir maupun batin sebagai tabungan di tempat tujuan. Di saat tiba di pelabuhan Idul Fitri, begitu kaget dan tercengan akan kebesaran, kemegahan dan kemuliaan Allah SWT seraya bertakbir :
أَلله أَكْبَر الله أكْبَر الله أكْبَر وَلِلهِ الْحَمْد
“Maha besar Allah, Maha besar Allah, Maha besar Allah bagi-Mu segala puji”
Pujian yang bukan sekedar lantuman nada melainkan pujian hakiki yang muncul dari dalam diri yang senantiasa akan membuat orang semakin betah dan bergegas mencari sanak saudara untuk bersilatu rahmi.
Kalimat Silatu Rahmi tersusun dari dua kata yaitu Shilah yang berarti “Hubungan” dan Rahmi yang berarti “Kerabat”, “Rahim dimana janin berada” atau “Kasih sayang”. Secara harfiah, Silatu Rahmi berarti “menjalin hubungan tali kekerabatan” atau “menjalin hubungan kasih sayang”. Secara istilah, oleh Al-Maraghi mendefinisikannya dengan menyambungkan kebaikan dan menolak sesuatu yang merugikan secara sungguh-sungguh karena Allah SWT. Sebagaimana firmannya dalam Surah Ar-Ra’d:21 :
وَالـَّذِيْنَ يَصِلـُوْنَ مَا أَمَرَاللهُ بِهِ أَنْ يُوْصَلَ وَيَخـْشَوْنَ رَبـَّهُمْ وَيَخَافـُوْنَ سُوْءَ الـْحِسَابِ
“Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk”.
As-Shiddiqi dalam Al-Islam, membagi Silatu Rahmi kepada dua bagian, Silatu Rahmi umum dan Silatu Rahmi khusus.
Silatu Rahmi umum yaitu silatu rahmi kepada siapa saja, seagama maupun tidak seagama, kerabat dan bukan kerabat. Di sini kewajiban yang harus dilakukan adalah: menghubungi, mengasihi, berlaku tulus, adil, jujur, berbuat baik dan hal-hal yang bersifat kemanusiaan. Silatu rahmi ini di sebut juga dengan silatu rahmi kemanusiaan.
Silatu Rahmi khusus yaitu silatu rahmi kepada kerabat dan kepada yang seagama yaitu dengan cara membantunya dengan harta, tenaga, menolong dan menyelesaikan hajatnya, berusaha menolak kemudharatan yang menimpa serta berdoa dan membimbing agamanya.
Dengan bersilatur rahmi, maka akan timbul rasa kasih sayang diantara sesama, dan kasih sayang ini akan menyempurnakan keimanan. Sebagaimana sabda Nabi SAW :
لاَ تـَدْخُلُوْنَ الـْجَنـَّة حَتـَّى تُؤْمِنُوْا وَلاَ تُؤْمِنـُوْا حَتـَّى تَحَابُوْا أَوَلاَ أَدُلـُّكـُمْ عَلـَى شـَيْئٍ اِذَا فَعَلـْتـُمُوْهُ تـَحَابَبْتـُمْ أَفـْشُوْا السَّلاَم بَيْنَكـُمْ
“Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian benar-benar beriman, dan kalian tidak akan sampai meraih keimanan dengan benar sampai kalian saling mencintai dan mengasihi diantara sesama, maukah aku tunjukkan suatu perkara apabila kalian laksanakan maka kalian akan saling mencintai dan mengasihi “sebarkanlah salam diantara kalian” (HR.Muslim).
Hadis ini menunjukkan akan pentingnya Silatu Rahmi meskipun dimulai dengan hal yang dianggap remeh dan mudah yaitu dengan mengucapkan salam dan tegur sapa yang akan melahirkan keakraban dan kepedulian terhadap sesama. Meskipun mudah namun kadang sulit untuk diterapkan, padahal Rasulullah SAW bersabda :
أَسْرَعُ الـْخَيْرِ ثـَوَابًا الـْبـِرُّ وَصِلـَةُ الرَّحْم
“Kebaikan yang paling cepat balasannya adalah berbuat kebaikan dan silatu rahmi”
Sungguh agung dan mulia ajaran Islam yang menyeru ummat islam untuk saling kenal mengenal dan menjalin hubungan persaudaraan dan menggalakkan sikap peduli terhadap sesama. Dan islam pun mengunci kuat pintu-pintu konflik dan menutup rapat potensi permusuhan.sebagaimana dalam sebuah riwayat, Rasulullah SAW mengancam orang-orang yang memutuskan tali silatu rahmi :
لاَ يَدْخُلُ الْجَنـَّة قَاطِعُ رَحْمٍ
“Tidak akan masuk surga, orang yang memutuskan tali silatu rahmi” (HR.Muslim). Dan :,
مَنْ هَاجَرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَث لـَيَالٍ لَنْ تُقْبَلَ عَمَلَهُمَا حَتَّى يَصْطَلحَا وَخَيْرُهُمَا الْوَاصِل
“Barang siapa yang bertengkar dengan saudaranya melebihi tiga hari maka tidak akan diterima amal keduanya hingga keduanya rujuk kembali dan yang pertama rujuk adalah yang paling baik”
Kesemua itu menunjukkan bahwa amal dan peribadatan seorang hamba tidak akan sempurna tanpa memperbaiki hubungan silatu rahmi. Dengan kata lain, hubungan antara Allah dan seorang hamba (hablun minallah) akan sempurna jika hamba itu menjaga dan menjalin hubungan antar sesama (hablun minannas).
Dengan bersilatur rahmi akan menyempurnakan keimanan kepada Allah SWT, terutama jika silatu rahmi yang dijalin benar-benar atas dasar saling menghalalkan dosa-dosa/memaafkan masing-masing dengan ikhlas. Maka bekal atau modal yang telah kita peroleh selama bulan ramadhan tidak berkurang, bahkan telah mendapatkan bantuan teman/kerabat yang akan mengantar berbelanja bukan sebatas pada kebutuhan primer seperti shalat wajib dan puasa wajib saja, melainkan mampu memborong barang-barang kebutuhan sekunder dan lux seperti shalat sunnah dan sebagainya. Dan akan menjadi orang yang benar-benar menikmati tamasya dan rekreasi di akherat kelak.
Adanya perbedaan penyebutan antara Silatu Rahmi pada hari biasa dan Ied yang lebih dikenal di Indonesia dengan Halal bi Halal disebabkan pula oleh kemuliaan bulan Ramadhan sebagai penghormatan terhadap keutamaan dan kelebihan, serta bulan Syawal sebagai bulan bertambah dan meningkatnya amal dan bonus atau discount untuk menutupi kekurangan yang ada pada bulan Ramadhan dengan berpuasa selama 6 (enam) hari di bulan syawal. Sebagaimana sabda Nabi SAW :
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أتـْبَعَهُ سِتـًّا مِنْ شَوَالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barangsiapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan kemudian diikuti dengan berpuasa selama enam hari di bulan Syawal, maka ia telah berpuasa selama satu tahun penuh. (HR.Muslim).
Semoga segala kekurangan amal perbuatan pada bulan Ramadhan dapat tertutupi dan ditingkatkan di bulan Syawal ini dengan Silatu Rahmi ataupun Halal bi Halal serta meningkatkan amal ibadah lainnya demi menyempurnakan keimanan menjadi insan kamil yang benar-benar bertakwa kepada Allah SWT.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar