Senin, 29 Juli 2013

KAIDAH LAILATUL QODAR

Rasulullah Muhammad saw. banyak beribadah Qiyamu Ramadhan dan menganjurkan mencari Lailatul Qadar pada sepuluh malam terakhir di bulan yang pada sepuluh pertamanya adalah rahmat, sepuluh tengahnya adalah ampunan dan sepuluh akhirnya adalah bebas dari neraka. Walau pun hakikatnya tidak ada yang mengetahui secara pasti kapan terjadinya Lailatul Qadar, kecuali Allah swt. 

Hanya saja, Rasulullah saw. mengisyaratkan dalam sabdanya:
تَحَرَّوْا ليلة القدر في العشر الأواخر من رمضان
Carilah Lailatul Qadar itu pada sepuluh hari terakhir Ramadhan. ” (Muttafaqun ‘alaihi dari Aisyah rah.)
Dalam kitab Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan, dari Aisyah rah., ia berkata:
 كَانَ رَسُوْلُ الله إِذَا دَخَلَ العَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأَحْيَا لَيْلَهُ، وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ  هذا لفظ البخاري
Bila masuk sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, Rasulullah saw. mengencangkan kainnya (menjauhkan diri dari menggauli isterinya), menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya.” Demikian menurut lafadz imam Bukhari.
Dalam riwayat lain, Imam Muslim meriwayatkan dari Aisyah rah. :
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ يَجْتَهِدُ فِيْ العَشْرِ الأَوَاخِرِ مَالاَ يَجْتَهِدُ فِيْ غَيْرِهِ  رواه مسلم
Rasulullah saw. bersungguh-sungguh dalam sepuluh hari akhir bulan Ramadhan, hal yang tidak beliau lakukan pada bulan lainnya.”
Dalam shahihain disebutkan, dari Aisyah rah. :
أَنَّ النَّبِيَّ كَانَ يَعْتَكِفُ العَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ الله
Bahwasanya Nabi saw. senantiasa beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dari Ramadhan, sampai Allah mewafatkan beliau.”
Lebih khusus lagi, adalah malam-malam ganjil sebagaimana sabda beliau:
تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِفِي الْوِتْرِمِنَ الْعَشْرِالْأَوَاخِرِمِنْ رَمَضَانَ
Carilah Lailatul Qadar itu pada malam-malam ganjil dari sepuluh hari terakhir (bulan Ramadhan)”. (HR. Bukhari dari Aisyah rah.)
Dan lebih khusus lagi adalah malam-malam ganjil pada rentang tujuh hari terakhir dari bulan tersebut. Beberapa shahabat Nabi pernah bermimpi bahwa Lailatul Qadar tiba di tujuh hari terakhir. Maka Rasulullah bersabda :
أَرَى رُؤْيَاكُمْ قَدْ تَوَاطَأَتْ فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِرِ فَمَنْ كَانَ مُتَحَرِّيهَا فَلْيَتَحَرَّهَا فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِرِ
“Aku juga bermimpi sama sebagaimana mimpi kalian bahwa Lailatul Qadar pada tujuh hari terakhir, barangsiapa yang berupaya untuk mencarinya, maka hendaknya dia mencarinya pada tujuh hari terakhir. ” (Muttafaqun Alaihi dari Ibnu Umar ra.)
Dalam riwayat Muslim dengan lafazh:
الْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ يَعْنِي لَيْلَةَ الْقَدْرِ فَإِنْ ضَعُفَ أَحَدُكُمْ أَوْ عَجَزَ فَلَا يُغْلَبَنَّ عَلَى السَّبْعِ الْبَوَاقِي
Carilah Lailatul Qadar pada sepuluh hari terakhir, jika salah seorang dari kalian merasa lemah atau tidak mampu, maka janganlah sampai terlewatkan tujuh hari yang tersisa dari bulan Ramadhan. ” (HR. Muslim dari Ibnu Umar ra.)
Yang lebih khusus lagi adalah malam 27 sebagaimana sabda Nabi tentang Lailatul Qadar:
لَيْلَةُ سَبْع وَعِشْرِيْنَ
(Dia adalah) malam ke-27. ” (HR. Abu Dawud, dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan ra., dalam Shahih Sunan Abi Dawud. Sahabat Ubay bin Ka’ab ra. menegaskan:
والله إني لأعلمها وأكثر علمي هي الليلة التي أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم بقيامها هي ليلة سبع وعشرين
Demi Allah, sungguh aku mengetahui malam (Lailatul Qadar) tersebut. Puncak ilmuku bahwa malam tersebut adalah malam yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kami untuk menegakkan shalat padanya, yaitu malam ke-27. (HR. Muslim)
Dengan demikian dapat diberi kesimpulan bahwa Lailatul Qadar itu ada pada sepuluh akhir Ramadhan, terutama pada malam tanggal ganjil.
Dalam hadits Abu Dzar disebutkan:
أَنَّهُ قَامَ بِهِمْ لَيْلَةَ ثَلاَثٍ وَعِشْرِيْنَ، وَخَمْسٍ وَعِشْرِيْنَ، وَسَبْعٍ وَعِشْرِيْنَ، وَذَكَرَ أَنَّهُ دَعَا أَهْلَهُ وَنِسَاءَهُ لَيْلَةَ سَبْعٍ وَعِشْرِيْنَ خَاصَّةً
Bahwasanya Rasulullah melakukan shalat bersama mereka (para sahabat) pada malam dua puluh tiga (23), dua puluh lima (25), dan dua puluh tujuh (27) dan disebutkan bahwasanya beliau mengajak shalat keluarga dan isteri-isterinya pada malam dua puluh tujuh (27).”
Para ulama kemudian berusaha meneliti pengalaman mereka dalam menemukan lailatul qadar, dan di antara ulama yang tegas mengatakan bahwa ada kaidah atau formula untuk mengetahui itu adalah Imam Abu Hamid Al-Ghazali (450 H- 505 H) dan Imam Abu Hasan as-Syadzili. Bahkan dinyatakan dalam sebuah tafsir surat al-Qadr, bahwa Abu Hasan semenjak baligh selalu mendapatkan Lailatul Qadar dan menyesuai dengan kaidah ini.
Menurut Imam Al Ghazali, Cara Untuk mengetahui Lailatul Qadar bisa dilihat dari permulaan atau malam pertama bulan Ramadhan :
1. Jika hari pertama jatuh pada malam Ahad atau Rabu maka Lailatul Qadar jatuh pada malam tanggal 29 Ramadhan
2. Jika malam pertama jatuh pada malam Senin maka Lailatul Qadar jatuh pada malam 21 Ramadhan
3. Jika malam pertama jatuh pada malam Kamis maka Lailatul Qadar jatuh pada malam 25 Ramadhan
4. Jika malam pertama jatuh pada malam Sabtu maka Lailatul Qadar jatuh pada malam 23 Ramadhan
5. Jika malam pertama jatuh pada malam Selasa atau Jumat maka Lailatul Qadar jatuh pada malam 27 Ramadhan.
Menyetujui kaidah ini, berarti malam Lailatul Qadar jatuh pada malam Rabu, 6 Agustus 2013 atau malam 29 Ramadan 1434 H, karena awal Ramadhan adalah malam Rabu, 10 Juli 2013. Allahu A'lamu bi Muradihi...
Kaidah ini tercantum dalam kitab-kitab para ulama termasuk dalam kitab-kitab fiqih Syafi’iyyah. Rumus ini teruji dari kebiasaan para tokoh ulama yang telah menemui Lailatul Qadar. Formula ini diceritakan Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin; juga terdapat dalam kitab Hasyiah Sulaiman Al Kurdi juz hal 188; kitab Tafsir Shawi; kitab I’anah at-Thalibin II/257; Syaikh Ibrahim al Bajuri dalam Kitabnya Hasyiah 'Ala Ibn Qasim Al Ghazi juz I halaman 304; as Sayyid al Bakri dalam Kitabnya I'anatuth Thalibin Juz II halaman 257-258; juga kitab Mathla`ul Badrain karangan Syaikh Muhammad bin Ismail Daud al-Fathoni.
Wallahu 'Alambishowab

MENGUBUR TEMBUNI BAYI

Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Bagi masyarakat Nusantara, Islam tidak lagi dipandang sebagai ajaran asing yang harus dipahami sebagaimana mula asalnya. Islam telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan keseharian, mulai dari cara berpikir, bertindak dan juga bereaksi. Sehingga Islam di Nusantara ini memiliki karakternya tersendiri. Sebuah karakteristik yang kokoh dengan akar tradisi yang mendalam. Yang dibangun secara perlahan bersamaan dengan niat memperkenalkan Islam kepada masyarakat Nusantara oleh para pendakwah Islam di zamannya.
Diantara tradisi yang hingga kini masih berlaku dalam masyarakat Islam Nusantara, khususnya di tanah Jawa adalah menanam/menguburkan ari-ari (tembuni) setelah seorang bayi dilahirkan dengan taburan bunga di atasnya. Atau dengan menyalakan lilin di malam hari. Apakah Islam pernah mengajarkan hal yang demikian?
Menanam ari-ari (masyimah) itu hukumnya sunnah. Adapun menyalakan lilin dan menaburkan bunga-bunga di atasnya itu hukumnya haram karena dianggap sebagai tindakan membuang-buang harta (tabdzir) yang tak ada manfaatnya.
Mengenai anjuran penguburan ari-ari, Syamsudin Ar-Ramli dalam kitab Nihayatu al-Muhtaj menerangkan :
وَيُسَنُّ دَفْنُ مَا انْفَصَلَ مِنْ حَيٍّ لَمْ يَمُتْ حَالاًّ أَوْ مِمَّنْ شَكَّ فِي مَوْتِهِ كَيَدِ سَارِقٍ وَظُفْرٍ وَشَعْرٍ وَعَلَقَةٍ ، وَدَمِ نَحْوِ فَصْدٍ إكْرَامًا لِصَاحِبِهَا
“Dan disunnahkan mengubur anggota badan yang terpisah dari orang yang masih hidup dan tidak akan segera mati, atau dari orang yang masih diragukan kematiannya, seperti tangan pencuri, kuku, rambut, ‘alaqah (gumpalan darah), dan darah akibat goresan, demi menghormati orangnya”.
Sedangakan pelarangan bertindak boros (tabdzir) Imam al-Bajuri dalam kitab Hasyiyatul Bajuri berkata :
)المُبَذِّرُ لِمَالِهِ) أَيْ بِصَرْفِهِ فِيْ غَيْرِ مَصَارِفِهِ (قَوْلُهُ فِيْ غَيْرِ مَصَارِفِهِ) وَهُوَ كُلُّ مَا لاَ يَعُوْدُ نَفْعُهُ إِلَيْهِ لاَ عَاجِلاً وَلاَ آجِلاً فَيَشْمَلُ الوُجُوْهَ المُحَرَّمَةَ وَالمَكْرُوْهَةَ.
“(Orang yang berbuat tabdzir kepada hartanya) ialah yang menggunakannya di luar kewajarannya. (Yang dimaksud: di luar kewajarannya) ialah segala sesuatu yang tidak berguna baginya, baik sekarang (di dunia) maupun kelak (di akhirat), meliputi segala hal yang haram dan yang makruh”.
Namun, seringkali penyalaan lilin ataupun alat penerang lainnya di sekitar kuburan ari-ari dilakukan dengan tujuan menghindarkannya dari serbuan binatang malam (seperti tikus dll). Maka jika demikian hukumnya boleh saja. asalakan tidak menimbulkan mudhorat. dengan tujuan tidak salah diartikan.
Wallahu'Alambishowab

