(Suatu Pendekatan Hidup Berdasarkan Qur'an dan Hadis)
Kamis, 11 September 2014
PERGAULAN SUAMI ISTRI
Syariat
mewajibkan kepada suami untuk memenuhi kebutuhan istrinya yang berupa
kebutuhan material seperti nafkah, pakaian, tempat tinggal, pengobatan dan
sebagainya, sesuai dengan kondisi masing-masing, atau seperti yang dikatakan
oleh Al-Qur’an “bil ma’ruf” (menurut cara yang ma’ruf/patut).
Namun
syariat tidak pernah melupakan akan kebutuhan-kebutuhan spiritual yang
manusia tidaklah bernama manusia kecuali dengan adanya kebutuhan-kebutuhan
tersebut, sebagaimana kata seorang pujangga kuno: “Maka karena jiwamu itulah
engkau sebagai manusia, bukan cuma dengan badanmu.”
Bahkan
Al-Qur’an menyebut perkawinan ini sebagai salah satu ayat di antara ayat-ayat
Allah di alam semesta dan salah satu nikmat yang diberikan-Nya kepada
hamba-hamba-Nya. Firman-Nya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya
ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu
rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS Ar Rum: 21)
Ayat ini
menjadikan sasaran atau tujuan hidup bersuami istri ialah ketenteraman hati,
cinta, dan kasih sayang antara keduanya, yang semua ini merupakan aspek
kejiwaan, bukan material. Tidak ada artinya kehidupan bersuami istri yang
sunyi dari aspek-aspek maknawi ini, sehingga badan berdekatan tetapi ruh
berjauhan.
Dalam hal
ini banyak suami yang keliru—padahal diri mereka sebenarnya baik—ketika mereka
mengira bahwa kewajiban mereka terhadap istri mereka ialah memberi nafkah,
pakaian, dan tempat tinggal, tidak ada yang lain lagi. Dia melupakan bahwa
wanita (istri) itu bukan hanya membutuhkan makan, minum, pakaian, dan lain-lain
kebutuhan material, tetapi juga membutuhkan perkataan yang baik, wajah yang
ceria, senyum yang manis, sentuhan yang lembut, ciuman yang mesra, pergaulan
yang penuh kasih sayang, dan belaian yang lembut yang menyenangkan hati dan
menghilangkan kegundahan.
Imam Ghazali
mengemukakan sejumlah hak suami istri dan adab pergaulan di antara mereka yang
kehidupan berkeluarga tidak akan dapat harmonis tanpa semua itu. Di antara
adab-adab yang dituntunkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah itu ialah berakhlaq yang
baik terhadapnya dan sabar dalam menghadapi godaannya.
Allah berfirman: “…
Dan gaulilah mereka (istri-istrimu) dengan cara yang ma’ruf (patut)…” (QS
An Nisa': 19)
“… Dan
mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (QS An Nisa': 21)
“… Dan
berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib kerabat, anak-anak
yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh,
teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahayamu…” (QS An Nisa': 36)
Ada yang
menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan “teman sejawat” dalam ayat di atas ialah
istri. Imam Ghazali berkata, “Ketahuilah bahwa berakhlaq baik kepada mereka
(istri) bukan cuma tidak menyakiti mereka, tetapi juga sabar menerima keluhan
mereka, dan penyantun ketika mereka sedang emosi serta marah, sebagaimana
diteladankan Rasulullah SAW. Istri-istri beliau itu sering meminta beliau untuk
mengulang-ulangi perkataan, bahkan pernah ada pula salah seorang dari mereka
menghindari beliau sehari semalam.
Beliau
pernah berkata kepada Aisyah, “Sungguh, aku tahu kalau engkau marah dan kalau
engkau rela.”
Aisyah
bertanya, “Bagaimana engkau tahu?”
Beliau
menjawab, “Kalau engkau rela, engkau berkata, ‘Tidak, demi Tuhan Muhammad,’ dan
bila engkau marah, engkau berkata, ‘Tidak, demi Tuhan Ibrahim.’