TIGA TINGKATAN PUASA

Imam Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin menerangkan tingkatan dalam berpuasa. Shaumul umum, shaumul khushus, dan shaumul khushusil khushus. Ketiganya bagaikan tangga yang selalu menarik siapapun untuk menaikinya agar sampai di tempat yang lebih tinggi. 
Imam Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin mengatakan bahwa posisi ibadah puasa adalah seperempat bagian dari iman. Artinya barang siapa yang tidak puasa maka imannya kurang seperempat. Hal ini merupakan kesimpulan dari dua sabda Rasulullah saw. yang pertama berbunyi “ الصوم نصف الصبر” puasa merupakan setengah dari kesabaran. Dan hadits kedua berbunyai “ الصبر نصف الإيمان ” sabar adalah setengah dari iman. Oleh karena itulah Imam Ghazali menyimpulkan bahwa puasa adalah seperempat bagian dari iman. 
Dua hadits tersebut sebenarnya tidaklah hanya menunjukkan bagian puasa dalam iman, tetapi juga menghubungkan puasa, kesabaran dan iman. Jika dicermati maka sesungguhnya ketiganya memiliki hubungan yang erat. Sabar adalah inti dari puasa. Kesabaran dalam menahan segala larangan dhahiriah yang dapat membatalkan puasa, dan larangan batiniyah yang mengurangi makna puasa. Keduanya  merupakan ujian yang berat. Sekaligus juga merupakan barometer kualitas keimanan seseorang.
Mengukur barometer iman seseorang bukanlah hal yang sulit, meskipun iman adalah soal kepercayaan dan kepercayaan tersimpan rapat-rapat dalam dunia batin. Akan tetapi, iman itu membutuhkan aktualisasi diri dalam dunia kenyataan. Tidak mungkin seseorang mengaku iman dan cinta kepada Allah swt. tetapi ia menenggelamkan diri dalam selimut ketika Allah memanggilnya melalui adzan. Bukankah orang yang cinta akan segera menyambut panggilan yang dicintainya?
Begitulah kemudian Imam Ghazali mencoba mengklasifikasikan secara bertingkat model puasa manusia. Ia menerangkan bahwa puasa itu ada tiga tingkatan:
Pertama, shaumul umum,  yang bisa diterjemahkan dengan puasa biasa-biasa saja (puasanya orang awam). Yaitu puasa dengan menahan lapar, dahaga dan syahwat, menjaga mulut dan alat kelamin dari hal-hal yang membatalkan puasa.
Kedua, shaumul khushus, atau puasa spesial (puasanya orang khusus) yaitu puasa dengan menahan pendengaran, penglihatan, lisan, tangan, kaki dan segala anggota badan dari dosa dan maksiat.
Ketiga, shaumul khususil khusus, atau puasa istimewa (puasanya orang istimewa) yaitu puasa dengan menahan hati dari keraguan mengenai hal-hal keakhiratan, dan menahan pikiran untuk tidak memikirkan masalah keduniawiyahan, serta menjaga diri dari berpikir selain Allah swt.
Maka, standar kebatalan puasa istimewa ini adalah apabila telah terbersit dalam hati pikiran selain Allah, apalagi memikirkan harta kekayaan yang tidak bermanfaat bagi kehidupan akhirat kelak. Bahkan menurut kelompok ketiga puasa dapat terkurangi nilainya, dan dianggap batal apabila di dalam hati tersirat keraguan atas kekuasaan-Nya. Misalkan dengan meniatkan diri untuk bekerja dan mencari penghidupan sepanjang siang hanya karena khawatir tidak bisa mendapat sesuatu yang dipakai untuk berbuka puasa, sungguh hal ini sama artinya dengan tidak percaya kepada janji Allah, bahwa Allah Yang Maha Pemberi Rezeki itu sungguh-sungguh menghormati dan memuliakan orang yang berpuasa. Tidak mungkin ada orang berpuasa yang tidak berbuka.
Untuk itulah, kemudian al-Ghazali dalam lanjutan keterangannya memberikan tratmen atau gaiden mendaki ketiga tingkatan itu, ia kemudian jelaskan bahwa puasa spesial (shaumul khusus) itu adalah puasanya shalihin. Yang dapat digapai dengan menyempurnakan enam hal:
Pertama, menjaga mata dan penglihatan dari segala hal yang dicela agama dan dibenci Allah swt. dan menghindarkan dari melihat segala hal yang akan melalaikan hati kita ingat kepada Allah. Misalnya, menyibukkan mata dengan menonton film selama puasa, bermain game, memanjakan mata dengan pemandangan duniawi di seputar Mall dan Mini Market yang menggiurkan dan seterusnya.
Dalam sebuah hadits Rasulullah saw. pernah bersabda:
النظرة سهم من سهام إبليس من تركها خوفا من الله آتاه الله إيمانا يجد حلاوته في قلبه
Pandangan adalah saham bagian dari sahamnya Iblis, barang siapa yang meninggalkannya karena takut kepada Allah, maka Allah akan memberikan kelezatan (kemanisan) iman dalam hatinya.
Kedua, dengan menjaga lisan dari berbohong, menggunjing, berbicara jorok dan berbagai keburukan lisan lainnya, serta menggunakan lisan untuk dzikir kepada Allah swt. dan memperbanyak membaca Al-Qur’an. Inilah makna puasa bagi  lisan.
Ketiga, mencegah pendengaran dari hal-hal yang dibenci Allah swt. diantara perkara yang dilarang adalah mendengarkan pergunjingan. Baik yang menggunjing maupun yang mendengarkannya terkena hukum haram. Begitu buruknya perkerjaan mennggunjing dan mendengarkan gunjingan hingga Allah swt. berfirman:
 سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ
Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram.
Keempat, mencegah anggota badan yang lain seperti tangan, kaki, dan perut dari makanan-makanan syubhat ketika berpuasa. Puasa bukanlah menahan makanan halal dan berbuka dengan yang haram, tetapi menahan diri dari makanan yang haram. Diantara menjaga makanan haram adalah menghindarkan diri dari memakan daging manusia sesama saudaranya. Artinya, menghindarkan diri dari menggunjing orang lain.
Kelima, menjaga diri untuk tidak berlebih-lebihan ketika berbuka puasa. Meskipun makanan itu sudah jelas halalnya. Karena diantara hal yang dibenci Allah swt. adalah perut yang dipenuhi makanan halal (makan berlebihan). Hal ini dianggap menghambat diri memecahkan hawa nafsu.
Keenam, hendaklah setelah berbuka puasa seseorang menjadi bermuhasabah, mengintrospeksi diri adakah puasa yang diakukannya hari ini diterima, atau ditolak? Sungguh hal ini akan menjadi pelajaran dan membawa seseorang lebih berhati-hati di hari kemudian.
Walahu 'Alam  bshowab

TIPS MENANTI JODOH

"TIPS MENUNGGU DAN MENJEMPUT HADIRNYA JODOH"

1. Jangan fokus pada siapa yang harus dipilih. Tapi fokus melakukan perubahan diri yang lebih baik agar pantas mendapatkan jodoh yang baik.

2. Jangan menginginkan seseorang menjadi seperti yang kita harapkan. Tapi bagaimana kita bisa menjadikan diri seperti orang yang kita harapkan.

3. Berusaha untuk tidak patah semangat dan trauma terhadap masa lalu yang kurang menyenangkan. Bukalah lembaran baru yang lebih baik mulai hari ini dan untuk hari-hari selanjutnya.

4. Menjalin hubungan persahabatan dan persaudaraan sebanyak-banyaknya. Akan lebih baik jika banyak bergaul dengan sahabat yang baik. Siapa tahu jodoh kita berada di antara mereka.

5. Jangan terburu-buru menilai atau memberi kesimpulan kepada seseorang itu tidak layak bersama kita. Karena sejatinya jodoh itu akan hadir atas ridha Allah. Sedangkan kewajiban kita hanya berikhtiar.

6. Jangan terlalu mengkhawatirkan usia. Di usia berapapun menikah tetap baik jika kita mampu mempertanggungjawabkan pernikahan tersebut di hadapan Allah. Bagi pasangan, keluarga besar serta masyarakat.

7. Teruslah beriikhtiar dan berdoa. Kerana doa bisa mengubah yang tidak mungkin menjadi mungkin sesuai kehendak_Nya.

Ya Allah..
Dekatkanlah jodoh orang yang membaca status ini.
Tenteramkanlah hatinya.
Lapangkanlah dadanya.
Bahagiakanlah hidupnya.
Luaskan rezekinya.
Mudahkan segala urusannya.
Kabulkan cita-citanya.
Jauhkan dari segala musibah.
Jauhkan dari segala penyakit, fitnah, prasangka keji, berkata kasar serta kemungkaran.

Aamiin Allahumma Aamiin


Wallahu 'alam bishowab

Rabu, 24 Juli 2013

TAFSIR AYAT SHAUM/ PUASA


“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kama agar kamu bertaqwa. (Yaitu) dalam beberapa hari yang teutentu. Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajiblah baginya bevpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak beupuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui “(Al-Baqarah: 183-184)


Allah berfirman yang ditujukan kepada orang-orang beriman dari umat ini, seraya menyuruh mereka agar berpuasa. Yaitu menahan dari makan, minum dan bersenggama dengan niat ikhlas karena Allah Ta’ala. Karena di dalamnya terdapat penyucian dan pembersihan jiwa, juga menjernihkannya dari pikiran-pikiran yang buruk dan akhlak yang rendah.
Allah menyebutkan, di samping mewajibkan atas umat ini, hal yang sama juga telah diwajibkan atas orang-orang terdahulu sebelum mereka. Dari sanalah mereka mendapat teladan. Maka, hendaknya mereka berusaha menjalankan kewajiban ini secara lebih sempurna dibanding dengan apa yang telah mereka kerjakan. (Tafsir Ibn Katsir, 11313.)
Lalu, Dia memberikan alasan diwajibkannya puasa tersebut dengan menjelaskan manfaatnya yang besar dan hikmahnya yang tinggi. Yaitu agar orang yang berpuasa mempersiapkan diri untuk bertaqwa kepada Allah, Yakni dengan meninggalkan nafsu dan kesenangan yang dibolehkan, semata-mata untuk mentaati perintah Allah dan mengharapkan pahala di sisi-Nya. Agar orang beriman termasuk mereka yang bertaqwa kepada Allah, taat kepada semua perintah-Nya serta menjauhi larangan-larangan dan segala yang diharamkan-Nya. (Tafsir Ayaatul Ahkaam, oleh Ash Shabuni, I/192.)
Ketika Allah menyebutkan bahwa Dia mewajibkan puasa atas mereka, maka Dia memberitahukan bahwa puasa tersebut pada hari-hari tertentu atau dalam jumlah yang relatif sedikit dan mudah. Di antara kemudahannya yaitu puasa tersebut pada bulan tertentu, di mana seluruh umat Islam melakukannya.
Lalu Allah memberi kemudahan lain, seperti disebutkan dalam firman-Nya:
“Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. ” (Al-Baqarah: 184)
Karena biasanya berat, maka Allah memberikan keringanan kepada mereka berdua untuk tidak berpuasa. Dan agar hamba mendapatkan kemaslahatan puasa, maka Allah memerintahkan mereka berdua agar menggantinya pada hari-hari lain. Yakni ketika ia sembuh dari sakit atau tak iagi melakukan perjalanan, dan sedang dalam keadaan luang. (Lihat kitab Tafsiirul Lat’nifil Mannaan fi Khulaashati Tafsiiril Qur’an, oleh Ibnu Sa’di, hlm. 56.)
Dan firman Allah Ta ‘ala :
“Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari lain.” (Al-Baqarah : 184)
Maksudnya, seseorang boleh tidak berpuasa ketika sedang sakit atau dalam keadaan bepergian, karena hal itu berat baginya. Maka ia dibolehkan berbuka dan mengqadha’nya sesuai dengan bilangan hari yang ditinggalkannya, pada hari-hari lain.
Adapun orang sehat dan mukim (tidak bepergian) tetapi berat (tidak kuat) menjalankan puasa, maka ia boleh memilih antara berpuasa atau memberi makan orang miskin. Ia boleh berpuasa, boleh pula berbuka dengan syarat memberi makan kepada satu orang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkannya. Jika ia memberi makan lebih dari seorang miskin untuk setiap harinya, tentu akan lebih baik. Dan bila ia berpuasa, maka puasa lebih utama daripada memberi makanan. Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhum berkata: “Karena itulah Allah berfirman :
“Dan berpuasa lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. ” (Tafsir Ibnu Katsir; 1/214)
Firman Allah Ta ‘ala :
“(Beberapa hari yang ditentukan itu adalah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan lalu ia berbuka) maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (Al-Baqarah: 185).
Allah memberitahukan bahwa bulan yang di dalamnya diwajibkan puasa bagi mereka itu adalah bulan Ramadhan. Bulan di mana Al-Qur’an –yang dengannya Allah memuliakan umat Muhammad-diturunkan untuk pertama kalinya. Allah menjadikan Al-Qur’an sebagai undang-undang serta peraturan yang mereka pegang teguh dalam kehidupan. Di dalamnya terdapat cahaya dan petunjuk. Dan itulah jalan kebahagiaan bagi orang yang ingin menitinya. Di dalamnya terdapat pembeda antara yang hak dengan yang batil, antara petunjuk dengan kesesatan dan antara yang halal dengan yang haram.
Allah menekankan puasa pada bulan Ramadhan karena bulan itu adalah bulan diturunkannya rahmat kepada segenap hamba, Dan Allah tidak menghendaki kepada segenap hamba-Nya kecuaii kemudahan. Karena itu Dia membolehkan orang sakit dan musafir berbuka puasa pada hari-hari bulan Ramadhan (Tqfsir Ayarul Ahkam oleh Ash Shabuni, I/192), dan memerintahkan mereka menggantinya, sehingga sempurna bilangan satu bulan. Selain itu, Dia juga memerintahkan memperbanyak dzikir dan takbir ketika selesai melaksanakan ibadah puasa, yakni pada saat sempurnanya’ bulan Ramadhan. Karena itu Allah berfirman :
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kama bersyukur.” (Al- Baqarah: 185).
Maksudnya, bila Anda telah menunaikan apa yang diperintahkan Allah, taat kepada-Nya dengan menjalankan hal-hal yang diwajibkan dan meninggalkan segala yang diharamkan serta menjaga batasan-batasan (hukum)-Nya, maka hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur karenanya. (Tafsir Ibnu Karsir, 1/218)
Lalu Allah berfirman :
“Dan apabila para hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo ‘a apabila ia memohon Kepada-Ku maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku, dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (Al-Baqarah:186)
Sebab Turunnya ayat :
Diriwayatkan bahwa seorang Arab badui bertanya : “Wahai Rasulullah, apakah Tuhan kita dekat sehingga kita berbisik atau jauh sehingga kita berteriak (memanggil-Nya ketika berdo’a)?” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hanya terdiam, sampai Allah menurunkan ayat di atas. ‘ (Tafsir Ibnu Katsir; I/219.)
Tafsiran ayat:
Allah menjelaskan bahwa Diri-Nya adalah dekat. Ia mengabulkan do’a orang-orang yang memohon, serta memenuhi kebutuhan orang-orang yang meminta. Tidak ada tirai pembatas antara Diri-Nya dengan salah seorang hamba-Nya. Karena itu, seyogyanya mereka menghadap hanya kepada-Nya dalam berdo’a dan merendahkan diri, lurus dan memurnikan ketaatan pada-Nya semata. (Tafsir Ibnu Katsir, I/218.)
Adapun hikmah penyebutan’Allah akan ayat ini yang memotivasi memperbanyak do’a berangkaian dengan hukum-hukum puasa adalah bimbingan kepada kesungguhan dalam berdo’a, ketika bilangan puasa telah sempurna, bahkan setiap kali berbuka.
Dari Ubadah bin Asb-Shamit radhiallahu ‘anhu ia berkata, sesungguhnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Tidak ada seorang muslim yang berdo’a kepada Allah di dunia dengan suatu permohonan kecuali Dia mengabulkannya, atau menghilangkan daripadanya keburukan yang semisalnya, selama ia tidak meminta suatu dosa atau pemutusan kerabat. ” Maka berkatalah seouang laki-laki dari kaum: “Kalau begitu, kita memperbanyak (do’a). “
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Allah memberikan kebaikan-Nya lebih banyak daripada yang kalian minta” (HR. At-Tirmidzi, ia berkata, hadits hasan shahih), (Lihat kitab Riyaadhus Shaalihiin, hlm. 612 dan 622)
Lalu Allah Ta’ala berfirman :
“Dihalalkan bagimu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isterimu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahrvasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan cavilah apa yang telah ditetapkan oleh Allah untukmu, dan makan minumlah hinngga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi)janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertaqwa.” (Al-Baqarah:187)
Sebab turunnya ayat :
Imam Al Bukhari meriwayatkan dari Al-Barra’ bin ‘Azib, bahwasanya ia berkata :
“Dahulu, para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, jika seseorang (dari mereka) berpuasa, dan telah datang (waktu) berbuka, tetapi ia tidur sebelum berbuka, ia tidak makan pada malam dan siang harinya hingga sore. Suatu ketika Qais bin Sharmah Al-Anshari dalam keadaan puasa, sedang pada siang harinya bekerja di kebun kurma. Ketika datang waktu berbuka, ia mendatangi isterinya seraya berkata padanya: “Apakah engkau memiliki makanan ?” Ia menjawab: “Tidak, tetapi aku akan pergi mencarikan untukmu.” Padahal siang harinya ia sibuk bekerja, karena itu ia tertidur. Kemudian datanglah isterinya. Tatkala ia melihat suaminya (tertidur) ia berkata: “Celaka kamu.” Ketika sampai tengah hari, ia menggauli (isterinya). Maka hal itu diberitahukan kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam, sehingga turunlah ayat ini :
“Dihalalkan bagimu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isterimu. “
Maka mereka sangat bersuka cita karenanya, kemudian turunlah ayat berikut :
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. (Lihat kitab Ash Shahiihul Musnad min Asbaabin Nuzuul, hlm. 9)
Tafsiran ayat :
Allah Ta’ala berfirman untuk memudahkan para hamba-Nya sekaligus untuk membolehkan mereka bersenang-senang (bersetubuh) dengan isterinya pada malam-malam bulan Ramadhan, sebagaimana mereka dibolehkan pula ketika malam hari makan dan minum :
“Dihalalkan bagimu pada malam hari bulan puasa melakukam “rafats” dengan isteri- isterimu.”
Rafats adalah bersetubuh dan hal-hal yang menyebabkan terjadinya. Dahulu, mereka dilarang melakukan hal tersebut (pada malam hari), tetapi kemudian Allah membolehkan mereka makan minum dan melampiaskan kebutuhan biologis, dengan bersenang-senang bersama isteri-isteri mereka. Hal itu untuk menampakkan anugerah dan rahmat Allah pada mereka.
Allah menyerupakan wanita dengan pakaian yang menutupi badan. Maka ia adalah penutup bagi laki-laki dan pemberi ketenangan padanya, begitupun sebaliknya.
Ibnu Abbas berkata: “Maksudnya para isteri itu merupakan ketenangan bagimu dan kamu pun merupakan ketenangan bagi mereka.”
Dan Allah membolehkan menggauli para isteri hingga terbit fajar. Lalu Dia mengecualikan keumuman dibolehkannya menggauli isteri (malam hari bulan puasa) pada saat i’tikaf. Karena ia adalah waktu meninggalkan segala urusan dunia untuk sepenuhnya konsentrasi beribadah. Pada akhirnya Allah menutup ayat-ayat yang mulia ini dengan memperingatkan agar mereka tidak melanggar perintah-perintah-Nya dan melakukan hal-hal yang diharamkan serta berbagai maksiat, yang semua itu merupakan batasan-batasan-Nya. Hal-hal itu telah Dia jelaskan kepada para hamba-Nya agar mereka menjauhinya, serta taat berpegang teguh dengan syari’at Allah sehingga mereka menjadi orang-orang yang bertaqwa. (Tafsir Ayaatil Ahkaam, oleh Ash-Shabuni, I/93)


PELAJARAN DARI AYAT-AYAT TENTANG PUASA

  • Umat Islam wajib melakukan puasa Ramadhan.

  • Kewajiban bertaqwa kepada Allah dengan melakukan segala perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya.

  • Boleh berbuka di bulan Ramadhan bagi orang sakit dan musafir. Keduanya wajib mengganti puasa sebanyak bilangan hari mereka berbuka, pada hari-hari lain.
Firman Allah Ta ‘ala :
“Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-haui lain, “adalah dalil wajibnya mengqadha’ bagi orang yang berbuka pada bulan Ramadhan karena udzur, baik sebulan penuh atau kurang, juga merupakan dalil dibolehkannya mengganti hari-hari yang panjang dan panas dengan hari-hari yang pendek dan dingin atau sebaliknya.
Tidak diwajibkan berturut-turut dalam mengqadha’ puasa Ramadhan, karena Allah Ta ‘ala berfirman :”Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari lain, ” tanpa mensyaratkan puasa secara berturut-turut. Maka, dibolehkan berpuasa secara berturut-turut atau secara terpisah- pisah. Dan yang demikian itu lebih memudahkan manusia.