Aisyah
menjawab, “Betul, (kalau aku marah) aku hanya menghindari menyebut namamu.”
Dari adab
yang dikemukakan Imam Ghazali itu dapat ditambahkan bahwa di samping bersabar
menerima atau menghadapi kesulitan istri, juga bercumbu, bergurau, dan
bermain-main dengan mereka, karena yang demikian itu dapat menyenangkan hati wanita.
Rasulullah SAW biasa bergurau dengan istri-istri beliau dan menyesuaikan diri
dengan pikiran mereka dalam bertindak dan berakhlaq, sehingga diriwayatkan
bahwa beliau pernah melakukan perlombaan lari cepat dengan Aisyah.
Umar bin
Al-Khathab—yang dikenal berwatak keras itu—pernah berkata, “Seyogianya sikap
suami terhadap istrinya seperti anak kecil, tetapi apabila mencari apa yang ada
di sisinya (keadaan yang sebenarnya) maka dia adalah seorang laki-laki.”
Dalam
menafsirkan hadits: “Sesungguhnya Allah membenci alja’zhari al-jawwazh,”
dikatakan bahwa yang dimaksud ialah orang yang bersikap keras terhadap istri
(keluarganya) dan sombong pada dirinya. Dan ini merupakan salah satu makna
firman Allah: ‘utul. Ada yang mengatakan bahwa lafal ‘utul berarti
orang yang kasar mulutnya dan keras hatinya terhadap keluarganya.
Keteladanan
tertinggi bagi semua itu ialah Rasulullah SAW. Meski bagaimanapun besarnya
perhatian dan banyaknya kesibukan beliau dalam mengembangkan dakwah dan
menegakkan agama, memelihara jamaah, menegakkan tiang daulah dari dalam dan
memeliharanya dari serangan musuh yang senantiasa mengintainya dari luar,
beliau tetap sangat memperhatikan para istrinya. Beliau adalah manusia yang
senantiasa sibuk berhubungan dengan Tuhannya seperti berpuasa, shalat, membaca
Al-Qur’an, dan berdzikir, sehingga kedua kaki beliau bengkak karena lamanya
berdiri ketika melakukan shalat lail, dan menangis sehingga air matanya
membasahi jenggotnya.
Namun
sesibuk apa pun beliau tidak pernah melupakan hak-hak istri-istri beliau yang
harus beliau penuhi. Jadi aspek-aspek Rabbani tidaklah melupakan beliau
terhadap aspek insani dalam melayani mereka dengan memberikan makanan ruhani
dan perasaan mereka yang tidak dapat terpenuhi dengan makanan yang
mengenyangkan perut dan pakaian penutup tubuh.
Dalam
menjelaskan sikap Rasulullah dan petunjuk beliau dalam mempergauli istri, Imam
Ibnu Qayyim berkata, “Sikap Rasulullah SAW terhadap istri-istrinya ialah
bergaul dan berakhlaq baik kepada mereka. Beliau pernah menyuruh gadis-gadis Anshar
menemani Aisyah bermain. Apabila istrinya (Aisyah) menginginkan sesuatu yang
tidak terlarang menurut agama, beliau menurutinya. Bila Aisyah minum dari
suatu bejana, maka beliau ambil bejana itu dan beliau minum daripadanya pula
dan beliau letakkan mulut beliau di tempat mulut Aisyah tadi (bergantian minum
pada satu bejana/tempat), dan beliau juga biasa makan kikil bergantian
dengan Aisyah.”
Beliau biasa
bersandar di pangkuan Aisyah, beliau membaca Al-Qur’an sedang kepala
beliau berada di pangkuannya. Bahkan pernah ketika Aisyah sedang haidh,
beliau menyuruhnya memakai sarung, lalu beliau memeluknya. Bahkan pernah
juga menciumnya, padahal beliau sedang berpuasa.