  • Orang yang tidak kuat puasa karena tua atau sakit yang tidak ada harapan sembuh, wajib baginya membayar fidyah; untuk setiap harinya memberi makan satu orang miskin.
Firman Allah Ta ‘ala :”Dan berpuasa lebih baik bagimu”
menunjukkan bahwa melakukan puasa bagi orang yang boleh berbuka adalah lebih utama, selama tidak memberatkan dirinya.

  • Di antara keutamaan Ramadhan adalah, Allah mengistimewakannya dengan menurunkan Al-Qur’an pada bulan tersebut, sebagai petunjuk bagi segenap hamba dan untuk mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya.

  • Bahwa kesulitan menyebabkan datangnya kemudahan. Karena itu Allah membolehkan berbuka bagi orang sakit dan musafir.

  • Kemudahan dan kelapangan Islam, yang mana ia tidak membebani seseorang di luar kemampuannya.

  • Disyari’atkan mengumandangkan takbir pada malam ‘Idul Fitri. Firman Allah Ta ‘ala:
“Dan hendaklah kama mengagungkan Allah (mengumandangkan takbir) atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu. ”

  • Wajib bersyukur kepada Allah atas berbagai karunia dan taufik-Nya, sehingga bisa menjalankan puasa, shalat dan membaca Al-Qur’anul Karim, dan hal itu dengan mentaati-Nya dan meninggalkan maksiat terhadap-Nya.

  • Anjuran berdo’a, karena Allah memerintahkannya dan menjamin akan mengabulkannya.
Kedekatan Allah dari orang yang berdo’a pada-Nya berupa dikabulkannya do’a, dan dari orang yang menyembah-Nya berupa pemberian pahala.
Wajib memenuhi seruan Allah dengan beriman kepada-Nya dan tunduk mentaati-Nya. Dan yang demikian itu adalah syarat dikabulkannya do’a.

  • Boleh makan dan minum serta melakukan hubungan suami isteri pada malam-malan bulan Ramadhan, sampai terbit fajar, dan haram melakukannya pada siang hari. Waktu puasa adalah dari terbitnya fajar yang kedua, hingga terbenamnya matahari.

  • Disyari’atkan i’tikaf di masjid-masjid. Yakni diam di masjid untuk melakukan ketaatan kepada Allah dan totalitas ibadah di dalamnya. Ia tidak sah, kecuali dilakukan di dalam masjid yang di situ diselenggarakan shalat lima waktu.
Diharamkan bagi orang yang beri’tikaf mencumbu isterinya. Bersenggama merupakan salah satu yang membatalkan i’tikaf.

  • Wajib konsisten dengan mentaati perintah-perintah Allah dan larangan-larangan-Nya. Allah Ta’ala berfirman :”ltulah larangan-larangan Allah maka kamujangan mendekatinya.”
Hikmah dari penjelasan ini adalah terealisasinya taqwa setelah mengetahui dari apa ia harus bertaqwa (menjaga diri).

  • Orang yang makan dalam keadaan ragu-ragu tentang telah terbitnya fajar atau belum adalah sah puasanya, karena pada asalnya waktu malam masih berlangsung.

  • Disunnahkan makan sahur, sebagaimana disunnahkan mengakhirkan waktunya.

  • Boleh mengakhirkan mandi jinabat hingga terbitnya fajar.

  • Puasa adalah madrasah rohaniyah, untuk melatih dan membiasakan jiwa berlaku sabar. (Lihat kitab Al Ikliil Istinbaathit Tanziil, oleh As-Suyuthi, hlm. 24-28; dan Taisirul Lathifill Mannaan, oleh Ibn Sa’di, hlm. 56-58.)
Walahua’lam

NASEHAT HIKMAH HABIB

Wejangan Al-Ustadz Al-A’dzam Al-Quthb Al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih

1. “Ketika kita mencari ilmu, kita bisa mendapatkannya dalam kitab-kitab ataupun buku. Namun ketika kita mencari barakah, tidaklah kita mendapatkannya kecuali dengan dekatnya kita kepada orang-orang yang shaleh. Dan dekat dengan mereka modalnya dengan hati yang bersih. Karena dengan kebersihan hati kita dapat mengenal orang-orang yang besar di sisi Allah. Dan kebersihan hati merupakan anugerah dari Allah. Orang yang mengenal ilmu banyak, sedangkan orang yang memiliki barakah hanya sedikit. Dan seseorang yang memiliki keduanya lebih sedikit.”

2. “Tasawuf merupakan ruh dari Agama Islam.”

3. “Rahasia sebuah kitab itu terletak pada muqaddimahnya.”

4. “Wahai kalian para anak-anakku bersungguh-sungguhlah dalam menuntut ilmu. Di saat aku menuntut ilmu, kutinggalkan kawan, saudara bahkan kerabat dekatku. Bahkan hanya sekali dalam sepekan aku mengunjungi mereka.”

5. “Ilmu yang bermanfaat itu adalah ilmu yang berguna hingga kalian masuk ke dalam liang lahat.”

6. “Jadikanlah dirimu mendapatkan tempat di hati sesorang Aulia’ (para wali Allah).”

7. “Dahulu kami khawatir anak keturunan kita mempunyai perangai yang buruk dan tidak lagi mengikuti ajaran para salafunasshalihin. Namun, justru sekarang yang kami takutkan adalah selamatkah mereka dari kubangan kekufuran.”

8. “Janganlah kalian golongkan diri kalian dari orang-orang yang mengharapkan nikmat akhirat tanpa mau beramal.”

9. “Barangsiapa yang merasa cukup bahwa gurunya itu kitab, maka sesungguhnya guru orang tersebut adalah setan.”

10. Ilmu pengetahuan tidak akan bermanfaat sama sekali bagi seseorang yang gemar berbohong. Begitupula agama ini, tidak ada manfaatnya sama sekali bagi seseorang yang suka berbohong.”

11. “Kami selalu melihat perjalanan para pendahulu kami untuk kami ikuti dan kami teladani. Mereka telah meneladani Nabi Saw. hingga pada perkara-perkara yang mubah.”

12. “Sesungguhnya bukan banyaknya ilmu yang kami cari, namun pada hakekatnya yang kami cari adalah akhlak dan budi pekerti. Karena syariat Agma Islam itu berdasarkan adab dan budi pekerti yang luhur.”

13. “Janganlah engkau terlalu memikirkan soal rezeki, walaupun engkau memiliki banyak anak. Karena sesungguhnya masalah rezeki itu berada pada Sang Maha Pemberi Rezeki.”

14. “Sesungguhnya hidayah yang terbaik adalah petunjuk Sayyidina Muhammad Saw. Karena hal tersebut merupakan manifestasi dari sebuah jalan, yaitu perjalanan dan ibadah serta perwujudan dari berbagai macam amal.”

15. “Modal yang terbesar bagi seseorang pada hakekatnya adalah keyakinan akan makna Laa Ilaaha Illallaah.”

16. “Hidupkanlah pohon-pohon keimanan kalian dengan Laa Ilaaha Illallaah.”

17. “Seorang salik apabila telah sampai ke hadiratNya, maka ia dinamakan ‘Arif. Jikalau sudah ‘Arif, maka orang tersebut tidak akan melihat kepada apapun juga melainkan hanya tenggelam dalam kebesaran dan keagungan Allah.”

18. “Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan, lalu waktunya diisi dengan membaca al-Quran, maka orang tersebut merupakan orang yang sangat beruntung. Sebaliknya, apabila seseorang tersebut berpuasa di bulan Ramadhan akan tetapi enggan untuk membaca al-Quran, maka orang tersebut termasuk dalam golongan orang-orang yang celaka.”


B. Wejangan Al-Ustadz Al-A’dzam Al-Quthb Al-Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfaqih

1. “Landasan yang paling ampuh dan sangat kuat adalah rasa iman kepada Allah Swt. dan Rasulullah Muhammad Saw.”

2. Bukan dinamakan hidup seseorang yang tidak memiliki ilmu pengetahuan.”

3. “Bukan dinamakan hidup seseorang yang tidak mengenal Allah Swt. dan RasulNya, serta tidak pula mengenal ajarannya.”

4. “Sebarluaskanlah ajaran Agama Islam di manapun engkau berada dengan membawa bekal ilmu.”

5. “Ilmu itu membutuhkan amal, sedangkan amal membutuhkan keikhlasan dan keikhlasan tersebut membutuhkan cahaya.”

6. “Ilmu tidak akan berguna bagi murid pembohong.”

7. “Ilmu adalah pembuka hati, yang tujuannya untuk mendekatkan diri kepada Allah.”

8. “Memahami tauhid tidak cukup dengan hanya membaca kitab-kitab risalah tauhid saja, namun perlu dididik oleh seorang mursyid yang sangat mengenal Allah dan dapat mengantarkan kepadaNya.”

9. “Yang diperlukan manusia dalam mengarungi kehidupan di dunia adalah ketenangan batin.”

10. “Diantara ciri seseorang yang hatinya bersih adalah apabila ingat kepada Allah Swt. maka ia menangis.”

11. “Islam merupakan agama yang sangat rasional dan sebagai agama perjuangan.”

12. “Seorang muslim sejati apabila ditimpa sesuatu apapun, maka ia tetap tenang dan rela menerima keputusanNya.”

13. “Akal dapat menjadi tenang, hati akan menjadi lunak hanya dengan selalu ingat kepada Allah Swt.”

14. “Perkataan seseorang itu menunjukkan bagaimana akal orang tersebut.”

15. “Bukan dikatakan berilmu apabila tidak disertai ketaqwaan. Dan bukanlah dinamakan berakal bila tidak dihiasi adab serta budi pekerti.”

16. “Derajat kewalian adalah mengikuti Rasulullah Saw., baik perkataan maupun perbuatan.”

17. “Yang disebut wali adalah seseorang yang beriman dan bertaqwa kepada Allah Swt. dengan sebenar-benarnya.”

18. “Cobaan dan ujian apabila diterima dengan ikhlas dan husnudzan kepada Allah akan mendekatkan seseorang tersebut kepada derajat kewalian.”

19. “Jangan pernah terlintas dalam hatimu untuk berburuk sangka kepada para wali-wali Allah.”

20. “Kejernihan dan kebeningan hati merupakan anugerah Allah bagi hamba-hamba yang dipilihNya.”

21. “Lalai dari Allah merupakan siksa di dalam dunia.”

22. “Budi pekerti adalah bagian dari agama.”

23. “Jarak penghubung antara kita dan Baginda Nabi Muhammad Saw. hanyalah kematian.”

24. “Bagaimana sebagian kalian telah mencaci maki para sahabat Rasulullah Saw., sedangkan Allah Swt. telah ridha kepada mereka.”

25. “Barangsiapa yang mengingkari bahwa Sayyidina Abubakar Ra. bukan merupakan sahabat Rasulullah Saw., maka ia telah kafir. Bagaimana tidak? Karena itu sama halnya dengan mengingkari al-Quran.”

26. “Jikalau engkau berdoa, lalu hatimu terasa sesuatu, maka hal itu merupakan pertanda dikabulkannya doa.”

27. “Orang-orang yang mencintai Allah Swt. dengan sungguh-sungguh tentu tidak akan bermaksiat kepadaNya.”

28. “Jadilah kalian sebagai Ahli Nur, caranya isilah hati-hati kalian dengan dzikir, shalawat, istighfar dan selalu adakan komunikasi dengan Allah Swt.”

29. “Seseorang yang menaruh rasa cinta kepada Baginda Nabi Muhammad Saw. tidak pernah merugi di dunia dan akhirat.”

30. “Seseorang yang banyak membaca shalawat kepada Baginda Nabi Muhammad Saw. akan cepat wushul dengan beliau Saw.”

31. “Seseorang yang sedang menuntut ilmu agama dengan penuh keikhlasan semata karena Allah Swt., lalu ia dianugerahi dapat bermimpi Baginda Nabi Muhammad Saw., maka itu pertanda bahwa ia akan dijadikan seorang yang ‘alim.”

RAMADAHAN BULAN MUSTAJAB DOA

Berdoa adalah salah satu perintah Allah dan Rasul-Nya. Melakukan doa bagi setiap muslim merupakan kebutuhan yang tidak dapat terlepas dalam kehidupan sehari-hari. Dalam salah satu hadisnya Rasulullah telah bersabda bahwa berdoa itu adalah otak segala ibadah. Sementara Imam Nawawi al Bantani dalam salah satu kitabnya menyatakan: 


“Meninggalkan berdoa adalah maksiat kepada Allah”.
Bagaimana pun, karena berdoa adalah salah satu dari perintah Allah dan Rasul-Nya, maka pasti didapatkan beberapa tata cara berdoa yang mengaturnya agar menjadi baik, rapi, membawa kepada khusyu, dan yang terpenting adalah diterima oleh Allah.
Di antara tata cara berdoa adalah bersikap ikhlas, bersuci terlebih dahulu, merendahkan diri kepada Allah, duduk dengan perasaan hina di hadapan Allah, menggunakan suara yang lembut dan tidak menjerit-jerit, berharap penuh agar doa diterima, dan yakin bahwa doa itu akan diterima Allah, sesuai dengan janji Allah; “Dan berdoalah kepada-Ku niscaya Aku akan memustajabkannya untukmu”
 
Berdoa Dengan Mengangkat Tangan
Berdoa dengan mengangkat tangan apakah lebih afdhal atau hanya sekedar baik? Hal ini adalah menjadi masalah khilafiyah selama ribuan tahun yakni sejak zaman tabi’in, generasi yang bertemu dengan para sahabat nabi, sampai dengan saat sekarang ini. Hanya saja perlu dicatat dengan huruf besar bahwa perbedaan pendapat antara para ulama dalam hal ini hanya meliputi masalah afdhal atau tidaknya dalam mengangkat tangan ketika berdoa itu, bukan tentang bid’ah atau sunnahkah mengangkat tangan dalam berdoa itu. Persoalan ini perlu kami jelaskan agar tidak menjadi benang kusut di tengah-tengah umat, terutama kalangan awam yang kadang-kadang menjadi bingung dan ragu akibat kerasnya terpaan angin saling cela mencela antar pendapat yang berbeda selama ini.
Sebagian ulama dari kalangan tabi’in seperti: Sa’id al Musayyab, Sa’id bin Jubair, Syuraih, Atha’ dan Thawus, mereka tidak menyukai berdoa dengan mengangkat tangan. Mereka ini lebih memilih mengisyaratkan dengan jari telunjuk keatas saat berdoa kepada Allah untuk suatu keperluan tertentu. Dalam pandangan mereka mengisyaratkan jari telunjuk saat berdoa itu terlihat lebih ikhlas.
 
 Adapun yang memperbolehkan berdoa dengan mengangkat tangan adalah jama’ah dari kalangan sahabat nabi dan tabi’in pula. Pendapat yang memperbolehkan mengangkat tangan dalam berdoa tentu saja berdasarkan pada hadis-hadis nabi juga. Dan pendapat ini sangat terkenal di negeri Nusantara, serta negeri-negeri lain khususnya yang menganut mazhab Imam Syafi’i, Imam Hambali, dan Imam Maliki Rahimahumullah.Demikian menurut sebahagian tabi’in ini

Dalil-Dalil Berdoa Dengan Mengangkat Tangan
Dari Abu Musa Al Asy’ari Radhiyallahu anhu dia berkata, “Rasulullah pernah berdoa dan beliau mengangkatkan kedua tangannya ketika berdoa itu, sehingga aku (Abu Musa Al Asy’ari) melihat putihnya ketiak beliau.” (HR. Bukhari, no. 6341)
.
Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘Anhuma berkata, “Nabi Saw. telah mengangkatkan kedua tangannya seraya beliau berdoa, “Ya Allah aku lepas tanggung jawab terhadap Engkau atas apa yang dilakukan oleh Khalid bin Walid.” (HR. Bukhari, Ahmad, Nasa’i, Ibnu Hibban)
.
Pada saat terjadi perang Badar, Rasulullah memandang kaum musyrikin yang terdiri dari 1000 orang pasukan, sementara para sahabat nabi hanya terdiri dari 317 orang saja. Kemudian Rasulullah menghadap kiblat seraya mengangkatkan kedua tangannya, lalu beliau berdoa kepada Tuhan-nya. (HR. Muslim).

Dalam hadis yang lain, dari Salman al Farsi Radhiyallahu 'anhu dari Rasulullah Saw, beliau telah bersabda, “Sesungguhnya Tuhan kamu itu Maha Menghidupkan dan Maha Mulia, serta malu terhadap hamba-Nya yang mengangkatkan kedua tangannya ketika berdoa kepada-Nya, lalu Allah mengembalikan doanya itu dengan tangan hampa – atau beliau bersabda sia-sia.” (HR. Ibnu Majah, Abu Dawud, Turmidzi, Ahmad, Thabrani, Hakim). Imam Ibnu Majah meletakkan hadis ini dalam bab “Berdoa dengan Mengangkat Tangan Saat Berdoa”. (Lihat Sunan Ibnu Majah Jilid II nomor 3865)
.
Dalam sebuah hadis yang lain diriwayatkan: “Adalah Rasulullah apabila berdoa, beliau mengangkatkan kedua tangan beliau, maka tidaklah beliau meletakkan tangan tersebut sebelum beliau mengusapkan kedua tangannya ke wajah beliau.” (HR. Imam Turmudzi, Shahih Gharib). Imam Turmidzi meletakkan hadis ini dalam Bab “Mengangkat Tangan dalam Berdoa”. (Lihat kitab Shahih Turmidzi jilid V halaman 463 – 464).

Hadis Turmidzi tersebut diatas, selain menunjukkan sunat hukumnya mengangkat tangan dalam berdoa, juga sekaligus menunjukkan sunatnya menghapus muka dengan kedua tangan setelah selesai berdoa. Hadis ini menurut Imam Turmidzi statusnya Shahih Gharib, dan bukan hadis Dhaif. Menurut Al Hafidz dalam kitabnya At-Taqrib hadis di atas mendapatkan satu Syahid (penguat) yang sesuai dengan makna hadis tersebut, dari hadis lain yang bersanadkan Said bin Yazid dari bapaknya. Dengan demikian Al-Hafidz mengakui hadis ini berstatus hasan shahih li ghairihi, bukan hadis dhoif…..!

Meskipun demikian, ternyata hadis menghapus muka dalam berdoa ini, didhaifkan oleh Nasirudin Al-Albani. Namun, tidaklah dia dalam hal ini, dapat menggusur pendapat Imam Turmidzi dan Al Hafidz. Albani sendiri menurut riwayat hidup yang ditulisnya, serta diakui olehnya sendiri, mengatakan bahwa beliau bukanlah seorang hafidz hadis. Penelitian yang dia lakukan adalah penelitian perpustakaan di berbagai perpustakaan, dan bukan penelitian menurut hafalan, sebagaimana layaknya tradisi baku para pakar hadis selama ribuan tahun. Tidak heran pula jika beliau kemudian mendapat banyak bantahan dari para ulama hafidz hadis sezamannya, antara lain, Syeikh Hasan Ali Syaqqaf Damaskus, Syeikh Harari Libanon, Syeikh Al-Buthi, Syeikh Utsaimin Saudi Arabia, Syeikh Salim Hilali, murid Albani sendiri, dan lain-lain.
Dengan demikian, sudah semestinyalah bagi kita perbedaan pendapat tidak menyebabkan permusuhan apalagi sampai kafir mengkafirkan atau bid’ah membid’ahkan satu dengan lainnya. Bukankah perbedaan pendapat ini hanya meliputi dalam hal afdhal dengan baik saja, bukan antara haram dengan boleh….?. Ingat, bahwa di bawah derajat afdhol adalah bagus, bukan bid’ah. Ini perlu diketahui pula. Dalam bahasa Inggeris, afdhol itu artinya best, dan di bawah best adalah better, dan di bawah better masih ada good, bukan setelah best langsung menjadi bad (buruk) apalagi worst (paling buruk),terus masuk neraka…..! Na’udzubillah……

Di sisi lain, bagi seorang Imam dan Khatib yang sedang berkhutbah, makruh mengangkatkan tangannya ketika berdoa di atas mimbar saat berkhutbah, kecuali ketika melaksanakan khutbah pada shalat Istisqa, yakni shalat meminta hujan. Dalam sholat istisqa’ khatib disunatkan mengangkatkan tangan saat berdoa dalam khutbahnya, karena Rasul pun mengangkatkan kedua tangan beliau, sehingga terlihat putih ketiak beliau. (HR. Muslim). Inilah pendapat yang dikutip oleh Imam Syafi’i rahimahullah
.
Dengan demikian, berdoa mengangkatkan tangan adalah salah satu sunnah Rasulullah dan telah dipilih oleh sebagian jamaah sahabat nabi dan tabi’in, serta berlaku terus sebagai amalan kaum muslimin sampai sekarang ini. Jika ada orang-orang yang tidak menyukai mengangkat tangan saat berdoa itu, maka hal itu tidaklah mesti menyebabkan saling membenci satu dengan lainnya apalagi sampai mengancam orang lain dengan neraka. Hal tersebut hanya akan menambah perpecahan di kalangan umat yang memang sangat sulit untuk dipersatukan ini. Padahal dahulu pun, perbedaan dalam hal berdoa dengan mengangkat tangan ini bukan meliputi permasalahan antara halal atau haram, sehingga tidaklah perlu bersikap keras terhadap orang yang berbeda faham dengan kita dalam hal ini.