Di antara
kelemah-lembutan dan akhlaq baik beliau lagi ialah beliau memperkenankan istrinya
untuk bermain dan mempertunjukkan kepadanya permainan orang-orang Habsyi ketika
mereka sedang bermain di masjid, dia (Aisyah) menyandarkan kepalanya ke pundak
beliau untuk melihat permainan orang-orang Habsyi itu. Beliau juga pernah
berlomba lari dengan Aisyah dua kali, dan keluar dari rumah bersama-sama.
Sabda Nabi
SAW, “Sebaik-baik kamu ialah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku
adalah orang yang paling baik terhadap keluargaku.”
Apabila
selesai melaksanakan shalat Ashar, Nabi senantiasa mengelilingi (mengunjungi)
istri-istrinya dan beliau tanyakan keadaan mereka, dan bila malam tiba beliau
pergi ke rumah istri beliau yang pada waktu itu mendapat giliran. Aisyah
berkata, “Rasulullah SAW tidak melebihkan sebagian kami terhadap sebagian yang
lain dalam pembagian giliran. Dan setiap hari beliau mengunjungi kami semuanya,
yaitu mendekati tiap-tiap istri beliau tanpa menyentuhnya, hingga sampai kepada
istri yang menjadi giliran beliau, lalu beliau bermalam di situ.”
Kalau kita
renungkan apa yang telah kita kutip di sini mengenai petunjuk Nabi SAW tentang
pergaulan beliau dengan istri-istri beliau, kita dapati bahwa beliau sangat
memperhatikan mereka, menanyakan keadaan mereka, dan mendekati mereka.
Tetapi beliau mengkhususkan Aisyah dengan perhatian lebih. Namun ini
bukan berarti beliau bersikap pilih kasih, tetapi karena untuk
menjaga kejiwaan Aisyah yang beliau nikahi ketika masih perawan dan karena
usianya yang masih muda.
Beliau
menikahi Aisyah ketika masih gadis kecil yang belum mengenal seorang laki-laki
pun selain beliau. Kebutuhan wanita muda seperti ini terhadap laki-laki lebih
besar dibandingkan dengan wanita janda yang lebih tua dan telah berpengalaman.
Yang kami maksudkan dengan kebutuhan di sini bukan sekadar nafkah, pakaian, dan
hubungan biologis saja. Bahkan kebutuhan psikologis dan spiritualnya lebih
penting dan lebih dalam daripada semua itu. Karena itu, tidaklah
mengherankan jika kita lihat Nabi SAW selalu ingat aspek tersebut
dan senantiasa memberikan haknya serta tidak pernah melupakannya meskipun
tugas yang diembannya besar, seperti mengatur strategi dakwah, membangun
umat, dan menegakkan daulah Islamiyah.
“Sungguh
pada diri Rasulullah itu terdapat teladan yang bagus bagi kamu.”
Maha Benar Allah dengan segala firman-Nya.
Sumber: Fatwa-Fatwa
Kontemporer, DR. Yusuf Qaradhawi
HUBUNGAN SUAMI ISTRI
Agama Islam
dengan nyata tidak mengabaikan segi-segi kehidupan manusia dan kehidupan
berkeluarga, yang telah diterangkan tentang perintah dan larangannya. Semua
telah tercantum dalam ajaran-ajaran Islam, misalnya mengenai akhlak, tabiat,
suluk, dan sebagainya. Tidak ada satu hal pun yang diabaikan (dilalaikan).
Islam telah
menetapkan pengakuan bagi fitrah manusia dan dorongannya akan seksual, serta
ditentangnya tindakan ekstrim yang condong menganggap hal itu kotor. Oleh
karena itu, Islam melarang bagi orang yang hendak menghilangkan dan
memfungsikannya dengan cara menentang orang yang berkehendak untuk selamanya
menjadi bujang dan meninggalkan sunnah Nabi SAW, yaitu menikah.