Kesimpulan :
Dalam perkara berdoa dengan mengangkatkan tangan ini paling tidak ada dua pendapat. Yang pertama memandang afdhol tidak mengngkatkan tangan dalam berdoa, tetapi melakukan isyarat dengan menunjukkan jari telunjuk ke langit. Adapun pendapat yang kedua adalah dengan mengangkatkan kedua tangan menengadahkan kedua telapak tangan menghadap langit, dan bukan menengadahkan punggung tangan ke langit, sebab menggunakan punggung tangan ini dilarang nabi dilakukan saat berdoa. Inilah dua perkara yang ada tertera dalam kitab-kitab hadis dan dilakukan oleh generasi salafussholih.
Nah, jika kemudian ada orang yang berdoa dengan tidak mengangkatkan kedua tangan, dan tidak pula melakukan isyarat dengan telunjuk ke langit, melainkan hanya menekur seraya meletakkan kedua tangan di lutut atau paha saja, maka hal seperti ini justru tidak didapati dalam hadis-hadis nabi., dan tidak dilakukan oleh generasi salaf pula. Oleh karena itu tidak sepatutnya orang yang melakukan hal seperti ini malah gencar mencela orang yang berdoa mengangkatkan tangan, padahal perbuatan mereka mengangkat tangan itu justru sesuai dan mengikuti sunnah berdasarkan hadis-hadis nabi yang shohih.
Begitupun amalan berdoa dengan mengangkat tangan atau isyarat menurut para ulama adalah berkenaan dengan doa yang maslahah dan mas'alah bukan pada doa-doa masnunah harian, seperti doa makan, tidur, masuk WC, pakai baju, keluar masuk rumah, naik kenderaan dan lain-lain.
Wallahu A’lam bishshawab

Sumber dari: Tafsir Qurthubi dan Al-Hawi al-Fatawi, Imam Suyuthi.

KISAH ROMANTIS YUSUF DAN ZULAIKHA

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Dalam al-Qur’an Surah Yusuf, Allah Swt. berfirman:“Waqaala alladzi isytaraahuu min mishra li-imra-atihii akrimii maswaahu ‘asaa an yanfa’anaa au nattakhidzahuu waladan wakadzaalika makkannaa liyuusufa fi al-ardhi walinu’allimahuu min ta-wiili al-ahaaditsi wallahu ghaalibun ‘alaa amrihii walaakinna aktsara an-naasi laa ya’lamuuna.” (QS. Yusuf ayat 21).

“Dan orang Mesir yang membelinya berkata kepada isterinya: “Berikanlah kepadanya tempat (dan layanan) yang baik, boleh jadi dia bermanfaat kepada kita atau kita pungut dia sebagai anak.” Dan demikian pulalah Kami memberikan kedudukan yang baik kepada Yusuf di muka bumi (Mesir), dan agar Kami ajarkan kepadanya ta’bir mimpi. Dan Allah berkuasa terhadap urusanNya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.” (QS. Yusuf ayat 21).

Di seputar ayat ini, kisah Nabi Yusuf dengan Zulaikha kemudian timbul di kalangan mufassirin. Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir al-Qur’an yang ditunjuk oleh Departemen Agama Republik Indonesia (DEPAG-RI) dalam al-Qur’an dan Terjemahnya, memberikan penafsiran ayat tersebut.

Ketika terjemah ayat tersebut menuturkan: “Dan orang Mesir yang membelinya berkata kepada istrinya”, dalam footnote (no. 748), Tim menulis: “Orang Mesir yang membeli Yusuf As. itu seorang Raja Mesir bernama Qithfir dan nama isterinya Zulaikha.”

Tidak sampai di situ, lebih jauh lagi nama Zulaikha tersebut langsung dicantumkan di dalam terjemah ayatnya. Hal ini dapat kita lihat pada terjemah Surah Yusuf ayat 23: “Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf tinggal di rumahnya…”.

Begitupula dalam footnote (no. 750) yang menafsiri ayat tersebut: “Ayat ini tidaklah menunjukkan bahwa Nabi Yusuf As. punya keinginan yang buruk terhadap wanita itu Zulaikha…”.

Demikian nama Zulaikha disinggung sebanyak tiga kali dalam al-Qur’an dan Terjemahnya yang dicetak dan disebarluaskan oleh DEPAG-RI. Usaha penerjemahan itu dilangsungkan selama delapan tahun oleh tim khusus yang diketuai oleh Prof. R.H. A. Soenarjo, SH. dari Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an. Selesai pada tahun 1971.

Dengan demikian, tersebarnya al-Qur’an dan Terjemahnya versi DEPAG-RI kala itu, diawali keterangan para ulama yang menukil kisah itu dari kitab-kitab tafsir klasik, akhirnya penamaan Zulaikha tersebut melembaga di masyarakat. Mereka tidak tahu menahu tentang otentisitas riwayat seputar itu. Yang mereka kenal, bahkan sudah menjadi keyakinan, Zulaikha itu adalah nama wanita yang merayu Nabi Yusuf As. Kemudian setelah Nabi Yusuf As. diangkat menjadi pembesar Mesir, Zulaikha dinikahi oleh beliau. Mereka berdua hidup seia-sekata, saling mengasihi dan menyayangi.

Menurut mereka, itulah dambaan setiap keluarga dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Maka tak heran jika tipologi Yusuf-Zulaikha, oleh mereka, disamakan dengan tipologi Adam-Hawa, Muhammad-Khadijah, dan Ali-Fatimah. Padahal tidak ada riwayat yang shahih menerangkan bahwa istri al-Aziz itu bernama Zulaikha dan Nabi Yusuf pernah menikahinya. Karenanya, ada kawan berseloroh bahwa orang yang berdoa agar kedua mempelai itu saling sayang-menyayangi seperti Yusuf dan Zulaikha, maka hal itu sama saja dengan mendoakan agar seseorang itu menyayangi istri orang lain, alias berselingkuh.


A. Menyikapi Tafsir Isra`iliyyat

Agama Islam datang setelah Agama Yahudi dan Nashrani, begitupula pengikutnya. Kaum Yahudi dan Nashrani memiliki dasar-dasar pengetahuan agama yang diperolehnya dari kitab suci mereka, Taurat untuk Yahudi dan Injil untuk Nashrani, sebelum mereka akhirnya memeluk Islam.

Bahkan, khusus mengenai cerita para nabi dan umat terdahulu, mereka memiliki data-data yang sangat rinci. Maka tidak heran, ketika al-Qur’an menuturkan cerita-cerita tersebut, mereka langsung memberikan responnya berdasarkan kitab suci mereka dengan sangat mendetail.

Memang al-Qur’an bukan kitab sejarah, tetapi al-Qur’an memuat fakta sejarah khususnya para nabi dan umat-umat terdahulu. Dari segi penuturannya, menunjukkan bahwa al-Qur’an ingin menunjukkan ke-i’jazan-nya. Sedangkan dari segi isinya, semua itu agar dijadikan pelajaran yang berharga bagi umat manusia yang hidup setelahnya.

Pengikut Islam periode pertama, yaitu masa Rasulullah Saw. dan para shahabatnya, menyikapi cerita-cerita mereka dengan sangat hati-hati. Dalam sebuah hadits shahih dari Abu Hurairah Ra., Rasulullah Saw. bersabda: “Laa tashaddaquu ahla al-kitaabi walaa tukadzdzibuuhum waquuluu aamanna billahi wamaa unzila ilaina wamaa unzila ilaikum”.

“Kamu jangan membenarkan penuturan Ahl al-Kitab, jangan pula mendustakannya. Katakanlah: “Kami beriman kepada Allah dan apa-apa (kitab) yang diturunkan kepada kami dan (kitab-kitab) yang diturunkan kepadamu.”

Sikap kehati-hatian ini diperintahkan oleh Nabi Saw. kepada para shahabatnya. Sebab di dalam penuturan Ahl al-Kitab mengandung dua kemungkinan, benar dan salah. Tetapi Nabi Saw. juga tidak hitam-putih, bersikap fleksibel dalam masalah ini. Beliau, yang diikuti para shahabatnya, tetap menerima penuturan mereka sejauh tidak menyangkut akidah dan hukum-hukum syariah.

Kebolehan tersebut terbetik dari sabda Nabi Saw. yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Amr:“Ballighuu ‘anni walau aayatan wahadditsuu ‘an banii israa-iila walaa haraja, waman kadzdzaba ‘alayya muta’ammidan falyatabawwa’ maq’adahuu
min an-naari”.

“Sampaikan apa-apa dariku meskipun itu berupa satu ayat. Kamu tidak apa-apa meriwayatkan penuturan Bani Israil (Ahl al-Kitab). Siapa yang mendustakanku dengan sengaja, maka bersiaplah dirinya untuk menempati tempatnya di neraka.”

Hadits di atas melukiskan kepada kita bahwa Nabi Saw. membolehkan para sahabatnya (baca: umatnya) untuk mengambil tafsir Israiliyyat. Tetapi lagi-lagi tetap dengan syarat tidak boleh berisi riwayat palsu. Jadi harus betul-betul diketahui keshahihannya.

Demikian pula halnya dengan kisah romantis Nabi Yusuf As. dan Zulaikha. Ketika al-Qur’an dalam ayat di muka tadi (QS. Yusuf ayat 21) disinggung, para Ahl al-Kitab pun sibuk menuturkan alur cerita tersebut dengan detail. Nama Zulaikha yang dilansir sebagai istri dari al-Aziz (pejabat tinggi Negeri Mesir saat itu), tersebar luas setelah Ahl al-Kitab menuturkannya. Karenanya, di sini kita perlu hati-hati dalam menyikapinya. Apakah benar seperti itu atau hanya bualan mereka yang tidak ada dasarnya. Atau jangan-jangan riwayat tentang hal itu adalah palsu. Sikap hati-hati seperti inilah yang harus kita lakukan ketika menghadapi kisah tentang Nabi Yusuf dan Zulaikha.


B. Doa Khas untuk Pengantin

Seorang alumnus program doctoral Universitas al-Azhar Cairo menuturkan: “Tatkala upacara pernikahan seorang mahasiswa dari Indonesia dilaksanakan, saat itu dihadiri pula oleh Rektor Universitas al-Azhar, Prof. Dr. Omar Hasyim, dan di akhir acara tersebut tiba saatnya untuk berdoa. Doa dipimpin oleh seorang mahasiswa senior yang sekarang mengabdi di Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai dosen tetap. Dengan penuh kekhusyu’an, mahasiswa itu berdoa (dalam bahasa Arab). Setelah bunyi do’a tersebut sampai pada kalimah “Alahumma allif bainahumaa kamaa allafta baina yuusufa wa zulaikha”.

“Ya Allah, semoga Engkau merukunkan kedua mempelai ini sebagaimana Engkau telah merukunkan Nabi Yusuf dan Zulaikha.”

Tiba-tiba Prof. Dr. Omar Hasyim menyuruhnya berhenti: “Cukup, jangan teruskan, lewatilah kalimat tersebut.” Demikian komentarnya.

Dari cuplikan cerita tersebut, kita mengetahui seolah-olah penamaan Zulaikha yang disandingkan pada Nabi Yusuf As. itu tidak direstui oleh Rektor Universitas al-Azhar Cairo, Prof. Dr. Omar Hasyim”, kata alumnus tadi menutup penuturannya.

Tidak hanya sampai di situ, kebanyakan para muballigh, khususnya di Indonesia, ketika diminta mendoakan kedua mempelai, dengan tanpa ragu-ragu, mereka menyertakan nama Zulaikha yang disandingkan dengan Nabi Yusuf dalam doa mereka seperti kutipan doa di atas. Konon, biar kedua mempelai tersebut hidup rukun, mesra dan bahagia seperti halnya Nabi Yusuf dan Zulaika.

Rupanya kisah romantis Nabi Yusuf-Zulaikha ini sudah menjadi keyakinan dalam agama Islam bagi sebagian kalangan, sebagai simbol kemesraan dan kerukunan dalam mengayuh bahtera rumah tangga. Padahal lagi-lagi kita harus waspada. Apakah benar nama istri al-Aziz yang berniat mesum pada Nabi Yusuf itu adalah Zulaikha? Apakah betul Zulaikha itu kemudian menjadi istri Nabi Yusuf sehingga mereka berdua hidup rukun, mesra, dan bahagia? Jika benar, manakah riwayat yang shahih tentang itu? Jika terbukti salah, berarti kita telah menyandingkan nama yang keliru untuk istri Nabi Yusuf.

Hal itu berakibat fatal karena kita telah menganggap Nabi yang mulia itu selalu bersama-sama, hidup rukun dan berbahagia bersama Zulaikha, seorang perempuan yang bukan istrinya. Sungguh tuduhan yang menodai gelar “ma’shum” para nabi. Karenanya, di sini kami memandang perlu untuk menelitinya.


C. Doa adalah Ibadah

Dalam sebuah Hadits, Nabi Saw. bersabda: “Ad-Du’aau huwa al-‘ibaadatu”.

“Doa adalah ibadah.”

Hadis tersebut diriwayatkan oleh an-Nu’man bin Basyir dengan sanad yang shahih. Ada juga yang senada dengan matan hadits tersebut tetapi sanadnya tidak shahih, yaitu hadits dari Anas bin Malik Ra, Rasulullah Saw. bersabda: “Ad-Du’aau mukhkhu al-‘ibaadati”.

“Doa merupakan inti ibadah.”

Hadits yang kedua ini lebih populer di masyarakat. Padahal, sebagaimana yang diutarakan oleh al-Imam al-Mubarakfuri (w. 1353 H) dalam kitabnya Tuhfah al-Ahwadzi, hadits ini dinilai dhaif oleh Yahya bin Sa’id dan lainnya. Di dalam sanadnya terdapat Ibnu Lahi’ah. Kami sengaja mengetengahkan hadits kedua ini, agar masyarakat luas mengetahui kualitasnya.

Terlepas dari itu semua, doa memiliki nilai ibadah. Karenanya, banyak kalangan ulama yang memimpin doa bersama, baik dalam bentuk istighatasah maupun acara resmi kenegaraan. Memang doa lah yang didefinisikan oleh Nabi Saw. sebagai “inti” ibadah, satu-satunya media vertikal berisi permohonan hamba pada Tuhannya. Beragam doa yang dipanjatkan kepadaNya disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing manusia. Semuanya niscaya didengar olehNya. Dialah Yang Maha Mendengar, dekat dan mengabulkan hamba-hambaNya.

Ibadah, yang tercerabut dari akar kata ‘abida ya’bud ‘ibadah, bermakna penghambaan, yaitu penghambaan sang makhluk kepada Khaliknya. Ibadah tersebut harus berdasarkan dalil-dalil yang benar dari al-Qur’an, Hadits, Ijma’, maupun Qiyas. Jika suatu ibadah tidak berdasarkan dalil-dalil tersebut, maka nilainya adalah bid’ah. Dalam suatu Qa’idah Fiqhiyyah disebutkan:“Al-Ashlu fi al-‘ibadati haraamun, wa al-ashlu fi al-mu’amalati mubaahun”.

“Dasar hukum ibadah itu haram. Sedangkan dasar hukum mu’amalah adalah mubah (boleh).”

Dari kaidah tersebut, suatu ibadah itu dilarang kecuali ada dalil yang jelas-jelas membolehkannya. Dengan demikian, ibadah yang harus kita laksanakan itu adalah hanya ibadah yang memiliki dasar yang benar dari dalil-dalil syara’, baik dari al-Qur’an, Hadits, Ijma’, maupun Qiyas. Selain itu harus dijauhi, sebab ia termasuk bid’ah.

Kembali pada kisah romantis Nabi Yusuf dan Zulaikha yang sudah telanjur diyakini sebagai suatu kebenaran, yang kemudian kedua nama tersebut dibubuhkan dalam doa pengantin demi terjalinnya kerukukan dan kebersamaan diantara kedua mempelai, apakah termasuk ibadah atau bukan?

Jika kita merujuk kepada hadits di atas, tentu kita akan mengategorikan keyakinan tersebut sebagai ibadah, sebab dijadikan sebagai doa. Sementara doa merupakan ibadah. Jika demikian, maka penamaan Zulaikha yang disandingkan pada Nabi Yusuf sebagai simbol keharmonisan, cinta kasih dan kerukunan, itu harus berdasarkan riwayat yang dapat dipertanggungjawabkan, sebut saja, shahih secara ilmiyah.


D. Riwayat Seputar Nama Zulaikha

Sedikit sekali kitab tafsir yang menuturkan nama Zulaikha sebagai istri al-Aziz dengan metodologi transmisi. Di bawah ini, kami hanya menyebutkan beberapa kitab tafsir yang meriwayatkan kisah tersebut berikut jalur-jalur periwayatannya. Semuanya mengomentari (baca: menafsiri) ayat 21 dari Surah Yusuf yang sudah kami singgung di muka.

1. Al-Imam Ibnu Jarir ath-Thabari (w. 310 H) dalam kitab tafsirnya Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ay al-Qur’an (yang populer dengan Tafsir ath-Thabari), menerima penamaan tersebut dari Ibnu Humaid dari Salamah dari Ibnu Ishaq dari Muhammad bin as-Sa’ib dari Abu Shalih dari Ibn ‘Abbas. Tetapi bukan Zulaikha melainkan Ra’il binti Ra’a’il.

2. Sedangkan al-Imam Abu al-Laits as-Samarqandi (w. 375 H), menyebutkan penamaan Zulaikha sebagai istri al-Aziz dalam tafsirnya Bahr al-‘Ulum dengan riwayat yang berasal dari Ibn ‘Abbas.

3. Al-Imam Jalaluddin as-Suyuthi (w. 911 H) dalam kitabnya ad-Dur al-Mantsur fi at-Tafsir al-Ma’tsur, mengutip penamaan istri al-Aziz itu dari riwayat Ibnu Jarir (w. 310 H) dan Ibnu Abi Hatim (w. 327 H) dari Muhammad bin Ishaq (w. 150 H). Berdasarkan riwayat ini, namanya bukan Zulaikha, tetapi Ra’il binti Ra’a’il.

4. Adapun al-Imam al-Qurtubi dalam kitab tafsirnya al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, menuturkan penamaan istri al-Aziz tersebut dengan beberapa riwayat yang berbeda. Nama Ra’il didapatkannya dari riwayat Ibnu Ishaq yang dituturkan oleh al-Mawardi. Sedangkan nama Zulikha tidak disebutkan sumber riwayatnya. “Demikian kedua riwayat tersebut disebutkan oleh at-Tsa’labi dan lainnya,” kata al-Qurtubi menutup perhelatan pendapat seputar penamaan istri al-Aziz.

5. Sedangkan al-Imam Ibnu Katsir (w. 774 H) dalam kitabnya Tafsir al-Qur’an al-Adzim, menuturkannya dari Muhammad bin Ishaq bahwa istri al-Aziz itu bernama Ra’il binti Ra’a’il. “Yang lainnya mengatakan,” demikian Ibnu Katsir, “Bahwa nama wanita tersebut adalah Zulaikha.”

6. Sedangkan al-Imam asy-Syaukani (w. 1250 H), dalam kitabnya Fath al-Qadir menyebutkan nama Zulaikha tersebut bersumber dari riwayat Abu asy-Syeikh dari Syu’aib al-Juba’i. Adapun nama Ra’il binti Ra’a’il didapatkannya dari riwayat Ibn Jarir dan Ibn Abi Hatim dari Muhammad bin Ishaq.

7. Selain itu ada juga para mufassir yang menuturkan penamaan istri al-Aziz itu, baik dengan Zulaikha atau Ra’il, dalam kitab-kitab tafsir mereka, tetapi tidak menyebutkan sumber periwayatannya. Misalnya al-Imam al-Baghawi (w. 516 H) dalam tafsirnya yaitu Ma’alim at-Tanzil, al-Imam Jalaluddin al-Mahalli dalam cuplikan kitabnya Tafsir al-Qur’an al-Karim, yang kemudian masyhur dengan sebutan Tafsir al-Jalalain.

8. Ada juga mufassir yang hati-hati dalam menyikapi masalah ini. Lihat saja misalnya al-Imam al-Fakhr ar-Razi (w. 604 H). Setelah beliau menyajikan menu cerita beraroma israiliyyat seputar identitas orang Mesir yang membeli Yusuf berikut istrinya secara mendetail, dengan tegas beliau mengatakan: “Ketahuilah, riwayat-riwayat di atas tidak ada dasarnya dalam al-Qur’an. Begitu juga hadits yang shahih tidak ada yang menguatkannya.” Lebih lanjut beliau menjelaskan: “Penafsiran kitab suci al-Qur’an itu tidak disandarkan pada riwayat-riwayat ini. Karenanya, orang yang berakal harus berhati-hati dalam mengambil riwayat tersebut sebelum menceritakannya pada orang lain.”

9. Begitu juga halnya dengan al-Imam ibn al-Qayyim (w. 751 H) dalam kitabnya at-Tafsir al-Qayyim, ketika menafsiri ayat di atas, beliau tidak menyebutkan nama istri al-Aziz tersebut. “Mereka (para ulama yang dijadikan pegangan olehnya) tidak ada yang menyebutkan nama wanita itu. Tetapi mereka hanya menuturkan sifat-sifatnya yang buruk sebagaimana al-Qur’an menuturkannya.”

10. Hal senada dilontarkan pula oleh as-Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, mufassir kontemporer, dalam kitabnya Tafsir al-Manar. Dia mengatakan bahwa al-Qur’an tidak menyebutkan secara jelas nama orang Mesir yang membeli Yusuf. Begitu juga nama istrinya. “Al-Qur’an itu bukan kitab cerita atau sejarah an sich, melainkan di dalamnya terdapat hikmah, nasihat, pelajaran dan pendidikan akhlak. Karenanya al-Qur’an hanya menyebut orang Mesir itu dengan al-Aziz. Sebab gelar al-Aziz itu nantinya akan disandang oleh Nabi Yusuf setelah diangkat menjadi kepercayaan raja di Mesir.” Demikian Rasyid Ridha.

Masih banyak lagi komentar-komentar para mufassir yang tersebar dalam beberapa kitab tafsir belum kami jamah. Yang penting, dari keterangan itu, kita mengetahui sanad dari riwayat yang mengatakan bahwa istri al-Aziz itu bernama Zulaikha atau Ra’il. Inilah fokus kajian kita.