Sebenarnya, masalah hubungan antara suami-istri itu pengaruhnya amat besar bagi kehidupan mereka. Maka hendaknya mereka memerhatikan atau menghindari hal-hal yang dapat menyebabkan kerusakan dan kelangsungan hubungan suami-istri. Kesalahan yang bertumpuk dapat mengakibatkan kehancuran bagi kehidupan keluarganya.
Nabi SAW
telah menyatakan sebagai berikut: “Aku lebih mengenal Allah daripada kamu dan
aku lebih khusyuk, kepada Allah daripada kamu. Tetapi aku bangun malam, tidur,
berpuasa, tidak berpuasa dan menikahi wanita. Maka barangsiapa yang tidak
senang (mengakui) sunnahku, maka dia bukan termasuk golonganku.”
Islam telah
menerangkan terhadap kedua pasangan setelah pernikahan, mengenai hubungannya
dan masalah-masalah seksual. Bahkan mengerjakannya dianggap suatu ibadat.
Sebagaimana
dikatakan Nabi SAW, “Di kemaluan kamu ada sedekah (pahala).” Para sahabat
bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah ketika kami bersetubuh dengan istri akan
mendapat pahala?” Rasulullah SAW menjawab, “Ya. Andaikata bersetubuh pada
tempat yang dilarang (diharamkan) itu berdosa. Begitu juga dilakukan pada
tempat yang halal, pasti mendapat pahala. Kamu hanya menghitung hal-hal yang
buruk saja, akan tetapi tidak menghitung hal-hal yang baik.”
Berdasarkan
tabiat dan fitrah, biasanya pihak laki-laki yang lebih agresif, tidak memiliki
kesabaran dan kurang dapat menahan diri. Sebaliknya wanita itu bersikap pemalu
dan dapat menahan diri.
Karenanya
diharuskan bagi wanita menerima dan menaati
panggilan suami. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits, “Jika si istri dipanggil
oleh suaminya karena perlu, maka supaya segera datang, walaupun dia sedang
masak.” (HR Tirmidzi)
Nabi SAW
menganjurkan supaya si istri jangan sampai menolak kehendak suaminya tanpa
alasan, yang dapat menimbulkan kemarahan atau menyebabkannya menyimpang ke
jalan yang tidak baik, atau membuatnya gelisah dan tegang.
Nabi SAW
bersabda, “Jika suami mengajak tidur si istri lalu dia menolak, kemudian
suaminya marah kepadanya, maka malaikat akan melaknat dia sampai pagi.”
(Muttafaq Alaih).
Keadaan yang
demikian itu jika dilakukan tanpa uzur dan alasan yang masuk akal, misalnya
sakit, letih, berhalangan, atau hal-hal yang layak. Bagi suami, supaya menjaga
hal itu, menerima alasan tersebut, dan sadar bahwa Allah SWT adalah Tuhan bagi
hamba-hamba-Nya Yang Maha Pemberi Rezeki dan Hidayat, dengan menerima uzur
hambaNya. Dan hendaknya hamba-Nya juga menerima uzur tersebut.
Selanjutnya,
Islam telah melarang bagi seorang istri yang berpuasa sunnah tanpa seizin
suaminya, karena baginya lebih diutamakan untuk memelihara haknya daripada
mendapat pahala puasa. Nabi SAW bersabda, “Dilarang bagi
si istri (puasa sunnah) sedangkan suaminya ada, kecuali dengan izinnya.”
(Muttafaq Alaih)
Disamping
dipeliharanya hak kaum laki-laki (suami) dalam Islam, tidak lupa hak wanita
(istri) juga harus dipelihara dalam segala hal. Nabi SAW menyatakan kepada
laki-laki (suami) yang terus-menerus puasa dan bangun malam. Beliau bersabda,
“Sesungguhnya bagi jasadmu ada hak dan bagi keluargamu (istrimu) ada hak.”