Dari kitab-kitab tafsir tersebut, meskipun hanya sebagian kecil saja yang kami suguhkan, ternyata yang menuturkan kisah tersebut dengan sanad yang lengkap adalah al-Imam ath-Thabari. Yaitu dari Ibnu Humaid dari Salamah dari Ibnu Ishaq dari Muhammad bin as-Sa’ib dari Abu Shalih dari Ibn ‘Abbas. Dalam riwayat ini istri al-Aziz itu bernama Ra’il binti Ra’ail.

Sedangkan riwayat yang menyebutkan bahwa nama istri al-Aziz itu adalah Zulaikha, adalah bersumber dari Syu’aib al-Jaba`i. Masing-masing dari kedua sanad itu lemah sekali, bahkan palsu. Hal itu dapat kita ketahui dari dua orang rawi, yaitu Muhammad bin as-Sa’ib al-Kalbi dalam riwayat yang menyebutkan nama Ra’il binti Ra’ail, dan Syu’aib al-Jaba`i dalam riwayat yang menuturkan nama Zulaikha. Kedua orang ini biangkeroknya yang telah menjadikan dua riwayat di atas lemah bahkan palsu.

Lebih lanjutnya, di bawah ini kami sajikan biografi singkat kedua rawi tersebut berikut komentar para kritikus Hadis tentang kredibilitasnya.


E. Mengorek Kredibilitas al-Kalbi dan al-Jaba`i.

Sebagaimana yang kami sebutkan di atas, riwayat-riwayat tentang penamaan istri al-Aziz itu ternyata bermasalah. Di dalamnya terdapat dua orang rawi, yaitu al-Kalbi dan al-Jaba’i.

Al-Kalbi, yang meriwayatkan nama Ra’il sebagai istri al-Aziz, nama lengkapnya adalah Abu an-Nadhr Muhammad bin as-Sa`ib bin Bisyr al-Kalbi, seorang mufassir yang terkenal dari generasi tabi’in. Dia berguru pada Abu Shalih, Jarir, al-Farazdaq, dan masih banyak lagi. Sedangkan murid-muridnya diantaranya adalah anaknya sendiri, Hisyam. Dia wafat pada tahun 146 H. Adz-Dzahabi (w. 748 H) menilai al-Kalbi sebagai seorang Syiah yang haditsnya matruk.

Dalam kitabnya at-Tarikh al-Kabir, al-Imam al-Bukhari menyatakan bahwa Muhammad bin as-Sa`ib (Abu an-Nadhr) al-Kalbi adalah sosok rawi yang dinilai matruk oleh Yahya bin Sa’id dan Ibnu Mahdi.

Sedangkan al-Imam Abu Hatim bin Hibban dalam kitabnya al-Majruhin, menyebut-nyebut al-Kalbi sebagai rawi yang dusta. “Dalam kajian tafsir, al-Kalbi meriwayatkannya dari Abu Shalih dari Ibnu ‘Abbas. Padahal Abu Shalih belum pernah bertemu dengan Ibnu ‘Abbas. Sedikitpun dia belum pernah mendengar tafsir-tafsir dari Ibnu ‘Abbas. Begitu pula al-Kalbi. Hanya beberapa kalimat saja yang dia dapatkan dari Abu Shalih. Karenanya, semua tafsir yang berasal dari riwayat al-Kalbi tidak boleh dicantumkan dalam kitab-kitab tafsir. Apalagi untuk dijadikan hujjah,” demikian Abu Hatim bin Hibban.

Menurut al-Imam Abu Hatim, para ulama sepakat bahwa Hadis al-Kalbi dinilai matruk, tidak perlu direken. Dia adalah seorang Dzahib al-Hadits (yang mengaburkan keshahihan hadits). An-Nasa`i, lanjut Abu Hatim, menilai al-Kalbi sebagai orang yang tidak tsiqah. “Laa Yuktab Haditsuhu” (Hadits yang diriwayatkannya tidak boleh ditulis).

Bahkan dalam kitab al-Jarh wa at-Ta’dil, al-Imam Ibnu Abi Hatim ar-Razi (w. 327), menuturkan sebuah riwayat dari Abu Jinad yang mengatakan bahwa Abu Shalih bersumpah untuk tidak mengakui tafsir al-Kalbi yang dinisbatkan kepadanya. “Aku tidak pernah membacakan sedikitpun tafsir dari riwayatku pada al-Kalbi,” demikian Abu Shalih.

Adh-Dhahhak bin Makhlad an-Nabil menuturkan: “Sufyan at-Tsauri berkata bahwa al-Kalbi pernah terus terang kepadanya bahwa apa yang dia (al-Kalbi) riwayatkan dari Abu Shalih dari Ibnu Abbas, adalah dusta alias palsu. Karenanya, kamu jangan meriwayatkannya,” begitu pesan al-Kalbi kepada Sufyan.

Syeikh Dr. Muhammad Husein adz-Dzahabi dalam kitabnya at-Tafsir wa al-Mufassirun menuliskan sembilan sanad tafsir Ibnu ‘Abbas. Dari sembilan sanad itu, yang paling parah kelemahannya adalah sanad: Muhammad bin as-Sa`ib al-Kalbi dari Abu Shalih dari Ibnu ‘Abbas.

Begitupula halnya Manna’ al-Qattan dalam kitabnya Mabahits fi Ulum al-Qur’an, beliau mengategorikan jalur sanad al-Kalbi dari Abu Shalih sebagai jalur yang paling parah dalam tafsir Ibnu Abbas. Tafsir Ibnu ‘Abbas dimana di dalam sanadnya terdapat nama al-Kalbi ini kemudian dikumpulkan oleh Abu Thahir Muhammad bin Ya’qub al-Fairuzabadi (w. 817 H) dalam kitab yang dinamai Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibn Abbas. Karenanya tafsir ini dari segi kualitas sanadnya adalah palsu sebagai tafsir Ibnu Abbas. Kendati begitu ada juga beberapa pesantren yang mengajarkan kitab ini kepada santri-santrinya.

Adapun al-Jaba`i, yang meriwayatkan nama Zulaikha sebagai istri al-Aziz, adalah bernama lengkap Syu’aib bin al-Aswad al-Jaba`i. Dia termasuk ahli sejarah dari kalangan tabi’in. Al-Imam adz-Dzahabi (w. 748 H) dalam kitabnya Mizan al-I’tidal fi Naqd ar-Rijal menuturkan pendapat al-Azadi, bahwa Syu’aib al-Jaba`i adalah seorang rawi yang matruk (pendusta). Penilaian al-Azadi ini dikukuhkan juga oleh al-Imam Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H) dalam kitabnya Lisan al-Mizan.

Berdasarkan disiplin ilmu hadits, jika ada seorang rawi pendusta dalam sebuah sanad hadits, maka hadits tersebut nilainya matruk (jika dia tidak mengakui perbuatan dustanya) atau maudhu’ (jika dia mengakui perbuatan dustanya). Kedua-duanya dikategorikan sebagai hadits yang lemah sekali yaitu palsu dan semi palsu.

Nabi Saw. mengultimatum ummatnya untuk tidak meriwayatkan hadits tersebut. Sebab Neraka lah tempatnya bagi orang yang mendustakannya dengan sengaja. Sebuah ancaman yang merindingkan bulu roma. Na’udzu billah min dzalik.

Dengan demikian, cerita-cerita yang mengklaim bahwa Yusuf menikahi Zulaikha (atau Ra’il), bekas istri al-Aziz, dengan sendirinya tertepis. Sebab penamaan Zulaikha (atau Ra’il) itu bermasalah.


F. Secercah Harapan

Setelah kita mengetahui sumber riwayat seputar kisah romantis Nabi Yusuf-Zulaikha, khususnya tentang penamaan Zulaikha itu sendiri, maka sesegara mungkin kita harus membenahi diri kita sendiri, agar ibadah kita tidak berlandaskan kisah-kisah fiktif dan imajinasi.

Beberapa bulan yang lalu, kami telah mengusulkan kepada Departemen Agama RI, terutama tim yang menggeluti terjemah al-Qur’an versi Bahasa Indonesia, agar membuang kata “Zulaikha” pada setiap terjemah atau footnote yang ada pada edisi sebelumnya. Sebab dengan membiarkannya, menurut kami, masyarakat akan tetap tidak tahu. Bahkan cenderung bertambah yakin bahwa Zulaikha itu istri Nabi Yusuf.

Setelah melewati perdebatan sengit antar tim, akhirnya disetujui untuk membuang kata “Zulaikha” dalam terjemahan ayat-ayat yang berkaitan dengan kisah Nabi Yusuf dan menambahkan dalam footnote Surah Yusuf ayat 21 tersebut: “Bahwa riwayat tentang penamaan Zulaikha itu tidak bisa dipertanggungjawabkan.” Al-Qur’an dan Terjemahnya edisi revisi tahun 2002 ini, kini sedang dalam proses diterbitkan.

Disamping itu, kami juga berharap kepada alim-ulama, para da’i dan muballigh, yang ditokohkan oleh masyarakat, agar meluruskan pemahaman yang keliru tersebut. Sebab dalam hal ini, yaitu kisah romantis Nabi Yusuf-Zulaikha, tidak hanya bumbu cerita israiliyyat yang menghibur kita sebelum tidur, melainkan telah merangsek kepada keyakinan atau akidah orang awam. Sehingga banyak dari mereka yang menjadikannya sebagai doa. Padahal doa itu, seperti yang sudah kami kemukakan di muka, harus berdasarkan pada dalil-dalil yang shahih.

Dengan demikian, semoga catatan kecil ini menjadi pemicu bagi kita untuk bersikap kritis, tidak menerima secara taken for granted (apa adanya) tafsir-tafsir israiliyyat yang tersebar luas pada kitab-kitab tafsir. Tetapi senantiasa membuktikannya dan menyikapinya dengan hati-hati, sekaligus mengkritisinya.

Syeikh Abu al-Fattah Abu Ghuddah, seorang ahli hadits dari Syiria, ketika mengomentari kisah-kisah palsu tentang keajaiban seputar kelahiran Nabi Saw., beliau berkata: “Kisah-kisah di atas dan hal-hal yang seperti itu banyak tercantum dalam kitab-kitab kuning, baik kitab-kitab hadits maupun kitab-kitab sirah (tarikh Nabi Saw.). Maka akibatnya banyak orang yang terkecoh, seolah-olah kisah-kisah itu telah terjamin otentisitasnya (keshahihannya). Padahal maksud para penulis kitab-kitab itu tidaklah demikian. Mereka mencantumkan dalam kitab-kitab mereka itu riwayat-riwayat yang shahih maupun yang tidak shahih (palsu) untuk direkam dan diketahui, kemudian untuk diteliti otentisitasnya, bukan untuk dibenarkan dan dianggap otentik.” Dan tentunya, apabila sudah diteliti, mana yang shahih dapat dijadikan pegangan, sedangkan yang tidak shahih (palsu) harus dikubur dalam-dalam.


Dinukil dari  Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Ya’qub (Alumni Tebuireng, 1396 H/1976 M),

 Imam besar Masjid Istiqlal Jakarta