Abu Hamid
Al-Ghazali, ahli fiqih dan tasawuf, dalam kitab Ihya’ mengenai adab bersetubuh,
berkata, “Disunnahkan memulainya dengan membaca basmalah dan berdoa,
sebagaimana diajarkan Nabi SAW, “Ya Allah, jauhkanlah aku dari setan dan
jauhkanlah setan dari apa yang Engkau berikan kepadaku.”
Al-Ghazali
berkata, “Dalam suasana ini (akan bersetubuh) hendaknya didahului dengan
kata-kata manis, bermesra-mesraan dan sebagainya. Dan menutup diri mereka
dengan selimut, jangan telanjang menyerupai binatang. Sang suami harus
memelihara suasana dan menyesuaikan diri, sehingga kedua pasangan sama-sama
dapat menikmati dan merasa puas.”
Menurut
Ibnul Qayyim, tujuan utama dari jimak (bersetubuh) itu adalah: 1) Dipeliharanya
nasab (keturunan), sehingga mencapai jumlah yang ditetapkan menurut takdir
Allah. 2) Mengeluarkan air yang dapat mengganggu kesehatan badan jika ditahan
terus. 3) Mencapai maksud dan merasakan kenikmatan, sebagaimana kelak di
surga.
Ditambah
lagi mengenai manfaatnya, yaitu menundukkan pandangan, menahan nafsu,
menguatkan jiwa dan agar tidak berbuat serong bagi kedua pasangan.
Nabi SAW
bersabda, “Wahai para pemuda, barangsiapa yang mampu melaksanakan pernikahan,
maka hendaknya menikah. Sesungguhnya hal itu menundukkan penglihatan dan
memelihara kemaluan.”
Kemudian
Ibnul Qayyim berkata, “Sebaiknya sebelum bersetubuh hendaknya diajak
bersenda-gurau dan menciumnya, sebagaimana Rasulullah SAW melakukannya.”
Ini semua
menunjukkan bahwa para ulama dalam usaha mencari jalan baik tidak bersifat
konservatif. Bahkan tidak kalah kemajuannya daripada penemuan-penemuan atau
pendapat masa kini.
Yang dapat
disimpulkan di sini adalah bahwa sesungguhnya Islam telah mengenal hubungan
seksual di antara kedua pasangan, suami-istri, yang telah diterangkan dalam
Alquranul Karim pada surah Al-Baqarah, yang ada hubungannya dengan peraturan
keluarga.
Firman Allah
SWT: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa, bercampur dengan
istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian
bagi mereka. Allah mengetahui bahwasannya kamu tidak dapat menahan nafsumu,
karena itu, Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang
campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan
makan minumlah kamu, hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu
fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam, (tetapi) janganlah kamu
campuri mereka itu, sedangkan kamu beriktikaf dalam masjid. Itulah
larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya…” (QS
Al-Baqarah: 187).
Tidak ada
kata yang lebih indah, serta lebih benar, mengenai hubungan antara suami-istri,
kecuali yang telah disebutkan, yaitu: “Mereka itu adalah pakaian bagimu,
dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.” (QS Al-Baqarah: 187)
Pada ayat
lain juga diterangkan, yaitu: “Mereka bertanya kepadamu tentang haid,
katakanlah: Haid itu adalah suatu kotoran. Oleh sebab itu, hendaklah kamu
menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka,
sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci maka campurilah mereka itu di
tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.
Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka
datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu dengan cara bagaimana saja kamu
kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan takwalah kamu
kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah
kabar gembira bagi orang-orang yang beriman.” (QS Al-Baqarah: 222-223)
Maka, semua
hadis yang menafsirkan bahwa dijauhinya yang disebut pada ayat di atas, hanya
masalah persetubuhan saja. Selain itu, apa saja yang dapat dilakukan, tidak
dilarang.
Pada ayat di
atas disebutkan: “Maka, datangilah tanah tempat bercocok tanammu dengan
cara bagaimanapun kamu kehendaki.” (QS Al-Baqarah: 223)
Wallahu 'alam bishowab
Langganan:
Postingan (Atom)